Sunday, July 15, 2007

Keluarga Wayne

Pagi ini saya ke Curug Seribu lagi. Karena sudah janji nemenin istri yang akan ngajak hiking kenalannya dari Amerika, saya berdua dengannya berangkat ke Bogor njemput mereka. Keluar dari rumah jam 06.45 wib dan sampai di tempat mereka menginap 08.05 wib.

Mereka berasal dari Seattle, USA. Keluarga tersebut terdiri Wayne Jacobson, Char istrinya, Annelise (14 th) putri pertamanya, dan Claire (12 th) putri kedua. Merupakan keluarga jangkung. Semua tinggi-tinggi terutama Wayne. Kedua anaknya cantik-cantik. Meskipun baru berusia belasan, tinggi tubuhnya mengalahkan saya. Apalagi dengan istri saya.

Kami ngobrol sambil mereka melakukan persiapan. Char menyerahkan dua topi yang dibawanya dari Seattle buat Izal dan Reyhan. Topi cap warna biru dengan bordiran bangunan dan menara serta tulisan Seattle di bawahnya. Souvenir khas kota tersebut. Sayangnya kedua anak saya ini nggak bisa ikut. Mereka lebih suka tinggal di rumah karena kebetulan nenek dan tantenya datang.

Kami berangkat setelah persiapan selesai. Kebetulan mobil yang disediakan oleh Cinta Baca, perpustakaan tempat Wayne dan keluarganya menginap, juga terlihat sudah menunggu di depan. Sepanjang perjalanan kami ngobrol hingga tak terasa sudah sampai di Curug Seribu. Kami semua bergantian ke toilet yang ada di dekat warung sebelum memulai hiking menuju curug. Jam menunjukkan pukul 11.10 wib.

Sampai di curug Char kelelahan. Dia tidak mau turun ke bawah karena takut nggak kuat naik lagi. Dia lebih memilih duduk di depan curug memandangi keindahannya sambil menunggu kami yang turun ke bawah. Di bawah merupakan aliran sungai yang berasal dari air terjun. Di sinilah, kecuali Wayne, pada main air.

Annelise duduk di atas batu di tengah sungai sambil merendam kakinya. Kadang malah tiduran di atasnya. Seluruh celananya sudah basah kuyup. Begitu juga kaosnya bagian bawah. Padahal dia nggak bawa baju ganti. Dia sempat terpeleset dan kejebur dua kali. Kata Wayne, nama Annelise diambil dari karakter dalam bukunya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia. Dia gunakan nama itu karena terkesan dengan tokoh yang digambarkan Pram tersebut.

Claire bermain air dengan hati-hati. Celananya digulung tinggi agar tidak basah. Dia ini tidak banyak omong dan melakukan segalanya dengan pelan. Maknya bilang dia memang begitu, bahkan ketika masih bayi. Beda dengan Annelise kakaknya. Claire lebih banyak membaca dan menulis. Dia bawa bacaan dan buku tulis di dalam tasnya.

Jam 13.10 wib diputuskan balik setelah puas main air. Karena berangkatnya tadi jalannya lebih banyak menurun maka pulangnya harus mendaki. Kasihan Char, dia benar-benar kepayahan. Badannya yang termasuk subur membuatnya jadi cepat cape. Sebentar-sebentar istirahat. Benar-benar kecapean. Sampai-sampai dia bilang, “Really, like have a baby. I’m sorry. I have to stop and take a rest if I feel dizzy. If not, I’ll fall.” Duh, kasihan banget. Saking capenya, dia merasa sama dengan saat melahirkan. Dan hal itu juga membuatnya berkunang-kunang. Mukanya terlihat kemerahan.

Meskipun perlahan, akhirnya sampai juga di warung tempat kami memulai perjalanan tadi. Jam tangan saya menunjukkan 14.30. Sambil istirahat, kami menikmati indomie rebus panas yang lezat. Saya dan istri juga sholat lohor dulu di warung tersebut.

Wayne, we’ve just had a great time together today.

Friday, July 13, 2007

Bila Saatnya Tiba

Siapa sangka, alam yang begitu indah bisa berubah menjadi pembunuh mematikan. Kawah Ratu yang menarik dikunjungi telah meminta korban enam jiwa hari Minggu (8/7) kemarin. Para pelajar SMPN 67 Jakarta Selatan yang mengadakan perkemahan di Bumi Perkemahan Cangkuang, Cidahu, Sukabumi sebagian di antaranya memutuskan untuk mendaki Kawah Ratu yang berjarak 2 km dari lokasi mereka berkemah. Tak dinyana perjalanan yang tadinya untuk berwisata berubah duka. Saat mereka cuci muka, gas beracun masuk ke paru-paru. Kadar racun yang dihisap melebihi ambang batas.

Racun belerang yang di atas ambang batas dapat membuat saluran nafas meradang dan membengkak yang selanjutnya terjadi penyempitan saluran nafas. Saat terjadi peradangan, saluran nafas lebih banyak mengeluarkan cairan dan lendir. Akibatnya, yang bersangkutan bisa sesak napas, pingsan, atau bahkan meninggal seketika. Apalagi bagi mereka yang punya penyakit asma.

Buat saya, lokasi wisata yang ada di punggung gunung Salak ini merupakan tempat favorit. Selain saya sendiri senang mendatanginya, kawah ratu juga merupakan tujuan hiking yang saya tawarkan via internet kepada turis khususnya dari manca negara. Sudah lupa berapa kali saya datang ke tempat tersebut. Yang pasti, lebih dari lima kali. Baik pergi bersama teman maupun sebagai guide buat turis yang membayar jasa saya. Makanya, sempat kaget juga ketika melihat berita di televisi enam pelajar SLTP mati keracunan di Kawah Ratu. Salah satu kunjungan saya ke kawah itu sempat diambil fotonya oleh seorang turis dari Vancouver (Canada) yang saya dampingi. Namanya cukup unik, Victor King To Wong. Foto ini kemudian dia kirimkan setelah pulang ke negaranya.

Dengan adanya kejadian tersebut, kita jadi ingat bahwa maut bisa datang tiba-tiba. Tidak lihat umur, tidak lihat tempat. Bila memang waktunya tiba, siapapun tidak bisa menolak. Yang penting dilakukan adalah selalu berbuat kebaikan selama masih diberi hidup. Nggak ada gunanya menyesali yang sudah terjadi. Ironisnya, justru itulah yang sering terjadi. Menyesal ketika nasi sudah menjadi bubur.

Kalau anda masih menjawab juga bahwa lumayanlah menjadi bubur, masih bisa dimakan, berarti anda cocoknya menjadi penjual bubur. Walah.