Wednesday, April 30, 2008

Soulmate

Boleh dong ngomongin Kartini di saat bulan yang namanya April ini meskipun di ujung waktu. Tulisan penutup bulan ini sekaligus merupakan pemenuhan janji saya untuk membuat 15 tulisan di bulan April. Saya akan cerita seorang Kartini yang ada di rumah saya.

Setiap datang bulan April, selalu ada satu nama yang akan disebut-sebut. Istimewa memang, karena dia dianggap perintis pergerakan emansipasi wanita. Kartini yang lahir di Jepara, 21 April 1879 dan meninggal di usia muda, 25 tahun, tepatnya 3 September 1904 merupakan istri dari Raden Adipati Joyodiningrat. Karena kebisaannya berbahasa Belanda, Kartini menjalin korespondensi dengan orang-orang Eropa. Yang paling dekat dengannya adalah Rosa Abendanon. Berkat teman-temannya dan juga buku, majalah, dan surat kabar Eropa pula Kartini tertarik dengan pemikiran feminis Eropa. Setelah Kartini wafat, surat-surat yang dia kirimkan ke teman-temannya di Eropa kemudian dikumpulkan dan diterbitkan menjadi sebuah buku. Anda pasti kenal judul buku itu yang sudah diindonesiakan menjadi Habis Gelap Terbitlah Terang. Judul aslinya sih dalam bahasa Belanda Door Duisternis tot Licht dan diinggriskan menjadi Out of Dark Comes Light.

Jika kita lihat kegiatan yang dilaksanakan untuk memperingati pahlawan dari Jepara ini, memang agak berubah. Dulu ketika saya masih sekolah baik sd, smp, atau sma, yang namanya peringatan Hari Kartini selalu meriah. Terutama teman-teman perempuan yang memakai kebaya atau pakaian nasional dan kepalanya dikonde. Merepotkan memang tetapi mereka nampaknya senang-senang saja. Kami yang laki-laki juga senang menyaksikan mereka penampilannya beda dengan hari-hari biasa. Dalam kesempatan itu muka mereka terlihat cantik-cantik karena didandani. Yang biasa saja jadi menarik, apalagi yang memang dari sananya sudah cantik. Anda bisa bayangkan sendiri.

Sekarang peringatan Hari Kartini yang jatuh setiap 21 April tidak lagi dilakukan seperti jaman saya sekolah. Masih ada memang sekolah-sekolah dan sebagian kantor yang memperingatinya dengan berdandan ala Kartini. Namun sebenarnya kan bukan itu yang penting, yang utama adalah bagaimana semangat Kartini itu terus dipelihara dan dikembangkan sesuai kebutuhan jaman tanpa melanggar kodratnya sebagai perempuan yang bermartabat. Jangan sampai karena membela feminisme yang membabi-buta kemudian tidak bisa membedakan lagi mana kodrat mana yang sebenarnya emansipasi. Saya pernah nyinggung-nyinggung feminisme yang sebenarnya hasil akhirnya adalah emansipasi wanita dalam blog yang berjudul Perempuan Telentang. Lucu lho, baca aja kalo gak percaya.

Dengan semakin berkembangnya jaman, Kartini abad 21 ini juga sudah tidak lagi berpenampilan jadul. Banyak Kartini yang memakai setelan blazer, kardigan, rok A-line, sweater bila lagi masuk angin (becanda), dan kadang baju laki-laki juga dipakainya. Jika saya masukkan juga busana tank top, backless, short atau hotpant, hipster, legging, swimsuit, G-string, dan nothing (gak pakai apa-apa maksudnya), apakah anda juga setuju menyebut perempuan yang memakainya sebagai Kartini modern? Jika anda lihat perempuan pakai nothing, bisa kriting anda.

Dari segi pekerjaan, Kartini sekarang juga memiliki pekerjaan yang variatif. Bahkan mungkin Kartini yang dulu tidak pernah membayangkan mahluk-mahluk sejenisnya berkarir seperti saat ini. Mana pernah Ibu Kartini yang nama aslinya Harum ini berpikiran perempuan Indonesia bakal menjadi ahli microchip? Jangan diambil serius nama asli Kartini yang saya sebutkan barusan. Hanya bercanda kok. Kan karena ada lagu yang liriknya ibu kita Kartini… putri sejati… putri Indonesia… harum namanya, maka kemudian dibuat joke tentang nama asli dari pahlawan bangsa ini. Mohon maaf bu.

Kemudian masih dalam rangka memperingati Hari Kartini, saya memiliki satu Kartini di rumah yang benar-benar luar biasa. Dia itu multi-talented dan unik. Cantik, buktinya menjadi wakil daerahnya dalam pemilihan Putri Citra. Pintar, makanya menjadi wisudawan terbaik. Ahli kuliner, sampai-sampai tamu saya yang dari Netherlands menyarankan untuk buka restoran. Ibu yang baik, anak-anak saya terawat, terurus, dan juga penurut. Teman curhat dan diskusi untuk semua yang ada di kepala saya. Dia juga seniman teater meskipun sekarang sudah tidak aktif lagi. Dan, last but not least, humoris.

Setelah membacanya, barangkali anda menganggap saya berlebih-lebihan. Saya tidak akan marah bila anda berkesimpulan seperti itu. Itu hak anda. Saya hanya bisa bersyukur bahwa Allah telah memberi amanah kepada saya untuk menjaga mahluknya yang mungil tapi incredible ini. Berkat dia, banyak hal yang tidak bisa saya urus sendiri menjadi beres. Terus terang saja, mungkin inilah kesempatan yang diberikan saya untuk beribadah. Bukan hanya ibadah seremonial seperti sholat tetapi juga pengabdian kepada Allah yang berbentuk muamallah dengan cara menjaga, mengarahkan, menyayangi, dan menghormati soulmate yang dititipkan kepada saya.

Bila saat ini anda memiliki belahan jiwa atau dalam proses, selalulah ingat dia itu sama dengan anda. Jagalah sebagaimana barang titipan yang harus dilindungi dengan jiwa raga. Saya tidak bisa ngomong banyak untuk urusan yang satu ini. Hanya saja saya selalu merasa, hidup ini pasti akan hambar bila Allah tidak menciptakan mahluk yang satu ini. Dan, seberapapun banyaknya kata-kata yang saya muntahkan tidak ada artinya dengan segala yang diberikan oleh mahluk perempuan kepada lawan jenisnya. Begitu pentingnya peran perempuan sehingga bila kita menengok kembali sejarah, setiap keberhasilan dari seorang laki-laki di belakangnya selalu ada peran perempuan. Begitu juga tidak sedikit kehancuran yang disebabkan oleh perempuan. Anda yang perempuan tidak boleh tersinggung dan menolak untuk tuduhan yang terakhir ini bila memang kenyataannya itu yang terjadi.

Biarpun terlambat (tetapi masih April kan?), saya ucapkan selamat Hari Kartini. Jadilah Kartini yang sesuai dengan kodratnya dan yang bisa dibanggakan. Janganlah mengaku generasi Kartini tetapi yang dilakukan justru mencoreng pikiran dan upaya Kartini dalam emansipasi yang dulu dirintisnya. Percuma anda mendeklarasikan sebagai Kartini modern bila yang anda lakukan perbuatan nista yang mencoreng kehormatan anda sebagai perempuan. Siapapun anda, jaga selalu kehormatan anda sendiri, keluarga, agama, dan negara. Kami, kaum laki-laki, akan sangat menghormati anda, kaum perempuan, yang bisa menghormati diri sendiri. Begitu saja saya rasa.

Monday, April 28, 2008

Masyarakat Minim Kepercayaan

Saya tidak tahu apakah ini perasaan saya saja atau anda juga merasakan seperti yang saya rasakan. Indonesia ini bukannya tambah maju tapi jalan di tempat, dalam bidang tertentu malah mengalami kemunduran.

Hampir sepuluh tahun saya menempati rumah yang sekarang. Rumah sederhana yang berada di pedesaan kabupaten Bogor, 15 km arah barat kota Bogor. Anda tahu yang namanya desa, atmosfirnya jelas berbeda dengan kota. Namun jangan anda bayangkan desa saya itu seperti desa-desa yang dikelilingi sawah, lembah, dan pegunungan menghijau nan sejuk. Di depan rumah saya memang ada gunung, yang sayangnya, tapi masih lumayan, gunung kapur. Ada persawahan namun agak jauhan dari rumah saya. Rumah saya memang bukan rumah mewah alias mepet sawah. Bau-bau kotanya masih terasa karena sebagian besar tetangga saya orang-orang pendatang yang kerjanya di kota Bogor atau Jakarta.

Penerangan tidak ada masalah karena saat saya datang listrik sudah ada di desa itu. Semua rumah diterangi lampu walaupun sebagian ruas jalannya gelap di malam hari karena tidak ada penerangan jalan. Di gelap malam desa saya nampak berpendar oleh lampu bila dilihat dari puncak gunung kapur. Namun belakangan ini sering terlihat gelap. Lho? Saya tidak mengerti kenapa kinerja PLN jadi semakin begitu mundur dalam jaman yang makin maju ini. Terhadap orang awam dan bodoh seperti saya ini nggak usahlah ngomongin yang rumit-rumit tentang masalah yang terjadi dalam tubuh PLN yang menjadi penyebab seringnya listrik padam. Percuma, saya tidak bakal ngerti dan tidak mau tahu. Rasanya nggak masuk akal dengan kemajuan teknologi bidang energi listrik di dunia, Indonesia yang sebenarnya kaya bisa begitu kedodoran mengurusi listrik untuk rakyatnya. Sebagai rakyat yang selalu (dipaksa) membayar pajak sudah sewajarnya menuntut pelayanan dari pemerintah selaku penyelenggara negara, termasuk PLN tentu saja. Saya rasa orang lain yang statusnya sebagai rakyat jelata seperti saya ini akan menuntut hal yang sama.

Dulu ketika saya masih di Bogor kota atau di awal-awal waktu saya tinggal di desa yang sekarang, listrik di rumah jarang mati. Dalam keadaan hujan besarpun, listrik tetap menyala. Namun tahun-tahun terakhir ini, jangankan hujan gede, tidak hujan tidak mendung dan matahari bersinar cerah saja listrik tiba-tiba padam, dan itu bisa berlangsung berkali-kali dalam sehari. Apa tidak menjengkelkan? Bila kita baca lihat dan dengar bahwa republik ini mengalami krisis energi listrik sehingga suka diadakan pemadaman bergilir ya tidak aneh. Memang faktanya seperti itu. Tetapi yang kemudian muncul adalah pertanyaan kenapa bisa terjadi krisis setelah bertahun-tahun belajar mengelola listrik. Harusnya menjadi semakin mahir dan berpengalaman, bukan malah semakin bego. Maaf agak emosional. Apakah karena rakyat kita semakin banyak? Banyakan mana dengan India dan Cina?

Bukan hanya institusi pelayanan publik seperti PLN yang melayani rakyat dengan quality of service yang memprihatinkan, yang lainpun juga setali tiga uang. Karena banyaknya lembaga milik pemerintah yang memiliki kinerja ala kadarnya serta orang-orangnya yang korup inilah yang akhirnya menciptakan masyarakat minim kepercayaan. Kita ini dikenal sebagai low trust society oleh bangsa lain, masyarakat yang tingkat kepercayaannya rendah sekali. Kita ini tidak gampang mempercayai orang lain dan juga sulit dapat meyakinkan orang lain untuk percaya kepada kita. Itulah juga yang menjadi penyebab kenapa orang kita tidak suka belanja lewat internet. Kita tidak gampang percaya. Takut bila nanti mengalami kejadian uangnya sudah dibayarkan tetapi barangnya tidak datang. Lebih-lebih dengan adanya pemalsuan kartu kredit dan kejahatan cyber lain, makin gentar kita untuk belanja nyaman lewat internet. Lebih suka dan lebih mantap bila belanja langsung di pasar.

Kenapa kita bisa seperti sekarang ini? Bukan salah siapa-siapa. Jika harus mencari siapa yang salah, salah pemerintah kita sendiri lah. Siapapun yang jadi presidennya. Dalam sebuah organisasi, termasuk organisasi yang bernama negara, hirarki wewenang dan kekuasaan bentuknya seperti piramid. Semakin ke atas semakin tinggilah wewenang dan kekuasaannya. Begitu juga dalam hal tanggung jawab, yang terataslah yang memiliki tanggung jawab paling besar. Bila dalam sebuah negara terjadi chaos, yang bertanggung jawab dan punya kekuasaan mengendalikan adalah orang nomor satu di negeri ini. Meskipun pelaksananya bukan dia langsung tetapi komando datangnya dari dia. Jika bangsa ini dipenuhi oleh para koruptor, presidenlah yang menjadi kuncinya untuk memberantas kebobrokan yang terjadi itu. Sayangnya rakyat negeri yang gemah ripah ini sering dibikin bingung dengan ketidakmampuan memberantas korupsi yang sudah seperti kanker stadium tiga.

Kadang-kadang saya heran, kenapa pemerintah kita tidak berani mengambil tindakan seperti yang dilakukan Cina terhadap pelaku korupsi. Saya pernah membaca di media massa, mudah-mudahan saja saya tidak salah baca, beberapa waktu yang lalu Cina menghukum mati warganya yang melakukan korupsi sebagai peringatan dan contoh bagi warga yang lain untuk tidak bertindak sama. Apa tidak gemetar tuh para koruptor yang hidup makmur bila hukum itu benar-benar dijalankan di sini. Lagian kan gak ada ruginya dan justru menguntungkan buat rakyat banyak jika orang-orang yang korup itu dimatikan saja. Perihal hak asasi manusia, tidak usah diomongkan lah. Orang para koruptor itu justru lebih sadis merampas hak asasi orang lain, bukan hanya satuan hitungannya tetapi massal, ratusan juta rakyat Indonesia disengsarakan oleh mereka. Kira-kira anda setuju tidak bila hukuman itu ditegakkan di sini? Karena percuma saja bila, misalnya, tampang mereka dipertontonkan di televisi, orang mereka sudah nggak punya malu. Malah senang kali, jadi terkenal.

Agak berat dan berbau politik ya tulisan saya ini? Jika anda akur dengan yang saya tulis di sini, tidak ada salahnya kita mendukung wacana yang muncul dalam bursa pemilihan kepala negara mendatang untuk lebih mengedepankan calon-calon berusia muda. Diharapkan orang-orang muda ini lebih bersih dan jujur serta terbebas dari ikatan emosi dengan penguasa dan orang-orangnya sebelum dia. Dengan demikian tidak akan ada rasa sungkan ketika harus mengambil tindakan hukum. Rasanya memang harus mulai diputus lingkaran setan yang ada selama ini yang menghalangi penegakan supremasi hukum yang lebih memihak kepada hati nurani rakyat. Dan jika anda punya kekuasaan dan wewenang dalam sebuah media, apapun, yang bisa membentuk opini publik, mulailah membangun opini bahwa orang-orang yang sudah tua sudah selayaknya mundur dari kursi pemerintahan. Bukan masalah persamaan hak tetapi orang-orang tua ini rasanya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penguasa sebelumnya. Ada kendala emosi yang terlalu berat bagi mereka untuk diatasinya.

Barangkali mimpi saya tentang terbebasnya kita dari julukan low trust society bisa mewujud bila pemerintah ini berani bertindak. Sakit rasanya bila kita tidak dipercaya orang. Kalau selama ini bangsa kita mendapat pinjaman dari bangsa-bangsa lain bukan berarti kita bisa dipercaya, tetapi karena mereka percaya bahwa kita ini bangsa yang bodoh dan bisa dibodohi.

Sunday, April 27, 2008

Merokoklah, maka Awet Muda

Survei menunjukkan bahwa merokok dapat menyebabkan pelakunya menjadi awet muda. Anda yang perokok, berat atau hanya untuk nampang, dan yang tidak merokok, silakan merenungkan hasil survei itu.

Jangan ke-gr-an dulu. Masih ingat tulisan saya tentang Sehat itu Pilihan? Yang sedang anda baca ini merupakan terusannya. Sekedar mereview yang saya tulis saat itu, yang namanya kesehatan itu merupakan hak semua orang. Bila kemudian anda memilih untuk merokok yang terbukti membahayakan kesehatan itu artinya anda memilih untuk tidak menjadi sehat. Jika ketika anda merokok di sekeliling anda banyak orang yang dipaksa menjadi perokok pasif, maka anda bukan saja menjadi seorang perokok tetapi juga ada embel-embel di belakangnya, dzolim. Anda adalah perokok dzolim karena anda merampas hak orang lain untuk sehat.

Merokok memang bisa menjadi media interaksi. Katanya kelihatan seperti orang bego, aneh rasanya, ketika ngobrol sambil tidak merokok. Itu yang mereka, para perokok, pikirkan. Namun justru aneh bagi saya melihat mereka merasa aneh dan bego saat ngrumpi tapi tidak sambil merokok. Apalagi bila mereka sebenarnya tahu bahwa rokok itu tidak sehat tetapi tetap dihisap juga, itu lebih aneh lagi buat saya. Jika seperti itu berarti mereka termasuk orang-orang konyol. Mereka adalah orang konyol ketujuh yang perlu ditambahkan dalam daftar orang-orang konyol yang pernah saya buatkan untuk anda beberapa waktu yang lalu. Sebagai teman baik anda, saya sarankan jangan ikut-ikutan seperti mereka. Namun bila anda tetap ngotot dan tidak peduli dengan saran saya, ya terserah. Egp?

Yang lebih menggelikan lagi buat saya, ada yang mengatakan jika tidak merokok nanti juga akan mati. Bagi saya, itu pemikiran yang tolol. Itu kan sama saja dengan orang yang mengatakan, ngapain makan nanti juga akan lapar lagi, ngapain mandi nanti juga akan kotor lagi, ngapain bangun nanti juga akan tidur lagi. Kalau begitu, ngapain hidup? Oops, nggak boleh ya saya bicara seperti itu. Itu hak mereka kok untuk merokok, tapi tolong jangan menggunakan hak dengan mengorbankan hak orang lain. Jika ingin merokok, silakan menyingkir jauh-jauh. Bila perlu, merokok saja di dalam tong yang ditutup rapat-rapat sehingga asap yang dihasilkan akan tersedot semua dan tidak ada yang terbuang percuma. Puas?

Kenapa saya menulis seperti ini ya? Pasti saya dikatakan egois, sok, suka ikut campur urusan orang lain. Jangankan nulis yang cenderung menciptakan musuh seperti ini, orang nulis yang baik-baik saja dikomplain. “Jangan begitu dong. Tidak boleh seperti itu. Itu berarti kontradiktif dengan yang diomongkan.” Begitu katanya. Bila gara-gara menulis ini kemudian anda memusuhi saya, yach, saya anggap itu sudah nasib saya berani-beraninya menulis seperti ini. Perlu anda ketahui itulah kebebasan yang dimiliki seorang penulis, penulis beneran maupun penulis bohong-bohongan seperti saya. Namanya juga penulis bohongan, jika yang ditulis kemudian anda percayai atau membuat anda memusuhi saya, itulah konsekuensi yang harus saya terima.

Kemudian bicara tentang kemudaan, siapa sih yang tidak ingin awet muda? Bahkan orang rela mengeluarkan banyak uang untuk meraih impian itu. Coba manusia bisa seperti ular. Dalam waktu tertentu dia akan ganti kulit tanpa perlu mengeluarkan biaya. Sayangnya manusia itu bukan ular, meskipun ada yang namanya manusia ular berkepala dua, yaitu orang yang suka mengadu domba dan menciptakan permusuhan serta makan sana caplok sini untuk kepentingan dirinya.

Orang yang terbuai impian awet muda ini bila tahu apa yang sebenarnya terjadi barangkali tidak mau repot-repot mengejarnya. Namun susah juga. Walaupun mereka tahu bahwa awet muda itu urusannya dengan kulit permukaan doang, usia mah tetap jalan terus, mereka tetap tak peduli. Mereka tetap mau bercape-cape, kesakitan, mengeluarkan uang banyak untuk operasi plastik, pasang silikon, pasang susuk, menjalankan ritual-ritual klenik dan lain-lain. Bila mereka seperti itu, maksudnya tahu tapi tidak mau tahu, berarti mereka juga bisa dikategorikan orang konyol kedelapan dalam urutan daftar orang-orang konyol. Sekali lagi saya ingatkan, bila anda mau-maunya melakukan seperti itu juga, selamat, anda masuk daftar orang konyol. Anda adalah orang yang tidak mensyukuri nikmat Allah.

Apapun yang anda miliki bersyukurlah. Yang penting adalah seperti yang dinyanyikan bang Rhoma, nikmati dan syukuri yang lima sebelum datang yang lima. Salah satunya adalah nikmati mudamu sebelum datang tuamu. Jadi saat masih muda, berbuatlah yang manfaat. Jangan sampai ketika masih muda hanya foya-foya dan hura-hura. Begitu merasa beranjak tua, eh, malah operasi plastik biar kelihatan muda. Kan nggak benar itu, meskipun uang yang dipakai uang-uangnya sendiri.

Salah dua dari yang lima berikutnya adalah menikmati masa sehat sebelum datang masa sakit. Biasanya orang lupa bagaimana rasanya sakit ketika dirinya sehat. Bukan orang lain, saya sendiri kadang-kadang seperti itu. Saat sehat kadang saya tidak menjaga dengan baik kesehatan yang dianugerahkan kepada saya itu. Sehingga begitu sakit datang, baru menyesal tak habis-habis. Sebuah penyesalan yang tidak ada gunanya. Mudah-mudahan anda tidak seperti saya, tetapi lebih berhati-hati dan telaten dalam menjaga kesehatan sendiri.

Nah mereka yang merokok ketika muda, tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok orang-orang yang menikmati masa muda dan masa sehat. Jika dikatakan menikmati masa muda dengan merokok kok absurd (sia-sia) sekali. Masih banyak kegiatan lain selain merokok yang saya pikir lebih sehat dan bermanfaat untuk mengisi masa muda. Tetapi susah juga ya, nama juga anak muda, suka mencoba-coba dan kadang tidak menggunakan akalnya dalam mencoba-coba. Kemudian bila merokok dikatakan sebuah kegiatan dalam menikmati masa sehat, nah ini yang dinamakan otaknya kebalik-balik. Sudah jelas rokok tidak sehat kok berani-beraninya menyatakan menikmati kesehatan dengan melakukan kegiatan yang merusak kesehatan. Di mana titik temunya coba? Namun yang pasti, bila anda merokok maka anda akan memiliki peluang lebih besar untuk menjadi awet muda. Sudah pasti itu, karena dari segi umur, perokok lebih cepat mati duluan. Bila kebetulan anda perokok dan masih muda kemudian anda mati, maka anda akan awet muda karena anda tidak sempat menjadi tua. Itulah awet muda yang sebenar-benarnya.

Punya rokok?

Saturday, April 26, 2008

Fokus

Teman dekat saya bilang: “Tulisanmu tidak fokus.” Secara verbal atau dalam hati, saya mengiyakan apa yang dia katakan. Sebegitu pentingkah yang namanya fokus?

Seorang tentara Amerika sedang bertugas di Irak. Dia sudah tiga bulan berada di negeri 1001 malam itu. Sebagai pria dewasa normal dia memiliki hasrat yang perlu disalurkan. Bila di rumah tidak menjadi masalah karena ada istrinya. Namun yang ada di padang pasir tempat dia bertugas hanya teman sekompinya yang semua pria dan segerombolan onta. Setiap hari itulah yang dia lihat, termasuk pantat onta yang kebetulan betina. Lama-lama timbul juga hasratnya terhadap onta itu. Dia pikir tidak ada rotan akarpun jadi. Tidak ada wanita, onta betinapun nggak masalah. Tetapi sial buat dia. Onta itu selalu pergi bila melihat dia yang ada di belakangnya memerosotkan celana. Begitu berulang-ulang sampai membuat tentara itu frustasi.
Setiap hari dia mencoba namun selalu gagal. Hingga suatu hari muncullah seorang wanita cantik. Rupanya komandan kompi memahami kebutuhan para anak buahnya. Sengaja komandan itu mendatangkan wanita pekerja seksual untuk melayani setiap anak buahnya. Ketika tiba giliran tentara yang sedang berhasrat dengan onta betina ini, wanita itu melihat tentara yang akan dia layani sedang berlari mengejar seekor onta. Seperti biasa tentara itu sedang berusaha menyalurkan hasratnya kepada onta tetapi selalu gagal. Waktu dilihatnya ada wanita cantik menghampirinya, sang tentara begitu gembira.
“Aha, kebetulan kamu datang,” kata tentara. “Mau menolong saya?” Lanjut tentara itu.
“Dengan senang hati,” jawab si wanita.
“Tolong pegangi onta ini.”

Norak ya cerita tentara dan ontanya itu? Saya hanya ingin menunjukkan bagaimana fokus bisa menjadikan seseorang tidak bisa melihat peluang lain. Tidak ada yang salah. Semua ada plus minusnya, baik fokus atau tidak fokus. Anda boleh memilih mana yang menurut anda lebih menguntungkan. Hanya saja anda perlu berhitung dengan cermat sebelum melakukan kebodohan seperti tentara Amerika dalam cerita di atas.

Kembali tentang komentar teman dekat saya di awal tulisan ini, kadang-kadang memang saya tidak bisa fokus. Jadi, mohon maaf buat anda yang begitu peduli dengan keteraturan dalam sebuah penulisan termasuk fokus. Ketika tulisan saya tidak fokus, itu karena saya membebaskan pikiran saya menjadi liar tak karuan. Dia bisa melanglang buana ke segala penjuru. Saya sendiri tidak berusaha memenjara ide-ide yang muncul dengan sistematika, klasifikasi, kategori, dan alat bantu-alat bantu lain yang biasa digunakan agar tulisan menjadi fokus. Saya kasih tahu, jangan kaget, jika mau mencemooh dipersilakan, itulah kalau anda mau-maunya membaca tulisan seorang yang bukan penulis beneran yang tidak peduli apakah tulisannya fokus atau tidak. Suatu saat saya memang berusaha membuat agar tulisan saya menjadi fokus tetapi yang sering terjadi pikiran saya ngelantur kemana-mana. Kalau sudah begitu, saya hanya berusaha sekedarnya agar ide-ide liar itu tetap masih bertautan meskipun kadang dipaksakan. Sekarang tinggal terserah anda, mau memilih fokus atau memilih saya. Tetapi perlu saya ingatkan bahwa aku bukan pilihan, seperti lagunya Iwan Fals.

Bicara tentang fokus, saya jadi teringat dengan buku lama Al Ries yang berjudul Focus. Menurut dia, masa depan sebuah perusahaan nantinya akan ditentukan oleh fokus. Sebesar apapun perusahaan bila melakukan ekspansi tanpa memperhatikan arah akan mengalami kehancuran. Sering kita lihat adanya upaya perluasan usaha suatu perusahaan dengan melakukan merjer atau mengakuisisi bisnis lain. Bila ditanya apa yang mendasarinya, sinergi dan perluasan jenis usaha yang menjadi jawabannya. Ujung-ujungnya, merek yang dibangun menjadi tidak jelas dan tidak fokus lagi. Dicontohkan di buku itu, Adidas yang produsen sepatu juga membuat cologne. Contoh lain yang kebetulan pernah saya alami sendiri adalah perusahaan yang dulu pernah menjadi tempat saya bekerja yang selama bertahun-tahun fokus pada perangkat telepon tiba-tiba mengembangkan usaha dengan menanam kedelai. Hasilnya? Ya sudah bisa diperkirakan sebelumnya. Orang biasa berkutat dengan pesawat telepon kok ujug-ujug disuruh menangani kedelai, ya jadi berdering semua kedelainya.

Barangkali konsepnya mister Ries ini cocok untuk mereka yang tidak suka poligami atau tipe setia dalam urusan bisnis. Bagi orang yang lebih percaya banyak jenis usaha berarti banyak pundi-pundi uang yang tersebar dimana-mana, buah pikiran orang New York ini tidak terpakai. Seperti istilah “jangan menaruh seluruh telur di dalam satu keranjang,” dengan memiliki banyak usaha maka resikonya akan tersebar. Bila keranjang itu jatuh dan semua telur menjadi pecah, masih ada keranjang telur yang lain. Begitu kira-kira. Namun mereka yang tidak mau fokus tentu saja harus memiliki multi kompetensi dan nafas yang panjang. Dengan tidak mau fokus, maka sumber daya yang dimiliki juga tidak bisa dikonsentrasikan. Bila anda punya usaha tetapi sumber dayanya terbatas, alangkah baiknya untuk fokus dahulu. Jika kemudian usaha anda sudah maju, boleh saja anda mengembangkan sayap setelah dievaluasi dengan baik, bahasa akademisnya setelah dilakukan feasibility study atau studi kelayakan.

Setelah anda membaca tulisan saya yang satu ini, bagaimana pendapat anda? Apakah tulisan ini fokus atau malah semakin parah ketidakfokusannya? Bila anda menjawab tidak fokus, berarti upaya saya gagal. Padahal saya sudah berusaha mati-matian untuk mempertahankan agar tulisan ini tetap fokus lho. Namun perlu sidang pembaca yang budiman ketahui, apapun pendapat dan komentar anda, saya tetap akan menulis. Apapun akan saya tulis, baik yang penting maupun tidak penting, sepeti tulisan ini misalnya. Apakah menurut anda tulisan ini penting? Atau tidak penting? Buat saya yang penting adalah tetap menulis, bukan menulis yang penting-penting saja.

Jadi untuk menutup tulisan, yang saya nggak tahu penting atau tidak, ini, saya akan tuliskan di sini slogan yang saya sukai dan yang kadang saya jalani bila saya lagi suka yang berkenaan dengan fokus dan penting. Jangan mementingkan fokus, tetapi fokuslah pada yang penting-penting. Gimana, keren nggak slogan saya itu? (Ya nggak lah yao…)

Sebagai catatan, anda boleh kok menyebar-nyebarkan tulisan ini atau mencetak besar-besar slogan hebat saya itu di atas spanduk raksasa kemudian dipasang di sepanjang jalan utama di kota anda. Rasanya cocok untuk menyambut pemilu mendatang.

Friday, April 25, 2008

No Pay No Gain

Judul tulisan ini tidak ada kaitannya dengan tulisan sebelumnya yang berjudul No Bra No Brain. Judul yang saya pakai sekarang saya maksudkan untuk menggambarkan kebiasaan negatif orang-orang yang mengaku sebagai bangsa Indonesia yang adiluhung dan suka menolong.

Anda pernah ditolong orang? Seperti itulah bangsa kita, suka menolong, tanpa pamrih. Itu dulu. Sekarang, mulai tidak gampang mencari penolong yang benar-benar membantu tanpa imbalan apa-apa selain persahabatan dan persaudaraan. Apalagi di kota besar yang cenderung penghuninya individualis. Segala sesuatunya pakai hitung-hitungan. Dilihat untung ruginya. Memprihatinkan. Bahkan di desa pun ketulusan sudah terasa mengalami degradasi. Dari segi jumlah memang tidak sebesar di perkotaan tetapi kejadian itu membuka mata kita bahwa desa pun tidak kebal dari pengaruh negatif. Pengaruh itu bisa datang dari orang desa yang berinteraksi di lingkungan kota baik sebagai pekerja atau pengusaha, atau aparat desa yang mendapat contoh para atasan yang berkantor di pusat-pusat kota.

No pay no gain berarti orang harus membayar untuk bisa mendapatkan sesuatu. Istilah yang bukan hanya dipraktekkan oleh orang-orang kota ini mulai makin jelas dan terang-terangan seiring dengan terjadinya kombinasi reformasi dan otonomi daerah. Sistem pemerintahan yang didesentralisasi juga diikuti oleh pungli dan korupsi sampai tingkat terbawah dalam struktur pemerintahan yaitu rw dan jajaran rt-rtnya yang berada di daerah. Legitimasi pungutan yang dilakukan menggunakan istilah-istilah seperti uang administrasi, pajak desa, dan lain-lain yang tidak jelas kemana larinya uang-uang itu karena memang tidak ada sistem pelaporan yang transparan. Bahkan untuk mengambil yang menjadi haknya, oknum-oknum itu memaksa mereka membayar pungutan yang kelihatannya saja resmi dan sah. Anda pernah ketemu atau melihat orang lain mengalami hal itu? Buka mata anda dan… selamat datang di negerinya para koruptor.

No pay no gain menjadi semboyan orang-orang yang berprinsip aji mumpung. Mereka menggunakan jabatan dan fasilitas yang diamanahkan kepadanya untuk kepentingan pribadi. Masyarakat yang seharusnya dilayani dengan baik malah dijadikan obyek pemerasan. Kita tidak perlu malu mengakuinya karena memang itu yang terjadi. Banyak contoh yang bisa kita lihat di sekeliling kita. Anda pernah membuat sim, surat ijin mengemudi? Berapa biaya yang tertera di loket dan yang kemudian anda bayarkan, sama? Anda pernah ditilang? Apa yang terjadi kemudian? Saya tidak mendiskreditkan polisi. Faktanya, justru di tempat yang memiliki semboyan melindungi dan melayani ini praktek no pay no gain terjadi. Pagar yang memakan tanaman. Ironis ya? Bagaimana bapak polisi dan ibu polwan? Ya saya tahu, tidak semua polisi dan polwan sejahat itu. Mereka hanya oknum-oknum yang kebetulan memakai baju seragam. Kemudian beberapa waktu yang lalu, tetangga saya dengan bangganya berkisah tentang taktik dia mengkadali orang kpk (komisi pemberantasan korupsi) yang ditaruh di kantor samsat agar bisa menyerahkan uang yang diminta petugas samsat untuk mempermudah urusan yang menjadi kepentingan tetangga saya itu. Sebagai pendengar dan tetangga yang baik, saya hanya mendengarkan dengan khidmat meskipun prihatin seprihatin-prihatinnya.

Tidak fair lah bila saya hanya melihat perilaku mereka yang menyelewengkan jabatan dan fasilitas saja. No pay no gain juga dilakukan oleh mereka yang dilayani dan yang tidak mau susah. Orang-orang ini menganggap suap adalah hal yang wajar. Sudah dianggap jamak untuk memberikan uang sogokan agar urusan menjadi lancar dan cepat. Jika ingin segera selesai ya memang harus mau mengeluarkan biaya. Itu yang menjadi pegangan mereka sehingga ketika mereka melakukan penyuapan mereka tidak merasa yang dilakukan itu tidak sehat dan salah. Kadang-kadang mereka berapologi dengan tindakannya itu. Dianggapnya apa yang dilakukan hanya sebatas memberikan uang tip, uang rokok, atau sebagai bentuk ucapan terima kasih. Tapi nanti dulu. Apakah uang itu benar-benar seperti yang dimaksudkan bila diberikan sebelum urusan dikerjakan atau diselesaikan? Bila anda melakukan hal itu, hanya anda dan Yang Di Atas yang tahu niat yang ada dalam hati anda.

No pay no gain bisa jadi merupakan plesetan dari peribahasa no pain no gain. Peribahasa ini memang memiliki jalan yang berbeda, untuk mengatakan berlawanan, dengan no pay no gain dalam usaha mencapai sesuatu yang diinginkan. Dalam no pain no gain segala sesuatu harus diperoleh dengan kerja keras dan pengorbanan. Kadang-kadang malah bukan hanya pain (penderitaan) badan saja, bahkan perasaan, waktu, tenaga, pikiran, dan uang. Nah, karena orang tidak mau memberikan pain maka cukup menyerahkan pay (duit) untuk nyogok agar mendapat sesuatu (gain). Quick and simple, cepat bin gampang. Apalagi jika orangnya hobi nyogok, duitnya juga banyak, klop deh.

Bolehlah jika anda menjalankan semboyan no pay no gain bila memang harus seperti itu dan tidak melanggar hukum. Suatu saat kita memang harus mengeluarkan biaya untuk bisa mendapatkan sesuatu, katakanlah misalnya anda makan di warung. Kan anda harus membayar untuk bisa makan di warung itu dan tidak digebukin. Hal-hal seperti itulah yang memang harus dilakukan. Kita membayar karena memang itu syaratnya untuk dapat memperoleh sesuatu, barang maupun jasa. Begimana, gamblang kan perbedaannya?

Orang jawa punya filosofi yang hampir persis dengan no pain no gain, bukan no pay no gain yang lebih berkonotasi negatif, yaitu jer basuki mawa bea. Segala sesuatu itu perlu biaya untuk bisa mendapatkannya. Jelas sebenarnya. Namun tidak bisa tidak yang namanya jelas itu pelaksanaannya kembali tergantung sepenuhnya kepada pelakunya. Apakah dia memaknai sebagaimana seharusnya atau diselewengkan demi kepentingan pribadi. Bila menginginkan anaknya pintar kemudian berani mengeluarkan uang banyak untuk menyekolahkan anaknya, itu satu contoh yang dimaksudkan dalam jer basuki mawa bea. Namun bila dia menginginkan anaknya lulus sekolah kemudian menyerahkan seamplop uang kepada kepala sekolah, bukan itu yang dimaksud dengan jer basuki mawa bea yang sejati.

Bila anda memiliki banyak uang, barangkali nggak bermasalah anda berprinsip no pay no gain. Anda akan beli siapapun yang bisa melancarkan urusan anda. Namun jika anda fulusnya pas-pasan tetapi nekad bersikukuh dengan no pay no gain maka hasil akhirnya akan menjadi no money no dong. Dan polisilah yang kemudian akan membina anda. Mungkin membina untuk menjadi lebih baik kalau anda beruntung, atau membina(sakan) anda demi kebaikan bersama.

Wednesday, April 23, 2008

No Bra No Brain

Vulgar ya judulnya? Hati-hati, jika anda menuduh saya ngeres maka anda akan menyesal setelah selesai membaca tulisan ini.

Dalam hidup ini selalu ada yang namanya stereotip. Dan bisa jadi suatu ketika kita jadi korban stereotip karena warna kulit kita, rambut, asal daerah, agama, kebangsaan, atau hal-hal lain yang kita miliki. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang memberi label tertentu kepada kita karena didasarkan adanya stereotip. Siapa yang bisa menyalahkan ketika ada orang jawa yang mengatakan orang batak itu berangasan? Sementara orang batak bilang orang jawa itu lelet, tidak tegas, dan tidak efektif. Stereotip yang berdasarkan kesukuan itu tentu saja tidak selamanya benar. Sudah barang tentu tidak semua orang batak berangasan dan oran jawa tidak mau ngomong terbuka. Namun karena faktor lingkungan yang jelas berbeda antara Jawa dan Batak, bisa dipastikan cara melihatnya juga akan lain. Orang batak yang terbiasa berterus terang akan jengkel sekali melihat orang jawa yang tidak efektif dan efisien dalam berbicara dan bertindak. Orang jawa banyak menggunakan kata kiasan dan sindiran dan tidak langsung ke sasaran tetapi akan beramah-tamah dahulu sehingga hal ini oleh orang batak yang to the point dianggap bertele-tele dan tidak jelas. Sebaliknya ketika orang jawa yang terbiasa menghindari konflik akan melihat apa yang dilakukan oleh orang batak begitu kasar, grusa-grusu, dan tidak sopan sehingga dapat menyinggung perasaan orang lain.

Saya yang Jawa ini punya banyak teman orang batak. Di mata saya rata-rata mereka seperti yang saya gambarkan di atas. Begitu juga teman-teman batak saya melihat saya atau teman lain yang juga berasal dari Jawa bersikap sama seperti yang saya ceritakan di atas. Dengan demikian wajar saja bila kemudian muncul stereotip yang menempel di orang jawa dan orang batak seperti itu. Dengan banyaknya stereotip yang muncul, yang perlu dilakukan adalah berusaha memahami kasus per kasus. Bila tidak maka konflik pasti akan sering muncul.

Dalam cakupan yang lebih sempit, seperti dalam kehidupan orang jawa sendiri, akan terdapat juga generalisasi sehingga sangat mungkin terdengar komentar pemakluman terhadap sebuah tindakan karena melihat daerah asal si pelaku. “Oh pantas, dari Kudus sih. Ya nggak heran lah, orang dia berasal dari Purwodadi. Maklumlah, kan dia orang Magelang,” seperti itulah barangkali yang akan terdengar. So, apa yang harus dilakukan? Ya tidak perlu bersikap eksplosiflah bila komentar itu negatif dan tidak harus besar kepala bila yang dinyatakan itu berupa pujian. Yang penting adalah bagaimana kita bisa membuktikan stereotip yang negatif itu tidak benar, dan bila anggapan umum sudah positif bagaimana kita bersikap dan bertindak yang makin memperkuat hal positif itu.

Saya dulu, saat masih ngantor di Jakarta, pernah punya teman kerja, seruangan, yang perilakunya kebetulan kurang berkenan bagi orang lain. Saya tidak tahu apakah cerita ini sebelumnya sudah pernah saya kisahkan kepada anda. Mudah-mudahan saja cerita ini bukan cerita basi buat anda. Kembali ke teman seruangan kerja tadi, dia memang berasal dari keluarga kaya. Rumahnya berada satu komplek dengan mantan presiden Habibie, kalau tidak salah, di Jl. Patra, Jakarta. Bapaknya adalah direktur salah satu bank swasta besar di daerah segitiga emas. Karena dari keluarga kaya dan tinggal di lingkungan perumahan elit, dia begitu heran ketika tahu saya bisa naik sepeda atau motor. Sebaliknya saya juga jadi heran mengetahui dia heran saya bisa naik sepeda atau motor. Dia bersikap seperti itu karena hanya mobil saja yang bisa dia kendarai. Yang namanya kendaraan roda dua, sama sekali dia tidak bisa mengendarai dan tidak pernah sekalipun mencobanya. Maklum orang kaya. Sehingga ketika diterima di tempat kerja, kebetulan saya duluan masuknya, dia membawa mobil sendiri. Mobil dia itulah yang kemudian menyebabkan omongan orang-orang sekantor.

Saya sebenarnya tidak masalah dengan perjanjian yang saya buat dengan dia terkait dengan mobil yang dia miliki. Kebetulan inisiatif membuat perjanjian itu datangnya juga dari saya. Perjanjian yang ujung-ujungnya membuat dia dicibir banyak orang berawal dari perasaan sungkan saya. Perasaan itu mulai muncul setelah dia beberapa kali mengedrop saya di stasiun secara gratis. Saat itu saya sudah tinggal di Bogor dan setiap hari saya menggunakan krl (kereta rel listrik) untuk berangkat dan pulang kantor. Agar sama-sama enak antara saya dan teman saya itu, iseng-iseng saya tawarkan untuk membayar saja setiap kali dia mengantar saya ke stasiun. Besarnya Rp.500.

Sebetulnya saya asal sebut saja biaya yang akan saya bayarkan ke dia dengan tambahan keterangan bahwa dia juga sekalian pulang ke rumah. Meskipun sebenarnya tidak lewat di depan stasiun itu tetapi bisa saja dilewatkan untuk pulang ke rumah dia, kalau dia mau. Ternyata proposal saya diterima. Maka sejak itu setiap kali saya diantar ke stasiun, saya akan bayar Rp.500 ke dia. Saat itu, ongkos ojek atau bajaj dari kantor ke stasiun Rp.3.000. Di benak dia, mungkin, terpikir setiap pulang akan mendapatkan uang tambahan Rp.500 dari saya, dan saya juga membatin setiap saya pulang bareng dia akan menghemat Rp.2.500. Win-win solution sebenarnya. Sama-sama diuntungkan. Namun dia yang berasal dari keluarga kaya membuat posisinya tidak menguntungkan. Sehingga muncul komentar miring yang didasarkan stereotip kesukuan, “Kebangetan. Dasar otak bisnis, tak peduli teman sendiri. Uang receh gitu aja masih diambil.” Mendengar teman lain yang juga sekantor berkomentar seperti itu, saya bisa apa?

No bra no brain bisa juga merupakan bentuk stereotip. Perempuan yang lebih mengedepankan sex, biasanya otaknya ada di belakang. Atau cewek yang lebih mengagung-agungkan wajah dan bodi yang menarik cenderung karena o-on. Eit, jangan tersinggung dulu. Tidak semua yang obral diri sekaligus berwajah cantik selalu bodoh. Bisa jadi memang dia menderita kelainan dengan libidonya. Di negeri barat, ada stereotip yang relevan dengan no bra no brain. Di sana ada anggapan bahwa cewek yang berambut blonde (pirang/keemasan) biasanya otaknya kosong. Karena kebodohannya itu sehingga sering dijadikan bulan-bulanan dalam urusan nafsu hewani. Tentu saja, sekali lagi, hal itu tidak selamanya benar. Tidak semua wanita berambut pirang merupakan perempuan bodoh yang gampang diajak esek-esek. Sampai-sampai muncul film hollywood yang diangkat dari novel berdasarkan kisah nyata untuk merespon stereotip negatif tersebut. Film yang berjudul Legally Blonde itu menokohkan seorang wanita pirang pesolek mahasiswi hukum yang bukan hanya menarik tetapi juga berotak cemerlang.

Sampai segitunya mereka berkeinginan mematahkan stereotip yang menyesatkan itu. Namun siapa yang bisa disalahkan bila secara kebetulan, bom seks yang sering menjadi piala bergilir yang sering disiarkan media massa merupakan perempuan-perempuan bahenol yang berambut blonde?

Tuesday, April 22, 2008

Sukabumi

Ini kali kedua saya ke Sukabumi. Yang pertama adalah saat akan camping ke Pondok Halimun beberapa waktu yang lalu. Perjalanan pertama itu pernah saya tulis di blog ini.

Saya katakan ke Sukabumi dalam artian turun dan jalan-jalan di kotanya. Bila Cuma lewat sih sudah berkali-kali, seperti saat mau ke Sumedang beberapa waktu yang lalu. Perjalanan kedua ini memang sudah direncanakan jauh-jauh hari bersama teman-teman sekantor dan dimatangkan kembali saat mereka main ke rumah. Ternyata yang akhirnya bisa berangkat adalah saya dan keluarga (Tami, Al, Rey), Fajar, Widy, dan Yuli. Yuli sendiri baru nyusul esok harinya. Kami ingin main ke rumah Suci, salah satu teman kerja, yang di Sukabumi. Rumah di Sukabumi ini sebenarnya rumah orangtuanya. Suci sendiri dan suaminya, Adi, tinggal di Bogor. Hampir setiap akhir pekan mereka berdua ini naik motor Bogor-Sukabumi menengok rumah orangtuanya. Luar biasa… staminanya.

19 April 2008 sebelum berangkat ke Sukabumi, saya mengikuti acara wisuda di Gedung Alumni IPB Bogor. Biasa, acara rutin tahunan yang hampir selalu saya ikuti. Saya, mantan pacar, dan kedua junior saya berangkat bersama dari rumah. Meskipun molor setengah jam, yang harusnya jam 07.00 jadi 07.30 pagi, saat sampai di gedung, acara belum dimulai. Dua junior saya bagi dengan mantar pacar. Yang kecil ikut saya, kakaknya ikut rapat di kantor emaknya. Selesai rapat, mereka menyusul dan bergabung ke Gedung Alumni.

Setelah acara wisuda keenam dari anak-anak BEC angkatan 10 selesai, saya sekeluarga dan Widy ikut rombongan yang akan menengok gedung baru BEC di Cimahpar. Tidak banyak yang perlu saya ceritakan perihal gedung baru ini. Gedung yang bila sudah jadi nanti pasti megah itu memiliki tiga lantai yang dilengkapi dengan fasilitas pendidikan modern. Saya akan menulis khusus tentang gedung baru ini someday, tapi nggak janji lho. Sebelum ke Cimahpar saya sudah janjian dengan mereka yang akan berangkat ke Sukabumi tapi tidak ikut ke Cimahpar untuk kumpul lagi di Gedung Alumni jam 13.00. Kami akan berangkat naik angset (angkutan setan), julukan transportasi jenis Colt L300 tujuan Cianjur atau Sukabumi, yang suka ngetem di sebelah gedung itu.

Ternyata jam 12.30 rombongan yang menengok gedung baru sudah kembali lagi di Gedung Alumni. Saya sempatkan sholat lohor di masjid belakang Gedung Alumni. Dari situ kemudian balik lagi ke tempat pertemuan tetapi ternyata belum ada siapa-siapa. Sambil menunggu, diputuskan makan siang dulu di warung tenda yang ada di sepanjang jalan samping Gedung Alumni. Ternyata Suci dan Adi suaminya ada di dekat warung tempat rombongan saya makan. Mereka selesai makan siang di warung dekat-dekat situ juga sambil menunggu kami datang dari Cimahpar. Rencananya mereka akan berangkat bareng dengan kami naik angset sekaligus menjadi pemandu menuju rumah Sukabumi. Untuk sementara motor yang biasa mereka pakai dititipkan dulu di rumah kakaknya Adi. Kami kemudian menunggu Fajar yang belum datang. Tinggal dia saja yang belum kelihatan.

Akhirnya rombongan komplit dan berangkat ke Sukabumi jam 13.55. Seperti biasa bila naik angset, jantung ini harus dipersiapkan agar tidak copot. Namanya juga angset, pasti kayak kesetanan jalannya. Tetapi saat itu agak aneh, mungkin karena tidak begitu memperhatikan, rasanya mobil yang saya naiki itu tidak seliar seperti sebelum-sebelumnya. Apa karena sudah beberapa kali saya naik angset sehingga jadi terbiasa ya? Justru yang saya rasakan adalah lamanya perjalanan yang menyiksa yang disebabkan macet. Perjalanan yang harusnya ditempuh dua jam molor menjadi tiga jam. Siksaan lain selain lama adalah penumpangnya penuh dan saya tidak bisa bergerak begitu banyak karena tergencet tas besar yang jonggrok di pangkuan saya. Sampai-sampai saya bilang ke teman-teman, “Bujurna leungit.” Pantat ini rasanya jadi tepos, berkurang sekian senti.

Cobaan itu akhirnya lewat. Jam 17.10 angset yang kami bayar per penumpang Rp.9.000 sampai di Sukabumi. Kami turun di dekat apotik Kimia Farma. Karena penumpang diturunkan di tempat itu, bukan di alun-alun, maka sore itu kami harus olah raga sedikit menuju angkutan yang akan membawa kami ke rumah orangtua Suci. Bukannya sedih, kami sangat antusias ketika harus jalan kaki menuju pangkalan angkot itu. Itu artinya, kami bisa menikmati sore dan kota Sukabumi. Dalam perjalanan kedua saya ke Sukabumi ini saya menyaksikan ramainya orang-orang di jalan-jalan yang saya lewati. Di Jl. A. Yani yang kata Suci merupakan pusat kotanya Sukabumi, manusia seperti ditumpahkan sore itu. Saya tidak tahu apakah sehari-harinya seperti itu atau karena saat itu menjelang malam minggu. Begitu juga Jl. Kapten Harun Kabir. Sepanjang jalan dipadati dengan orang-orang yang saya tidak tahu dari mana saja dan mau ke mana saja. Sore itu memang cerah sehingga mendukung sekali untuk plesiran di tengah kota.

Pangkalan angkot yang akan kami naiki ada di Jl. Kapten Harun Kabir. Saat itu sudah jam 17.30, dan itu ternyata batas akhir dari angkot yang akan menuju ke arah rumah orangtua Suci. Bila ketinggalan maka harus naik angkot lain jurusan kemudian disambung dengan ojek. Untung saja kami masih disisakan satu angkot yang langsung penuh ketika rombongan orang-orang Bogor ini naik. Untuk mencapai rumah Suci yang ada di desa Sindangsari, Lembur Situ, angkot yang digunakan no.21 jurusan Ramayana-Cicadas. Orang setempat biasa menyebut angkot jurusan ini angkot cicadasan. Tarif normalnya, Rp.2.500. Tetapi saat saya kasih sepuluh ribu untuk tiga orang, kembalian yang diberikan empat ribu, berarti saya hanya dikenakan tarif Rp.2.000 per orang. Padahal teman-teman yang lain membayar Rp.2.500. Mungkin sopirnya setelah melihat tampang saya jadi jatuh belas kasihannya dan sambil menyerahkan kembalian dia berdoa dalam hati, “Mudah-mudahan orang miskin ini cepat kaya.”

Hari sudah gelap ketika kami turun dari angkot. Desa Sindangsari begitu tenang. Listrik sudah masuk di desa ini tetapi tidak ada penerangan jalan, yang ada hanya cahaya lampu yang berasal dari teras rumah-rumah penduduk. Dengan demikian, jalan rayanya sendiri jadi gelap. Jalan yang gelap dan jarangnya motor atau mobil yang lewat menciptakan suasana yang tenang damai di malam itu. Ditambah lagi dengan udara yang lebih dingin bila dibandingkan udara Bogor, cocok sekali untuk bersantai. Kami disambut oleh mamanya Suci. Sedangkan adik perempuannya yang baru datang dari Bandung, Agis, dan papanya menyusul menyalami setelah kami sholat maghrib, mandi dan makan malam.

Kami disediakan satu rumah sendiri untuk tidur yang bersebelahan selisih satu rumah dengan rumah induk, rumah kontrakan dua kamar tidur yang kebetulan saat itu sedang tidak ada yang mengisi. Sedangkan Suci dan suaminya tidur di rumah induk. Dengan demikian, privasi tamu maupun tuan rumah tetap bisa dijaga. Selesai mandi dan sholat, kami kembali ke rumah induk untuk makan malam yang sudah menanti. Disamping lapar, udara yang dingin membuat makan jadi lahap. Selesai makan malam kemudian disambung dengan nyanyi-nyanyi dan malam itu saya tutup dengan kekalahan main catur satu set dengan suami Suci.

Suci sekeluarga (mama, papa, dan adiknya) termasuk Adi, suaminya, merupakan keluarga yang luar biasa. Keluarga yang memiliki talenta. Talenta yang merupakan impian saya yang tidak kesampaian. Mereka ini keluarga penyanyi. Semua memiliki suara kelas satu. Makanya tidak heran bila mereka memiliki alat musik lengkap dan studio musik yang juga disewakan. Yang namanya penghargaan dari berbagai kejuaraan, berderet di atas bufet di ruang keluarga. Adiknya Suci, Agis, merupakan penyanyi yang sudah terkenal di Sukabumi. Penampilan dan suaranya sering muncul di tv lokal Sukabumi, juga pernah di beberapa stasiun televisi lain. Suaranya direkam untuk kepentingan pemerintah daerah Sukabumi. Agis ini juga pernah menjadi salah satu dari 24 peserta Indonesian Idol yang masuk babak karantina. Bila anda melihat penampilan penyanyi muda dengan nama Agis di layar kaca, bisa jadi dia itulah artis dari generasi setelah Desy Ratnasari yang berasal dari Sindangsari, Lembur Situ, Sukabumi. Namun sayangnya selama saya ada di rumah mereka, ada sebuah lagu yang tidak kedengaran dinyanyikan oleh mereka. Saya tahu sebabnya kenapa. Bila lagu itu dinyanyikan Suci akan sesak nafas. Tidak oleh Suci sendiri, orang lainpun yang nyanyi, tetap Suci yang megap-megap. Anda bisa tebak lagu apa atau siapa penyanyinya? Bila tidak, ya nanti akan saya kasih tahu bila ketemu.

Jam 4 pagi saya dengar alarm di hp Fajar berbunyi, namun saya tidak terus bangun. Mata yang sempat melek sebentar ini saya pejamkan lagi. Jam 5 gantian alarm hp saya bunyi. Inipun tidak terus membuat saya bangun. Tahap yang saya lalui adalah mata saya melekkan dulu, ngumpulin nyawa, baru bangun ambil air wudlu dan kemudian sholat subuh. Dua kamar di rumah yang kami tinggali, satu kamar diisi oleh saya, Al, dan Fajar. Sedangkan kamar satunya isinya Tami, Rey, dan Widy. Pagi itu saya sempat jalan-jalan bersama Tami menikmati udara pagi Sindangsari. Saya lihat ada penjual angkringan di pinggir jalan sedang melayani pembeli yang setelah saya dekati ternyata menjual makanan tradisional dodongkal. Dodongkal yang pernah mengesankan saya saat kunjungan pertama saya di Sukabumi ini ternyata bentuknya seperti tumpeng. Tami bilang ingin beli tetapi saya katakan tidak usah karena Suci sudah janji akan menyuguhi kue yang memikat itu. Dan ternyata benar. Setelah sampai kembali di rumah dari jalan pagi, saya sms Suci yang tadi malam tidak tidur serumah dengan kami. Sms tak tahu diri yang memberitakan bahwa saya sudah siap menyantap dodongkal.

Tidak lama setelah sms itu saya kirim, Suci muncul dengan makanan melimpah. Benar-benar keterlaluan. Bukan hanya dodongkal yang utuh satu gunung yang seharusnya bisa untuk 15 orang yang disajikan tetapi juga pisang goreng, nasi uduk, dan makanan yang namanya pernah saya dengar namun baru pertama kalinya ini saya lihat, gongsir. Gongsir (membaca ‘o’nya seperti o dalam kata bolong) yang merupakan singkatan dari ‘jagong disisir’ ini terbuat dari sisiran jagung rebus yang ditaburi parutan kelapa dan gula pasir. Hati-hati bila mengatakan singkatannya gongsir. Jangan salah menyebut dengan jig eh bagong disisir. Di daerah lain mungkin punya nama berbeda untuk makanan seperti ini, contohnya di sebagian daerah di Jawa Tengah gongsir ini disebut grontol. Dengan banyaknya makanan yang disajikan ini, padahal singkong dan ubi goreng yang tadi malam masih tersisa dua piring, perut ini jadi protes. Pengennya berhenti makan tetapi sayang bila melihat makanan yang ada masih banyak. Beugah deh jadinya.

Pagi itu rencananya mau piknik ke Selabintana, tetapi masih menunggu kedatangan Yuli dulu. Dia belum lama berselang memberi kabar jadi menyusul ke Sukabumi. Dari Bogor, dia naik angset. Setelah angset yang dia tumpangi sampai Cibadak, dia mengirim sms lagi memberitakan petualangannya dikocok-kocok di dalam angset yang ditumpanginya. Dia merasa coltlag (karena yang dinaiki mobil jenis Colt bukan pesawat terbang, jadi tidak mengalami jetlag). Agar tidak terasa dikocok-kocok kenapa tidak nyanyi lagunya Inul saja Yul? Para penontooon, bapak-bapak ibu-ibu semua yang ada di sini… tarik maaang… Yuli kemudian dijemput dengan sedan merah oleh Adi, Suci, dan Fajar. Eh, ngomong-ngomong, sudah ketemu belum lagu yang bila dinyanyikan membuat Suci megap-megap? Bila belum, ini saya kasih clue-nya. Lagu itu berasal dari Malaysia. Sudah itu saja. Jika masih bingung juga, ya memang kita harus ketemu. Kita? Lu kale!

Berangkatnya ke Selabintana akhirnya tidak pagi lagi tapi menjelang tengah hari, sekitar jam 11.30. Meskipun demikian perjalanannya jadi mengasikkan. Kami merasa benar-benar menjadi orang Indonesia tulen dan menyatu dengan alam Sukabumi. Tahu sebabnya kenapa? Karena kami naik open cap, naik mobil bak terbuka. Suci sebelumnya merasa tidak enak menawarkan alternatif angkutan itu untuk pergi ke obyek wisata terkenal di kota Sukabumi. Bagi saya, terutama, justru itulah yang lebih mengasikkan dibandingkan naik mobil tertutup meskipun mewah sekalipun. Tidak ada tantangannya. Bila naik mobil bak terbuka, apalagi saat itu gerimis, jadi ajang ketahanan stamina. Kira-kira jadi masuk angin tidak sesudahnya, dan alhamdulillah ternyata tidak.

Gerimis mengiringi menyambut kami di jalan. Meskipun bawa payung, tetap saja angin dan sebagian air hujan membasahi kami. Masih mending tidak hujan gede. Saat sampai di Selabintana kami menggelar tikar yang kami bawa di bawah pohon. Sayangnya karena gerimis tidak berhenti dan makin membesar, kami kemudian pindah ke teras maisonet (penginapan) yang ada di dekat tempat itu. Rame-rame kami makan siang sambil menikmati derasnya hujan. Kami tidak bisa kemana-mana. Paling-paling ke toilet atau mushola di belakang maisonet itu. Hanya Widy yang menyempatkan jalan-jalan sebentar di lokasi yang mirip Kebun Raya Bogor itu.

Kunjungan ke Selabintana ini merupakan pertama kalinya buat kami semua yang dari Bogor. Sebenarnya tempatnya menyenangkan dengan udara yang sejuk dan hijau serta rindangnya pepohonan yang ada di komplek Selabintana. Sayangnya kami hanya bisa menikmati dari teras penginapan karena hujan. Sampai kami putuskan pulang jam 14.30, hujan masih belum berhenti meskipun sudah tidak besar lagi. Kembali kami hujan-hujanan dalam perjalanan pulang menuju Sindangsari. Sampai di rumah, ganti baju, sholat asar kemudian siap-siap balik ke Bogor. Kami diantar, masih diiringi dengan hujan, ke Sukabumi kota dengan sedan dan mobil bak terbuka tapi duduknya di sebelah sopir untuk naik angset menuju Bogor. Jam 16.30 kami sudah ada di atas angset. Hari itu, 20 April 2008, di desa Sindangsari, Lembur Situ, Sukabumi yang di layar hp saya kadang terbaca Cibungur-Sukabumi, Harempoy, atau Gunung Puyuh hati kami tertinggal.

Untuk mengakhiri tulisan ini, saya tanya sekali lagi kepada anda. Sudah ketemu lagunya? Saya putuskan ngasih tahunya sekarang saja deh, jika anda masih belum ketemu juga lagu yang bisa membuat Suci sengsara. Lagu itu, juga penyanyinya, berasal dari Malaysia. Grup band yang membawakannya adalah Iklim. Lagunya, Suci Dalam Debu. Cape deehhh….

Friday, April 18, 2008

Sehat itu Pilihan

Anda yang tidak merokok dan peduli kesehatan mungkin heran melihat ada orang kok ya mau-maunya menghisap racun dengan sadar dan sukarela. Padahal produsennya sendiri telah memberi peringatan di setiap bungkus rokok yang dibuatnya: Merokok dapat menyebabkan kanker, serangan jantung, impotensi, dan gangguan kehamilan dan janin.

Saya kok kehabisan kata-kata untuk mengomentari orang-orang yang seperti itu. Bukan faktor rasional lagi yang dijadikan alasan mereka melakukan itu, tetapi sudah ke arah irasional. Bagaimana tidak? Anda tahu sendiri, banyak orang yang bukan hanya sekedar pintar tetapi brilian yang tidak bisa lepas dari rokok. Brilian dalam bidang apapun, manajemen, sastra, filsafat, fisika, matematika, dan masih banyak lagi, bahkan mereka yang berkutat di bidang kesehatan juga tidak mau ketinggalan. Sekarang alasan apa coba yang bisa digunakan untuk membenarkan tindakan mereka yang merugikan kesehatan itu? Jika semangat yang melimpah atau ngantuk menjadi hilang yang dikatakan sebagai pembenaran merokok, itu hanya ilusi.

Pernah suatu ketika, saya bersilang pendapat dengan tetangga yang heavy smoker. Sambil bercanda dan tidak sampai beradu otot memang, namun ujung-ujungnya tidak ada titik temu. Bagaimana tidak? Masing-masing berpegang pada argumen yang tidak bakal bisa ditemukan dan masing-masing berangkat dari cara pandang dan berpikir yang berlawanan. Satu rasional satunya irasional. Yang bisa dilakukan paling berkompromi dengan perbedaan-perbedaan yang muncul. Bila anda perokok berat, anda akan memiliki argumen yang melegitimasi kebiasaan anda itu. Dan percuma saja saya ngotot melawan anda. Namun jika anda merokok hanya sekedar gaya dan gagahan, alangkah baiknya bila anda hentikan sekarang juga kebiasaan yang sia-sia itu.

Saya bukannya sok suci. Dulu saya juga pernah merokok, lebih tepatnya mencoba-coba karena terus terang saja saya tidak dapat merasakan nikmatnya merokok itu seperti apa. Kegiatan menghisap racun itu saya lakukan hanya karena teman main saya merokok. Di samping itu juga karena saya ingin dianggap gaul. Kelihatan gagah banget pada saat itu ketika sedang merokok. Namun perlu anda ingat, pada waktu itu bukannya setiap hari saya merokok. Saya membeli rokok amat sangat jarang, lebih sering minta daripada menggunakan uang saku untuk membeli rokok. Anda boleh mengatakan saya pelit. Memang waktu itu modal korek pun kadang tidak pernah, hanya dengkul yang saya bawa-bawa. Setelah sekian lama mencoba untuk pura-puranya menjadi perokok, kemudian saya putuskan berhenti merokok. Alasan pertama saya berhenti merokok cukup sederhana, saya tidak bisa merasakan enaknya rokok. Setelah itu alasan kesehatan dan tindakan mubazir menjadi alasan tambahan berikutnya yang semakin memperkuat keputusan saya.

Rokok sendiri yang berbahaya sebenarnya bukan nikotinnya. Nikotin yang terkandung dalam rokok sifatnya adiktif. Dia hanya membuat penghisapnya menjadi kecanduan sehingga terus merokok. Dengan demikian, maka setiap batang rokok yang dia hisap akan menambah tar yang bersarang di dalam paru-paru. Tar inilah yang sebenarnya pembunuh para perokok. Tar yang bentuk dan warnanya mirip aspal yang digunakan untuk membuat jalan secara kumulatif akan menutup dinding paru-paru. Bayangin saja, dinding paru-paru yang seperti tisue dengan lubang-lubang kecil sebagai jalur oksigen jadi tertutup tar yang dengan sengaja dimasukkan oleh pemiliknya. Akibatnya, lalu lintas oksigen menjadi terganggu. Itu salah satu akibat langsung yang akan terjadi. Anda bayangkan saja seperti menarik nafas tetapi kedua lubang hidung anda tersumbat. Betapa sengsaranya. Bisa saja dibantu dengan mulut. Namun masak tiap kali bernafas mulut harus ngangap? Kan jadi kelihatan tidak menarik. Jangan-jangan bukan hanya oksigen yang masuk, tapi juga lalat dan lebah.

Saya punya pengalaman indah menurut saya, mudah-mudahan anda juga merasakan hal yang sama, tentang merokok. Saat itu tentu saja saya dan teman-teman sepermainan tidak menyadari bahayanya. Yang ada hanya senang saja dan itu merupakan sweet memory. Kalau nggak salah, pengalaman ini terjadi saat saya masih di sekolah dasar atau sudah smp, nggak pentinglah.

Waktu itu sehabis magrib, saya dan gang saya seperti biasa kelayapan. Ada saja yang dikerjakan. Kami beramai-ramai ke sebuah kantor milik pemerintah. Di depan kantor itu ada beberapa pohon cemara yang daun-daun keringnya bertebaran di bawahnya. Kami mengumpulkan daun-daun itu dan sebagian yang lain mencari koran atau kertas bekas di tong sampah kantor. Dengan membawa bahan-bahan yang dikumpulkan itu, kami kemudian memanjat salah satu pohon cemara. Kami duduk di atas dahan-dahan yang paling tinggi. Tidak ada perasaan takut jatuh karena kami tahu pohon cemara tidak gampang patah seperti pohon ceri. Kami mengobrol di atas dahan seperti sekumpulan monyet sambil melinting daun cemara kering menggunakan koran dan kertas yang kami temukan. Rokok yang kami buat sebesar cerutu Havana yang sering kita lihat ada di mulut Fidel Castro atau jenderal Winston Churchill. Masing-masing dari kami memegang satu cerutu Havana made in sendiri itu dan kami selipkan ke dalam mulut. Korek yang sebelumnya sudah dipersiapkan dari rumah dikeluarkan untuk menyalakan cerutut-cerutu kami. Cerutu yang besarnya bisa dua kali jari kami mulai kami nikmati. Asap tebal mengepul menyelimuti muka kami. Bila orang melihat dari jauh barangkali kami dianggap demit penunggu pohon cemara. Di atas pohon itu gelap gulita sehingga jika tidak mendekat, yang terlihat hanya bara-bara merah di ujung setiap cerutu yang kami hisap. Jangan tanya apakah saya bisa merasakan enaknya cerutu yang saya hisap. Yang saya bisa rasakan adalah nikmatnya persahabatan. Betapa senangnya bisa tertawa bersama. Mentertawakan siapapun yang batuk-batuk karena tersedak asap tebal dan pekat daun cemara yang disedot kuat-kuat. Yang lebih heboh lagi, setelah acara selesai kami membawa pulang bintik-bintik di sekujur lengan dan kaki serta baju yang bolong-bolong karena bara api yang melenting dari ujung cerutu setiap kali cerutu itu dihisap. Percikan bara apinya tidak tanggung-tanggung banyak dan liarnya. Anda pernah lihat bara api penjual sate? Seperti itulah. Kami tidak bisa apa-apa ketika bara-bara itu menempel, pasrah total, karena kami ada di pucuk pohon yang tinggi. Kami lebih memilih badan bentol-bentol dan baju bolong-bolong, daripada kepala benjol dan lengan atau kaki patah-patah karena jatuh dari pohon.

Apa yang saya lakukan dengan teman-teman kecil saya itu, barangkali anda juga pernah melakukan, mungkin dengan versi yang berbeda. Sekarang, bila anda masih meneruskan petualangan masa kecil anda, artinya anda masih merokok, itu merupakan pilihan anda. Anda pasti tahu resikonya. Ketika berhadapan dengan kesehatan hidup, tidak ubahnya seperti saat kita mengerjakan soal ujian yang jawabannya pilihan ganda. Kita sendiri yang memilih. Anda mau hidup sehat atau tidak, anda bisa memilih karena sehat itu bukan kewajiban, tapi pilihan.

Wednesday, April 16, 2008

Teror

Saya tidak tahu apakah anda pernah mendapat teror atau tidak dalam kehidupan anda. Jangan-jangan justru malah anda yang menjadi terorisnya?

Ngomong-ngomong tentang teror, saya jadi ingat film Fatal Attraction produksi 1987 yang mendapat enam nominasi Academy Award. Pemeran utamanya Glenn Close dan Michael Douglas. Di film itu digambarkan perilaku yang sangat posesif dari tokoh perempuan sehingga ketika laki-laki pasangannya ingin lepas dari kungkungannya, perempuan itu langsung kalap. Dikisahkan, awal mula pertemuan si laki-laki yang sudah beristri dan beranak dengan sang perempuan terjadi secara tidak sengaja di sebuah jalan. Sama-sama tertarik akhirnya terjadi perselingkuhan. Bagi si laki-laki, dia tidak mengira kenikmatan yang dirasakan di awal perselingkuhan itu berujung dengan teror. Bukan hanya mengancam diri dan keluarga pasangan selingkuhnya bahkan perempuan itu berupaya bunuh diri dengan memotong kedua urat nadi pergelangan tangannya sebagai bentuk teror yang dia lancarkan terhadap pasangannya itu. Sebuah film drama yang memikat sehingga memperoleh banyak pujian dari para kritisi film.

Yang namanya film memang sebuah hasil rekaan. Film merupakan bentuk imajinasi manusia yang digambarkan dan dapat ditonton di layar kaca atau sinema. Meskipun dikatakan imajinasi, banyak yang didasari atau diilhami kejadian nyata atau angan-angan yang pernah ada. Seperti teror dalam film di atas, bisa saja anda sendiri yang mengalami atau orang lain yang kebetulan anda kenal. Mudah-mudahan saja, kalaupun terjadi, bukan kita yang ketiban sial itu.

Memang jamak sebuah akibat bisa muncul karena ada sebab. Munculnya asap karena ada api. Itu pepatah yang menggambarkan segala sesuatunya itu tidak datang begitu saja. Seadainya laki-laki di film itu tidak main api dengan melakukan perselingkuhan, mungkin dia tidak akan mendapatkan teror.

Siapapun saya rasa tidak akan mau dan tidak senang mendapatkan teror. Teror yang merupakan sebuah upaya menciptakan ketakutan, kengerian, dan kekejaman oleh seseorang atau segolongan bisa menjadi momok bagi siapa saja. Sayangnya teror ini masih saja terjadi dan akan terus terjadi di bumi ini. Di negara kita sendiri misalnya, anda bisa lihat teror-teror yang terus dilancarkan oleh pihak penguasa atau orang-orang yang memiliki kekuasaan karena jabatan atau kekayaan.

Salah satu faktor yang dapat memunculkan teror adalah ketidakpuasan. Sering karena merasa tidak puas, orang melancarkan aksi teror. Banyak jenis teror yang dilakukan baik dalam bentuk yang terang-terangan maupun yang kelihatannya halus tetapi bisa dianggap sebagai teror juga. Jika kita lihat teror itu kadang dilakukan dengan bentuk pengerahan masa yang biasanya bertampang preman, menelpon dengan ancaman dan pelecehan, mengirim sms ancaman, mengirim surat kaleng, membuat tulisan yang intimidatif, dan bentuk lain di luar yang saya sebutkan ini.

Masih ingat lagu dangdut yang judulnya sms? Ini sih mereka-reka saja. Jika anda tidak sependapat dengan saya juga tidak apa-apa. Lagu itu menceritakan teror juga, baik untuk si perempuan maupun laki-laki penerima sms. Kok bisa? Begini yang saya maksud. Sms itu menjadi teror bagi perempuan yang dikisahkan dalam lagu karena membuatnya tidak tenang, uring-uringan, dan merasa terancam. Dengan adanya sms itu dia menjadi ketakutan akan berpisah atau ditinggal laki-lakinya. Di pihak laki-laki yang dalam lagu itu dituduh selingkuh, sms itu juga bisa menjadi teror bila dia ternyata tidak melakukan tuduhan itu. Dengan demikian sms itu berarti menjadi sebuah pemicu terjadinya pertengkaran antara dia dengan pasangannya.

Mirip dengan cerita dalam lagu itu, anda pasti akan merasa diteror bila tiba-tiba di hp anda muncul sms miring yang pengirimnya tidak anda kenal dan berulang-ulang lagi. Siapapun pengirimnya, pasti ada unsur ketidakpuasan, dan, bila dia tidak berani menunjukkan identitas, itulah tipe seorang pengecut. Bila anda mau-maunya menjadi begitu repot menanggapi teror dari seorang pengecut semacam itu, ya anda akan rugi sendiri.

Kadang memang jadi serba salah saat menghadapi teror yang datangnya dari pengecut. Seperti surat kaleng, telepon gelap, sms bodong, selebaran anonim, atau dalam dunia maya yang sangat berkembang ini, tulisan-tulisan berupa komentar tidak berdasar dan kritik destruktif yang dikirim lewat email, website, atau blog yang tidak diketahui siapa pengirimnya, merupakan bentuk-bentuk dari tindakan seorang pengecut. Memang mereka punya alasan melakukan tindakan itu. Yang pasti, alasan itu tidak jauh dari takut dan malu jika ketahuan.

Memang perlu keberanian untuk bersikap ksatria. Dan itu tidak gampang. Setua apapun usia anda, bukan jaminan anda berani bersikap ksatria. Banyak manusia yang dilihat dari segi umur sudah matang tetapi dia tetap saja jadi pengecut. Saya tidak akan menyebutkan contoh di sini. Saya yakin, jika di sekeliling anda ada seperti yang saya maksudkan itu, anda akan bisa mengidentifikasi dengan mudah. Bagaimana cara anda menyikapi orang yang seperti ini? Saran saya, bila anda punya otoritas dan bisa menjangkaunya, habisin! Jika ada otoritas tetapi anda tidak bisa menjangkaunya (karena anda tidak tahu siapa oknum itu misalnya), ya abaikan saja. Anggap saja sebuah hembusan kentut yang sedang lewat. Anda cukup menutup hidung sebentar biar bau busuk itu berlalu tanpa mengganggu pernapasan anda.

Jika anda tidak sendiri dalam menghadapi teror, itu lebih baik. Artinya perlawanan, bila memang perlu dilakukan, akan bisa menjadi lebih kuat. Semakin banyak anggota tim anda semakin baik. Asal saja kelompok anda benar-benar solid. Ibaratnya api unggun perlawanan yang hangat melawan dinginnya teror. Semakin banyak kayu yang bergabung, apalagi kayunya padat berisi dan kering, semakin besar dan lama api yang dihasilkan. Dan bagusnya lagi bila api itu besar dan tahan lama, sekelilingnya akan bisa merasakan kehangatannya. Bila kelompok anda seperti api unggun itu, maka orang-orang di sekeliling anda yang tadinya tidak berani, apatis, dan pasrah akan menjadi tergerak. Mereka akan turut juga merasakan hangatnya perlawanan yang anda berikan. Dan mereka juga akan merasakan betapa hangatnya apa yang anda bawa itu. Bila itu yang sedang berlangsung, di ujung sana akan bisa kita tebak apa yang bakal terjadi.

Bila anda sekarang sedang menghadapi teror, santai saja. Anda panggil saja Trio Macan, dan dengarkan mereka menyanyi lagu heavy metal yang berjudul sms. Sederhana bukan?

Sunday, April 13, 2008

Kul (Cool)

Jangan senang dulu jika ada yang mengatakan anda ini kul. Biar lebih mengindonesia, saya gunakan saja kata kul daripada cool. Saya tahu kata yang bisa berarti keren, trendi, menarik, dan modis ini pasti belum masuk lema kamus bahasa Indonesia. Namun penggunaannya sendiri sering kita temui dan dengar.

Penampilan memang kadang menipu. Orang sering menilai sesuatu dari penampilannya. Hal itu wajar saja, tetapi seharusnya tidak berhenti sampai di situ saja. Bolehlah apa yang terlihat dijadikan parameter pertama dalam penilaian. Namun bukan satu-satunya. Bila yang pertama itu tidak masuk standar tidak berarti terus dibuang. Barangkali sebelum benar-benar disingkirkan perlu dilihat dulu yang lain-lainnya. Bisa jadi hanya bagian awalnya saja yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan yang lain, sebenarnya bagus, bahkan mungkin lebih baik dari yang tampilannya lebih menarik. Dalam satu hal, mempertimbangkan selain penampilan saja bisa menjadi tindakan yang lebih bijaksana.

Banyak contoh kita jumpai dalam hidup ini yang lebih menomorsatukan, orang komputer bilang, casing. Bukannya penampilan luar itu tidak penting, tetapi bila kemudian menutup mata terhadap prestasi yang sebenarnya lebih esensial, kita jadi terjebak dengan indahnya fatamorgana. Dan itu yang terjadi sekarang ini dengan lomba-lomba yang diadakan atau diada-adakan televisi kita yang tujuan sebenarnya untuk mengeruk keuntungan.

Jika anda sempat mengikuti liputan di beberapa koran akhir-akhir ini, banyak artikel yang mengulas cerita sedih di balik penyelenggaraan ajang kompetisi bakat di layar kaca. Trenyuh rasanya membaca penderitaan dari salah satu kontestan yang nasibnya bagai langit dan bumi ketika masih terlibat dalam acara itu dan sesudahnya. Akhir yang tidak menyisakan apa-apa kecuali hutang puluhan bahkan ratusan juta. Ironis memang. Ketika masih di atas panggung disanjung-sanjung, tidur di hotel berbintang, dan makan di restoran mewah. Dan ternyata itu tidak diperoleh dengan gratis. Untuk bisa menjadi yang teratas dia harus, istilahnya, ngebom sms. Menjual apa yang dimiliki dan berhutang kesana-sini agar dapat membeli sms untuk dirinya sendiri. Saat masih jaya, memang dia terlihat trendi. Penampilannya bak ratu atau raja. Begitu kontes berakhir, berakhir pula nasib baiknya. Televisi yang mengorbitkan dia setelah itu sangat jarang, untuk mengatakan tidak pernah, memberikan job. Untuk menyambung hidup di Jakarta mereka akhirnya kerja apa saja dan tidur juga terpaksa numpang di rumah orang lain. Sementara itu pihak televisi bekerja sama dengan operator telepon selular atau pihak sponsor terus mengadakan kontes lanjutan atau jenis baru untuk mengeruk keuntungan dari sms yang masuk. Itulah contoh kejamnya industri hiburan dan itu juga contoh keperkasaan dari yang namanya penampilan. Sudahlah sampai di sini saja. Saya tidak akan memperpanjang cerita mantan selebriti yang jadi terseok-seok menjalani nasib.

Gara-gara penampilan yang sebenarnya semu, pelecehan bisa terjadi. Yang kebagian enak-enak mungkin tidak merasakan atau tidak peduli, tetapi yang dari penampilan kurang mendukung sehingga dilecehkan bisa sakit hati. Bagaimana tidak? Bila dari segi kemampuan sebenarnya sama atau malah lebih baik, hanya gara-gara penampilannya yang tidak kul kemudian tidak dianggap. Lihat saja nasib grup band dari Lampung yang bernama Kangen Band. Apa bedanya, misalnya, dia dengan kelompok band Ungu? Jika kita lihat, mereka sama-sama mengusung lagu-lagu yang bertema cinta. Namun lagu siapa yang dikatakan cengeng, norak, dan mendayu-dayu? Kangen Band! Keduanya bukan berasal dari ibukota, satunya dari Bogor yang lain dari Lampung. Tetapi yang mana yang dianggap kampungan? Kangen Band! Dari kualitas suara, siapa yang lebih unggul? Coba anda jawab secara obyektif. Bila kita dengarkan suara mereka, masing-masing memiliki karakter yang khas. Terus apanya yang salah? Penampilan! Karena penampilan para personil Ungu, katanya, lebih kelihatan kota, mereka dianggap lebih kul. Dan karena itulah kemudian anda melihat para personil boyband satunya yang dari Lampung itu tidak cocok menjadi selebriti.

Saya bukan penggemar Kangen Band meskipun yang saya tulis ini memberi kesan saya fan beratnya. Saya hanya ingin meluruskan persepsi sebagian orang yang malu mengakui bahwa dirinya sebenarnya suka dengan lagu-lagunya Kangen Band. Hanya karena personil band ini tadinya penjual es cendol dan anaknya tukang becak serta penampilannya yang ndeso, mereka mempersepsikan kelompok ini kacangan. Mereka takut dikatakan selera musiknya rendah karena senang dengan kelompok musik yang penampilan personilnya ndeso-ndeso. Kemudian mereka yang merasa dirinya berselera tinggi memvonis Kangen Band dianggap tidak pantas masuk ke blantika musik Indonesia. Malang nian nasibnya. Coba sekali lagi anda perhatikan kelompok musik indie dari Lampung ini tanpa melihat casingnya. Bagaimana dengan kualitas musik dan suaranya? Jujur saja anda menjawabnya. Tidak usah malu. Musik itu universal sekaligus unik. Artinya, di belahan bumi manapun selalu ada musik dan apapun jenis musiknya selalu ada penggemarnya. Namun bila anda menyukai suatu jenis musik atau sebuah kelompok band tapi karena anda malu karena musiknya dianggap sebagai simbol kemiskinan atau penyanyinya bertampang kampung, itu artinya anda menyiksa diri sendiri. Nggak usahlah jadi seorang hipokrit. Rugi dunia akhirat.

Saya belum akan mengakhiri tulisan ini meskipun sekarang sudah sampai di bagian penghujung. Ada satu hal yang ingin saya sampaikan. Bukan nasehat, kayaknya hebat amat kasih-kasih nasehat, hanya pengingat buat kita bersama. Allah menciptakan manusia itu bermacam-macam, baik dilihat dari jenis kelamin, warna rambut, kulit, tinggi badan, bentuk hidung, mata, dan masih banyak lagi macamnya. Meskipun berbeda-beda bukan berarti yang satu lebih hebat dari yang lain. Bukan berarti yang kulit putih lebih top dari kulit hitam atau coklat. Di mata Allah yang membedakan bukan macam-macam seperti yang disebut di atas, yang membedakan adalah apakah manusia ciptaan-Nya itu menjalankan perintah dan meninggalkan apa yang Dia larang. Jadi saat Nazi yang dimotori Adolf Hitler merasa rasnya paling tinggi derajatnya (ras Arya) sehingga berhak memusnahkan bangsa Yahudi, yang melandasi bukanlah karena titah dari Sang Pencipta, melainkan karena arogansi dan pengkultusan atas rasnya sendiri. Oleh karena itu setelah masa kekuasaan Hitler berakhir, tragedi pembantaian sekitar enam juta bangsa Yahudi yang dikenal dengan sebutan holocaust itu kemudian diklaim sebagai lembaran hitam dalam sejarah kehidupan manusia. Sampai sekarang jiwa dan pikiran Hitler masih tetap ada di dalam tubuh pengikut-pengikutnya. Mereka yang fanatik dengan Hitler kemudian mewadahi aktifitas mereka dengan sebutan Neo Nazi. Meskipun organisasi ini dinyatakan ilegal, tetap saja masih beroperasi meskipun secara sembunyi-sembunyi.

Pamungkas, anda yang dikarunia wajah cantik atau tampan, bersyukurlah. Anda yang tidak cantik dan tidak tampan, juga bersyukurlah karena anda masih dikasih wajah. bila kemudian orang mengomentari penampilan anda, baik anda yang kelompok pertama maupun kedua, bahwa anda kul, jangan besar kepala dulu. Jangan-jangan kul yang dikatakan itu masih ada kelanjutannya. Ya, anda kul. Kulemek (dekil) maksudnya. Memang, anda kul. Kuleuheu (kucel) tauk! Karena tampang anda berdaki dan kusem kayak orang tidak mandi 40 hari.

Saturday, April 12, 2008

Hidup Sekali

Jika anda yang banyak duit dan waktu sedang berbaik hati ingin mentraktir saya, tidak usah bingung. Saya akan bantu anda dengan memberikan daftar yang bisa dipilih untuk melaksanakan niat mulia anda itu.

Saya ini banyak kesukaannya, dan memang orang hidup itu harus begitu. Saya sarankan anda juga sebaiknya seperti itu. Sebelum saya bicara panjang lebar, berikut ini apa-apa yang bisa anda lakukan untuk menyenangkan saya. Saya ini orangnya tidak mboten-mboten. Saya akan sangat happy bila dapat:


  • main catur, scrabble, gaple, bilyard,
  • minum float ice rootbeer di American Warteg (AW),
  • makan soto lamongan, soto kudus, mi ayam,
  • makan buah, apa saja kecuali buah kemang, bauk!,
  • nonton film terutama film barat, yang action, drama, thriller juga boleh, asal jangan horor, tidak begitu suka, apalagi horornya Indonesia, tidak minterin,
  • membaca buku, apa saja, terutama yang menginspirasi dan memotivasi,
  • ndengerin musik, semua musik.
Itu semua bisa anda wujudkan untuk saya dengan uang yang anda miliki. Ya, saya tahu, saya terlalu ge-er dan terlalu ngarep. Memang itu yang ada di benak anda kan? Lanjut. Bila anda tidak mau mengeluarkan uang, anda cukup mengajak saya ngobrol, bertukar pendapat. Biar bisa masuk, keluarkanlah sedikit uang untuk beli sepiring singkong goreng dan dua cangkir kopi. Kan kita duaan? Kalaupun tidak ada yang masuk di kepala atau hati, setidaknya singkong dan kopi yang masuk (ke perut). Dengan bincang-bincang yang kita lakukan siapa tahu kita bisa saling memperoleh sesuatu yang bermakna dan bermanfaat. Yang perlu kita sediakan paling waktu. Murah kan? Sebenarnya nggak juga. Kadang-kadang waktu yang oleh orang sibuk sering diperlakukan time is money bisa menjadi time values more than just money, bisa lebih mahal dari sekedar atau sebanyak apapun uang yang dimiliki. Tidak percaya? Coba saja anda beli waktu satu menit yang adalah satu-satunya waktu yang dimiliki sepasang kekasih yang akan berpisah selamanya. Berusahalah membeli satu-satunya waktu yang dimiliki seorang anak sebelum ditinggal mati orangtua yang dicintainya. Uang tidak ada nilainya ketika dibandingkan dengan kasih sayang. Uang tidak ada harganya saat ditukar dengan kehidupan. Uang tidak bisa membeli kebahagiaan. What can money buy?

Jika anda lihat daftar kesukaan saya tadi, please, jangan menganggap saya ini penganut hedonisme. Tolong anda pisahkan antara hedonisme dengan menikmati hidup. Hedonisme memang mempunyai pengertian yang nyerempet-nyerempet dengan menikmati kehidupan. Benang merahnya adalah adanya unsur kesenangan. Hedonisme merupakan paham yang dianut orang-orang yang mencari kesenangan semata. Jika kita tidak waspada dalam menikmati kehidupan ini, tidak tertutup kemungkinan akan terjerumus ke dalam kehidupan hedonis. Jadi pada dasarnya kita harus paham dulu dan bisa membatasi diri.

Hidup ini indah, jadi sudah selayaknya kita nikmati. Kita akan bisa menikmati apabila kita menyukai. Untuk menyukai, yang kita lakukan harus menyenangkan. Nonsense bila ada yang mengatakan bisa menikmati sesuatu yang dia tidak senangi. Apapun. Jika begitu, kenapa kita tidak isi saja dengan hal-hal yang menyenangkan tanpa melupakan dan meninggalkan kewajiban lainnya. Intinya, kita seimbangkan kehidupan ini. Adakalanya kita istighfar dan tawakkal ketika datang waktu ta’zhim di depan Allah. Seolah-olah kita ini akan mati esok hari. Saat waktunya kerja, lakukanlah sebagai ibadah. Bekerjalah dengan giat. Bukan hanya work hard tapi kalau bisa work smart, perumpamaan kita akan hidup selama-lamanya. Sebagai keseimbangan, lengkapi dengan kesenangan sehingga hidup ini akan menjadi colorful dan cheerful. Carilah sebuah atau lebih hobi. Jalankan hobi itu. Maka dijamin anda akan senang. Tidak pernah ada orang menjalankan hobinya dalam keadaan sedih, karena hobi adalah kesenangan.

Hidup ini hanya sekali. Hidup di dunia ini maksud saya. Mengapa kita tidak hirup saja kenikmatan di dalamnya. Sekali lagi, bukan saya mengajarkan anda menjadi hedonis dan juga bukan menyuruh anda bersenang-senang saja tanpa mempedulikan orang lain. Sekali tempo kita perlu bersikap altruistik, sikap yang mendahulukan kepentingan orang lain. Janganlah egois. Jadilah manusia yang berjiwa sosial tinggi. Milikilah kepekaan sosial. Sudilah berkorban untuk orang lain. Suatu saat jadilah sebatang lilin, menerangi sekeliling dengan bersedia mengorbankan diri sendiri. Tidak ada ruginya kok berkorban. Apalah gunanya hidup anda jika tidak mau berbagi. Anda hanya membutuhkan sedikit harta untuk bisa menghilangkan haus di tenggorokan dan lapar di perut anda. Berapapun harta yang anda punyai tidak akan dapat membasahi tenggorokan dan mengisi perut nafsu anda, karena nafsu tidak ada batasnya. Makanya para koruptor itu sebenarnya secara materi bukannya orang miskin, justru mereka jutawan dan milyarder. Hanya saja, karena perut nafsunya yang ingin dia bikin kenyang maka sampai kapan pun tidak akan pernah penuh. Satu-satunya yang dapat menghentikan keinginan dia hanyalah kematian. Penjara pun hanya bisa menghentikan untuk sementara waktu saja. Masalahnya berani tidak para hakim itu menjatuhkan hukuman mati kepada koruptor. Jangan-jangan malah dia sendiri yang harus mati karena ternyata dia juga korupsi.

Saya sering ngomporin orang untuk menjalankan hobinya. Bila tidak punya, saya suruh mereka untuk mencari kegiatan yang bisa dijadikan hobi. Apakah anda pikir yang saya lakukan itu salah? Tolong tunjukkan di mana salah saya bila anda menganggapnya begitu. Saya berbuat demikian bukan karena ada keuntungan finansial yang akan saya peroleh. Saya hanya mengajak agar mereka menikmati hidupnya, agar kehidupan mereka seimbang, agar tidak stres dan hatinya gembira karena gembira itu menyehatkan.

Memang sudah seharusnya kita melakukan sesuatu dengan baik dan benar. Sebagai mahluk Allah yang tidak ada nilainya di hadapan Beliau, ya sudah seharusnya kita tsabat (komit) dalam menjalankan perintah dan menjauhi yang dilarang-Nya. Menjadi mahluk sosial berarti kita ini tidak boleh bersikap egois. Jangan sampai kita merasa serba lebih dari yang lain dan berlebihan dalam membanggakan diri sendiri yang ujung-ujungnya menjadi takabur. Sebagai mahluk sosial kita perlu bermu’amalah. Dengan berinteraksi sesama mahluk Allah kegembiraan juga akan muncul dari sana.

Hidup memang sekali, tetapi jangan sekali-sekalinya hidup malah bikin susah yang hidup.

Friday, April 11, 2008

Setan

Sadar atau tidak kita ini sebenarnya hidup dikelilingi oleh setan. Anda pasti sudah pernah dengar kata setan (atau malah merasa pernah melihat?).

Bagi orang beragama, setan bukan sesuatu yang asing lagi karena setan sering disebut dalam kitab suci. Dalam tulisan ini, saya akan mengajak anda melihat setan yang ada di masyarakat. Setan yang ingin saya perlihatkan itu bisa berujud secara fisik maupun yang hanya berupa isu atau mitos belaka. Yang jelas penamaan yang menggunakan kata setan itu karena ada unsur kesamaan makna. Jika kita lihat di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga, 2002, halaman 1055, setan dapat memiliki arti: 1) roh jahat (yang selalu menggoda manusia supaya berlaku jahat); 2) kata untuk menyatakan kemarahan; sumpah serapah; 3) orang yang sangat buruk perangainya (suka mengadu domba dsb).

Nama yang diembel-embeli kata setan ini ada yang hanya populer di masyarakat daerah tertentu saja ada juga yang sudah dikenal luas di Indonesia. Ada pula yang tidak begitu dikenal oleh masyarakat umum tetapi sangat mashur di kalangan komunitas tertentu. Kita lihat misalnya sebuah tanjakan yang menuju puncak Gunung Gede dari arah Kebun Raya Cibodas oleh para pendaki dikenal dengan sebutan tanjakan setan. Bisa jadi nama itu diberikan karena medannya yang luar biasa sulit. Meskipun tanjakan itu kemudian dipasangi bentangan kawat baja untuk membantu pendaki naik atau turun, tetap saja tidak mudah melewatinya. Apalagi bila pendaki membawa carrier yang berat. Jika seperti itu biasanya yang dilakukan adalah menaikkan atau menurunkan barangnya dahulu baru disusul orangnya. Itu pun bukan sebuah pekerjaan yang mudah.

Kampung setan atau pasar setan juga cukup populer di kalangan pendaki. Untuk gunung-gunung tertentu yang dianggap angker, istilah tersebut sering muncul. Gunung yang dianggap angker biasanya karena sering menelan korban atau ada mitos menyeramkan yang melingkupi gunung itu. Di Jawa Barat Gunung Salak dianggap angker sehingga tidak banyak pendaki yang mendatanginya. Dibandingkan Gunung Gede atau Gunung Pangrango yang setiap tahunnya dikunjungi ribuan pendaki dari Jabodetabek, Gunung Salak yang puncak tertingginya 2.211 Mdpl hanya dalam hitungan ratusan jumlah pendakinya per tahun. Dengan adanya sebuah makam yang dipercaya sebagai makam Mbah Gunung Salak di puncak gunung dan komplek makam Pangeran Santri di lereng yang menuju desa Girijaya, semakin lengkaplah keangkeran Gunung Salak. Ketika para pendaki berjalan di malam hari dan mendengar bunyi-bunyian maka dianggapnya suara itu berasal dari kampung setan atau pasar setan. Padahal bisa saja suara itu sebenarnya datang dari desa yang ada di lereng atau kaki gunung. Dengan adanya keyakinan seperti itu keindahan lereng dan puncaknya Gunung Salak akibatnya tidak banyak yang menikmati. Sungguh patut disayangkan.

Bila anda suka makan bakso, di wilayah Bogor kota atau di daerah Puncak terdapat penjaja bakso yang menamakan barang dagangannya bakso setan. Tambahan kata setan untuk bakso ini pasti karena ukurannya yang tidak wajar. Bentuknya yang bisa 20 sampai 30 kali lipat dari bakso biasa ini bisa tidak habis dimakan oleh satu orang. Untuk orang-orang tertentu bakso setan ini malah menakutkan. Bukan takut karena ada setannya tetapi gamang melihat ukurannya yang super besar.

Masih tentang makanan. Di daerah Peterongan, Semarang, ada pedagang kreatif yang menamai menu masakannya dengan nama yang membuat orang penasaran. Menu masakan itu adalah oseng-oseng setan. Anda bisa menebak mengapa diberi nama seperti itu? Tentu saja bila dilihat dari kacamata pemasaran, agar orang penasaran kemudian tertarik untuk mencobanya. Selain itu, penambahan embel-embel kata setan di belakang oseng-oseng bisa dipastikan karena terkait dengan hal yang tidak lumrah dari masakan itu. Bila dilihat dari bahan bakunya, oseng-oseng setan sebenarnya masakan biasa saja seperti oseng-oseng atau tumis yang kita kenal selama ini. Yang tidak biasa adalah jumlah cabe yang digunakan. Apabila satu porsi masakan oseng-oseng umumnya hanya menggunakan beberapa buah cabe, oseng-oseng setan yang bahan utamanya tetelan sapi diolah dengan satu kilo cabe. Dan tidak tanggung-tanggung, cabe yang dipilih adalah jenis rawit yang terkenal menyengat pedasnya. Bila anda memiliki perut yang sensitif barangkali perlu dipertimbangkan lagi jika akan mencoba oseng-oseng setan.

Di dunia hiburan seperti pasar malam sering ada bagian yang menampilkan hiburan yang seram-seram. Untuk mereka yang tertarik menguji nyali, hiburan ini cocok sekali. Bagian luar bangunan tempat pertunjukan biasanya berwarna gelap dan suram serta disinari lampu yang remang-remang. Di bagian dalam lebih menyeramkan lagi. Cahaya yang ada berasal dari lampu lima watt yang cenderung menggunakan warna hijau, biru, merah, atau jingga. Kemudian ada bentuk-bentuk seperti kerangka manusia yang bisa bergerak-gerak, kain putih melayang-layang, atau mahluk mengerikan yang tidak jelas bentuknya. Agar lebih mencekam ditambah dengan asap buatan yang berasal dari es kering, bau kemenyan, hembusan angin, dan suara lolongan anjing, tangisan, atau tertawa yang mendirikan bulu roma. Hiburan ini oleh pengelolanya diberi nama rumah setan. Sekarang nama rumah setan sudah populer di masyarakat terutama di kota-kota kecil atau kampung. Nama rumah setan kadang disebut juga rumah hantu atau istana hantu.

Selain rumah setan, masih di dalam pasar malam, sering juga disediakan hiburan yang mengundang maut. Karena bentuk bangunannya seperti tong atau drum dan di dalamnya ada pengendara motor yang mengelilingi bagian dalam tong seperti kesetanan maka pertunjukan itu dinamakan tong setan. Untuk bisa menyaksikan pengendara motor yang mempertunjukkan kebolehannya, para penonton ada di bagian atas mengelilingi tong raksasa itu. Di daerah Demak, Jawa Tengah, pertunjukan seperti rumah setan dan tong setan sering ditampilkan pada saat menjelang hari raya kurban atau oleh orang-orang setempat disebut dengan Grebeg Besar.

Kata setan juga sering digunakan untuk mengungkapkan kemarahan dan kejengkelan. Kadang-kadang ada orangtua yang karena begitu jengkelnya kepada anak kemudian mengucapkan umpatan ‘anak setan.’ Sebaliknya kata setan juga bisa menggambarkan keakraban ketika seseorang mengucapkan ‘setan lu’ kepada teman bermainnya. Dengan demikian kata setan dapat menunjukkan kemarahan atau keakraban tergantung kepada konteksnya.

Setan juga dipakai untuk menamai sebuah jenis angkutan umum. Di sekitar terminal bis Baranangsiang, Bogor, terdapat angkutan umum jenis L300 yang sering disebut angkutan setan. Sejak kapan dan dari mana asal-muasal nama itu tidak ada yang tahu. Konon julukan angkutan setan diberikan karena pengemudinya sering ngebut dan ugal-ugalan. Angkutan setan atau sering disingkat angset ini cukup populer bagi masyarakat yang hendak bepergian ke jurusan Sukabumi atau Cianjur. Kedua kota itu memang merupakan tujuan dari angset-angset yang selalu ngetem di seberang terminal Baranangsiang.

Begitu populernya kata setan yang ditambahkan untuk menamai sesuatu, sehingga di Jakarta muncul cerita tentang ojek setan.

Kisah ojek setan diawali ketika seorang ibu yang bekerja di sebuah kantor akan pulang. Rumah ibu itu ada di sebuah kampung yang terletak di belakang komplek pemakaman Tanah Kusir. Gang menuju kampungnya terletak persis di sebelah komplek makam. Saat itu sudah malam. Angkutan umum sudah jarang-jarang. Yang ada adalah para tukang ojek yang mangkal di dekat kantornya. Karena takut kemalaman, wanita itu terpaksa menggunakan ojek meskipun ongkosnya empat kali lipat. Bila naik kendaraan umum dia cukup membayar dua ribu lima ratus, maka dia harus mengeluarkan uang sepuluh ribu untuk ojek itu. Wanita itu berkata dalam hati, “Tidak apa-apalah harus membayar sepuluh ribu, yang penting bisa sampai dengan selamat.” Setelah harga disepakati, tukang ojek mengantarkannya pulang. Sampai di depan gang menuju rumah, wanita itu minta berhenti. Di mulut gang itu hanya terdapat lampu lima watt yang tentu saja menjadikan lingkungan sekitar remang-remang. Si tukang ojek mulai merinding. Dia tahu bahwa gang itu bersebelahan dengan kuburan. Sambil menunggu penumpangnya mengeluarkan uang dari dompetnya, tukang ojek memperhatikan dari atas sampai bawah wanita yang baru saja menjadi penumpangnya. Si wanita kemudian menyerahkan uang lima puluh ribuan karena kebetulan dia tidak memiliki uang pas. Tanpa memperhatikan lagi ongkos yang dia terima, tukang ojek itu langsung menarik gas motornya, ngebut. Melihat uangnya dibawa kabur, wanita itu kemudian teriak, “Ojek setaaaannnn…”