Tuesday, August 26, 2008

Medan Priyayi

Ini cerita tentang seorang besar beserta keluarganya yang ada di Bogor. Dia disebut-sebut dalam buku ketiga dari tetraloginya Pramoedya Ananta Toer, Jejak Langkah. Anda tahu siapa dia?

Yang saya tahu selama ini, teman saya yang bekerja di Universitas Pakuan Bogor ini sepupunya penyanyi Dewi Yull. Ibunya adalah tante dari Dewi Yull. Dan bagi saya, bila teman saya itu ternyata memiliki sepupu penyanyi yang sangat terkenal di Indonesia, bukan sesuatu yang luar biasa. Walaupun nyatanya ada pengaruh juga terhadap pandangan saya mengenai Dewi Yull. Saya yang dulunya tidak begitu tertarik dengan penyanyi yang suka duet dengan Broery Pesolima ini menjadi berubah. Meskipun kemudian tidak langsung menjadi suka, setidaknya saya menganggap lagu-lagunya atau orangnya sama seperti penyanyi lainnya. Seneng banget sih nggak, benci juga tidak. Saya sekarang merasa tidak asing lagi dengan Dewi Yull dan lagu-lagunya karena tahu dia itu sepupunya teman saya. Namun terus terang saja, sampai sekarang pun saya belum pernah ketemu langsung dengan Dewi Yull. Paling tahunya dari media. Kalau ditanya apakah Dewi Yull kenal saya, sudah pasti, ya enggak lah yao.

Belum lama berselang, tepatnya 22 Agustus kemarin sekitar jam 21.30-an WIB, ada sms masuk dari sahabat teman saya itu. Sms itu menginformasikan bahwa bapak dari teman saya yang sepupunya penyanyi itu meninggal dunia. Innalillahi wa inna illaihi roojiun. Meskipun sudah malam, saya dan istri kemudian memutuskan untuk berangkat ke rumah duka. Setelah berpesan kepada anak saya yang besar untuk menjaga adiknya, saya membonceng mantan pacar menembus angin malam Bogor. Dingin memang, tapi ada penghangat di belakang saya.

Di rumah duka sudah banyak orang. Sebagian bergerombol di pinggir jalan, yang lain beres-beres rumah dan menyiapkan rangkaian kembang serta kelengkapan lainnya untuk jenasah. Kami semua menunggu kedatangan jenasah yang meninggal di Sukabumi. RM Dicky Permadi bin RM Priatman meninggal karena pembengkakan jantung.

Saya duduk di sebelah dipan yang dipersiapkan untuk menaruh jenasah. Sambil menunggu saya melihat-lihat perabot yang ada di sekeliling saya. Rumah tinggal almarhum merupakah rumah mewah lama. Pintu dan kusennya besar-besar yang kesemuanya dibuat dari kayu jati. Begitu juga perabotnya. Meja, kursi, almari, bufet, semua dari kayu jati asli. Bila melihat penampilannya, bisa jadi semua itu dibuat dari kayu jati yang sudah ratusan tahun umurnya yang didatangkan dari Blora.

Rumah pak Dicky ini luar biasa besar dan ada banyak kamar di dalamnya. Sampai-sampai pernah ada kejadian menyeramkan tetapi juga lucu sebagaimana pernah diceritakan teman saya yang sepupunya Dewi Yull itu. Tanpa disadari para penghuni rumah, ada seorang maling berada di salah satu kamar. Saat malam hari teman saya itu keluar kamar dan kebetulan maling itu juga keluar dari kamarnya. Mereka ketemu. Keduanya sama-sama kaget. Mereka saling bertanya. “Bapak siapa?” kata teman saya. “Kamu siapa?” maling itu juga bertanya. Teman saya ketakutan, dan malingnya saya rasa lebih takut karena tidak menyangka pemilik rumah memergokinya. Apa yang terjadi selanjutnya teman saya tidak cerita. Pastilah maling itu lari terbirit-birit ketakutan sambil terkencing-kencing. Teman saya juga mungkin lari ketakutan. Apakah dia juga terkencing-kencing, saya kurang tahu.

Pekarangan rumah itu juga luas. Di bagian depan di tumbuhi pohon-pohon cengkeh besar dan menjulang. Di samping rumah ada pohon matoa. Selain itu ada juga pohon salam tua yang selalu dipangkas secara berkala untuk diambil daun-daunnya oleh pedagang bumbu dapur. Pemilik pohon tidak perlu mengeluarkan biaya pemangkasan, dan tukang pangkas yang penjual bumbu dapur itu tidak perlu membayar daun-daun salam yang diambil. Dedaunan itu sebagai upah untuk tenaganya. Barter istilahnya. Di belakang rumah terdapat beberapa pohon alpukat yang barangkali sudah berumur ratusan tahun yang selalu berbuah lebat saat musim buah tiba. Saya beberapa kali pernah merasakan alpukat kiriman teman saya yang cantik dan baik hati itu.

Jam sudah menunjukkan pukul sebelas malam tetapi jenasah belum datang. Katanya rombongan jenasah sudah sampai di Ciawi. Mungkin kejebak macet. Mata saya masih jelalatan memandangi perabot dan pernak-pernik yang ada di sekeliling saya. Saya tertarik untuk mengamati dengan seksama ketika mata saya melihat sebuah pigura besar tergantung di dinding dengan gambar seorang laki-laki mengenakan blankon di kepala tetapi bajunya model eropa. Pakaian khas seorang priyayi tempo dulu. Di atas orang tersebut terdapat tulisan besar MEDAN PRIJAJI.

Anda tahu Medan Prijaji yang bila dieja sekarang menjadi Medan Priyayi? Medan Prijaji merupakan koran pertama Indonesia yang terbit pertama kali di Bandung Januari 1907. Surat kabar ini didirikan oleh RM Tirto Adhi Soerjo. Medan Prijaji berbahasa Melayu. Koran ini dikelola sebuah badan hukum bernama N.V. Javaansche Boekhandel en Drukkerij en handel in schrijfbehoeften “Medan Prijaji.” NV ini didirikan oleh RM Tirto Adhi Soerjo bersama HM Arsad dan Oesman pada Januari 1904 dengan alamat di Gedung Kebudayaan (sekarang Gedung Yayasan Pusat Kebudayaan/YPK), Djalan Naripan Bandung.

Moto di edisi pertama yang tertulis di bawah nama Medan Prijaji adalah "Ja'ni swara bagai sekalijan Radja2. Bangsawan Asali dan fikiran dan saoedagar2 Anaknegri. Lid2 Gemeente dan Gewestelijke Raden dan saoedagar bangsa jang terperentah lainnja jang dipersamakan dengan Anaknegri di seloereoeh Hindia Olanda".

Delapan asas yang diturunkan RM Tirto Adhi Soerjo di halaman muka edisi perdana, antara lain memberi informasi, menjadi penyuluh keadilan, memberikan bantuan hukum, tempat orang tersia-sia mengadukan halnya, mencari pekerjaan, menggerakkan bangsanya untuk berorganisasi dan mengorganisasikan diri, membangunkan dan memajukan bangsanya, serta memperkuat bangsanya dengan usaha perdagangan.

Menurut buku Sejarah Pers Sebangsa, nama-nama para pengelola Medan Prijaji adalah sebagai berikut. Sebagai pemimpin redaksi (hoofdredacteur) adalah RM Tirto Adhi Soerjo, dengan redaktur A.W. Madhie, Raden Tjokromidjojo, Raden Soebroto (ketiganya dari Bandung), R.M. Prodjodisoerjo dan R. Kartadjoemena di Bogor, dan P.t (Paduka tuan) J.J. Meyer, pensiunan Asisten Residen di Gravenhage, sebagai redaktur di Belanda. Juga disebut adanya beberapa jurnalis bangsa Tiong Hoa dan pribumi antara lain Begelener, Hadji Moekti dan lain-lain.

Sayangnya Medan Prijaji tidak bertahan lama. Nomor terakhir terbit 3 Januari 1912 tahun VI. Pada 23 Agustus 1912 Medan Prijaji pun ditutup. Dua bulan setelah tutup, Jaksa Agung Hindia Belanda A Browner menjatuhkan vonis bahwa Tirto bersalah telah menulis penghinaan kepada Bupati Rembang. RM Tirto Adi Soerjo disingkirkan dari Pulau Jawa dan dibuang ke Pulau Bacan, dekat Halmahera (Provinsi Maluku Utara).

Pada malam itu, baru saya tahu bahwa pak Dicky almarhum ternyata cucu dari RM Tirto Adhi Soerjo. Bapaknya pak Dicky, RM Priatman, adalah anak dari pendiri Medan Prijaji. Saya tahu tentang kisah perjuangan dan kehidupan RM Tirto Adhi Soerjo dan proses pendirian Medan Prijaji dari tulisan Pramoedya Ananta Toer dalam buku Jejak Langkah, buku ke-3 dalam Tetralogi Buru. Siapa sangka ternyata malam itu saya sedang berada di rumah tokoh tersebut dan sedang menunggu jenasah cucunya.

Jam 23.30 wib terdengar suara sirine. Sebuah ambulan memasuki halaman rumah. Jenasah RM Dicky Permadi akhirnya tiba. Orang-orang berdiri menyambut. Saya sebenarnya ingin ikut membantu mengangkat jenasah dari mobil ke dalam rumah, tapi saya ragu-ragu. Entah kenapa. Mungkin karena melihat sudah banyak orang yang mengerumuni kereta dorong yang berisi jenasah. Tanpa sayapun, sudah pasti jenasah akan sudah diusung banyak orang.

Jenasah pak Dicky sudah disemayamkan di atas dipan yang sudah dipersiapkan. Saya segera mengambil salah satu dari kitab-kitab yang sudah disediakan untuk membaca Surat Yasin. Jam setengah satu saya pamitan pulang. Saya lihat orang-orang sebagian juga berpamitan pulang dan ada juga yang baru datang. Tidak heran bila banyak pelayat yang datang. Almarhum RM Dicky Permadi bukan orang sembarangan. Dia cucu dari tokoh nasional pendiri koran nasional pertama Medan Prijaji. Koran yang menjadi pelopor dari genre jurnalisme, yang puluhan tahun kemudian dikenal dengan sebutan jurnalisme advokasi. Koran yang kegiatannya tak berhenti dengan sekedar memberitakan sebuah peristiwa atau kebijakan yang merugikan publik, namun terjun langsung menangani kasus-kasus yang menimpa si korban.

Selamat jalan pak Dicky. Meskipun malam itu merupakan pertemuan kita yang pertama dan sayangnya sekaligus terakhir, saya merasa sudah sangat kenal dengan anda. Dan saya merasa bangga menjadi teman putri anda yang cantik dan baik hati. Seorang teman yang ternyata anak dari cucu RM Tirto Adhi Soerjo yang nama dan kisah hidupnya dibukukan oleh seorang begawan sastra Indonesia kaliber dunia, Pramoedya Ananta Toer, yang sangat saya kagumi.

Tulisan ini saya buat untuk teman baik saya, Shita. Shita, kamu harus tahu, saya sekarang menjadi luar biasa bangganya setelah tahu bahwa dirimu ternyata buyut dari pendiri Medan Prijaji.

3 comments:

  1. This comment has been removed by the author.

    ReplyDelete
  2. Pa adi....
    Terima kasih banyak untuk ilmu dan life sharingnya...

    Mohon maaf yang sebesar2nya bila selama kita berpetulang baik di gunung maupun di lembah, banyak kata dan tingkah polah saya yang menyakiti hati bapak.
    Semoga ramadhan kali ini menjadi yang terbaik bagi kita.
    Ujang & Istri

    ReplyDelete
  3. salam kenal pak...
    saya sangat terbantu postingan anda..terima kasih

    ReplyDelete