Friday, September 26, 2008

RM Tirto Adhi Soerjo

Ngerasa nggak kalo puasa Ramadhannya sudah jalan 26 hari? Berarti bentar lagi kita akan lebaran. Kira-kira empat harian. Itu bila tidak ada perubahan. Di saat menjelang lebaran seperti ini merupakan hal yang lazim orang memberi dan menerima bingkisan. Begitu juga dengan yang saya alami. Saya malahan bukan hanya sekedar mendapatkan bingkisan lebaran, yang saya terima adalah harta karun.

Berlebihan ya menurut anda? Tidak bagi saya. Saya bukan saja menganggapnya tidak berlebihan, tetapi bahkan luar biasa. Memang saya sering menerima bingkisan lebaran. Berbagai bentuk bingkisan lebaran sudah pernah saya terima. Berujud uang, hampir setiap tahun. Berupa barang, seperti baju koko, sarung, atau makanan bukan sekali dua. Parcel yang isinya macam-macam juga pernah. Tetapi pemberian yang satu ini, yang saya anggap sebagai bingkisan lebaran karena diberikan menjelang lebaran, saya lebih senang bila menyebutnya sebagai harta karun. Mengapa? Karena yang diberikan itu adalah dokumen-dokumen tentang RM Tirto Adhi Soerjo (TAS) dan yang memberi merupakan keturunannya langsung.

Saya tidak merasa lebih beruntung dari Pramoedya Ananta Toer yang telah mengisahkan perjalanan hidup TAS dalam Sang Pemula dan tetralogi roman sejarahnya dengan begitu memukau, tetapi saya sangat beruntung keturunan (buyut) pahlawan nasional itu sendiri yang langsung menghadiahi saya. Cuma sayangnya, fotokopian Medan Prijaji yang sangat saya inginkan tidak termasuk dalam dokumen yang dihadiahkan itu. Untungnya buyut TAS itu sangat baik hati dan berjanji akan memberikannya nanti.

Siapa itu TAS? Dia itu kakek buyutnya teman saya yang bernama Shita Dewi Ratih Permatasari, M.Hum. Teman sekerjanya biasa memanggilnya Shita, tetapi bila di rumah dia memiliki nama panggilan yang berbeda. Sayangnya saya diwanti-wanti untuk tidak menuliskannya di sini. Bukan oleh dia, tetapi oleh teman sekantor dia yang sering saya boncengkan motor. Anda bisa ketemu teman saya yang lebih senang dipanggil Shita ini di Fakultas Sastra, Universitas Pakuan Bogor. Tinggal tanya saja ke orang-orang yang ada di kampus itu. Siapapun pasti akan tahu sebab dia ini orang yang sangat terkenal. Bahkan bila kucing pun bisa ngomong, anda bisa juga bertanya kepadanya. Sehari-harinya, Shita ini suka dikerubutin kucing. Dia adalah ibu angkat dari semua kucing yang ada di sekitar situ.

Kembali lagi ke sosok TAS yang ditanyakan tadi, bila anda telah membaca tulisan saya yang berjudul Medan Priyayi, anda pasti tahu siapa dia. Tulisan saya kali ini tentang RM Tirto Adhi Soerjo yang merupakan pendiri koran pertama Indonesia, Medan Prijaji. Dia mendapat anugerah semasa Orde Baru di tahun 1973 sebagai Perintis Pers Indonesia. Di masa pemerintahan SBY sekarang ini, selain gelar pahlawan nasional, TAS juga memperoleh tanda kehormatan Bintang Mahaputera Adipradana yang diserahkan kepada keluarganya pada 3 November 2006.

Saya punya banyak bahan yang diberikan langsung oleh buyutnya untuk membuat tulisan mengenai profil salah satu tokoh yang akhirnya diakui pemerintah sebagai pahlawan nasional ini. Bukan hanya tulisan-tulisan tentang dirinya, tetapi juga ada foto TAS, istri pertamanya Raden Ayu Siti Suhaerah, dan makam TAS yang ada di pemakaman Blender, Kebon Pedes, Bogor.

RM Tirto Adhi Soerjo yang nama kecilnya Djokomono adalah anak kesembilan dari sebelas bersaudara. Dia lahir di Blora tahun 1875. Ayahnya seorang pegawai kantor pajak pada masa pemerintah Hindia Belanda bernama Raden Ngabehi Tirtodhipoero. Setelah orangtuanya meninggal, TAS kemudian ikut neneknya Raden Ayu Tirtonoto. Dari neneknya inilah TAS diajarkan untuk menjadi manusia yang mandiri. Didikan neneknya telah menumbuhkan jiwa entrepreneurship dalam diri TAS.

Bentar dulu! Menyoroti tahun kelahiran TAS, saya kok menemukan adanya perbedaan dalam artikel dan berita di media, majalah, maupun buku. Banyak yang menyebutkan tahun kelahiran TAS 1880. Padahal dalam buku yang ditulis anak sulung TAS, RM Priatman, yang berjudul Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah, cetakan kedua, diterbitkan oleh Badan Penerbit Patani, Bogor tahun 1950, di situ disebutkan TAS lahir 1875. Saya rasa perbedaan itu terjadi karena sumber yang digunakan sama yaitu buku biografi RM Tirto Adhi Soerjo tulisan Pramoedya Ananta Toer berjudul Sang Pemula. Dalam buku itu dituliskan tahun kelahiran TAS adalah 1880.

1880 yang dinyatakan sebagai tahun kelahiran TAS saya temukan dalam:
  1. artikel di Kompas, 1 Januari 2000, tulisan Th Sumartana,
  2. opini di Pikiran Rakyat, 27 April 2006, tulisan Prof. DR. Nina Herlina Lubis, M.S., Guru Besar Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Unpad,
  3. reportase di Pikiran Rakyat 28 April 2006,
  4. artikel di Pikiran Rakyat, 9 November 2006, tulisan Prof DR. Nina Herlina Lubis, M.S.,
  5. reportase di Pos Kota, 16 November 2006,
  6. majalah I:BOEKOE! Edisi 1907-2007 Seabad Pers Kebangsaan, tahun 2007, halaman 14.

Penyebutan tahun kelahiran TAS yang lain lagi yaitu 1878 saya temukan dalam buku berjudul Sejarah Awal Pers dan Kebangkitan Kesadaran Keindonesiaan karangan Ahmat Adam, Guru Besar di Universitas Malaysia Sabah. Entah dokumen mana yang digunakan oleh pak Guru Besar ini.

Nomor 1, 2, 4, 5, dan 6 juga menyebutkan tahun kematian TAS yang berbeda dengan yang ditulis oleh RM Priatman. Lima tulisan di atas menyatakan tahun kematian TAS 1918 sedangkan RM Priatman dalam bukunya menyebutkan 1917.

Bila saya disuruh memilih, sudah pasti saya akan memilih dan lebih percaya yang berasal dari keturunan TAS langsung. Bagaimana dengan anda? Biar anda tidak penasaran, berikut saya nukilkan tulisan yang berbentuk puisi yang dibuat oleh RM Priatman tentang romonya, RM Tirto Adhi Soerjo, dalam buku Perdjoangan Indonesia dalam Sedjarah halaman 89.

SIAPA PELOPOR DJURNALISTIK DI INDONESIA
1875 - 1917


Raden Mas Tirtoadisoerjo
Nama ketjilnja Djokomono
Keturunan Tirtonoto
Bupati Bodjonegoro.

Peladjar S.T.O.V.I.A. di Djakarta
Penulis pembela Bangsa
Membasmi sifat pendjadjah Belanda
Dengan tulisan jang sangat tadjam penanja.

Membuka sedjarah Djurnalistiknja
“Medan Prijai” warta hariannja
Suluh keadilan dan Putri Hindia
Ada dalam pegangan Redaksinja.

Tiap perbuatan dari pendjadjah,
Jang akan membuat lemah,
Terhadap Nusa dan Bangsa kita,
Diserang dan dibasmi dengan sendjata penanja.

Akibat dari sangat tadjam sendjata penanja
Pendjadjah dengan kekuasaannja
Mendjatuhkan hukumannja
Marhum Tirtoadisoerjo diasingkan dari tempat kediamannja.

Lampung adalah tempat tudjuannja
Setibanja di pengasingan terus berdjuang
Tak ada tempo jang terluang
‘ntuk membela Nusa dan Bangsanja.

Pelopor Djurnalistik Indonesia
Tahun 1875 adalah tahun lahirnja
Pada tahun 1917 wafatnja
Mangga Dua di Djakarta beliau dimakamkannja.
Setelah neneknya meninggal, TAS pindah ke rumah saudara sepupunya di Madiun. Kemudian ke Rembang untuk tinggal bersama kakaknya RM Tirto Adi Koesoemo yang menjadi Jaksa Kepala di sana. TAS selanjutnya masuk sekolah kedokteran, STOVIA (School tot Opleiding van Inlandsche Artsen), di Batavia pada usia 14 tahun. Sayangnya pendidikan itu tidak dia rampungkan.

Walaupun pendidikannya di STOVIA berhenti, kepintaran TAS dalam jurnalisme terus berkembang. Sebelum menjalankan korannya sendiri, TAS sering mengirim tulisannya ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. 17 April 1902, cerita bersambungnya yang berjudul Pereboetan Seorang Gadis dimuat pertama kali di Pembrita Betawi. Setelah itu, di bulan Mei 1902 TAS ditunjuk F Wiggers menjadi pemimpin redaksi Pembrita Betawi tetapi di tahun 1903 berhenti karena berbeda pendapat dengan Wiggers.

Masih di tahun 1903 setelah keluar dari Pembrita Betawi, TAS mendirikan koran sendiri Soenda Berita yang diterbitkan setiap hari Minggu bekerjasama dengan Bupati Cianjur RAA Prawiradiredja. Koran ini merupakan surat kabar pribumi pertama yang menggunakan bahasa Melayu yang dikelola dan didanai oleh pribumi. Sayangnya Soenda Berita hanya bertahan sampai 1906. Agar anda juga bisa menikmati seperti apa tulisan yang dibuat pada masa itu, berikut saya salinkan resep masakan favorit saya yang ternyata pada saat itu sudah ada meskipun sedikit berbeda namanya. Resep Lembaran (saya menyebutnya Lembarang) ini dimuat dalam Soenda Berita terbitan hari Minggu, 14 Februari 1904. Selamat menikmati masa nostalgik bersama RM Tirto Adhi Soerjo.

LEMBARAN
olih Raden Ajoe Poerodimedjo


Ajam 1 dipotong-potong, abis dimasak sama aier klapa seprapat di bakar doeloe sabentar; bawang bakar 3 sindok makan, kemiri bakar 50, laos bakar 3 iris dan garem 2 sindok thee, ditjampoer abis ditoemboek aloes dan lantas di goreng sama minjak goerih 3 sindok makan, sampe mateng. Kaloek soedah, ajam tadi ditjaboeti toelangnja lantas daging dan boeljonnja ditjampoer sama boemboe tadi, abis di masak.

Kapan soeda masak sebentar ditambahi santen klapa setengah, sere 1 potong, daon djeroek poeroet 2 lembar dan blimbing asem (tjalintjing) belahan 4; abis di masak teroes, sampe boeket koewahnja.
Gimana, paham maksudnya? Kaloek resip itoe boeat kamoe orang poesing, ya soedah la begimana soekamoe. Betoel?

Setelah Soenda Berita, TAS kemudian menerbitkan Medan Prijaji pada 1 Januari 1907. Pena TAS terkenal tajam. Tulisannya membuat takut para penguasa dan bangsawan yang korup. Di lain pihak TAS dan Medan Prijaji-nya menjadi tempat mencari keadilan bagi rakyat kecil. Karena tulisannya yang berani itulah TAS pernah dibuang sebanyak dua kali ke Teluk Betung Lampung (1910) dan Ambon (1913). Keberaniannya juga lah yang akhirnya mengakhiri Medan Prijaji pada 22 Agustus 1912. Disamping Pembrita Betawi, Soenda Berita, dan Medan Prijaji, sejumlah surat kabar lain yang pernah dikelola TAS adalah Soeloeh Keadilan, Poetri Hindia, dan Sarotomo.

TAS menikah pertama kali dengan putri bangsawan Cianjur bernama Raden Ayu Siti Suhaerah. Dari perkawinan itu lahirlah RM Priatman. Dalam perkawinan keduanya dengan RA Siti Habibah, TAS memiliki anak RA Julia dan RM Hasan. Setelah itu TAS menikah dengan Prinses Fatimah atau lebih dikenal dengan Prinses van Bacan yang dinikahi saat dia berada di Maluku.

Kesehatan TAS sering terganggu setelah kembali dari pembuangannya di Ambon. Pada 7 Desember 1917 TAS akhirnya meninggal. Dia awalnya dimakamkan di Mangga Dua Jakarta. Oleh keluarganya, jasadnya kemudian dipindahkan ke pemakaman Blender, Kebon Pedes, Bogor tahun 1973. Tanggal kematian itulah, 7 Desember, yang kemudian ditetapkan sebagai Hari Pers Indonesia sebagai bentuk penghormatan kepada TAS, dan tahun berdirinya Medan Prijaji, 1907, dijadikan sebagai awal tahun pers kebangsaan. Dengan demikian, saat ini usia pers kebangsaan sudah mencapai 101 tahun. Soedah tjoekoep toea boekan?

Wednesday, September 24, 2008

Sayang

Sebenarnya embrio tulisan ini sudah lama ada. Sayangnya, kemudian menjadi terbengkelai dan tidak kepegang-pegang. Dalam tulisan yang lumayan lama saya telantarkan ini, saya hanya ingin mengungkapkan satu hal yang bisa membahagiakan sekaligus bisa menyengsarakan manusia. Anda bisa menebak apa itu? Right! Cinta. Ah, so sweet

Memang, ketika saya akan menyelesaikan tulisan ini, rasanya seperti ada setan yang membebani hati, pikiran, dan tangan saya untuk menuliskannya. Entah kenapa, bawaannya malas melulu saat akan menyelesaikan tulisan yang sebagian sebenarnya sudah saya buat beberapa waktu yang lalu, mungkin hampir sebulan atau malah lebih. Barangkali karena setan tidak suka bila kita ini saling mengasihi dan menyayangi (kok jadi menyalahkan setan ya?).

Pernahkan anda merasa orang-orang di sekeliling anda menyayangi anda? Saya pernah, dan saya benar-benar tersentuh dengan semua itu.

Yang mereka lakukan sederhana saja sebenarnya, dan semua orang saya rasa bisa melakukan. Namun kadang-kadang, barangkali, karena begitu sederhananya, hal sederhana itu jadi terlewatkan. Orang tidak melihat bahwa ternyata perbuatan itu bisa begitu bermakna bagi yang menerima.

Kembali saya menulis sesuatu yang masih ada kaitannya dengan kepindahan rumah saya. Maaf saja bila anda jadi bosan karena lagi-lagi saya menulis hal yang tidak jauh dari masalah boyongan. Namun demikian, saya beranikan menulis hal ini sebab ada sesuatu yang istimewa yang ingin saya sampaikan. Saat pindah rumah itulah saya merasa ternyata para tetangga menyayangi saya sehingga mereka menyayangkan keputusan saya untuk pindah rumah. Meskipun alasan sudah saya berikan sejelas-jelasnya, mereka tetap tidak bisa menerima. Malahan banyak dari mereka yang berdoa macam-macam yang intinya agar saya nanti kembali lagi atau malah kalau bisa saya membatalkan rencana itu.

Saya hanya tersenyum atau tertawa saja ketika mereka berdoa mudah-mudahan saya tidak kerasan di tempat baru sehingga kemudian balik lagi. Kedengaran kejam, meskipun sambil bercanda. Tapi saya melihat sebaliknya. Bukan jahat yang saya rasakan dari doa mereka, tetapi karena mereka sayang dengan saya. Jalinan pertemanan dalam bertetangga lebih dari sepuluh tahun telah mengkristal. Sebagian dari mereka merasa shock dan benar-benar terkejut mendengar saya memutuskan keluar dari kampung yang para penghuninya sudah begitu akrab. Mereka tidak ingin saya meninggalkan mereka. Terus terang saja sebenarnya saya juga masih ingin hidup bersama mereka. Namun nampaknya jalan hidup seperti itu lah yang harus saya lewati. Saya terpaksa meninggalkan jalinan cinta yang sudah terajut begitu kuat.

Kebetulan saya dapat email tentang cinta dari teman sekantor, dan saya ingin berbagi dengan anda. Agar anda bisa lebih mengerti apa yang sedang saya rasakan tentang cinta, di bawah ini saya nukilkan sebagian email tersebut. Barangkali dengan itu, anda juga akan bisa lebih memaknai cinta dan kasih sayang anda, terutama untuk pasangan atau calon pasangan anda.

jika ia sebuah cinta
ia tidak mendengar
namun senantiasa bergetar

jika ia sebuah cinta
ia tidak buta
namun senantiasa melihat dan merasa

jika ia sebuah cinta
ia tidak menyiksa
namun senantiasa menguji

jika ia sebuah cinta
ia tidak memaksa
namun senantiasa berusaha

jika ia sebuah cinta
ia tidak cantik
namun senantiasa menarik

jika ia sebuah cinta
ia tidak datang dengan kata-kata
namun senantiasa menghampiri dengan hati

jika ia sebuah cinta
ia tidak terucap dengan kata
namun senantiasa hadir dengan sinar mata

jika ia sebuah cinta
ia tidak hanya berjanji
namun senantiasa mencoba memenangi

jika ia sebuah cinta
ia mungkin tidak suci
namun senantiasa tulus

jika ia sebuah cinta
ia tidak hadir karena permintaan
namun hadir karena ketentuan

jika ia sebuah cinta
ia tidak hadir dengan kekayaan dan kebendaan
namun hadir karena pengorbanan dan kesetiaan


Thursday, September 11, 2008

Halalan Toyyiban

Boleh kan di bulan puasa ini ngomongin makanan? Daripada ghibah alias ngomongin orang lain, kan mending bicara tentang makanan dan makan-memakan. Dijamin tidak ada yang dirugikan. Kecuali yang diomongkan tentang kejelekan-kejelekan tukang masaknya. Itu sih cari perkara, dan ghibah juga namanya.

Peristiwanya sendiri sebenarnya terjadi sebelum Ramadhan. Tetapi nggak ada salahnya saya buat tulisan tentang hal yang menyenangkan itu sekarang. Lagian, kan tidak ada masa kadaluwarsanya. Apalagi untuk hal-hal yang menyenangkan sekaligus mempererat tali silaturahim, wajib hukumnya untuk dikenang, bukan dilupakan. Lebih afdol lagi, agar tidak hilang dan tetap bisa dinikmati sampai kapanpun, peristiwa itu sengaja saya jadikan tulisan. Dengan demikian, kenangan itu menjadi lestari.

Seperti biasa, teman-teman muda saya banyak yang memiliki ide menyenangkan. Kadang-kadang suka aneh memang, tapi buat saya nggak jadi masalah. Wajar sajalah bila mereka seperti itu. Jangankan cuma sekedar ide, orangnya yang aneh saja tidak saya ambil pusing. Apalagi bila melihat umur mereka yang lagi seneng-senengnya mencari jati diri. Yang dilakukan dalam mencari jati diri saja kadang-kadang dengan cara mencari perhatian. Ya dengan cara melontarkan ide yang aneh-aneh itulah. Belibet ya?

Namun ide yang satu ini bukan ide yang aneh atau untuk mencari perhatian. Ide yang disampaikan kepada saya adalah ajakan untuk masak rame-rame kemudian dimakan bareng-bareng. Mereka suka menyebut dengan istilah ngliwet. Itu tuh, menanak nasi dan membuat lauknya. Biasanya ikan teri goreng, kerupuk, lalap, dan sambal. Beras yang dimasak biasanya dicampur dengan rempah-rempah seperti daun salam, sereh, kemudian entah apa lagi yang dimasukkan. Malahan ada juga yang memasukkan minyak goreng dan ikan teri mentah. Saya sendiri hanya sebagai tim penggembira saja, alias hanya menjadi penonton dan pemakan.

Acara itu benar-benar mendadak. Tidak ada rencana atau terpikirkan sebelumnya sama sekali. Begitu gagasan itu dilontarkan, langsung direalisasikan. Biasanya kan memang yang seperti itu yang jalan. Jika dirancang-rancang dulu, suka tidak terlaksana. Mungkin saja sih rencana yang gagal dilaksanakan itu karena kitanya yang tidak komit. Bukannya karena direncanakan sebelumnya sehingga acara itu menjadi gagal. Namun sudah beberapa kali saya mengalami kejadian itu, cape-cape direncanakan nggak tahunya tidak jadi. Anda pernah mengalami seperti itu? Saya yakin pasti pernah.

Pagi hari itu, beberapa teman muda itu menemui saya dan mengajak untuk ngliwet nanti malam di rumah saya. Saya bilang kenapa tidak besok saja, lebih longgar waktunya. Mereka kemudian bilang besok tidak bisa karena ada kegiatan. Okelah, saya mengalah. Nggak ada ruginya diadakan hari itu juga. Tadinya saya usulkan sore saja tapi mereka malah ingin mulai masaknya habis magrib. Ya sudah kalau itu maunya. Jumlah yang akan datang ke rumah rencananya 15 orang. Mereka semua adalah anak-anak BEC angkatan 11 yang lagi ngekost di dekat tempat tinggal saya dan besok pagi mereka semua harus keluar dari tempat kost karena sudah habis waktunya. Itulah sebabnya mereka menolak saat saya usulkan masak-masaknya besok saja.

Selepas magrib, mereka pada berdatangan, berkelompok. Tidak bareng-bareng sekaligus. Mereka berangkat dari tempat kost masing-masing. Beberapa memang ada yang barengan dengan teman mereka yang kost di rumah yang berbeda. Bahan-bahan yang akan dimasak mereka bawa dalam kantong-kantong plastik yang sebelumnya sudah mereka siangi di tempat kost. Semua bahan masakan itu mereka beli siang tadi meskipun akhirnya terpaksa mengetuk warung yang sudah tutup di dekat rumah saya karena ada bahan yang belum kebeli.

Rumah yang saya tinggali menjadi ramai dan penuh manusia. mereka bertebaran di mana-mana. Teras, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, semua penuh. Ada yang sibuk meracik bumbu, menggoreng kerupuk, nonton tv, main catur, main scrabble, atau hanya ngobrol. Bagaimana tidak ramai dan rumah menjadi penuh? Yang tadinya direncanakan hanya 15 orang, ternyata yang datang 30 orang lebih. Benar-benar crowded malam itu. Tapi nggak apa-apalah. Suasana malah jadi meriah dan kami semua senang. Meskipun sebagian dari mereka ada yang mengantuk dan pengen pulang tetapi saya cegah. Sebelum menikmati masakan yang dimasak ramai-ramai malam itu, mereka tidak pulang. Karena takut ancaman saya, mereka batal pulang. Yang menjadi korban, mohon maaf atas kekejaman saya. Bukanya saya sengaja, tetapi memang saya niat (apa sih maksudnya?).

Jam sembilanan hidangan sudah siap. Karena ruangannya tidak mencukupi, kami dibagi menjadi dua kelompok. Ada yang makan di teras menggunakan piring, sisanya di ruang tamu dengan menggelar daun pisang sebagai alas makan dan menyantapnya ramai-ramai. Bila dilihat jenis masakannya sih tidak terlalu istimewa, nasi liwet yang harum baunya karena dicampur daun salam dan sereh plus berbagai lauk pauk. Yang menjadikan makanan itu istimewa dan luar biasa nikmatnya adalah karena dimasak ramai-ramai dan disantap bareng-bareng. Apalagi pada dasarnya masakannya sendiri sebenarnya memang sudah lezat.

Selesai menyantap habis masakan yang ada hingga tidak tersisa, kami ngobrol-ngobrol dulu. Nggak nyangka, ternyata teman-teman muda saya ini pandai masak. Barangkali bakat itu turun dari orangtua mereka. Atau mereka jadi pintar masak karena terpaksa, terpaksa masak karena tinggal di tempat kost? Saya tidak tahu. Dan itu tidak penting buat saya. Yang penting adalah bagaimana acara ngliwet itu bisa diadakan lagi. Keahlian mereka masak malam itu sekaligus membuktikan, ternyata, anak-anak BEC pada jago masak. Padahal tidak ada mata kuliah kuliner atau masak-memasak lho. Saya bisa menyimpulkan mereka jago masak karena acara ngliwet dengan anak-anak BEC angkatan 11 malam itu bukanlah yang pertama kalinya. Saya juga pernah menikmati masakan anak-anak BEC angkatan 9 dan 10. Semua nikmat dan lezat. Saya yakin, masakan angkatan-angkatan berikutnya pasti juga enak. Tinggal nunggu saja tanggal mainnya.

Sebagaimana anak-anak BEC lainnya, selain pintar masak, mereka juga narsis, nggak yang laki-laki nggak yang perempuan. Nggak boleh ada kamera nganggur. Sebelum pulang, ada acara foto-fotoan. Berbagai pose mereka tunjukkan saat difoto. Mereka begitu heboh, mungkin karena mabuk nasi liwet dan ikan teri. Sayangnya tidak ada menu jengkol. Bila ada, pasti lebih dahsyat lagi gayanya. Apapun yang terjadi, yang jelas, kami semua malam itu bersuka cita menikmati hidangan yang sudah pasti halalan toyyiban.

Wednesday, September 10, 2008

Seandainya...

Ini masih ada kaitannya dengan isi cerita film Freedom Writers. Tentang gambaran seorang pengajar yang dicita-citakan anak didiknya. Atau jika anda menganggap cerita ini berandai-andai, bolehlah. Memang apa yang diinginkan oleh seorang murid terhadap gurunya kadang hanya masih berupa ‘seandainya’ bagi keduanya.

Saya punya sederetan ‘seandainya’ yang ditulis oleh seorang murid. Sebuah daftar keinginan yang akan membuat murid bisa menikmati kelasnya, seandainya gurunya adalah sesosok figur sebagaimana yang dia tulis. Sebelumnya mohon dimaafkan, saya lupa siapa nama penulis yang telah membuat daftar itu. Jika anda merasa yang membuatnya, tolong anda mengaku saja ;-) dan saya juga sekalian minta ijin untuk memuat tulisan ini. Boleh kan? Boleh nggak boleh pasti boleh, wong sudah dimuat juga. Wek. Coba anda baca dan renungkan.

Guru yang baik adalah:
  1. Guru harus bisa menguasai dan mengendalikan kelas.
  2. Guru harus paham materi, pintar, berwawasan luas dan jenius.
  3. Guru harus memberikan contoh yang baik.
  4. Guru harus memecahkan masalah & membangkitkan semangat.
  5. Guru harus mengerti keadaan dan perasaan.
  6. Guru harus menjadi teman baik siswanya.
  7. Guru harus menyadari kekurangan & tenggang rasa.
  8. Guru mencoba sesuatu yang lebih baik & berusaha lagi.
  9. Guru bisa menjaga rahasia.
  10. Guru harus serius dan tekun.
  11. Guru harus berbakat dan kreatif.
  12. Guru yang artistik atau musikal?
  13. Guru harus idealis & penuh kesabaran.
  14. Guru setia dan berbakti.
  15. Guru dinamis dan aktif.
  16. Guru memerlukan perubahan.
  17. Guru berkemauan kuat & tegas.
  18. Guru tidak emosional dalam bertindak.
  19. Guru tidak mudah patah semangat.
  20. Guru bebas tapi mandiri.
Kira-kira menurut anda, daftar itu mungkin nggak untuk direalisasikan? Atau barangkali anda merasa tidak sanggup untuk mewujudkan keinginan yang muncul dari anak didik anda itu? Bila anda seorang pengajar, mau nggak mau anda harus berusaha keras, kalau perlu sampai mati-matian, untuk memenuhi sederetan keinginan anak didik itu. Sebagai manusia normal, anda tentu ingin diterima oleh anak didik anda kan?

Coba sekarang anda lihat diri anda sendiri beberapa tahun yang lalu. Saat ketika anda menjadi seorang siswa atau mahasiswa bila sekarang anda sudah selesai sekolah atau kuliah. Jika sekarang anda masih menjadi siswa atau mahasiswa, coba anda bandingkan. Itukah daftar keinginan terhadap guru anda bila anda juga diminta membuatnya? Saya yakin, sebagai murid, pasti itulah yang diinginkan. Saya sendiri akan merasa senang, bangga, terhormat, dan berbagai perasaan menyenangkan yang membuncah bila guru saya seperti yang tertulis dalam daftar itu.

Saya punya pengalaman memiliki seorang guru smp yang, rasanya, hanya sedikit dari yang tersebut dalam daftar itu yang beliau miliki. Namun perlu anda ketahui, bagaimanapun juga saya tetap menaruh hormat terhadap beliu karena bagaimanapun kondisinya, beliau telah sangat berjasa menyumbangkan waktu, pikiran, dan tenaga untuk memintarkan saya. Karena terkenal galak, ketika kami ada di dalam kelas bersama beliau, rasanya kami seruangan dengan seekor singa. Kami takut sewaktu-waktu akan kena terkam. Akibatnya, apa yang beliau berikan tidak sepenuhnya bisa kami terima. Bukan konsentrasi untuk menerima pelajaran justru malah kami gelisah dan ketakutan. Dengan demikian, kami tidak bisa mengerti dan memahami dengan baik pelajaran yang sedang diberikan. Apalagi pada dasarnya saya ini murid yang bodoh. Tahu sendiri kan, apa jadinya bila muridnya sudah bodoh eh lha kok malah ditambah lagi dengan ketakutan, ya makin belet saja jadinya.

Selain itu suasana jadi tegang dan mencekam. Rasanya saat itu kami seperti nonton film horor yang gedung bioskopnya ada di tengah kuburan tua dan tidak terurus. Penontonnya ditemani demit, kuntilanak, pocong, dan memedi-memedi semacamnya yang sekarang lagi laris muncul di layar bioskop dan televisi menjadi konsumsi hiburan murahan, pembodohan, dan pemusrikan rakyat. Kelas mengerikan itu membuat pelajaran yang sebelumnya pada nempel di otak jadi copot berjatuhan dan menghilang entah ke mana. Begitu bel terdengar, telinga kami rasanya seperti mendengar lonceng kebahagiaan yang berasal dari surga (walah, kayak pernah piknik ke surga saja). Kami seperti terbebas dari algojo pencabut nyawa.

Saya akui pengalaman saya itu memang benar-benar mengerikan. Dikatakan traumatis memang iya. Namun saya tetap berterima kasih terhadap guru saya itu. Beliau telah mengajari saya dan menjadi contoh yang baik buat saya dengan sifat dan sikapnya yang menghantui jam melek maupun jam tidur murid-muridnya. Saya berterima kasih karena dengan demikian mengajari saya untuk tidak menjadi monster bagi anak didik saya ketika saya memilikinya nanti.

Cukuplah hanya saya yang menghadapi dan mengalami pengalaman mengerikan itu. Jangan anak-anak didik saya. Seorang guru harusnya bukan hanya memintarkan, tetapi juga menenteramkan, menenangkan, menyenangkan, menghibur, menyemangati, memotivasi, dan menginspirasi.

Di Jawa sana, Jawa Tengah dan Timur maksudnya, guru itu singkatan dari digugu lan ditiru (dipercaya dan bisa menjadi contoh untuk diikuti). Bukannya malah wagu lan saru (sudah tidak enak dilihat, jorok lagi)! Bila anda guru tapi yang wagu lan saru, betapa absurdnya anda.

Wednesday, September 03, 2008

Freedom Writers

Bila anda seorang guru tetapi anak-anak didik anda malah menjadi takut, berarti anda bersikap otoriter dan bermental diktator. Anda seperti monster. Atau bila anda mengajar dengan menerapkan sikap tertentu agar siswa menghormati anda, berarti anda gila hormat.

Menjadi guru itu bukan agar disegani, dihormati, apalagi ditakuti. Julukan guru killer bukanlah sesuatu yang patut dibanggakan tetapi justru harus menjadi keprihatinan. Seorang guru artinya menjadi orang yang bisa dipercaya dan menjadi contoh serta panutan. Menjadi guru itu sama dengan menjadi orang tua. Jadikan ruang kelas anda senyaman di rumah.

Jika anda guru, pengajar, pendidik, dosen, trainer, mentor, tutor, atau apapun namanya, saya sarankan menonton film Freedom Writers. Film bagus tentang dunia pendidikan yang dibintangi Hilary Swank. Film yang diangkat dari buku The Freedom Writers Diary ini mengisahkan perjuangan seorang guru sma di Wilson High School. Dia bernama Erin Gruwell. Namun murid-muridnya lebih suka memanggilnya Miss G. Sebuah film yang menarik dan menginspirasi. Saya sendiri bahkan bela-belain menontonnya sampai jam tiga malam. Apa sih isinya?

Film ini bisa dibeli di toko-toko cd. Pedagang-pedagang cd yang suka menggelar dagangannya di trotoar atau pinggir jalan saya rasa juga ada. Tapi bagaimanapun juga, saya perlu mengucapkan terima kasih kepada seorang gadis cantik yang memiliki kepedulian sosial tinggi yang bernama Laila Kalla. Dia telah menyumbang banyak buku dan cd film, termasuk Freedom Writers, kepada kantor di mana saya bekerja. Berkat kebaikan hatinya itulah saya jadi tahu ada film yang begitu bagus.

Jika saya memuji-muji film itu, bukan karena agar anda membelinya. Semata-mata pujian itu saya tujukan kepada cerita film itu. Dan saya berharap anda kemudian tergerak untuk menonton film itu. Dengan demikian kita akan sama-sama belajar darinya.

Di dalam film itu ditunjukkan bagaimana peran seorang guru dalam membangun jiwa dan hati anak didiknya. Murid-murid yang berasal dari keluarga berantakan dan berbagai keturunan seperti Latin, Afro-Amerika, Asia, dan kulit putih serta yang awalnya liar bisa bersatu menjadi sebuah keluarga. Bagaimana rasa kebersamaan itu ditunjukkan saat mereka berusaha mengumpulkan dana demi mewujudkan sebuah keinginan. Keinginan itu adalah mendatang seorang wanita bernama Miep Gies yang tinggal di Amsterdam ke kelas mereka. Miep Gies adalah orang yang menyembunyikan Anne Frank, seorang Yahudi, dari tangkapan Gestapo sehingga terhindar dari genosida keturunan Yahudi yang dikenal dengan holocaust. Wanita pemberani ini disebut-sebut oleh Anne Frank dalam buku hariannya yang kemudian diterbitkan menjadi sebuah buku berjudul The Diary of Anne Frank (sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Buku Harian Anne Frank).

Di salah satu adegan dalam film itu juga ditunjukkan seorang siswanya akhirnya merasa telah pulang ke rumah ketika berada di dalam kelas yang disebut Room 203. Dia mengungkapkannya dalam sebuah tulisan yang kemudian dia baca di depan Miss G dan teman-teman sekelasnya. Agar anda tahu, sebelum anda menontonnya sendiri, saya salinkan catatan itu yang anda bisa baca di bawah ini.

This summer was the worst summer in my short 14 years of life.
It all started with a phone call.
My mother was crying and begging.
Asking for more time as if she were gasping for her last breath of air.
She held me as tight as she could and cried.
Her tears hit my shirt like bullets and told me we were being evicted.
She kept apologizing to me.
I thought, I have no home.
I should have asked for something less expensive at Christmas.
On the mornig of the eviction, a hard knock on the door woke me up.
The sheriff was there to do his job.
I looked up at the sky, waiting for something to happen.
My mother has no family to lean on, no money coming in.
Why bother coming to school or getting good grades if I’m homeless?
The bus stops in front of the school.
I feel like throwing up.
I’m wearing clothes from last year, some old shoes and no new haircut.
I kept thinking I’d get laughed at.
Instead, I’m greeted by a couple of friends who were in my English class last year.
And it hits me, Mrs Gruwell, my crazy English teacher from last year, is the only person that made me think of hope.
Talking with friends about last year’s English and our trip, I began to feel better.
I receive my schedule and the first teacher is Mrs Gruwell in Room 203.
I walk into the room and feel as though all the problems in life are not so important anymore.
I am home.

Anda lihat kalimat terakhir? I am home, I am home, sekali lagi I am home. Seperti itulah seharusnya yang dirasakan anak didik anda di dalam kelas, saat anda mengajar. Buang segala keinginan anda untuk dihormati, dihargai, lebih-lebih ditakuti. Rasa hormat, penghargaan, dan kepatuhan bukan datang dari ketakutan, ketidaksukaan, atau keengganan. Itu semua datang karena kita dekat dengan anak-anak yang kita ajar. Percaya dan yakinlah, tidak akan jatuh harga diri anda bila anda mau berbaur dan tidak mengambil jarak terhadap anak didik. Jadikan mereka teman diskusi. Sediakan waktu untuk mereka, bahkan untuk hal-hal yang bersifat pribadi.

Satu lagi, singkirkan gengsi anda. Gengsi tidak akan mendatangkan rasa hormat di mata anak didik anda. Bisa-bisa karena gengsi, anda menjadi orang yang arogan dan sok wibawa. Anda bisa perkirakan sendiri apa yang akan terjadi di dalam kelas anda apabila anda dianggap orang yang arogan dan sok wibawa. Efektifkah proses belajar mengajar yang terjadi? Of course, ya NOT lah.

Tuesday, September 02, 2008

Baiti Jannati

Sebelumnya saya ucapkan selamat berpuasa bagi yang menjalankan ibadah puasa Ramadhan. Bagi anda yang tidak puasa padahal anda sehat dan (bagi perempuan) tidak sedang dapet, harus punya alasan yang memang menjadikan anda tidak harus puasa. Bila tidak, anda harus mempertanggungjawabkan pengingkaran anda terhadap kewajiban yang sudah ditetapkan oleh Sang Pencipta di bulan suci ini. Tenang saja, saya tidak akan bicara tentang hukuman bagi pengingkar puasa Ramadhan kok. Apa yang akan saya tulis ini anda tebak saja dengan membaca judul di atas.

Dulu saat TVRI merupakan satu-satunya televisi yang bisa ditonton rakyat Indonesia, televisi milik pemerintah ini pernah menyiarkan sebuah serial berjudul Little House on the Prairie. Anda kenal film ini? Bila tidak, saya maklum. Ini memang bukan film sekarang. Namun ceritanya akan selalu relevan sampai kapanpun. Film yang mengisahkan perjuangan keluarga pionir di Amerika Utara. Bagaimana sebuah keluarga petani sederhana dengan gigih menjalani hidupnya di sebuah rumah mungil di tengah padang rumput.

Film jadul yang dibintangi oleh Michael Landon itu merupakan favorit saya. Diputar setiap Minggu siang. Sesibuk apapun, saya selalu menyempatkan diri untuk menontonnya. Saking senangnya dengan serial itu, ketika diterbitkan dalam bentuk buku yang seluruhnya ada sembilan jilid, semua saya beli. Serial itu juga memberi gambaran kepada penonton betapa sebuah rumah sekecil dan sesederhana apapun akan menjadi oase bagi penghuninya. Tentu saja rumah yang berisi keluarga yang rukun, saling menyayangi dan melindungi. Itulah inti dari baiti jannati, atau rumahku adalah surgaku. Orang bule bilang, home sweet home.

Bagaimana dengan rumah anda? Apakah termasuk baiti jannati? Bagaimanapun keadaan rumah anda, seharusnya anda merasa bersyukur karena ada tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung dan menjadi tujuan anda pulang. Seburuk apapun keadaan dan kondisi yang ada di dalamnya, itulah surga yang anda miliki. Jangan sampai surga itu berubah menjadi neraka. Jika hal itu terjadi, berusahalah sekuat tenaga untuk merubahnya.

Saat ini saya sudah dua bulan tinggal di rumah baru. Rumah kontrakan. Meskipun bukan rumah sendiri, karena saya tinggal di situ maka saya berusaha bagaimana tempat tinggal itu bisa menjadi baiti jannati. Ada di rumah sendiri memang lebih enak, tetapi di rumah kontrakanpun bukan berarti tidak mungkin untuk bisa menjadi nyaman tinggal di dalamnya. Yang penting kan bagaimana kita menyiasatinya sehingga yang namanya home sweet home berlaku di rumah yang kita tempati. Siapapun pemilik sebenarnya rumah tersebut.

Lingkungan rumah yang saya tinggali sekarang memang kontras banget dengan rumah sebelumnya. Rumah saya yang dulu steril dari aroma kambing, karena memang tidak ada yang memelihara kambing. Namun sekarang, di dekat rumah ada kandang kambing yang, anda tahu sendiri, kadang-kadang bila angin bertiup, bau sedap kambing akan menguar dari tempat tersebut. Bagi saya sih nggak masalah, masih mendingan bau badan embek daripada manusia. Kalau anda lebih milih mana, nyium kambing apa orang? Kalau suruh nyium sih, sudah pasti saya lebih suka nyium orang. Nggak tau kalau anda. Tapi itu hak anda kok bila ternyata anda lebih demen dengan kambing. Udah, nggak usah diperpanjang lagi.

Air dan udaranya juga lebih dingin dibandingkan tempat lama, apalagi bila habis hujan. Mungkin karena tempat tinggal yang sekarang lebih dekat ke wilayah Puncak. Anda pasti tahu Puncak, bila tidak, kasiaaan… deh lu. Karena udaranya yang dingin lah yang menjadikan daerah Puncak penuh dengan villa dan penginapan. Kadang-kadang bila malam saya harus selimutan saat tidur. Paginya, malas banget jika harus keluar dari dalam selimut yang menghangatkan itu. Kemudian karena kasihan dengan orang lain sajalah saya terpaksa harus mandi pagi. Jika mandi, harus sekuat tenaga menahan dinginnya air. Rasanya begitu dingin seperti baru dikeluarkan dari kulkas. Ya saya tahu, karena saya belum terbiasa sehingga tersiksa seperti itu.

Di samping rumah ada pohon-pohon besar dan tinggi. Salah satunya pohon gandaria yang baru pertama kalinya saya lihat. Ternyata seperti itu toh pohon gandaria. Agak jauhan dikit, kira-kira 100 meter, ada kebun durian. Durian kampung, bukan jenis monthong yang terkenal itu. Ada puluhan pohon jumlahnya. Pasti sudah puluhan tahun umur pohon-pohon tersebut karena begitu menjulang. Bila musim buah tiba, barangkali akan seperti melintasi medan ranjau bila lewat di kebun durian tersebut. Kita tidak menunduk waspada saat berjalan, tetapi malah harus mendongak. Ranjau-ranjaunya tidak tertanam tetapi bergelantungan di atas. Kan berabe juga bila kejatuhan durian, meskipun duriannya mateng dan enak dimakan. Tetap bisa bikin kepala bonyok. Memang tidak sampai nyawa sih taruhannya. Tidak seperti nyamuk yang menggigit orang yang masih melek. Kata teman saya, kan nyawa tuh taruhannya bila ada nyamuk yang berani menggigit manusia yang belum tidur.

Tapi yang mengherankan saya, meskipun di perkampungan tempat saya tinggal itu pohonnya besar-besar, tidak ada satupun binatang cenggeret yang pernah saya dengar. Biasanya bila ada pokok pohon besar dan rimbun kan banyak terdapat cenggeret, itu tuh yang bunyinya keras banget terutama menjelang magrib. Apa karena terlalu dingin buat cenggeret ya? Bila anda pengen tahu lebih banyak tentang binatang ini, saya pernah membahasnya dalam tulisan berjudul Permanent Head Damage di bulan Februari 2008.

Dalam hal ibadah, kampung baru saya ini juga agak berbeda. Setelah hampir 12 tahun saat sholat subuh berjamaah tidak ada doa qunut, sekarang menggunakan qunut. Mesjidnya pun sama sekali tidak ada pengeras suara. Jadi bila ingin tahu apakah sudah waktunya sholat, ya tinggal menunggu suara bedug. Itulah satu-satunya alat komunikasi untuk memanggil sholat. Masjid di lingkungan anda ada juga yang seperti itu? Tempat wudhunya memang menggunakan kran, tetapi saya perhatikan mereka lebih suka berwudhu di kubangan air yang berbentuk kolam. Airnya berwarna kecoklatan yang berasal entah dari mata air atau sungai yang dialirkan ke kolam itu. Kolamnya tidak tinggi tetapi berada di bawah kaki sekalian digunakan untuk cuci kaki sebelum masuk masjid. Wudhu di tempat seperti itu sih bukan barang baru buat saya, tetapi biasanya kolamnya setinggi pinggang. Namun untuk yang sekarang, kok jadi gimana gitu, nggak tega bila ingat segala jenis dan bentuk kaki keluar masuk dari kolam itu. Apalagi ada pilihan lain yaitu air kran yang berasal dari air tanah. Jadi makin enggan saja.

Apapun dan bagaimanapun lingkungan yang ada di sekitar rumah saya. Saya tetap nikmati. Bau kambing yang kadang-kadang menyengat menjadi selingan yang lebih alami bila dibandingkan parfum yang artifisial. Rerimbunan pohon yang tinggi dan besar-besar menjadi penyejuk mata. Saya bisa membayangkan betapa harumnya nanti saat lewat di dekat kebun durian yang buahnya pada mulai masak. Sekarang mereka masih sedang berbunga. Di antara pohon-pohon durian itu terdapat pohon pakel atau limus yang saat ini sudah berbuah besar-besar dan mengeluarkan bau harum. Masyarakatnya yang masih agak sedikit ndeso tidak penuh basa-basi dan kepura-puraan. Kurang apa lagi? Dengan begitu saya merasa, rumah saya memang surga saya, Baiti Jannati.