
Dulu saat TVRI merupakan satu-satunya televisi yang bisa ditonton rakyat Indonesia, televisi milik pemerintah ini pernah menyiarkan sebuah serial berjudul Little House on the Prairie. Anda kenal film ini? Bila tidak, saya maklum. Ini memang bukan film sekarang. Namun ceritanya akan selalu relevan sampai kapanpun. Film yang mengisahkan perjuangan keluarga pionir di Amerika Utara. Bagaimana sebuah keluarga petani sederhana dengan gigih menjalani hidupnya di sebuah rumah mungil di tengah padang rumput.
Film jadul yang dibintangi oleh Michael Landon itu merupakan favorit saya. Diputar setiap Minggu siang. Sesibuk apapun, saya selalu menyempatkan diri untuk menontonnya. Saking senangnya dengan serial itu, ketika diterbitkan dalam bentuk buku yang seluruhnya ada sembilan jilid, semua saya beli. Serial itu juga memberi gambaran kepada penonton betapa sebuah rumah sekecil dan sesederhana apapun akan menjadi oase bagi penghuninya. Tentu saja rumah yang berisi keluarga yang rukun, saling menyayangi dan melindungi. Itulah inti dari baiti jannati, atau rumahku adalah surgaku. Orang bule bilang, home sweet home.
Bagaimana dengan rumah anda? Apakah termasuk baiti jannati? Bagaimanapun keadaan rumah anda, seharusnya anda merasa bersyukur karena ada tempat yang bisa dijadikan tempat berlindung dan menjadi tujuan anda pulang. Seburuk apapun keadaan dan kondisi yang ada di dalamnya, itulah surga yang anda miliki. Jangan sampai surga itu berubah menjadi neraka. Jika hal itu terjadi, berusahalah sekuat tenaga untuk merubahnya.
Saat ini saya sudah dua bulan tinggal di rumah baru. Rumah kontrakan. Meskipun bukan rumah sendiri, karena saya tinggal di situ maka saya berusaha bagaimana tempat tinggal itu bisa menjadi baiti jannati. Ada di rumah sendiri memang lebih enak, tetapi di rumah kontrakanpun bukan berarti tidak mungkin untuk bisa menjadi nyaman tinggal di dalamnya. Yang penting kan bagaimana kita menyiasatinya sehingga yang namanya home sweet home berlaku di rumah yang kita tempati. Siapapun pemilik sebenarnya rumah tersebut.

Air dan udaranya juga lebih dingin dibandingkan tempat lama, apalagi bila habis hujan. Mungkin karena tempat tinggal yang sekarang lebih dekat ke wilayah Puncak. Anda pasti tahu Puncak, bila tidak, kasiaaan… deh lu. Karena udaranya yang dingin lah yang menjadikan daerah Puncak penuh dengan villa dan penginapan. Kadang-kadang bila malam saya harus selimutan saat tidur. Paginya, malas banget jika harus keluar dari dalam selimut yang menghangatkan itu. Kemudian karena kasihan dengan orang lain sajalah saya terpaksa harus mandi pagi. Jika mandi, harus sekuat tenaga menahan dinginnya air. Rasanya begitu dingin seperti baru dikeluarkan dari kulkas. Ya saya tahu, karena saya belum terbiasa sehingga tersiksa seperti itu.


Dalam hal ibadah, kampung baru saya ini juga agak berbeda. Setelah hampir 12 tahun saat sholat subuh berjamaah tidak ada doa qunut, sekarang menggunakan qunut. Mesjidnya pun sama sekali tidak ada pengeras suara. Jadi bila ingin tahu apakah sudah waktunya sholat, ya tinggal menunggu suara bedug. Itulah satu-satunya alat komunikasi untuk memanggil sholat. Masjid di lingkungan anda ada juga yang seperti itu? Tempat wudhunya memang menggunakan kran, tetapi saya perhatikan mereka lebih suka berwudhu di kubangan air yang berbentuk kolam. Airnya berwarna kecoklatan yang berasal entah dari mata air atau sungai yang dialirkan ke kolam itu. Kolamnya tidak tinggi tetapi berada di bawah kaki sekalian digunakan untuk cuci kaki sebelum masuk masjid. Wudhu di tempat seperti itu sih bukan barang baru buat saya, tetapi biasanya kolamnya setinggi pinggang. Namun untuk yang sekarang, kok jadi gimana gitu, nggak tega bila ingat segala jenis dan bentuk kaki keluar masuk dari kolam itu. Apalagi ada pilihan lain yaitu air kran yang berasal dari air tanah. Jadi makin enggan saja.

keren mas, aku tadinya pusing, setelah membaca story anda jadi segeeer
ReplyDeleteaku basicnya wong ndeso, tepatnya lereng merapi, kalo sampeyan tahu, deket mbah marijan, kurang lebih jaraknya 3 kilometer,, pakel, wah aku dulu punya pohonya , samping rumah,,deket pohon durian juga,, pohon mundu, yang kalo mmalam ada burung hantunya (manuk ceguk), tapi sekarang tinggal kenangan, kena lahar da awan panas merapi,, tapi gak papa,, that was the past.
ReplyDelete