Thursday, December 28, 2006

Green Walk

Sudah nggak keitung saya ke gunung kapur di desa Karang Mas. Kapanpun main ke tempat tersebut, selalu senang saja bawaannya. Termasuk hari Minggu pagi (24/12/06) kemarin.

Ceritanya di kampung tempat saya tinggal mengadakan acara Jalan Sehat Keluarga. Pesertanya merupakan gabungan RT.02 dan RT.03. Meskipun hanya sebagian keluarga saja yang ikut, acaranya tetap meriah. Semua orang menikmati perjalanan. Termasuk saya sekeluarga. Hamparan rumput menghijau setinggi muka mengapit jalan yang dilewati. Anak-anak yang ikut sudah pasti tenggelam oleh ketinggian rumput. Jalanan menanjak menjadi tantangan lain buat mereka. Nampak jelas terpancar kegembiraan di wajah mereka. Tidak ada istilah capek.

Semua orang bersuka cita. Bukan hanya anak-anak, orang tua pun nggak ada bedanya. Buktinya, coba lihat foto ibu-ibu yang lagi bergaya. Kalau melihat tampangnya, mereka tidak kalah senangnya dibandingkan anak-anaknya. Jalan pagi menyusuri lereng gunung rupanya bisa menjadi obat bagi mereka untuk melupakan sejenak rutinitas di rumah. Disamping murah, sudah pasti menyehatkan.

Jarak yang harus ditempuh sebenarnya tidak terlalu jauh. Lokasi gunung kapur tepat di seberang perumahan tempat para peserta tinggal. Hanya karena banyak anak-anak yang ikut maka waktu tempuh jadi agak lama. Perjalanan dilakukan dengan santai. Lagian kenapa mesti terburu-buru. Kan tidak hendak mengejar kereta atau bis.

Udara pagi yang segar dan rerumputan hijau dengan kilau embun di atasnya menjadi terapi bagi semua peserta. Celana yang basah terkena embun terasa sejuk di kaki. Setelah jalan beberapa saat menembus rumpun rumput gajah yang hampir menutup jalan, para peserta istirahat tepat di bawah lereng yang agak terbuka. Bekal makanan dan minuman yang dibawa dari rumah dikeluarkan dan dinikmati sambil memandang bentangan desa Cibadak. Foto-fotoan tidak lupa dilakukan.

Monday, December 11, 2006

Ada Tamu

Malam ini ada tamu di rumah. Anak-anak BEC angkatan X. Encu, Rosi, Amira, Resti, Idan, ama Ryan (Junot). Sebelumnya nggak ada rencana sama sekali kalau mereka mau maen ke rumah. Sore tadi saat pulang dari kantor, mereka pada ngobrol-ngobrol di pengkolan di depan pos kamling tempat abang-abang becak pada mangkal. Tiba-tiba saja mereka ada yang bilang mau maen ke rumah. Saya iya-in dan .... gayung bersambut rupanya. Mereka jadi pulang bareng ke rumah.

Karena nggak ada niatan sebelumnya, ya terpaksa dijamu dengan yang ada saja. Makan malampun saya suruh masak sendiri. Untung ada yang jago masak. Baru tau kalau Ryan itu tukang masak. Jadi deh kita rame-rame makan malam di ruang tamu, meskipun jam menunjukkan hampir pukul sembilan. Better late than never lah. Mendingan telat daripada kagak makan malam.

Untuk tidur, yang cewek di kamar Izal & Reyhan, yang laki ngampar di ruang tamu. Selamat tidur guys. Nikmati tidurmu malam ini di gubukku. Semoga mimpi sedang tidur di hotel bintang lima. Jangan kapok. Kalaupun mau maen lagi, dengan lebih banyak temen, welcome saja. My door opens widely for you all.

Sunday, November 26, 2006

Gelombang Cinta

Saya sempat geli ketika membaca sms dari Usos, teman yang tinggal di Semarang yang istrinya jual tanaman hias. Dalam smsnya dia tanya tentang harga bunga Antorium Gelombang Cinta di Bogor. Antorium Gelombang Cinta? Lucu amat namanya. Baru dengar kalau ada bunga namanya seperti itu. Jangankan harga, bentuknya kaya apa saja saya nggak tahu. Makanya, saat nemenin istri beli rak dan bunga anggrek di Jl. Dadali, kesempatan buat saya untuk mengetahui wujudnya Antorium tersebut. Ternyata ada banyak jenisnya. Sama penjual saya diajak tour untuk melihat koleksi Antorium yang dia miliki.

Antorium Gelombang Cinta (nama aslinya Anthurium, Wave of Love variety) tampilannya biasa saja. Nggak ada istimewanya. Saat saya tanyakan harganya, dijawab Rp. 65.000. Hah? Semahal itukah? Penjualnya sendiri heran kenapa bisa mahal dan juga banyak orang yang tertarik. Padahal sebelumnya bunga tersebut hanya berharga lima belas ribuan. Dia memperkirakan penyebab itu semua karena bunga tersebut ditulis di majalah pertanian seperti Trubus, sehingga banyak orang yang mencari. Kalau lihat fotonya, biasa saja kan? Apa coba yang menarik?

Ternyata bukan hanya harga Antorium Gelombang Cinta saja yang mengejutkan saya. Ada Antorium jenis lain yang lebih mahal, Rp. 150.000, yaitu jenis Bukeri (kata yang saya dengar dari ucapan penjualnya). Biasa saja juga tampilannya.

Yang lebih heboh lagi, ada yang harganya 1,5 juta. Saya jadi terdiam setelah dengar ucapan penjualnya. Dia bilang, Antorium jenis Jati ini memang dari dulu sudah mahal. Tidak seperti Gelombang Cinta yang menjadi mahal karena banyak orang yang demam. Demam membeli Antorium. Selain jenis Jati, penjual tersebut sebelumnya juga pernah menjual Antorium lain (jenisnya saya lupa) seharga 2,5 juta. Sayang dia sudah nggak punya jenis Antorium tersebut yang bisa ditunjukkan kepada saya.

Antorium termasuk tanaman hias yang keindahannya karena daunnya. Tapi kadang saya nggak habis pikir dengan orang-orang yang mau mengeluarkan jutaan rupiah untuk sebuah tanaman yang oleh sebagian orang awam (termasuk saya) dianggap biasa saja. Barangkali kalau saya kaya raya akan melakukan kegilaan seperti yang mereka lakukan.
What money can buy?

Thursday, November 09, 2006

Perjalanan Lebaran #3

27 Oktober 2006 (Jum’at): Ngariung Sebelah Saung di Cikawung

Malam Jum’at saya, istri, dan aak Jaja (anak tertua dari wak Endus) asik ngobrol sampai jam setengah satu malam di ruang tamu. Segala hal diperbincangkan. Ngalor ngidul. Salah satunya adalah tentang rencana besuk pagi untuk sarapan di sawahnya wak Endus yang ada di dukuh Cikawung.

Paginya, sekitar jam 7.48, saya sekeluarga, bapak mertua, aak Jaja beserta istri dan kedua dari tiga anaknya, wak Endus dan istri juga anak perempuan terkecilnya, teteh Arin, rame-rame berangkat ke Cikawung. Persawahan milik wak Endus di Cikawung letaknya ada di cekungan sebuah bukit. Meskipun sawah di sekelilingnya kering, karena ada mata air di bagian paling bawah, sawah wak Endus bisa ditanami padi dan ada balong di sebelahnya. Kontras sekali. Sawah menghijau dikelilingi oleh lahan kerontang.

Sesampai di lokasi, tikar pandan digelar di sebelah saung di atas tumpukan jerami kering yang empuk untuk tempat sarapan nanti. Wak Endus segera menjaring ikan. Izal dan Reyhan nggak mau kalah. Mereka masuk ke dalam balong membantu wak Endus mencari ikan dengan heboh yang sebenarnya lebih banyak ngrecoki daripada membantu. Mereka berteriak-teriak berbasah-basahan di tengah balong. Njebur di tengah balong sambil mencari ikan adalah barang mewah buat mereka. Hiburan alami yang jarang sekali bisa mereka nikmati. Saya dan istri hanya melihat dari pinggir balong, menikmati kegembiraan yang sedang dialami kedua anak saya tersebut.

Semua sibuk. Aak Jaja menyiapkan api untuk membakar ikan. Wak Endus perempuan membuat sambal untuk ikan bakar nanti. Saya menunggu di depannya menyaksikan beliau membuat sambal tersebut yang terdiri dari garam, kacang tanah goreng, cabe, jahe, dan kecap. Pedasnya jangan ditanya. Bapak mertua entah pergi kemana. Saat kembali di tanganya ada seikat mentimun muda. Selain mentimun ada petai cina, entah siapa yang ngambil, yang nantinya dijadikan lalapan. Pepaya yang sudah menguning di dekat saung dipetik kemudian dikupas sebagai dessert (pencuci mulut). Nasinya nasi merah yang sudah dibawa dari rumah.

Setelah semua siap, kami duduk berhadap-hadapan di atas tikar pandan yang di tengahnya ditaruh daun pisang. Di atas daun pisang kemudian disiapkan nasi merah, ikan bakar yang sudah berbalur sambal kecap pedas, mentimun, petai cina, dan ungkep ayam tidak pedas yang dibawa dari rumah untuk anak-anak. Semua menikmati piknik keluarga di tengah sawah. Ngariung (berkumpul) di sebelah saung wak Endus sambil mengobrol dan menikmati sarapan yang lezat. Lezat bukan karena makanannya, tapi karena suasana keakraban yang terjalin. Saya yakin piknik ini bukan hanya menjadi kenangan yang mendalam bagi keluarga saya, tetapi juga seluruh kerabat yang ada saat itu.

Makan pagi telah selesai, tapi kami tetap tinggal untuk sesaat. Menyambung obrolan yang telah berlangsung saat sarapan. Ketika jam menunjukkan pukul 10, kami kemudian pulang untuk siap-siap melaksanakan sholat Jum’at.

Tararengyu (thank you nya orang Sunda) wak Endus.

28 Oktober 2006 (Sabtu): Kembali ke Dunia Nyata

Terasa singkat kesenangan yang saya dan keluarga nikmati di Sadawangi. Tiba-tiba saja saya harus mengakhiri kegembiraan berkumpul dengan keluarga di Sadawangi. Kewajiban ngajar di Astri Triguna di hari Senin dan istri yang harus berangkat kuliah untuk S2 nya di hari yang juga sama mengharuskan kami untuk pulang ke Bogor.

Jam 6.55 wib kami diantar menggunakan mobil sedannya Dede anaknya mang Herman ke Wado. Kemudian kami sambung dengan angkutan umum menuju terminal Ciakar, Sumedang. Inginnya dari Ciakar nanti naik bis jurusan terminal Kampung Rambutan kemudian turun di Ciawi. Rupanya bis yang kami naiki tidak lewat Puncak melainkan Jonggol, sehingga tidak bisa turun sesuai keinginan. Apa boleh buat, terpaksa kami turun di Kampung Rambutan yang selanjutnya disambung dengan bis jurusan Bogor. Nggak masalah. Malahan, meskipun memutar lewat Jonggol, karena lancar dan sopirnya tidak lelet, saya sekeluarga bisa nyampai rumah sebelum magrib. Ongkosnya sendiri jatuhnya lebih murah. Kalau waktu berangkat saya harus membayar 40 ribu per tiket untuk Bogor Sumedang, sekarang hanya 26 ribu per tiket untuk Sumedang Jakarta. Sedangkan Jakarta Bogor hanya 7 ribu.

Dalam perjalanan pulang hanya ada sedikit gangguan yaitu Izal pengen eek, padahal saat itu bis baru masuk Cianjur. Untungnya nggak lama kemudian bisnya belok ke restoran untuk istirahat di Ciranjang. Segera saya ajak Izal turun dan pergi ke kamar kecil. Nggak lama kemudian ternyata Reyhan juga nyusul bersama ibunya untuk buang air besar juga. Mumpung ada kesempatan saya suruh mereka membuang segala hajat yang ada.

Meskipun menemui sopir yang lelet saat berangkat, harus membayar tiket Bogor Sumedang yang kelewat mahal meskipun kondektur mengatakan bahwa dia hanya menaikkan tarif lima ribu, bingung ketika Izal ingin eek saat dalam perjalanan pulang, saya sekeluarga rasa-rasanya seperti dalam oase kenikmatan dan kegembiraan selama tinggal di desa Sadawangi. Pesona alam Sadawangi membuat saya dan istri bertekad untuk datang lagi bahkan sebelum lebaran tahun depan. Mudah-mudahan rencana tersebut bisa terwujud, amin. Sekarang, saya harus kembali ke dunia nyata. Saya dan keluarga harus pulang ke rumah kami di Bogor. Sampai ketemu lagi Sadawangi.

Wednesday, November 08, 2006

Perjalanan Lebaran #2

26 Oktober 2006 (Kamis): Rumah di Atas Bukit

Hari sudah terang ketika saya bangun. Lelap betul tidur semalam setelah seharian melakukan perjalanan Bogor Sadawangi. Setelah sholat subuh, saya keluar rumah menikmati sejuknya udara pagi desa Sadawangi. Jalan raya di depan rumah teteh Ela tempat saya dan keluarga menginap masih lengang. Teteh Ela adalah anak dari almarhum uwak Abu, kakaknya bapak mertua. Cuma ada satu dua sepeda motor yang lewat. Sementara kendaraan umum, baik bis ¾ maupun angkot belum ada yang lewat.

Hari ini kami akan mengunjungi saudara yang tinggal di dukuh Simpur. Dulu ketika pertama kali datang ke Sadawangi, kami pernah main ke dukuh yang letaknya di atas bukit tersebut. Ada beberapa rumah yang penghuninya masih memiliki hubungan saudara dengan istri saya. Masih segar dalam ingatan saat kami harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju ke perkampungan di atas bukit. Saat itu jalan masih berupa tanah coklat, beberapa ruas diantaranya disusun batu di atasnya untuk memperkeras. Sekarang, kami masih juga menaiki jalan yang sama dengan yang pernah kami lewati beberapa tahun yang lalu. Bedanya, sekarang bukan jalan tanah, melainkan sudah dihotmix, diaspal halus. Namun demikian, istri saya tetap nggak mau ketika ditawari naik ojek. Lebih memilih jalan. Ngeri membayangkan merayap menaiki tanjakan yang curam menggunakan motor, meskipun jalannya sudah diaspal.

Setelah beres-beres, jam 10.39 wib kami berangkat menuju dukuh Simpur dengan dipandu oleh bapak mertua. Saya nggak pede pergi ke Simpur tanpa ditemani bapak mertua. Selain saya nggak hapal wajah dari saudara yang ada di bukit tersebut, juga tidak lancar menggunakan bahasa Sunda. Sebagian di antara mereka, terutama yang tua-tua ada yang sama sekali tidak bisa bahasa Indonesia. Sementara saya, tidak paham bahasa Sunda.

Kami mendatangi satu persatu rumah milik para saudara. Namanya juga lebaran, setiap rumah yang dikunjungi selalu memberikan hidangan, minimal kue dan air teh pahit. Mau nggak mau, perut ini harus diatur. Kadang saya harus makan lebih dari sekali. Jadi bisa dipastikan, perut sering nggak enak karena tidak pernah diberi istirahat untuk berhenti memproses makanan. Perut memang terasa nggak nyaman, tapi ada hal lain yang menjadi imbalan. Suasana alam pedesaan dan bentuk-bentuk rumah yang berupa rumah panggung menjadi daya tarik tersendiri. Di mata saya, rumah panggung tersebut sungguh memikat. Rasanya adem tinggal di dalamnya. Kata istri, rumah panggung tersebut merupakan bentuk rumah asli dari penduduk Simpur. Ada memang yang bentuk rumahnya sudah mengikuti jaman sekarang, ditembok, bukan dari lembaran papan, dan tidak berbentuk rumah panggung. Tapi rumah-rumah seperti itu tidak menarik lagi. Nggak ada kekhasannya seperti rumah asli yang berbentuk panggung dan terbuat dari kayu.

Pulang dari Simpur kami istirahat sebentar di rumah uwak Endus. Jam 13.54 wib berangkat lagi ke rumah saudara di kampung Sidamukti. Lokasinya ada di bawah Sadawangi. Rumah saudara yang kami datangi tepat menghadap persawahan yang sayangnya lagi kering karena musim kemarau. Seandainya musim penghujan, pasti akan sangat indah dan segar. Apalagi di ujung pandangan terlihat pegunungan yang hijau dengan latar langit membiru. Oohhh.......

Karena memang tujuannya hanya ke rumah tersebut maka kami agak lama juga bertandangnya. Kebetulan tuan rumah memiliki balong (kolam ikan). Anak-anak menghabiskan waktu dengan memancing ikan. Sementara saya dan istri mengobrol dengan saudara yang hubungannya pernah sebagai teteh. Kami dijamu dengan ikan bakar dan petai bakar yang pohonnya ada di sebelah balong. Apa boleh buat, meskipun kami sudah makan siang di Simpur dan perut masih kenyang, karena hendak menghormati tuan rumah, saya dan istri memaksakan diri makan siang lagi. Saat itu jam dinding di atas kepala saya sudah menunjukkan pukul 15.50 wib. Apakah masih pantas disebut makan siang?

Saya jarang-jarang makan petai, malahan dulu pernah sama sekali menjauhi petai. Tapi ketika dihadapkan pada petai bakar yang fresh from the oven, yang baru dipetik dari pohon, yang baru keluar dari tungku pembakaran, tergoda juga akhirnya. Baunya yang harum menggelitik cuping hidung saya. Masih untung setelah itu buang air kecilnya langsung ke balong, jadi bau sedapnya langsung larut dinikmati oleh ikan emas yang nantinya juga akan dihidangkan sebagai santapan. Bahkan bisa jadi ikan emas bakar yang saya makan barusan, dulunya juga pernah menikmati air kencing petai dari seseorang yang membuangnya ke kolam tempat dia tinggal. Kalau begitu, itulah yang disebut dengan life cycle.

Wednesday, November 01, 2006

Perjalanan Lebaran #1

25 Oktober 2006 (Rabu): Kejutan yang Gagal

Saya sekeluarga tidak mudik. Sebagai gantinya, saya, istri, dan anak-anak pergi ke desa asal bapaknya istri, Sadawangi. Sebuah desa yang masuk wilayah kabupaten Majalengka tetapi lokasinya lebih dekat ke Sumedang. Pernah ke tempat tersebut? Kalau belum, mainlah ke sana sekali tempo. Daerah yang asri dan sejuk dengan jalan yang berkelok naik turun untuk mencapainya merupakan sebuah pengalaman yang tak percuma.

Perjalanan dimulai dari rumah jam 8.50 wib ke terminal Baranangsiang. Di terminal kemudian naik bis jurusan Sumedang dengan ongkos 40 ribu per orang. Karena kursi yang kami duduki ada tiga meskipun orangnya empat, maka total ongkos yang harus dibayar adalah 120 ribu rupiah. Sampai di terminal Ciakar Sumedang sudah jam 19.45 wib. Dari situ nyambung angkot ke Wado dengan membayar 25 ribu untuk tiga orang. Anak saya yang kedua tidak dihitung. Angkot Wado yang berangkat dari Ciakar jam 20.19 tiba di Wado jam 21.46. Angkutan umum yang menuju desa Sadawangi paling akhir adalah jam 5 sore. Dengan demikian, terdamparlah kami di Wado. Tukang ojeg yang menawarkan jasa dengan tarif 30 ribu menuju Sadawangi saya tolak. Alasannya adalah pertama, kasihan anak-anak kalau harus berangin-angin di malam hari yang udaranya sudah pasti lebih dingin dari Bogor. Kedua, saya tidak bawa jaket sedangkan semua kaos dan baju ganti yang saya bawa berlengan pendek. Istri saya kemudian mengontak mamang Tajudin, atau suka dipanggil Babeh, yang ada di Sadawangi untuk menjemput. Saat mobil jemputan datang, selain sopir di dalamnya ada Babeh dan bapak mertua. Jam 22.30 kami baru sampai di desa Sadawangi, kecamatan Lemah Sugih. Meskipun Wado Sadawangi hanya berjarak 15 km, karena jalannya yang berkelok-kelok dan turun naik serta sebagian ada yang rusak maka perlu waktu sekitar 45 menit untuk mencapai Sadawangi.

Terakhir ke Sadawangi adalah ketika Reyhan, anak kedua saya, berusia satu tahun, sekitar lima tahun yang lalu. Makanya ketika secara tiba-tiba nongol, para kerabat antusias sekali menyambut kedatangan kami. Maklum sudah bertahun-tahun tidak ketemu. Dan kunjungan ini juga tanpa sepengetahuan bapak mertua. Awalnya saat saya memutuskan untuk ke Sadawangi adalah karena mendengar kabar kalau bapak mertua akan ke desa tersebut pada hari lebaran kedua. Untuk menjadikan sebuah kejutan bagi bapak mertua, saya sengaja tidak memberi tahu kalau akan datang ke Sadawangi pada hari yang sama. Harapannya adalah saya sampai duluan ketika bapak mertua datang, sehingga bisa menyambut beliau ketika tiba.

Saya sekeluarga berangkat dari Bogor, sedangkan bapak mertua dari Salatiga. Karena Bogor lebih dekat ke Sadawangi dibandingkan Salatiga, bisa dipastikan saya sampai duluan. Ternyata perkiraan tersebut meleset. Saya yang berangkat dari rumah jam 8.50 pagi, sampai di Sadawangi jam 10.30 malam. Bayangkan, Bogor – Sadawangi yang sama-sama di Jawa Barat ditempuh hampir empat belas jam. Sedangkan bapak mertua yang berangkat dari Salatiga jam 6.30 pagi, jam 4 sore sudah sampai di Sadawangi. Kenapa saya bisa begitu terlambat gara-garanya bukan karena jalan yang macet tetapi terutama karena supir bisnya yang begitu lelet kaya keong. Meskipun bis yang saya tumpangi tidak lewat Puncak tapi lewat Sukabumi, kalau supirnya tidak lelet gitu pasti sampainya bisa lebih cepet. Anehnya sopir tersebut tidak berani ngebut walaupun jalan di depannya kosong sama sekali, namun akan memacu kendaraannya bila banyak mobil atau masuk jalan tol. Masak Bogor – Bandung yang normal ditempuh dalam empat jam menjadi tujuh jam. Gile benerrrrrr… Sebagian penumpang pada emosi. Ada penumpang yang teriak “Injek pir, injek….” Saat tiba di Bandung, penumpang yang turun nyeletuk kalau Bogor Bandung tujuh jam adalah rekor. Yang tadinya ingin memberi kejutan jadi gagal. Tadinya saya berharap bisa menyambut bapak mertua ketika beliau sampai di Sadawangi, justru beliau yang menyambut saya.

Saya sekeluarga memang memutuskan tidak pulang kampung. Namun ternyata, lamanya perjalanan ke Sadawangi malahan lebih dari mudik ke tempat asal saya, Demak, maupun Salatiga tempat orang tua istri.

Tuesday, October 24, 2006

I'm not Alone

Bukti kalau saya tidak hidup sendiri saat menjelang puasa Ramadhan maupun lebaran adalah berbagai SMS yang pernah mampir di saja poenja itoe hape.

23-09-06 5:52 pm
From: Bec-Mita
Marhaban Ya Ramadhan.Selamat menunaikan ibadah puasa.smoga di bulan berkah ramadhan kita medapatkan pahala berlimpah dari Allah SWT.Maafin smua dosa2 mi ya,,

23-09-06 9:55 pm
From: Bec9-Titi
B’tèmAN traSa mEsRa biLa Da gUrAu&caNDA.naMuN t’kaDaNg Da tiNgKaH&KatA yG tAk kEnA.m’JeLanG rAmAdHaN yG MuLiA,mAAfn tasSgla kslhn Tie y..SèLaMaT b’PuAsA,,,

23-09-06 10:22 pm
From: Bec9-Fitri
Kadang mata salah Mlihat,mulut salah B’ucap,telinga salah mDengar & hati salah Mduga,met puasa..JMohon maaf utk lisan y tak trjaga & sgl hilaf y tlh trcipta

22-10-06 4:24 pm
From: Dp-Syabar
Mohon maaf lahir&bathin. Taqobalallohu minna waminkum, salamun alaikum kataba Robbukum ‘ala nafsihi rahmah. SABAR&KEL.

22-10-06 9:24 PM
From: Cit-Zulfikar
Taqabbalallahu Minna Wa Minkum,Shiyamana Wa Shiyakum. Selamat Merayakan Hari Raya Idul Fitri 1427H Minal Aidin wal Faidzin Mohon Maaf Lahir& Batin (Zulfikar&kel)

22-10-06 11:37 pm
From: Bec-Mita
Taqoballallohu minna waminkum,siamana wasia makum.Slmt hr raya idul fitri1427 H.Mhn maaf lahir & bathin.Maafin yakl,mi bnyk salah kata & prbuatan selama ini.

23-10-06 4:45 am
From: Bec8-Rahmat
Sebulan berpuasa sucikan diri.Lengkapi hati di hari yg fitri. RAHMAT mengucapkan MINAL AIDZIN WAL FAIZIN,MOHON MAAF LAHIR& BATIN…..SELAMAT IDUL FITRI 1427 H.

23-10-06 8:20 am
From: Wm-Ayul/O
Selamat idul fitri, mhn maaf lahir & batin@ Ach. Yulianto + kelg.

23-10-06 8:57 am
From: Fam-Lelo
Semoga untaian ibadah menjadi ungkapan syukur terindah di hari kemenangan ini.SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI 1427 H.Mohon maaf lahir dan batin.

23-10-06 9:15 am
From: Gde-Nunu
‘SELMAT IDUL FITRI’ Mohon Maaf Lahir Batin (Nunu)

23-10-06 6:32 pm
From: Bec-Widy
Fajar Syawal 1427 merekah-menyapa kaum muslimin, selamat menjadi manusia baru, semoga jiwa Ramadhan selalu dalam setiap langkah kita. Amin. Widy.

23-10-06 7:23 pm
From: DP-Teddy
“Beralas ikhlas, beratap doa, di hari yang fitri ini mohon dibukakan pintu maaf. Selamat Idul Fitri 1427 H Mohon Maaf Lahir Batin”. Teddy & Keluarga

23-10-06 7:54 pm
From: Bec8-Viena
ÅssàlämÜ’åläiküm.g penting 1 syawal hr senin ato selasa,yg penting aq dmaafin sm km lahir batin.seikhls hatimu.maafin aku ya..Jmet lebaran.

23-10-06 9:20 pm
From: Bec9-Titi
Tlah bNyak y9 qT p’bUaT sLma iNi.T’kADan9 aD tN9kah&KaTa y9 mNykiTkaN.KiNi pNTu mAAf tLah t’bUKA.SaaT’y sLg mMaaFkaN.MiNaL AiDin WaLfaiDziN.Mhn maAf Lhir&BaTin.

23-10-06 11:49 pm
From: Bec-Sofyan
Perkataan yg baik dan pemberian maaf lebih baik dr sedekah yg diiringi dg sst yg menyakitkan perasaan (QS 2:263) Insya Allah kita termasuk orang2 yg suka memberi maaf. Selamat idul fitri maaf lahir bathin. Sofyan Nata & klg

24-10-06 6:09 am
From: Wm-Ajun/M
Dengan hati kami yg bening & ikhlas yg mendalam kami menghaturkan mohon maaf lahir batin, semoga kita semua selalu dalam lindunganNya. Amin (A.Junaedi & kel)

24-10-06 11:58 am
From: Badung/M
4 the words wrongly said.. 4 any broken promises.. 4 every mistakes.. 4 any dissapointed acted.. Pls forgive me 4 all that…,honey.

24-10-06 6:59 pm
From: Bec9-Indah
INDAH & KEL, Mengucapkan Mìñål Äìdiñ Wä£fäiziñ,”smoga Kita smua t’golong orng2 yg kmbali kpd fitrah&menjadi orng2 yg meraih kemenangan”

25-10-06 6:30 am
From: Bec9-Fitri

SELAMAT IDUL FITRI 1 SYAWAL 1427 H.Mohon maaf lahir & bathin.

25-10-06 11:44 am
From: Bec9-Ade
Ass,sblmnya ade ngcpin minal aidin walfaizin.mohn maf lahr&bthin.skalian ade mo ngsh tau.rmhnya sayap kbakaran hr selasa kmrin.ga ada brng yng dpt slmatkan.wass

26-10-06 5:12 pm
From: Bec9-Teguh
T!aDA Kt §e!nDH ZiQr,t!AdA bLn §eiNdh rMdN,u/L!§An Yg tA T’jg,jaNj! Y9 t’Äba!Kn,Ht yG b’pR§nGKa&§mUa §Kp y9 m’NyAk!TkN “MiN@L A!diN WäLfa!ziN,Mhn mAaf Lhr bThN”

27-10-06 7:34 am
From: Bec9-Fatimah
Ass,fatimah mngcpkn mnal aidzn walfaidzn mhn maaf lhr & bthn.pa gmna kbrnya n family?fat mo tnya yng lburan lebarn hrs dganti kan?ko eva ga usah dgnti.ko beda2?

27-10-06 5:41 pm
From: Bec7-Kiki
Ass Pa, ini Qq. Hehe, moga2 bpk msh ingt ya. Pa, met hr ry idl ftr, mnl aidin wal faidin ya. Pa, Q mo tny kl ‘actual name of degree or diploma’ apa seh mksdnya?

29-10-06 10:31 am
From: Bec9-Dicky
Aslmkm.maaf,lbh baik tlt drpd tdk smskl.MINALAIDIN WALFAIDIN§MHN MAAF LHR N BTN

29-10-06 1:02 pm
From: Fams3-Dewi
Rinenggo sumunaring suryo wayah ratri, cinondro resik ing wardoyo. Sugeng mangayubagyo Idul Fitri. Sedoyo kalepatan nyuwun pangapunten…

29-10-06 8:42 pm
From: Up-Dadan
Sanes ku maksad nelatken. Minal aidin wal faidzin, punten ku sadaya kalepat tur kahilap.

29-10-06 8:43 pm
From: Up-Leany
How sweet it’s gonna be if forgiveness is uttered sincerely for all mistakes and faults done..Have a blessed IduL FitRi 1427H
-leany-

30-10-06 8:31 pm
From: Dp-Ety Masina
Trmksh, Taqaballahu mina wa minkum, minal aidin wal faizin
¥ Ety Masina ¥

Sunday, October 22, 2006

Selamat Berbeda Idul Fitri

Nggak peduli apakah anda merayakan hari Senin atau Selasa, taqobalallohu minna waminkum salamun alaikum kataba robbukum ‘ala nafsihi rahmah. Selamat Idul Fitri 1 Syawal 1427 Hijriah. Mohon maaf lahir dan batin.

Peristiwa berbeda menentukan lebaran bukan yang pertama. Dulu juga pernah terjadi. Di Indonesia ini banyak organisasi Islamnya, dan mereka kadang menggunakan acuan yang berbeda-beda. Makanya nggak heran kalau kejadian berbeda menentukan hari lebaran terulang lagi.

Meskipun perbedaan ini dianggap rahmat menurut wakil presiden RI dan Din Syamsuddin, wakil ketua MUI yang juga ketua umum pusat Muhammadiyah, juga pesan kalau perbedaan ini jangan menjadi penyebab perselisihan, pertentangan, apalagi konflik, tetapi bagaimanapun juga tetap banyak orang awam yang kebingungan. Siapa yang mesti dianut. Pemerintah sebagai penguasa negara atau kelompok seperti Muhammadiyah, yang keukeuh tetap akan melaksanakan lebaran pada Senin 23 Oktober meskipun mayoritas peserta sidang isbat yang diselenggarakan pemerintah menyatakan tidak melihat hilal pada hari Minggu.

Islam ini satu. Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir, PKS, atau apapun namanya adalah sebuah organisasi, bukan agama. Islam itu dasarnya kalamullah dan sunnah. Jadi tidak ada agama yang namanya Islam Muhammadiyah, Islam NU dan lain-lain. Dalam hal seperti sekarang ini, seharusnya wakil-wakil dari kelompok tersebut berkumpul dengan pemerintah sebagai koordinatornya untuk memutuskan kapan lebaran tahun ini akan tiba. Dengan demikian hasil yang keluar itulah yang jadi panutan seluruh kaum muslim di negeri ini, sehingga tidak muncul kebingungan. Bagaimanapun juga keresahan akan tetap muncul bila ada perbedaan.

Saya (mungkin juga orang awam lainnya) khawatir keputusan yang dikeluarkan Muhammadiyah itu lebih karena ego. Jangan sampai karena lebih menonjolkan egonya sampai-sampai tidak mau mengakui kelemahannya sendiri.

Saya punya cerita yang mirip dengan kondisi tersebut. Karena saking sombongnya, pelaku dalam kisah ini tidak mau mengakui kalau dirinya tuli. Mudah-mudahan saja saya atau anda tidak seperti tokoh di dalam cerita di bawah ini.

Suatu saat ada seorang datang untuk membeli rokok. “Permisi. Beli rokok.” Pemilik warungnya tidak muncul. “Permisi. Mau beli rokok!”, untuk kedua kalinya pembeli tersebut berkata. Kali ini lebih keras. Pemilik warung tidak keluar juga. Pembeli tersebut mulai jengkel, dia teriak lebih keras, “Permisi. Beli rokok!!”. Yang dipanggil tidak keluar juga. Karena jengkel dan sudah habis kesabarannya, berteriaklah dia sekeras-kerasnya. “Hei, tukang rokok, kalau budeg nggak usah jualan!!” Dari dalam nongollah tukang rokok tersebut dengan tampang ditekuk dan berkata “Jangan sembarangan bilang saya budeg ya. Emang situ mau beli gula berapa kilo sih?”

Apakah Muhammadiyah budeg? Mene ketehe!
Saya sendiri akan merayakan lebaran pada Selasa 24 Oktober, sesuai keputusan sidang isbat (22/10).

Saturday, October 21, 2006

Culun

Karena janji, saya buat tulisan ini. Dikarenakan ada waktu, saya coba menulis sesuatu. Coretan ini diperuntukkan khususnya para mahasiswa BEC angkatan 10, dan umumnya sekumpulan ABG serta anak-anak muda lain yang lagi semangat-semangatnya. Mudah-mudahan ada mampangatnya.

Siapa sangka, mereka yang dulunya terlihat culun saat pertama bertemu, sekarang mulai terlihat aslinya. Tipikal anak-anak sekarang. Bawel, suka show off, banyak canda, dan suka ngecengin. Wajar. Bukan sesuatu yang negatif. Karena memang usia berkaitan dengan perkembangan jiwa. Yang penting adalah bagaimana membawa mereka ke arah yang benar. Ibarat kendaraan, tergantung supir kemana mau dibawa.

Kalau ada upaya tiga F yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku dan pergaulan mereka, sebagai orang tua perlu hati-hati menjaganya agar tidak kebablasan. Food Fun dan Fashion tidak bisa lepas dari kehidupan siapa saja, khususnya para culun ini. Mereka merasa tidak modern kalau belum makan fast food. Dianggap kuno dan kampungan kalau mencari hiburan dalam kelompok baca atau ngeriyung dalam perkumpulan remaja masjid. Dan merupakan godaan yang sangat luar biasa kuatnya untuk berpakaian seperti tokoh idola meskipun bagi cewek harus terlihat bupati (buka paha tinggi-tinggi) dan sekwilda (sekitar wilayah dada). Bagi cowok, ditindik dan bertato bisa menjadi kebanggaan. Padahal kebo juga ditindik hidungnya, sapi dan kuda ditato pantatnya dengan besi panas.

Banyak standar barat yang digunakan untuk mempengaruhi perilaku orang Indonesia yang bisa menjerumuskan moral bila tidak hati-hati. Dalam industri pariwisata, ada tiga S untuk menarik wisatawan. Sand Sun dan Sex. Walah! Pasir putih yang indah dan matahari yang bersinar cerah sih boleh-boleh saja. Tapi sex? Nikah dulu! Baruuu………. Makanya kalau di daerah Puncak ada kebiasaan kawin kontrak dengan orang-orang Timur Tengah, hal ini dianggap memang sesuai dengan slogan 3S tadi. Bagi pelakunya sih sama-sama untung. Orang lokalnya dapat duit, penikmatnya memperoleh kepuasan. Beli satu untuk dipakai lama. Bisa melampiaskan syahwatnya dengan harga murah. Meskipun sudah terkenal di manca negara, nyatanya pemerintah daerah Bogor tidak mau bila dikatakan Puncak merupakan tempat wisata sex sebagaimana Phuket di Thailand sono.

Balik ke manusia yang berubah. Jelas terlihat bahwa kita akan terus mengalami perubahan. Baik fisik maupun keberuntungan. Ketika Kamis (19/10) kemarin ada acara buka puasa bersama para alumni di BEC, anak-anak yang dulu pernah saya ajar, mulai angkatan 6 s/d 8, penampilannya nampak sudah berubah semua. Untungnya saya masih bisa mengenalinya. Mereka sudah terlihat dewasa. Barangkali karena mereka telah bekerja, telah mengalami enak nggak enaknya mencari duit. Mereka yang dulu culun, malam itu sudah tidak terlihat lagi. Sayangnya setelah buka, saya harus cabut. Saya nggak berani pulang terlalu malam, sebab nggak bawa jaket. Takut KO. Dalam kondisi kurang tidur karena i’tikaf dan sahur puasa Ramadhan sudah tentu stamina pasti kurang fit bila dibandingkan cukup tidur. Betul?

Saturday, October 14, 2006

Visitasi

Dua hari saya jalan-jalan. Mengunjungi anak-anak BEC angkatan 9 yang lagi Praktek Industri (PI). Nama baru yang dulu istilahnya praktek kerja lapangan (PKL). Dalam suasana puasa Ramadhan, saya menikmati perjalanan. Meskipun agak lapar dan dahaga.

PT Aneka Tambang adalah tujuan di hari pertama. Tempat PI nya Dede Fitriani. Lokasinya yang ada di wilayah gunung Pongkor terasa sepi. Melihat tempatnya yang kering berdebu, pasti sudah tidak lama hujan. Sama seperti di tempat-tempat lain di Bogor. Lingkungannya tenang, nggak banyak orang. Entah karena puasa atau memang tempatnya sepi. Sampai di tempat tersebut sudah siang memang. Hampir jam satu.Tempat PI nya adalah pusat kesehatannya PT Antam atau suka dibilang Puskes Parempeng. Letaknya ada di dalam Perumahan Tegal Lega Permai, tapi orang-orang menyebutnya Perumahan Parempeng. Nggak tahu kenapa disebut seperti itu, padahal tidak ada tulisan Parempeng di tempat tersebut atau sekitarnya.

Puskes Parempeng ada di bagian bawah lokasi penambangan emas. Sedangkan penambangannya sendiri masih sekitar 14 km dari tempat tersebut. Setelah sholat di mesjid yang ada di dekat Puskes, saya ketemu dengan pembimbing lapangan, Kusdiana, tapi suka dipanggil pak Ujang. Nggak terasa ngobrol kemana-mana hingga dua jam lebih. Pukul 2.54 wib saya putuskan pulang.

Kamis, 12 Oktober, hari kedua saya melakukan visitasi. Sekarang ada dua tempat yang harus saya kunjungi. PT Jasa Marga dan Bumi Karsa Bidakara Hotel. Keduanya ada di Jakarta. Kota yang pernah saya kunjungi setiap hari kerja selama sembilan tahun.

Visitasi pertama saya adalah ke Jasa Marga. Ada tiga mahasiswa disini. Nurlaela Fitri, Hamzah Sayap, dan Asep Saepul Rahman. Saya ketemu dengan ketiga pembimbing lapangannya, pak Iman, pak Endang, dan bu Wati. Sedangkan anak yang lagi praktek hanya dua yang saya jumpai. Ipul lagi ke kampus, bimbingan.

Dari Jasa Marga langsung ke Bidakara. Saya sudah sampai di dalam gedungnya, tapi kebingungan mencari kantornya. Baru pertama kali saya masuk gedung ini. Biar nggak pusing, saya telepon tempat PI nya. Ternyata yang terima Viena, anak BEC angkatan 8 yang kerja disitu. Selain dia, Dini teman seangkatannya juga kerja di tempat yang sama. Mereka memang dulu praktek di tempat tersebut. Saya suruh Viena untuk datang ke tempat saya menunggu. Kemudian saya diantar ke ruangan pembimbing lapangan yang bernama ibu Yenny Sisca. Anak yang PI sekarang adalah Firmansyah dan Wahyu Hidayat. Sayang saya tidak ketemu keduanya.

Kelar dari Bidakara, saya langsung menuju Citacom. Memang sudah saya rencanakan untuk mengunjungi bekas kantor saya ini bila acara visitasi selesai. Saya sempatkan untuk ketemu dengan mantan teman-teman sekantor. Pertama silaturahim, yang kedua saya sudah kangen dengan mereka. Sekalian mumpung ada di Jakarta. Karena lama tidak pernah ketemu, lama juga ngobrol dengan mereka.

Saya baru pulang setelah sholat asar. Chaerul yang bagian gudang mengantar saya ke stasiun Gondangdia. Stasiun yang bertahun-tahun yang lalu sering saya jadikan tempat pemberangkatan bila hendak pulang ke Bogor. Tidak ada perubahan yang berarti. Warnanya masih kuning kecoklatan. Pedagang asongan bersliweran menjajakan dagangannya. Saya sempatkan beli jigsaw puzzle Spongebob untuk Al dan Reyhan. Akhirnya kereta ekpres AC saya datang. Maksudnya biar agak nyamanan sedikit saya sengaja pilih kereta tersebut. Meskipun keretanya penuh kaya kereta ekonomi dan berdiri sampai Bojonggede, paling tidak gerbongnya berAC. Jadwal pemberangkatan yang harusnya 4.10 molor jadi 4.25. Biasa, nggak heran. Namanya juga PJKA. Kata orang-orang kereta, PJKA itu singkatan dari Perusahaan Jawatan Kumaha Aing (perusahaan gimana saya).

Kereta melaju melewati stasiun Cikini. Sebaris pantun tiba-tiba juga ikut melaju karenanya. Cikini Gondangdia, aku begini karena dia. Ceile….. melankolis coy!

Sunday, October 08, 2006

Childish

Sambil menikmati ta’jil setelah selesai sholat magrib, saya ngobrol bersama para tetangga di masjid. Salah satu ada yang mengeluh kalau lagi nggak enak badan. “Masuk angin,” katanya. Tetangga yang lain kemudian menjawab: “Masing mending masuk angin. Daripada masuk kristen?” Kami tertawa semua.

Adalagi yang cerita bahwa puasa hari pertama dan kedua terpaksa bocor. Sakit perut yang mengakibatkan keluar air melulu saat buang hajat membuatnya teler. Sudah berobat ke dokter dan dikasih obat. Ternyata tidak sembuh juga. Lalu beli obat di warung, eh malah sembuh. Sontak yang lain nimpalin, “Dasar perut kampung!”

Sebenarnya ada yang lebih manjur dari obat manapun untuk sakit perut. Untuk menghentikan buang-buang air yang terus-terusan, direkomendasikan makan jagung rebus. Dijamin langsung berhenti. Yang habis sakit perut nggak percaya. Proteslah dia. Mana mungkin, kan justru jagung memicu mencret. Gitulah katanya. Karena sebenarnya hanya bercanda saja, maka yang memberi saran menjawab. Dijamin buang-buang airnya pasti langsung berhenti dengan memakan jagung rebus. Caranya, jagungnya dimakan. Kalau sudah habis, tongkolnya disumbatkan ke lubang tempat mencret keluar.

Bila ketemu dengan teman, atau yang sudah akrab seperti dengan para tetangga, usia tidak bisa menjadi ukuran untuk menjadi dewasa. Saling ngecengin sebagaimana dilakukan anak-anak sekolah atau kuliahan juga tetap dilakukan. Menjadi tua itu sudah pasti, tetapi menjadi dewasa adalah pilihan. Perilaku kekanak-kanakan bisa muncul dari orang yang secara umur sudah dewasa. Sebaliknya, seorang yang masih dikatakan anak-anak bisa berbicara atau berperilaku seperti orang dewasa. Saya punya tetangga yang punya anak seperti itu. Dan saya pernah menjadi “korbannya” saat saya menanyakan keberadaan bapaknya. Rasanya aneh dan sedikit jengkel diperlakukan seperti itu. Kok dia bisa seperti itu, padahal usianya baru sembilan tahunan.

Saya barusan menengok pak Jafar lagi. Dia mantan tetangga yang tinggalnya dulu persis di sebelah kiri rumah saya. Dia sekarang tinggal di rumah bu Een yang merupakan adik dari istrinya, setelah hampir sebulan dirawat di RS PMI. Berdasarkan hasil scan, ada pendarahan di otak. Menurut cerita istrinya, pak Jafar tiba-tiba pingsan setelah makan siang di kantor. Kemungkinan bisa jadi penyebab dia jatuh adalah karena penyakit darah tingginya. Sejak itu dia tidak kenal siapa-siapa. Pak Jafar mengalami amnesia. Dia masih belum mengenali siapa-siapa. Istrinya sendiripun dia tidak kenal. Sorotan mata dan senyumnya kembali seperti anak-anak. Innocent.

Subhanallah. Begitu gampang Allah membalikkan kehidupan manusia. Pak Jafar yang tadinya tidak bisa diam, sekarang terkapar di tempat tidur. Yang tadinya gagah dengan badan tegap dan terlihat jantan dengan kumisnya yang tebal, sekarang polahnya seperti seorang bocah. Dia masih belum bisa jalan. Baru belajar duduk dan jongkok. Pendarahan yang terjadi di otaknya melumpuhkan segalanya.

Mudah-mudah cepat sembuh dan kembali normal pak Jafar. Semoga.

Tetap Semangat....... Makan

Bawang merah
Bawang putih
Cabai
Tomat
Garam
Daun salam
Sereh
Jeruk daun (boleh buah boleh daunnya)
Kemiri
Petai

Apaan tuh? Itu ramuan sambal yang saya uleg tadi malam (malam Minggu). Rupanya Ramadhan tidak menyurutkan para tetangga yang lagi giliran ronda untuk makan-makan. Memang kadang malah bisa dibilang jadi kebiasaan kalau malam Minggu. Mereka, meskipun pejantan semua, suka masak-masak. Kemudian disantap ramai-ramai. Persis seperti pestanya orang Papua. Duduk berhadap-hadapan yang ditengahnya dihampar daun pisang utuh tempat hidangan ditaruh di atasnya.

Menunya rutin. Itu-itu saja. Tapi herannya, nggak pernah bosen. Selalu yang dimakan nasi putih, ikan teri goreng, sambel dengan resep yang saya sebutkan di atas, kerupuk, dan kalau lagi ada, petai. Nikmat rasanya, meskipun alakadarnya. Barangkali karena kebersamaannya itulah yang membuat makanan yang sederhana jadi lezat.

Saya sendiri sudah ikut pesta tengah malam itu beberapa kali. Tapi sampai yang tadi malam, belum pernah sekalipun ikut iuran. Kayaknya ada pembagian tugas. Orang lain tugasnya ngeluarin duit buat beli bahan baku, memasak, lalu ada yang tugasnya makan. Saya sampai saat ini masih termasuk kelompok dengan tugas yang terakhir itu. Kalaupun tadi malam saya nguleg sambel, itupun semata-mata ingin merasakan berolahraga di tengah malam. Wek!

Semalam agak berbeda dari biasanya. Karena ada pak Yatin yang pinter bikin nasi kebuli. Maka, nasi putih yang biasanya polos, hanya dikasih daun salam saat masaknya, semalam dibikin berbeda. Ada campuran ikan teri, potongan cabai rawit, potongan bawang merah, daun salam, sereh, garam, penyedap rasa, dan sedikit minyak goreng. Hasilnya, terciptalah nasi kebuli.

Sambel yang saya uleg, setelah digoreng, luar biasa…… pedasnya. Yang pasti nikmat meskipun pedasnya minta ampun. Sayangnya sambelnya terlalu sedikit untuk enam belas orang. Saya sendiri cuma dapet sedikit. Nggak puas. Tapi mau gimana lagi.
Saya bayangkan betapa nikmatnya bila santapan itu dinikmati rame-rame di atas gunung. Dengan ditemani minuman bansus yang saya pernah diajari oleh Teguh anak BEC angkatan 9. Luar biasa!

Monday, September 25, 2006

Guru Gagap

Kenapa universitas tidak ada atau jarang merekrut sarjana lulusan institut kependidikan sebagai tenaga pengajarnya? Karena mereka tidak dipersiapkan untuk menjadi dosen. Mereka dipersiapkan oleh perguruan tinggi tempat mereka kuliah untuk menjadi guru di bangku sekolah lanjutan pertama maupun atas. Sehingga ketika mereka dihadapkan pada mahasiswa, yang berbeda karakternya dengan anak SMA, kegagapan mulai terjadi.

Cara belajar siswa lanjutan dan mahasiswa berbeda. Dari segi usia juga mempengaruhi. Ditambah lagi sistem belajar mengajar di sekolah lanjutan masih banyak yang menggunakan cara komunikasi satu arah. Guru dianggap sebagai pihak yang mengetahui segalanya. Apa yang disampaikan oleh guru harus ditelan bulat-bulat oleh siswa tanpa diberi kesempatan untuk membandingkan, menganalisa kebenarannya. Sekolah yang menerapkan sistem satu arah ini jarang sekali ditemukan model belajar melalui diskusi maupun debat. Kalaupun ada, yang dianggap paling benar adalah apa yang dikatakan guru. Jadi yang keluar dari olah pikir siswa akan dianggap benar selama sesuai dengan kebenaran dari guru. Semboyan bhinneka tunggal ika tidak berlaku dalam hal ini.

Sudah waktunya perguruan tinggi atau lembaga pendidikan yang memiliki kurikulum pendidikan tinggi melihat kembali para tenaga pengajarnya. Tenaga pendidik yang menganggap siswa harus mengekor cara berpikir guru harus di-upgrade. Jangan sampai dengan cara yang mereka terapkan membuat mahasiswa melempem, tidak punya keberanian menyampaikan pendapat, dan tidak responsif maupun proaktif.

Sarjana pendidikan berbeda dengan sarjana umum. Institut kependidikan yang dulu bernama IKIP semacam UNJ atau UPI Bandung sekarang ini berbeda dengan UGM atau ITB. Mereka memang dipersiapkan oleh kampusnya menjadi profesional ahli kependidikan di sekolah lanjutan, tapi bukan di perguruan tinggi. Sedangkan sarjana lulusan bukan institut kependidikan dipersiapkan untuk menjadi tenaga ahli di bidangnya. Itulah sebabnya, ketika mereka yang bukan sarjana pendidikan dituntut untuk menjadi pengajar, mereka lebih fleksibel. Dalam praktek, mereka lebih siap dan tidak kaku dalam melakukan proses belajar mengajar di perguruan tinggi atau sekolah yang menerapkan kurikulum perguruan tinggi.

Anda yang sarjana pendidikan boleh protes. Tetapi faktanya memang seperti itu. Sarjana pendidikan lebih sesuai kalau mengajar di SMP/SMA. Mereka tidak sesuai untuk atmosfir belajar di pendidikan tinggi atau lembaga pendidikan berkurikulum pendidikan tinggi, kecuali yang tidak bermental guru SMP/SMA. Silahkan protes bila tidak setuju. Saya sangat menghargai perbedaan pendapat anda tersebut.

Saturday, September 23, 2006

Ramadhan Siapa Punya

Besuk bulan suci tiba. Marhaban ya Ramadhan. Sebuah keberuntungan yang tak terhingga bila kita bisa kembali bertemu dengan bulan yang dinanti-nantikan ini.
Kenapa ditunggu-tunggu, karena bulan ini penuh rahmat dan ampunan. Ibarat supermarket, bulan Ramadhan adalah bulan diskon. Banyak kelimpahan yang diberikan. Lailatul qadr contohnya. Nilai ibadah setara 83 tahun dijanjikan oleh Alloh bila bisa ketemu dengan lailatul qadr. Imbalan yang sangat menarik mengingat kita belum tentu bisa mencapai usia segitu.

Barangkali bukan itu yang menjadi fokusnya. Yang terpenting dalam Ramadhan adalah puasa beserta aktifitas ibadah lainnya dijalankan dengan ikhlas. Kesempatan bisa menjalankan puasa Ramadhan bak mesin yang di tune up. Pencernaan yang selama sebelas bulan dipaksa untuk bekerja, sekarang sudah waktunya untuk diberi kesempatan istirahat sejenak. Ginjal yang bertanggung jawab menyortir racun yang masuk bersamaan dengan makanan bisa sedikit lega. Porsi racun yang dia proses tidak sebanyak sebelum Ramadhan. Makanya kalau ingin sehat, puasalah.

Puasa itu ibadah ekslusif. Bila ibadah lain bisa dilihat orang lain, seperti sholat, zakat, atau haji, ibadah yang satu ini urusannya hanya antara pelaku dan Rabnya. Sang Khalik akan langsung memperhitungkan imbalan dari ibadah puasa yang dijalani hambanya. Seperti firman-Nya dalam hadits Qudsi:
“Kulluu ‘amali ibnu aadama lahu illash-syiyaam. Fa innahu lii wa ana ajzii bihi - Setiap amal anak Adam adalah untuknya sendiri kecuali shaum, karena shaum itu untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”

Ibadah ini juga mendidik kita untuk menjadi sabar. Mendidik manusia menjadi seorang muttaqien. Seorang yang selalu waspada dan hati-hati dalam mengemudikan mobil kehidupannya. Berusaha menjalankan segala perintah dan menjauhi larangannya. Ramadhan melatih kita untuk lebih tepo seliro (tenggang rasa). Banyak kaum yang dipaksa berpuasa meskipun bukan Ramadhan karena kefakirannya. Mereka bukannya punya hak istimewa untuk berpuasa. Puasa mereka lakukan karena keterpaksaan.

Ramadhan itu milik siapa saja. Milik umat muslim di manapun tempatnya. Tidak ada yang punya hak untuk mengklaim ibadah tersebut khusus milik yang kaya saja atau kaum papa semata. Semua punya kesempatan untuk memanen pahala dalam bulan mulia ini. Marilah kita ber-fastabikul khoirot, berlomba-lomba ke arah kebaikan. Ber-amar ma’ruf nahi munkar, bukan malahan amar munkar – ngajakin yang nggak bener.

Selamat menunaikan ibadah shaum. God blesses you.

Friday, September 22, 2006

Beda Kepala Beda Konsep

Manusia diciptakan unik. Warna rambut boleh sama. Bentuk kepala mungkin sama. Namun apa yang ada di dalamnya bisa bervariasi. Dalam memandang suatu masalah, kita seperti cerita tiga manusia buta dan gajah. Anda tahu kisah tersebut? Sekedar mengingat kembali, saya akan sampaikan kisah tersebut.

Suatu saat ada tiga orang buta yang ingin mengetahui bentuk gajah. Panca indera yang menjadi andalan adalah kulit tangan mereka untuk meraba. Masing-masing sudah berada di dekat gajah. Mereka mulai memegang dan meraba. Si buta yang pertama memegang belalai kemudian berkata bahwa gajah itu bentuknya panjang seperti ular. Yang kedua meraba-raba telinga, lalu bilang kalau gajah itu tipis dan lebar seperti kipas. Si buta ketiga dengan kedua tangannya mengelus-elus perut gajah kemudian berusaha mendorongnya. Setelah itu dia sampaikan kepada kedua temannya bahwa gajah itu rata seperti tembok. Siapa yang benar? Semua benar tentu saja. Hanya kebenaran mereka sifatnya parsial.

Dalam menilai sebuah kejadian, kadang kita seperti orang-orang buta tersebut. Kita menggunakan kemampuan, keahlian, dan latar belakang masing-masing. Sebenarnya bukan masalah dan bahkan bisa memperkaya dan memperdalam hasil penilaian bila hasil yang berbeda-beda tersebut digunakan untuk saling melengkapi. Bila ada hal yang berbeda dari orang lain, alangkah baiknya kalau kita bukan hanya mengukur dari diri sendiri. Lebih bijaksana kalau kita juga menggunakan kacamata yang dipakai orang lain.

Keunikan seseorang bisa berwujud perilaku. Seorang mahasiswa yang menurut dosennya menyimpang, sudah pasti karena dia berbeda dengan dosen tersebut. Kalau dosen hanya menggunakan nilai yang dia gunakan, alangkah dangkal dan naifnya. Bisa jadi justru mahasiswa tersebut, di mata dosen lain, dianggap kreatif, penuh imajinasi, berkeinginan kuat untuk maju. Sehingga yang terlihat di dalam kelas, dia sering bertanya dan selalu mendebat dosennya sampai benar-benar yakin bahwa apa yang disampaikan dosennya benar. Bila dosen tersebut tipe pengajar yang menganggap mahasiswa hanya sebagai obyek, duduk dan menelan semua yang disampaikan, tidak punya hak untuk meragukan apa yang diajarkan, sudah pasti akan shock dan stres berat. Ujung-ujungnya, anak didiknya itu dianggap biang kerok, seorang troublemaker di kelas.

Kalau anda seorang pengajar, entah guru, dosen, mentor, tutor, trainer, coach, atau apapun istilahnya, bersifat dan bersikaplah terbuka. Jangan perlakukan anak didik anda sebagai obyek. Mereka adalah partner dalam belajar. Kerjasama, diskusi, atau kalau perlu berdebatlah untuk mencari kebenaran. Guru yang orang Jawa memanjangkannya menjadi digugu lan ditiru (dipercaya dan diikuti) menjadi keharusan dalam cakupan perilaku. Artinya tingkah laku pengajar harus bisa menjadi contoh positif bagi anak didiknya. Diluar itu, perlakukan mereka sebagai partner.

Bila anda adalah siswa atau mahasiswa, beranilah. Bertanyalah apabila anda kurang jelas. Utarakan pendapat dan sampaikan apa yang ada di benak apabila merasa apa yang disampaikan pengajar anda meragukan. Saya tepat ada di belakang anda, kalau anda mau berbuat seperti itu.

Saturday, September 16, 2006

Jadul

Anak saya menganggap saya orang jadul, alias jaman dulu. Mahasiswa saya berpikiran sama seperti anak saya. Teman sekerja yang usianya lebih muda, barangkali juga mentreat saya sebagai produk jadul. Anak tetangga temen main Izal dan Reyhan, anak saya, juga melihat saya dan mengatakan saya ABG, angkatan babe gue. Saya sendiri merasa sudah tidak seperti waktu SMA atau saat kuliah. (Hla hiya lah! Sudah jelas itu! - yang ini ngomong sendiri, sambil menatap guratan yang mulai muncul di muka yang terlihat dalam cermin).

So what? Apakah yang namanya jadul tidak bisa bermanfaat atau memberikan kontribusi positif? Sebagaimana sebuah produk, manusia juga memiliki lifecycle, siklus hidup. Suatu saat Harley Davidson – tau kan? itu tuh si moge or motor gede - dianggap sebagai motor jadul, kuno, tidak modern, tidak cool. Orang malu mengendarai karena motor tersebut identik dengan tunggangannya kaum hippies, brandalan, dan orang-orang jorok. Setelah usaha keras untuk mengubah citranya menjadi positif, sekarang HD dianggap sebagai mogenya orang-orang eksklusif. Bahkan di Indonesia ada komplotannya, maksudnya kumpulan para penggemarnya. Sebagian besar anggotanya malahan para eksekutif, selebritis, dan orang-orang top lainnya. Sayangnya setiap melihat konvoi mereka dijalan, kesan yang muncul adalah arogansi. Seperti yang punya jalan saja, mereka menguasai jalan. Kadang menimbulkan kemacetan. Padahal banyak orang kegerahan di dalam angkot. Termasuk saya.

Celana denim (jean) juga termasuk produk jadul. Dia beberapa kali mengalami metamorfosis. Dari yang awalnya dibuat untuk para penggembala sapi liar kemudian menjadi uniform wajib kaum hippies, anak kuliahan, dan bahkan para pecinta mode. Celana jean dianggap sebagai simbol pemberontakan. Sekarang, dianggap aneh kalau ada anak SMA nggak punya jean. Lifecycle celana jean terus berputar dan akan terus berputar. Artinya, sampai nanti produk jadul ini akan terus dipakai.

Sudah jamak dalam dunia fashion, apa yang dulu dianggap kuno akan ditampilkan lagi menjadi baru. Tahu model baju yang di pakai anak band Naif? Ya seperti itulah. Bisa jadi suatu saat nanti pakaian manusia gua akan ngetrend lagi. Orang jalan-jalan di mall seperti manusia gua, hanya mengenakan celana kulit binatang sambil membawa pentungan tulang. Satpamnya diam saja melihat pengunjung berpakaian seperti itu. Karena dia sendiri memakai cancut kulit binatang juga.

Yang terpenting adalah bukan jarang - jaman sekarang - atau jadul, tapi seberapa besar manfaat kita buat diri sendiri, orang lain, maupun lingkungan tempat kita berada sampai detik sekarang. Mengklaim orang modern tetapi kelakuannya primitif, masih menunjukkan perilaku binatang (contohnya rakus, tidak mau berbagi), malah lebih memalukan. Bilangnya anak modern, tapi tidak bisa membaca. Ngaku anak gaul, tapi menggauli lawan jenisnya tanpa ada ikatan pernikahan. Itu bukan ciri manusia modern, seperti itu adalah produk jadul. Artinya, sejak jaman jahiliyah perbuatan itu sudah ada.

Bila anda menjadi jadul seharusnya bisa menjadi lebih wise dikarenakan kaya pengalaman dan memiliki banyak pengetahuan. Kuda tua lebih tahu jalan. Itu yang diucapkan pepatah Cina: an old horse knows the route.

Tuesday, September 12, 2006

Obat Ngantuk Mujarab

Nemuin mahasiswa ngantuk di kelas sudah tidak keitung lagi. Dari yang hanya sekedar memejamkan mata sesaat sampai yang mau terjungkal dari kursi. Dari yang pura-pura menaruh tangan di jidat sekaligus menutupi mata yang ngantuk sampai yang berusaha memelototkan mata mati-matian hingga mirip tokoh kartunnya Walt Disney, Pluto. Terutama setelah makan siang, yang merupakan jam rawan. Hampir bisa dipastikan sebagian mahasiswa pasti ada yang ngantuk. Bila melihat seperti itu, saya suka nggak tega untuk membangunkannya. Kasihan. Saya nggak marah. Hanya saja menyayangkan kalau dalam kondisi ngantuk, otak pasti tidak bisa menyerap apa yang diajarkan di kelas.

Yang biasa saya lakukan saat ketemu mahasiswa ngantuk adalah menyuruh mereka keluar kelas untuk cuci muka. Kadangkala manjur, mereka jadi melek lagi. Kadang-kadang juga setelah mukanya kering, mereka ngantuk lagi. Ini biasanya terjadi pada mereka yang sudah terkenal tukang tidur. Nggak laki nggak perempuan. Saya juga suka menyarankan supaya menyimpan kopi di loker untuk diminum bila dibutuhkan.

Bukan hanya mahasiswa saja yang ngantuk. Dosen pun sama. Dosen juga manusia, punya rasa punya hati (walah… joko sembung ngelas, gak nyambung blas). Hanya karena tanggung jawab atas kelas yang diajarlah yang membuat mereka bertahan untuk tidak tidur di kelas. Gimana jadinya kalo yang jadi panutan memberi contoh tidur di kelas, pasti seluruh mahasiswa akan rame-rame tidur berjamaah. Ibarat pepatah, guru kencing berdiri….. dua tiga pulau terlampaui. Itulah contoh pepatah yang ngawur.

Belum lama ini, saya terima kiriman dari teman yang tinggal di Belgia (Eropa). Salah satu sahabat saya saat kuliah dulu, yang bersuamikan orang Belgia. Yang dia kirimkan sangat cocok untuk para tukang ngantuk di kelas. Bila pengen tidak kentara kalau sedang merem matanya, boleh meniru seperti yang ada di gambar ini. Berani coba?

Sunday, September 10, 2006

Orang Baik

Emang perlu jadi orang baik? Sebuah pertanyaan yang dianggap tidak penting buat sebagian orang. Sangat serius bagi sebagian lainnya. Kelihatannya gampang untuk jadi orang baik, tapi besar godaannya agar bisa seperti itu. Kalau kita sudah punya niat menjadi orang baik, hal itu perlu disyukuri. Artinya kita termasuk kelompok orang-orang yang baik. Meskipun masih dalam kategori berusaha.

Banyak cara yang bisa dilakukan untuk mewujudkannya. Cara gampang, sederhana, tanpa biaya, serta bisa dilakukan kapan dan oleh siapa saja adalah tersenyum. Bisakah anda mudah tersenyum kepada siapa saja? Walaupun mudah, nyatanya tidak banyak orang mau tersenyum. Ada yang tidak mau tersenyum karena menganggap tidak ada gunanya. Ada juga, dan ini yang paling banyak, yang merasa tidak wajib tersenyum karena tidak kenal.

Di masyarakat pedesaan, tersenyum begitu mudahnya diberikan. Bahkan kepada orang asing yang baru ditemui. Tidak ada rasa curiga yang perlu dikhawatirkan. Rasanya tenang, akrab, dan damai tinggal di pedesaan. Saya ingat ketika mau mendaki gunung Merbabu, beberapa tahun yang lalu. Setiap penduduk desa yang saya temui di jalan, selalu tersenyum. Saya merasa diterima di lingkungan desa di lereng gunung tersebut.

Kalau senyum bagi orang desa adalah berarti keramahan, buat masyarakat kota bisa menyimpan banyak makna. Saya justru takut ketika berada di Jakarta, ada orang yang mengajak tersenyum. Secara reflek saya langsung waspada. Otomatis muncul pertanyaan penuh curiga, mengapa dia mengajak tersenyum. Apalagi kalau saya merasa tidak kenal dengan dia. Kehidupan perkotaan yang majemuk membuat orang tidak mudah untuk tersenyum dan percaya dengan senyuman. Banyak perbuatan jahat yang diawali dengan senyum. Sebagai akibatnya, suasana kehidupan di kota jadi gersang. Lebih banyak orang kota hidup egois. Tidak care dengan kehidupan orang lain.

Mudah-mudahan senyum tulus bisa banyak ditemui di kota. Alangkah indahnya hidup ini bila setiap orang yang ketemu mau tersenyum. Hidup akan tenang saat banyak orang baik mengelilingi kita. Tidak penting siapapun dia. Memang baik jadi orang penting, tapi lebih penting jadi orang baik. Setuju?

Monday, September 04, 2006

Kampung Setan

Beranikah anda mendatangi kampung setan? Atau pertanyaannya dirubah, maukah anda ke puncak gunung yang ada kampung setannya? Bagi yang pemberani dan rasa ingin tahunya tinggi, pertanyaan itu bisa menjadi obat perangsang. Merangsang andrenalinnya untuk menghadapi tantangan tersebut. Sebaliknya bagi si penakut, lebih memilih untuk tidak menikmati indahnya puncak gunung kalau syaratnya harus masuk ke kampungnya para setan.

Itulah yang dialami gunung Salak. Gunung yang memiliki tujuh puncak yang puncak tertingginya bernama Puncak Salak I dengan ketinggian 2.211 Mdpl jarang dikunjungi karena dianggap angker. Berbeda dengan gunung Gede-Pangrango yang setiap tahunnya dikunjungi oleh ratusan pendaki, gunung Salak hanya didaki kurang dari separuhnya.

Keangkeran gunung Salak makin kuat karena di puncak tertingginya terdapat sebuah makam. Menurut kabar yang beredar, makam tersebut adalah makamnya Mbah Gunung Salak. Nama tersebut barangkali perlu ditelusuri lagi kebenarannya. Di wilayah makam itu sendiri tidak ada tanda-tanda yang menyatakan bahwa dibawah makam tersebut bersemayam jasad Mbah Gunung Salak. Yang ada hanyalah sebuah peringatan yang ditulis dalam bahasa Jawa ngoko (kasar). Peringatan tersebut menyatakan supaya pengunjung (pendaki) berperilaku sopan dan yang perempuan dilarang mendekati makam.

Ada juga kabar bahwa makam tersebut sebenarnya hanya bikinan seseorang. Tidak ada jasad siapapun didalamnya. Makam itu dibuat semata-mata hanya untuk memberi kesan mistis. Angker. Dengan tujuan agar tidak banyak para pendaki yang datang. Dan ternyata berhasil bila melihat jumlah pendaki per tahunnya. Kalau melihat bukti, catatan, atau dokumen sejarahnya yang kurang valid dan hanya didasarkan cerita dari mulut ke mulut, bisa jadi kabar tentang kebohongan itu benar. Siapa yang berani menjamin keotentikannya bila cuma didukung oleh pernyataan lisan yang sulit sekali ditelusuri asal-usulnya.

Makam lain pendukung keangkeran gunung Salak adalah makam Pangeran Santri. Bila turun dari puncak menuju desa Girijaya atau mulai mendaki dari desa tersebut, kita akan melewati komplek makam Pangeran Santri. Lokasinya yang tinggi di lereng gunung dengan susunan pepohonan menjulang rapat semakin menjadikan tempat tersebut sunyi senyap. Tidak ada suara kehidupan manusia selain dua orang juru kunci dan binatang hutan yang ada disekitar makam tersebut.

Terlepas dari benar tidaknya cerita tersebut, gunung Salak memiliki pemandangan yang luar biasa indah. Hutannya yang masih lebih perawan bila dibandingkan gunung Gede-Pangrango menjadi imbalan tak ternilai yang dapat diperoleh pendaki. Kita akan bisa menikmati sinar matahari pagi yang berpendar cemerlang menembus lebatnya rimbunan dedaunan. Dalam perjalanan menuju puncak dari arah Wana Wisata Cangkuang, kawah Ratu terlihat jelas. Sepanjang jalan kita akan menemui berbagai spesies tanaman, diantaranya kantung semar dan anggrek hutan jenis dendrobium. Kalau beruntung, kita bisa ketemu dengan elang jawa (Spizaetus bartelsi) yang dengan gagahnya melayang-layang di udara. Banyak hal menarik yang dapat kita jumpai di punggungan maupun puncaknya gunung Salak. Dan ini lebih menakjubkan dibandingkan isu kampung setan yang muncul karena keberadaan makam di puncak gunung dan lerengnya.

Bagi pendaki berpengalaman, iming-iming keindahan alam pasti lebih menarik daripada ketakutan tak beralasan terhadap kampung setan. Pun buat pendaki pemula, sangat disarankan untuk mendaki Puncak Salak I tanpa harus dihantui cerita kosong tersebut.

Harapan Badut

Untuk merayakan kebebasan, malam ini (3/9) saya menikmati santapan di rumah makan Padang Harapan Badut. Setelah sebulan penuh berkutat dengan proyek terjemahan. Sebenarnya sih istri yang punya proyek. Saya hanya membantu, namun benar-benar bikin exhausted. Meskipun terbebas untuk sementara, tapi lumayan juga. Bisa bernafas lega dan tidak merasa dikejar-kejar deadline. Kebetulan juga malam ini istri lagi males masak.

Anda pasti bingung mendengar rumah makan Padang namanya Harapan Badut. Saya hanya mengikuti apa yang diucapkan Reyhan, anak saya yang kedua. Rumah makan tersebut tidak jauh dari komplek perumahan saya. Cukup naik angkot sekali dan hanya perlu waktu dua menit untuk sampai. Seperti biasanya masakan Padang, rasa pedas merupakan ciri khasnya. Dan memang itulah yang membuat nafsu makan bertambah. Saya beserta dua anak dan istri tercinta menyantap hidangan yang ada. Karena tiba-tiba menjadi lapar, dua nasi putih tambahan saya sikat satu setengahnya. Yang setengah dimakan Izal dan istri saya.

Setelah puas makan, kami keluar dari rumah makan yang di bagian luarnya tertulis “Harapan Bundo”. Hlo? Kok? Ya, memang itulah namanya. Kenapa kok jadi Harapan Badut, tanya sendiri pada Reyhan.

Tuesday, August 22, 2006

Jablai

Setiap saya berangkat ngantor selalu lihat tulisan itu. Di kiri jalan sebelah toko foto sebelum pasar Gunung Batu kalau dari arah terminal Laladon atau Bubulak. Ditulis seseorang di dinding triplek di sebelah gedung yang lagi dibangun. Kata tersebut kalau nggak salah pernah saya baca di Kompas. Entah judul lagu, entah film, atau jargon anyar yang baru muncul. Dilontarkan oleh salah seorang artis Indonesia saat diwawancara. Pernah tahu kepanjangannya tapi selalu kesulitan bila mengingat-ingatnya lagi. Ee..hla kok kemarin waktu ke Jakarta, di sandaran kursi bis menuju Blok M ketemu lagi dengan kata tersebut. Meskipun belakangnya tidak pakai huruf ’i’tapi ’y’. Karena penasaran nggak ketemu-ketemu juga singkatannya, saya tanyakan ke istri yang duduk sebelah saya. Dijawabnya dengan tangkas, “jarang dibelai!” Waduh, saya kok jadi kena saat melihat matanya yang indah melengos. Dengan menjawab pertanyaan saya, sekaligus memberi sinyal bahwa dia termasuk orang yang jablai. Masak sih saya jarang membelai istri? Perasaan bukan cuma mbelai deh, ngremus malah (krupuk kalee...).

Siapa sih yang nggak ingin dibelai? Kucing saja seneng banget kalau dibelai. Malahan gara-gara membelai kucing, saya jadi tahu rasa dan baunya pipis kucing (hiiiiiiiii....jijai).
Bener. Serius. Barangkali karena keenakan, dianya sampai terkencing-kencing. Dan mengenai muka saya. Kenapa bisa kena muka? Ya karena salah saya sendiri yang iseng meratiin dari dekat sambil bengong pas dibelakang pantatnya. Langsung saya kenain pinalti dia. Tendangan dua belas pas. Gondok rasanya. Air susu dibalas dengan air tuba. Mending kalau mbalesnya pakai air tebu, manis. Meski sial, saya berterima kasih juga sama kucing yang saya jadikan bola itu. Maaf cing, saya menyesal bila ingat telah menjadi Ronaldinho terhadapmu. Sekarang jadi tahu, kalau ada kucing nungging-nunggingin pantatnya berarti dia mau buang hajat.

Saya ke Jakarta kemarin karena ada undangan pernikahan. Adik sepupu saya menikah. Gedung resepsi yang dipakai adalah aula masjid di kantor walikota Jakarta Barat. Saya tidak begitu hapal dengan Jakarta Barat. Makanya ketika dikasih tahu supaya dari Bogor naik bis turun di UKI terus nyambung ke Blok M kemudian pindah taksi ke tempat tujuan, jadi keki saya. Masak harus bayar taksi 47 ribu. Padahal kalau tau, saya bisa naik bis dari Bogor turun ke Grogol. Dari situ baru naik taksi ke kantor walikota di Jl. Puri Kembangan. Paling ongkosnya nggak sampai 30 ribu. Meskipun demikian masih termasuk murah buat saya untuk membayar ketidaktahuan sebesar 47 ribu.

Ada yang menarik perhatian didalam acara pernikahan sepupu saya itu. Saat kedua mempelai mau memasuki gedung menuju kursi pelaminan, mereka disambut oleh empat orang penari cantik dan satu orang yang nggak tau apa namanya. Orangnya memberi kesan tua, kumis dan jenggotnya ubanan, gigi kecoklat-coklatan (tau asli tau bikinan), berpakaian hitam-hitam pakai ikat kepala. Sesosok orang kampung dari tanah pasundan. Sepupu saya ini memang turunan sunda. Almarhum ayahnya (om saya) berasal dari Sadawangi (dekat Sumedang) Jawa Barat. Penyambut itu menghantarkan pengantin ke pelaminan. Salah satu dari kekayaan budaya Indonesia yang patuh dibanggakan.

Yach.... pengalaman itu memang kadang mahal harganya. Bisa mahal bila dihitung dengan uang atau yang lain. Perasaan misalnya. Sama seperti ketika ketemu kucing jablai.

Orang Stingy

Saat ini saya benar-benar sibuk. Super sibuk. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Termasuk proyek terjemahan yang sedang saya rampungkan karena minggu depan merupakan deadlinenya. Saking menumpuknya pekerjaan seolah-olah kaki dan tangan ini terikat. Tidak bisa ngapa-ngapain. Tidak bisa kemana-mana. Sampai-sampai nonton televisipun jadi terlantar meskipun justru saya senang bisa terbebas dari belenggu tv. Bahkan bacapun lebih banyak saya lakukan saat berada di atas angkot. Apalagi menulis. Buku harian yang sengaja saya sediakan bisa lebih dari seminggu tidak kepegang.

Namun kejadian di angkot hari ini (19/8) benar-benar menggelitik saya untuk berbagi cerita dengan anda. Kejadian yang mungkin memalukan buat orang lain, tapi dianggap biasa dan barangkali sudah seharusnya dilakukan oleh yang bersangkutan. Menemui kejadian tersebut mengingatkan saya pada teman sekantor dan seruangan dengan saya dulu saat masih bekerja di Jakarta. Kebetulan juga, datang dari suku yang sama. Saya sama sekali tidak ada niatan untuk mendiskreditkan orang-orang dari suku tertentu. Swear! Apalagi teman sekantor saya sekarang ini ada yang berasal dari suku yang sama. Orangnya sangat baik, ramah, dan saya menghormati beliau.

Saya hanya menganggap orang yang saya temui di angkot sebagai individu. Apa yang dia lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan sukunya. Sebab suku apapun bisa saja seperti dia. Hanya kebetulan saja sifat yang ditunjukkan persis sama dengan teman sekantor saya dulu di Jakarta. Dan kok ya kebetulan sukunya sama.

Di Indonesia ini memang ada penggeneralisiran untuk suku-suku tertentu. Ada yang positif, juga negatif. Contohnya, orang Batak juga Ambon itu pinter nyanyi. Malahan temen dari Medan pernah bilang sama saya, “Adi, di Batak, orang nyanyi itu kaya orang makan. Semua bisa.” Temen saya yang ngomong ini jago main gitar dan nyanyi. Dan memang suara orang Batak bagus-bagus. Buktinya banyak. Joy yang juara Indonesian Idol juga keturunan Batak. Daniel Sahuleka yang sudah jadi orang Belanda, adalah Ambon. Glen Fredly, Franky Sahilatua, Melly Guslow..... orang mana mereka?

Katanya orang Padang itu kikir. Apakah memang benar demikian? Bahwa semua orang Padang pelit? Kebetulan saja saya menemukan dua orang Padang yang pelit. Pertama teman sekantor waktu di Jakarta dulu, sampai-sampai saya naik mobilnya saja harus bayar. Yang kedua, orang Padang yang hari ini seangkot sama saya. Dia sempat ribut sama supir angkot karena merasa tidak turun di terminal maka minta kembalian dua ribu dari lima ribu yang dibayarkan untuk dua orang. Meskipun temannya yang satu (perempuan Sunda) tidak turun bareng dia tapi masih jauhan. Untungnya si sopir ngalah setelah dengan susah payah menjelaskan bahwa ongkos dari Sukasari sampai depan BTM tetap dua ribu meskipun tidak sampai terminal Bubulak. Kalau sampai terminal malah dua ribu lima ratus. Bukan dua ribu. Yang kasihan teman perempuannya. Karena malu, dia akan membayar seribu lagi untuk kekurangannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan teman Padangnya tadi. Kami yang di angkot hanya bisa memaklumi.

Cukupkah dua sample itu mendukung asumsi tentang orang Padang. Of course NOT! Tentu saja itu hanya kasus per kasus. Yang saya tahu, memang orang Padang pandai dalam mengelola duit. Mereka merupakan suku entrepreneur alami. Karena kepandaiannya inilah kata Padang diplesetkan menjadi pandai dagang.

Ada anekdot yang mengacu pada semangat orang-orang Padang untuk berdagang. Mengapa orang Padang tidak pernah juara dalam lomba lari, karena mereka selalu akan berhenti di setiap tikungan, pertigaan maupun perempatan untuk mendirikan warung makan Padang. Kata bu Linda, teman sekantor yang juga orang Padang, bahwa orang Padang itu baik hati. Mereka memberi makan siapapun dimana-mana.

Penggeneralisiran bisa terjadi di setiap bagian di muka bumi ini. Anda tahu generalisir yang diberikan kepada Belanda dan Amerika oleh penduduk dunia? Orang (turis) Belanda terkenal pelit sedangkan yang dari Amerika orangnya royal. Kebetulan sekali saya sendiri pernah mengalami kejadian tersebut yang seolah-olah memang stereotip terhadap Belanda-Amerika benar. Saya sempat beradu mulut dengan turis Belanda karena komplain biaya yang harus dia bayar terlalu mahal meskipun sebelumnya dia sudah baca di website saya dan dia tahu harus membayar sebesar itu. Juga, saya pernah dibayar 800 ribu rupiah oleh orang Amerika hanya karena saya mau jadi guide dia, teman perempuannya, dan seorang sopir yang dia bawa untuk keliling Bogor selama tiga jam. Naik mobil sedan mewah berAC, disopiri, dibayar ratusan ribu untuk beberapa jam. Dengan demikian, apakah berarti orang Belanda pelit orang Amerika tipikal royal? Belum tentu juga.

Memang kadang-kadang kita dengan terpaksa harus menerima stereotip yang menyakitkan itu. Ketika saya masih kuliah di Semarang, seluruh teman saya menganggap bahwa daerah asal saya, Demak, selalu kekeringan ketika kemarau dan kebanjiran saat musim hujan tiba. Sampai-sampai ada ungkapan “mek rendeng ra iso ndhodhok, mek ketigo ra iso cewok” (kalau penghujan nggak bisa jongkok karena banjir, bila kemarau tidak bisa cebok karena nggak ada air). Stereotip itu muncul akibat ada sungai dipinggir jalan raya yang mau masuk ke Demak, baik dari arah Barat (Jakarta) maupun Timur (Surabaya). Sehingga orang-orang yang lewat ketika musim penghujan akan melihat sungai yang penuh air serta kadang melimpah sampai ke jalan raya. Kemudian airnya menyusut tinggal kubangan kecil berwarna kehijauan bila kemarau tiba. Padahal, kami yang tinggal di tengah kota tidak ada masalah dengan air. Kemarau maupun penghujan.

Kembali pada kejadian di angkot tadi. Rasanya kok jadi ikut malu dengan tingkah orang lain. Apa karena saya phlegmatis yang melankolis?

Wednesday, August 16, 2006

Ketawa Bikin Sehat

Hari ini saya banyak ketawa. Drama yang dibawakan oleh para mahasiswa BEC angkatan 9 cukup lucu. Menarik. Bahasa yang digunakan bahasa Inggris. Tapi gampang dimengerti. Meskipun ada kesalahan pronunciation atau grammar, masih dianggap wajar. Mereka pentas dalam acara MOM – masa orientasi mahasiswa – untuk angkatan 10. Jangan bandingkan dengan drama yang dimainkan para profesional. Ceritanya sederhana. Kreatif. Mereka mengembangkan sebuah kisah yang sering diceritakan. Dengan dikembangkan sesuai ide kreatif masing-masing, yang simple jadi menarik. Sebuah sayembara atau kompetisi yang diadakan sebuah kerajaan untuk mencari jodoh buat putri kerajaan sudah sering kita dengar. Tetapi bila pesertanya adalah drakula, james bond, david coopperfield, si buta dari gua hantu, superman, si pitung, dan bruce lee, itu yang menarik. Para tokoh superhero, baik lokal maupun impor, saling ketemu. Mereka saling bersaing memperebutkan posisi sebagai mantu raja. Bisa anda bayangkan kekonyolan yang terjadi. Sebuah hiburan yang ringan tapi mengesankan.

Selingan-selingan ringan seperti itulah yang kita perlukan dalam hidup ini. Beban hidup yang berat bisa jadi enteng. Menghadapi persoalan juga sebaiknya dilakukan dengan santai. Buatlah hal rumit menjadi sederhana tanpa memberi kesan mengentengkan permasalahan. Ada akronim menarik tentang penyederhaan ini. KIS – keep it simple. Bila perlu, tambahin satu S lagi kalau anda lagi mpet, yang kepanjangannya adalah stupid. Boleh. Boleh saja ditambahin satu S lagi asal anda hanya bermaksud bercanda. Agar apa yang ingin anda sampaikan tentang kesederhanaan dapat lebih tertancap lama.

Memang kita ini kadang bersikap, berfikir, dan bertindak aneh. Apa yang sebenarnya sederhana dibuat rumit. Contoh gampang saja yang bisa kita lihat di birokrasi. Kenapa harus melewati beberapa meja bila sebenarnya cukup satu. Memang alasan yang diberikan dibuat masuk akal. Karena peruntukannnya lain-lain, katanya. Apa memang benar seperti itu? Atau sebenarnya hanya sekedar agar pembagian uang upeti bisa merata? Saya kok lebih bisa menerima kalau alasan yang kedua itu yang terjadi. Bukannya menyamaratakan semua birokrasi pemerintahan seperti itu, tapi melihat banyaknya kejadian yang ada di berbagai kantor pemerintah, kok akhirnya jadi kena semua. Ibarat akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Memang ada orang-orang baik di dalam pemerintahan. Namun apabila kebobrokan masih sering ditemukan, sulit sekali untuk menghilangkan citra negatif itu. Saya tidak mengada-ada. Saya pernah mengalaminya. Dengan kepolisian. Saat mengurus SIM maupun saat saya ditilang karena lalai membawa SIM. Tidak perlu saya ceritakan banyak-banyak disini. Cukup hanya saya sampaikan bahwa saya pernah mengalaminya sehingga bisa ngomong tentang kebobrokan di atas. Sakit hati dan prihatin bila harus menceritakan kembali kebusukan bangsa sendiri.

Kenapa jadi ngomongin yang berat-berat ya. Padahal saya hanya ingin mengatakan hari ini saya banyak ketawa dan gembira. Kesedihan saya karena tidak lama lagi harus berpisah dengan mahasiswa angkatan 9 sedikit terobati saat mulai terlibat dengan kegiatan MOM angkatan 10. Jadi lupa saat melihat drama dagelan. Benar kalau dikatakan bahwa gembira bikin awet muda. Ketawa itu lebih sehat dari pada murung. Dengan ketawa, lebih banyak syaraf yang digerakkan dibandingkan bila bersedih. Oleh karena itu, tertawalah. Bergembiralah. Sekalipun harus mentertawakan kesialan yang menimpa diri sendiri.

Monday, August 14, 2006

Lunatic, Maniac, & Narcissism

Lunatic itu wildly foolish. Yah, bisa dibilang nggak waras gitu lah. Lalu maniac juga dapat berarti sama. Gila. Tapi yang satu ini bisa lebih mengarah pada antusiasme yang ekstrim, berlebih-lebihan, terhadap sesuatu. Bisa benda, bisa orang, atau monyet, eh maksud saya binatang. Yang terakhir atau ketiga, anak gaul sekarang suka menyebutnya dengan istilah narsis. Meskipun arti sebenarnya dari narsis sangat jauh dari arti kata yang dimaksudkan. Karena, narsis sendiri - yang kata Inggrisnya adalah narcissus atau narcissi - merupakan tumbuhan berbunga putih, krem, atau kuning, yang terdapat di daerah subtropis. Contohnya bunga daffodil, atau orang kita bilang bunga narsis. Sedangkan narsis yang dimaksudkan dari narcissism adalah hal atau keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan. Jauh teuing kan, antara narsis yang bunga dan narsis yang termasuk sikap kegilaan ini, gila terhadap dirinya sendiri? But, so what gitu loh. Nggap perlu diperdebatkan perbedaan yang sebenarnya memang mendasar tersebut. Bagi mereka itu nggak penting. Yang utama adalah apa yang ingin dia sampaikan dapat ditangkep dan dimengerti lawan ngobrolnya.

Lalu apa perlunya dengan saya? Ada. Saya perlu menulis karena sehari-hari saya berinteraksi dengan mereka. Para mahasiswa saya. Bukannya tidak suka atau gerah, tapi justru saya senang melakoninya. Mereka yang saya anggap sebagai sahabat-sahabat muda banyak memberikan inspirasi, kegairahan hidup, dan bahkan bisa membuat saya kangen. Atau mereka pasti akan bilang ‘iklan banget’ kalau saya katakan mereka itu bisa membuat saya hidup lebih hidup.

Mereka ini golongan manusia campuran antara ketiga unsur di atas. Sedikit lunatik, sedikit maniak, dan sedikit narsis. Mereka ini maniak foto. Antusias banget kalau ada acara foto-fotoan. Yang mbayarpun mereka tetap semangat. Malah pernah suatu ketika mereka foto bareng-bareng di BTM dan tukang fotonya sampai nawar supaya jangan banyak-banyak. Bayangin, yang dibayar saja sampai bertekuk lutut. Mpet n neg kali ya lihat kelakukan mereka. Tapi, ya tadi, dasar agak kurang waras, mereka nggak peduli. The show must go on. Dan hasilnya bisa anda lihat disini. Terlihat bersemangat, gembira, dan kesannya...... innocent.

Namanya juga masih belum dewasa. Tergolong remaja. Malahan ada yang lebih pantes disebut abg, anak baru gedhe. Kelakuannya juga kadang aneh-aneh, nggak masuk akal, dan unpredictable. Kalau orang yang melihat tidak bisa mensejajarkan dengan cara berpikir mereka, ya bisa stres sendiri. Padahal kalau mau dilihat positifnya, merekalah salah satu media yang bisa digunakan untuk rejuvenile.

Dari cara menggunakan dan menciptakan kosa kata juga menarik untuk diamati dan dipelajari. Kagak heran kalau bahasa slang sebagian berasal dari mereka. Karena dunia mereka berbeda dengan yang lebih dewasa, maka kalau tidak mempelajari cara mereka berinteraksi ya susah juga untuk dapat memahami komunikasi mereka. Untungnya ada orang yang mau bersusah-susah mengumpulkan kosakata yang mereka pakai untuk dibukukan menjadi sebuah kamus. Walaupun ada istilah-istilah khusus yang hanya digunakan kelompok tertentu dan tidak masuk dalam kamus, tapi lumayan membantu juga. Selain itu, ada kosa kata yang sifatnya universal, dipakai dimana-mana di lingkungan anak seusia mereka.

Saya beri contoh penggunaan kosa kata yang mereka lakukan dalam SMS. Mungkin buat anda yang sealam (kaya demit ya) dan satu species dengan mereka, bisa memahami dengan mudah. Buat saya, perlu mengerutkan kening dan mengira-ngira untuk dapat menangkap maksudnya saat saya membaca pesan tersebut.

ne ne mr nony,btw alat da yg krg ga mr ...wah da pa negh,mo mlm kmsan ya...gmn tgsny dah rebes lum,jg lp klo dah brs traktr qt ya thnx c..u..

Satu lagi:
Halu jg P’Dosen.iya ne,kki tie mshPd skit,moBAB&Ppis ja btuh pjuangn.tp ttp,porsi mkn jdMkin btmbh.he2x..,bpk sndri gmn kbrny,msh pdSkt g?udh brp vocb yg apal?
Satu lagi:
O..msh dBEC?aws pa jgn mlm2 dsna,ntr daYg nmenin.metNgrjain proykny,klo dhBhsl jgnLpa aplany ygRjin y pak,jgn uprat apret! c u..

Yang terakhir:
Wah..!!kcau tuh,mnybrkn fto tnpa s’izn tie,bsa dTntut tu,min.trktrn HocBnd.duh pa,Tie abs dPjt ne,lmyan agaEntng.

Gimana? Terang teu? Pusing pusing dah sono.

Repotnya kalau ada orang jahat masuk dalam kehidupannya. Mereka sedang dalam kondisi mencari jatidiri, mencari sesosok idola yang bisa menjadi panutan. Kalau kebetulan yang membawa pengaruh adalah orang-orang yang tidak benar, bahwa untuk dibilang macho adalah harus merokok misalnya, atau mengkonsumsi narkoba, rusaklah hasilnya nanti. Ada contoh nyata yang diberitakan Kompas Minggu kemarin (13/8). Seorang remaja tega menyeret ibunya tanpa ada rasa hormat atau malu karena semata-mata menginginkan uang untuk beli narkoba. Meskipun akhirnya anak itu juga diseret para tetangga untuk dibawa kekantor polisi, sang ibu tetap tidak tega dan kasihan. Bagaimanapun juga, dia adalah darah dagingnya sendiri.

Saya sendiri hanya bisa berdoa buat sahabat-sahabat muda saya yang meskipun sedikit lunatik, maniak, dan narsis, mudah-mudahan mereka bisa berhasil dalam menjalani kehidupannya. Lancar dalam menggapai apa yang diidamkan. Menjadi orang yang bukan hanya berguna bagi keluarga, bangsa, negara, dan agama, tapi juga buat dirinya sendiri.

Farewell my amigos.

Thursday, August 10, 2006

Puncak Salak I

Awalnya target dari ekspedisi adalah puncak gunung Gede & Pangrango. Dua minggu sebelum keberangkatan, dua anggota tim, Teguh & Danang, berangkat ke Cibodas untuk mendaftar rencana pendakian 5 s/d 8 Agustus 2006. Saat sampai disana, jawaban yang diterima adalah bahwa pendakian untuk tanggal tersebut sudah ditutup. Wah, terus terang saya menyesal. Kenapa tidak jauh-jauh hari mendaftarnya. Target utama saya sebenarnya puncak gunung Pangrango, sebab gunung Gede sendiri sudah pernah saya daki. Karena bersebelahan maka sekalian dua-duanya Tapi apa boleh buat, saya sudah terlambat. Selanjutnya saya tawarkan kepada anggota tim, mau batal atau ganti sasaran. Kalau mau terus saya usulkan Puncak Salak I, sedangkan waktunya sama. Dan mereka oke. Mulailah segala persiapan dilakukan. Ijin pendakiannya sendiri tidak perlu dilakukan. Mendaki gunung Salak tidak sama dengan Gede-Pangrango. Hanya perlu membayar tiket di loket pintu masuk.

Masing-masing anggota tim mulai mempersiapkan perbekalan untuk individu maupun kelompok. Dalam waktu dua minggu, dua kali seluruh anggota tim bertemu untuk memastikan segala persiapan. Dan hari sebelum pemberangkatan, anggota tim ngumpul untuk yang terakhir kalinya. Segalanya okay. Kami siap berangkat.

Sabtu, 5 Agustus 2006, ekspedisi dimulai. Kami berkumpul di kampus BEC di Panaragan Kidul (Pankid). Jadwal yang sudah disepakati, berangkat jam 7 pagi. Saya sendiri berangkat dari rumah jam 06.20 dan sampai di Pankid jam 07.05. Karena masih ada yang ditunggu, terpaksa waktu pemberangkatan molor jadi jam 07.30. Tim yang akhirnya jadi berangkat terdiri dari 10 orang. Mis, Fitri, Ardhi, Teguh, Titi, Adi (saya), Imeh, Rahmat, Deri, dan Danang.

Rame-rame kami jalan menuju depan Naga Swalayan. Dari depan toko tersebut kami ngeteng naik angkot 02 jurusan Bubulak-Sukasari. Tarif masih normal. Dua ribu rupiah. Sampai di Sukasari jam 8. Kemudian nyambung angkot jurusan Cicurug. Tadinya dari Sukasari mau ngeteng juga sampai Cicurug terus nyambung lagi naik angkot ke Cidahu. Tapi rupanya angkot Cicurugnya mau dicharter sampai di Cidahu dengan harga Rp. 70.000 setelah saya tawar dari Rp. 100.000. Dengan demikian masing-masing anggota saweran 7 ribuan.

Perjalanan dengan angkot charteran cukup menyenangkan. Kami bercanda, saling ngecengin. Banyak yang jadi korban. Termasuk saya. Tak terasa kami sudah hampir sampai di Wana Wisata Cangkuang di Cidahu. Tapi sebelum sampai di tempat tersebut angkot kami sudah dicegat petugas retribusi dan disuruh bayar 10 ribu untuk sepuluh orang. Baru kami boleh jalan lagi. Perjalanan selama dua jam rasanya cuma sebentar. Jam 10 kami sudah sampai di Wana Wisata Cangkuang, pintu masuk menuju gunung Salak. Wilayah yang masuk kabupaten Sukabumi. Dua orang turun dari angkot menanyakan tiket masuk. Ternyata sudah jadi 4 ribu per hari per orang. Padahal perkiraan kami masih Rp. 2.500. Cepet amat naiknya. Dengan demikian, karena kami bersepuluh, berarti harus membayar Rp. 120.000. Saya suruh mereka untuk negosiasi. Menawar harga yang menurut kami terlalu mahal tersebut. Bisa dimaklumi kalau untuk pemeliharaan diperlukan biaya. Tapi kadang timbul pertanyaan, kenapa harus bayar dan kalaupun bayar kok mahal amat, untuk bisa menikmati keindahan alam negerinya sendiri. Ternyata tim negosiasi berhasil. Kami cukup membayar 100 ribu. Berhasil, tapi jadi muncul pertanyaan lagi. Terus, uang itu benar-benar masuk ke kas pemerintah (daerah) atau masuk kantong pribadi? Nggak taulah. Tim pendaki tidak punya kepentingan dengan urusan itu. Yang penting masing-masing dari kami hanya mengeluarkan 10 ribu untuk mendaki dan ngecamp dua malam. Setelah beres urusan pembayaran, angkot kami suruh melanjutkan perjalanan. Rupanya terjadi salah pengertian. Sopir angkot mengira, dia cukup mengantar sampai di pintu masuk tersebut. Sedangkan yang kami inginkan, dia ngantar sampai di camping ground blok III. Lokasi ini berada sebelum Javana Spa. Sopir angkotnya kemudian mau menuruti kami. Dan, memang rupanya kami harus jalan. Angkotnya tidak kuat nanjak lagi setelah berjalan beberapa saat. Okelah. Daripada celaka, kami semua turun dan membayar biaya charteran sesuai kesepakatan. Terima kasih pak sopir.

Kami rame-rame jalan menuju Area Camping Blok III dan sampai di tempat tersebut jam 10.18. Masih belum terlalu siang untuk mulai pendakian. Dari tempat itulah pendakian yang sebenarnya dimulai. Kami berjalan memasuki hutan. Sudah berkali-kali saya melewati jalan tersebut, setelah dari Kawah Ratu. Tapi baru pertama kalinya saya mulai perjalanan dari jalan hutan itu. Biasanya, perjalanan saya mulai dari Bogor, yaitu dari Pasir Reungit atau Curug Seribu. Berkali-kali, tapi tidak membosankan. Selalu baru setiap kali melewatinya. Tidak pernah ada kata bosan. Tim kami terus mendaki sambil diselingi istirahat di sepanjang jalan untuk sekedar minum atau mengumpulkan tenaga. Istirahat agak lama saat mau sholat dzuhur dan makan siang di hutan yang pohonnya tinggi-tinggi. Ada sungai dan area untuk mendirikan tenda di dekat tempat tersebut. Kami sampai di tempat itu jam 12.23.

Saya manfaatkan waktu istirahat untuk menikmati keindahan hutan yang ada disekeliling. Sayangnya beberapa lebah hutan, kadang-kadang satu, dua, bahkan tiga, mengganggu konsentrasi saya. Mereka berkeliling dan mendengung-dengung di dekat telinga maupun muka. Dan herannya, lebah-lebah itu hanya mengerubuti saya, tidak yang lain. Apa karena saya manis ya?! (Walah, ji-ar habis!) Dikiranya saya madu kali. Atau malahan disangka lebah jantan. Kalau yang satu ini sih ada benarnya. Kan saya punya sengat juga. Bahkan bukan hanya di tempat tersebut saya diikuti lebah, di beberapa tempat sesudahnya juga saya mengalami hal yang sama. Heran. Ternyata penggemar saya bukan hanya manusia, sampai lebahpun doyan. Ih!! Pede bangget (huruf g nya ada dua karena saking pedenya).

Setelah memberi salam, tandatangan dan goodbye kisses (kalau pengen jontor bibirnya) kepada para fan berat, juga sholat dan makan siang tentunya, saya dan tim meneruskan perjalanan. Perjalanan dimulai lagi jam 13.20. Istirahat selama 57 menit sudah cukup buat kami. Dua puluh tujuh menit kemudian, kami sampai di pertigaan. Jalan ke kiri menuju Kawah Ratu, sebelah kanan ke arah Puncak Salak I. Kami istirahat sebentar di situ. Sekarang, di pertigaan tersebut ada warung. Mungkin keberadaan warung tersebut dapat membantu para pendaki. Tapi buat saya, ibarat duri dalam daging. Keindahan alam hutan dan gunung jadi berkurang keindahannya dengan adanya warung tersebut. Saya tahu warung itu pada perjalanan sebelumnya saat memandu 8 turis dari Cina. Jadi saat ini, untuk kedua kalinya saya melihat warung yang menyebalkan itu. Dekat warung di pinggir jalan menuju puncak ada papan merah bertuliskan putih “Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Koala – Insekta”. Saya sempatkan ngobrol-ngobrol sebentar dengan pemilik warung dan juga membeli sebotol aqua yang harganya dua kali lipat. Informasi dari pemilik warung yang juga katanya dari para pendaki yang pernah ngobrol dengan dia, perjalanan ke arah Puncak Salak I bisa ditempuh dalam waktu normal 3 jam, dan agak leluasa bila menyediakan waktu 5 jam. Apa memang benar begitu, kita lihat saja nanti. Yang pasti, tidak ada sungai atau mata air di sepanjang jalan sampai di puncak. Sumber air yang bisa diperoleh hanyalah dari sungai kecil yang ada di dekat warung tersebut. Ambillah sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan perjalanan.

Kami menolak dengan halus saat pemilik warung menyarankan untuk mendirikan tenda di dekat warungnya. Bukan apa-apa, saya hanya nggak sreg aja. Saya lebih suka ngecamp di perjalanan daripada menuruti saran orang yang punya vested interest. Seolah-olah memberi saran baik dengan sedikit menakut-nakuti sehingga apabila kami menginap ada kemungkinan akan jajan di warung tersebut. Itu yang diinginkannya tentu saja. Sorry ye!

Perjalanan dilanjutkan lagi dari pertigaan berwarung. Alamak! Benar-benar hutan yang menggairahkan. Gelap, lebat, tidak sering dilalui orang. Jalannya benar-benar lumayan menantang. Licin, berkelok-kelok, penuh tanjakan, dan kami harus waspada dengan pohon pandan atau pohon rotan yang durinya tajam bukan main. Kami harus menghemat air, karena tidak ada air setetespun di jalan. Setelah jalan sekian lama, dan melihat kondisi sebagian anggota tim yang kelelahan, maka diputuskan untuk mencari tempat yang datar untuk mendirikan tenda. Jam menunjukkan pukul 15.14 saat kami menemukan tempat yang agak datar. Mis dan Danang dikirim untuk sweeping. Mencari lokasi camping alternatif yang ada di depan dengan radius 30 meter. Barangkali ada tempat yang lebih baik. Sementara yang lain menunggu. Lima menit kemudian, dapat berita bahwa tidak ada tempat lagi di depan untuk berkemah. Jadilah kami mendirikan tenda di tempat kami menunggu.

Hari masih cukup terang untuk membongkar dan memasang tenda. Yang laki-laki bekerja sama mendirikan tenda, perempuannya menyiapkan makan malam. Beras yang dibawa diambil sebagian untuk dimasak. Buncis dan wortel dibuat oseng-oseng. Dua kaleng sardine dibuka dan dipanaskan dengan parafin di pantatnya. Air yang ada dimanfaatkan sehemat mungkin. Hanya untuk keperluan makan dan sedikit minum. Untuk sementara, tidak ada acara mandi atau gosok gigi. Wudhupun terpaksa tayamum. Perjalanan masih panjang. Puncak masih jauh di depan mata. Harapan kami adalah penampungan air hujan yang ada di puncak terisi air.

Malam menjelang. Kayu kering yang dikumpulkan saat terang mulai dibakar. Kami mengelilingi api unggun untuk menghangatkan badan sambil menikmati menu malam istimewa. Nasi + oseng-oseng buncis & wortel + sardine. Seperti biasa, ceng-cengan dimulai. Satu persatu dijadikan bahan ledekan. Tidak ada yang marah, paling jadi merah (mukanya). Untungnya ada api yang menyamarkannya. Keakraban terjalin diantara anggota tim. Gembira dengan suasana yang ada. Lupa akan perjalanan yang harus kami lalui besuk dan menipisnya persediaan air. Saya sarankan kepada anggota lain jangan begadang agar esok hari tetap fit dan bertenaga. Udara malam tidak begitu dingin. Itu menurut saya. Meskipun beberapa anggota tim kedinginan. Saya sendiri sempat keluar dari tenda karena sumpek dan gerah.

Jam lima saya sudah bangun dan keluar tenda. Hari ini hari kedua, Minggu, 6 Agustus 2006. Saya teriak-teriak agar mereka yang masih tidur supaya bangun. Setelah sholat subuh, kami mempersiapkan sarapan sebelum membongkar tenda. Menu hari ini untuk sarapan adalah roti tawar plus baluben (mentega) plus mesis digontor dengan secangkir teh manis anget. Hmm... nikmat. Setelah semua beres, seluruh barang telah dikemas, kami mulai melanjutkan perjalanan menuju puncak. Jam menunjukkan pukul 07.25.

Hari baru semangat baru. Kami antusias menapak jalan menuju ketinggian. Hutan yang lebat hanya menyisakan celah-celah untuk bisa ditembus sinar matahari. Sebuah pemandangan yang luar biasa saat ada sinar matahari pagi terlihat menembus lurus seperti lampu senter. Udara pagi masih dingin. Tapi segar. Saya buka lebar-lebar paru-paru saya. Saya sedot dengan rakus udara gunung yang amat sangat mahal ini bila ada di kota. Terasa paru-paru saya penuh oksigen. Saya tahan beberapa saat agar tubuh ini menikmati keberadaannya. Saya melakukannya berulang-ulang. Mumpung gratis (atau jangan-jangan kalau ketahuan petugas di loket karcis disuruh bayar juga?). Pemandangan semakin indah saja di mata saya. Apalagi saat sampai di lokasi dimana Kawah Ratu bisa terlihat dengan jelas. Saya sempatkan untuk memotret. Sementara itu bau belerang mulai tercium. Sayangnya, penggemar saya datang lagi. Seekor lebah terbang mengelilingi saya. Berdengung-dengung. Menjengkelkan! Sayang, saya tidak mengambil fotonya.

Dari tempat yang sama, Puncak Salak II juga bisa terlihat dengan jelas. Meskipun dengan ketinggian 2.180 Mdpl, lebih rendah dari Puncak Salak I (2.211 Mdpl), terlihat anggun berwibawa, baik hati dan tidak sombong. Siapapun boleh berkenalan. Tapi sayangnya puncak ini tidak mudah didaki. Hal ini dikarenakan hutannya yang rapat dan sama sekali tidak ada air disepanjang jalur pendakian. Jarang sekali pendaki yang mendatangi puncak yang terlihat dari jalan menuju Puncak Salak I ini.

Kami terus melangkah menuju puncak. Tetapi ternyata bukan pekerjaan yang gampang. Banyak halangan di depan kami. Mulai dari jalur yang licin, hampir terputus, tanjakan yang naudzubillah. Dan ternyata ada juga tanjakan setan versi Salak. Kalau selama ini tanjakan setan lebih dikenal ada di gunung Gede, ternyata gunung Salak juga punya. Dengan susah payah kami melewatinya. Untungnya ada tali yang terpasang disitu untuk membantu mendaki. Siapapun yang memasang, terima kasih atas kebaikannya. Setelah melewati tanjakan itu, eh, ternyata di depannya masih ada satu lagi anakannya. Tidak setinggi yang sebelumnya sih. Tapi merepotkan juga. Untungnya lagi, ada tali juga yang terpasang disitu.

Jam 12.50 kami sampai di persimpangan jalan. Ke arah kiri menuju puncak, ke kanan menuju desa Girijaya. Puncak sudah tidak jauh dari situ. Semangat kami menggebu-gebu. Langkah kaki dipercepat. Sudah tidak sabar rasanya menjejakkan kaki di ketinggian yang selama ini hanya bisa saya nikmati setiap kali jalan di Pankid atau saat berada di terminal angkot Bubulak. Perkiraan yang katanya hanya membutuhkan waktu 10 menit, kami tempuh lebih lama lima menit.

Jam 13.05 kami semua ada di puncak tertinggi dari tujuh puncak yang dimiliki gunung Salak. Puncak Salak I. Kami saling menepukkan tangan kanan sebagai rasa suka cita. Saking gembiranya, saya lupa mengeluarkan jus apel yang sudah saya janjikan untuk diminum bersama-sama saat sampai di puncak. Kami ingin merayakan keberhasilan tersebut. Bahkan saya tidak peduli ketika melihat lubang penampung air hujan kering kerontang. Bukan terisi air tapi sampah para pendaki. Hanya 15 menit kami berada di puncak. Jam 13.20 kami mulai turun. Kami harus segera turun sebelum kabut datang menyergap. Sebagian kabut sudah berdatangan saat kami berada di puncak tadi. Selain itu juga, kami harus segera mendapatkan air. Cadangan air yang kami bawa tinggal sedikit. Untuk mengurangi rasa haus, kami mengkonsumsi arbei hutan yang rasanya asem manis. Beberapa pohon ada disekitar tempat kami sholat dzuhur. Sementara menunggu sholat, sebagian dari kami mencari buah arbei. Ada juga yang duduk terkapar mengurangi kelelahan. Malahan, Titi, satu dari tiga anggota tim cewek, tertidur kecapaian. Mau-maunya sih Ti tidur di atas gunung. Kan enakan di rumah, di atas kasur yang empuk dan hangat.

Kami memilih jalur menuju desa Girijaya untuk turun. Perkiraan kami jaraknya lebih pendek dibandingkan jalur yang kami lewati saat mendaki. Dan ternyata memang benar. Namun ada tetapinya. Saya sangat tidak merekomendasikan untuk mengambil jalur ini saat naik, terutama pendaki pemula. Kecuali anda mencari tantangan atau menggemari medan yang ekstrim. Jalur yang kami lalui menurun terus (berarti tanjakan terus bagi yang mendaki). Tidak ada air. Tidak ada tempat datar dan terbuka untuk mendirikan tenda. Mau nggak mau kami harus jalan terus. Dengkul yang sudah leklok dan tangan yang kences terpaksa diabaikan. Akhirnya, jam 16.28, kami sampai di komplek makam Pangeran Santri. Untungnya di tempat tersebut ada bak penampungan air. Saya suruh seluruh tempat air dipenuhi. Karena kuncennya tidak ada maka kami mengambil tanpa ijin. Kami ketemu 2 orang kuncen tersebut di perjalanan saat kami turun. Mereka hendak kembali ke makam setelah turun gunung. Sebagai pengganti air yang diambil dan juga untuk mengurangi rasa bersalah karena mengambil tanpa ijin, saya suruh salah satu anggota tim memasukkan uang ke kotak infaq yang ada di depan rumah tinggal juru kunci makam.

Saya sempatkan gosok gigi. Sholat asar dan repacking. Anggota yang lain juga melakukan yang sama. Sebenarnya ada area datar yang bisa dipakai buat ngecamp. Tapi rasanya kurang asik berkemah bersebelahan dengan kuburan. Tidak mungkin kami berteriak, bercanda rame-rame, yang sudah pasti akan kami lakukan. Apalagi sebelum masuk komplek makam ada tulisan peringatan. Oleh karena itu, diputuskan, kami jalan terus. Setelah semua beres, kami melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, saya kagum dengan orang-orang yang loyal untuk datang berziarah di tempat yang begitu tingginya. Jauh di punggung gunung dan di tengah hutan.

Dari makam ternyata masih berjam-jam untuk menuju desa Girijaya. Sudah saya perkirakan, pasti akan harus berjalan di gelap gulita malam di tengah hutan. Persiapan untuk menghadapi peristiwa itu sudah kami lakukan. Kami membawa tiga senter dan tiga lampu badai. Sayangnya saat menyalakan lampu badai, satu lampu kacanya pecah berantakan. Satunya lagi tidak sampai berantakan tapi bolong separoh. Hanya satu yang sempurna. Lampu yang bagus dibawa oleh Imeh, yang kacanya bolong saya yang bawa. Karena bolong, apinya jadi sering mati tertiup angin sehingga akhirnya tidak saya nyalakan sekalian. Apalagi tabung minyak tanahnya tidak ada tutupnya. Akibatnya, minyaknya uprat-apret mengenai celana.

Perjalanan terus dilanjutkan di kegelapan malam di tengah hutan. Kadang-kadang bulan yang tidak bulat sempurna keluar dari awan membantu menerangi perjalanan kami. Kami tidak banyak omong, juga harus jalan pelan-pelan. Rasanya tidak ada habis-habisnya jalan yang dilalui. Gelapnya malam menghalangi kami menikmati pemandangan yang ada di sekeliling. Kadang terdengar suara motor, musik dangdut, orang adzan, atau puji-pujian yang datang dari desa di bawah gunung. Danang dengan serius mengatakan bahwa suara-suara itu datangnya dari pasar setan. Saya percaya, selain manusia ada mahluk Allah jenis lain. Dalam kasus ini, saya lebih percaya bahwa suara itu datangnya dari perkampungan yang ada di lereng gunung. Mungkin desa Girijaya, atau desa yang lain yang ada di bawah. Asumsi semacam itu sebenarnya tidak sehat untuk sebuah teamwork. Kalaupun misalnya punya keyakinan bahwa hal itu benar, akan lebih baik kalau disimpan untuk diri sendiri. Sehingga, tidak akan berpengaruh buat anggota tim yang lain. Akibat yang dapat ditimbulkan dengan keyakinan itu adalah akan membuat takut dan khawatir sehingga mengurangi kewaspadaan. Kondisi jalan yang berdampingan dengan jurang dan gelapnya malam bisa menjadi ancaman bagi kami yang kurang waspada.

Setelah jalan lebih dari lima jam, kami akhirnya keluar dari rerimbunan pohon hutan. Kami disambut oleh padang belukar terbuka yang ketinggiannya di atas kepala kami. Langit malam terhampar di atas dihiasi bintang-bintang. Lampu-lampu rumah tersebar di bawah kaki ibarat kunang-kunang berkelipan. Lekloknya kaki dan perut yang miskol menuntut untuk diisi memaksa kami menghentikan perjalanan begitu ketemu dengan lahan yang terbuka. Kami menyerah malam itu. Sehingga kami harus berhenti dan mendirikan tenda. Bahkan kami tidak bisa berpikir untuk mengirim tim sweeping mencari lokasi yang lebih baik beberapa meter yang ada di depan, sebagaimana yang kami lakukan pada hari pertama. Akibatnya, kami jadi menyesal. Ternyata, paginya kami baru tahu, 10 menit perjalanan di depan kami ada lahan luas yang terbuka lebar dan ada pancuran di dekatnya. Dan ada juga saung yang difungsikan sebagai musholla di tempat tersebut. Oh, seandainya....... Akhirnya kami pasang tenda jam 22.20. Sebagai penggajal perut sebelum makan malam, indomie. Menu makan malamnya, nasi + ........ indomie dan telur.

Malam di tengah padang belukar kami lewati tanpa terasa. Kelelahan yang luar biasa membius kami semua. Permukaan tanah yang tidak rata dan miring tidak menghalangi kami untuk tidur pulas. Pagi harinya, kami baru bisa menikmati pemandangan indah di sekitar tenda. Cidahu, tempat mengawali perjalanan bisa terlihat dari lokasi kami berdiri.

Hari ini hari ketiga. Senin, 7 Agustus 2006. Kami bersantai-santai untuk beberapa saat sambil menikmati sarapan, minum teh dan kopi. Sisa buncis dan wortel dioseng-oseng lagi, ditambah dengan telur dadar dan kering tempe yang masih ada untuk menu sarapan.

Setelah semua peralatan dan perlengkapan diberesi, kami meninggalkan lokasi kemah jam 10.53. Kami sempatkan mampir ke tempat air untuk makan siang (indomie lagi) dan sholat dzuhur sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Teguh dan Rahmat membuat minuman jahe, susu plus gula merah. Gila cing! Enak bangget (huruf g nya juga dua – saking enaknya). Saya gosok gigi lagi dan keramas. Meskipun tidak mandi.

Jam 13.45 kami tinggalkan saung alias musholla dan airnya, menyusuri jalan di tengah padang ilalang yang monoton dan piijideun. Kemudian kami memasuki perkampungan penduduk yang asri dan menyatu dengan alam. Ada kebun bunga Panah Asmara warna merah yang ditanam penduduk. Rumah di tengah sawah yang habis dibajak. Terlihat dua ekor kerbau sedang berpacaran. Mirip dua pasang dari anggota tim yang juga sedang dilanda asmara. Mereka terkena sindrom ATM BCA. Asmara terus membara bersemi cinta dan angan-angan. Sekalian istirahat kami berfoto-foto. Akhirnya gapura di ujung jalan dapat kami jangkau pada jam 14.25. Ternyata jalan tanah yang kami susuri bertemu dengan jalan berbatu yang tersusun rapi. Mis kemudian tanya ke penduduk setempat arah mana yang menuju ke Cicurug, ke kiri atau kanan. Ternyata dua-duanya bisa. Hanya saja yang ke kiri lebih dekat, sekitar 2,5 jam. Kami sempat jalan kaki menyusuri jalan berbatu sekitar satu kiloan saat ketemu dengan mobil bak terbuka. Dan alhamdulillah kami boleh menumpang sampai di Cigombong. Perjalanan di atas mobil pengangkut material cukup lama sampai kami bosan. Menurut perkiraan bukan cuma 2,5 jam bila jalan kaki. Bisa-bisa malah seharian karena begitu jauhnya. Saya sempat baca, jalan yang dilewati adalah Jl. Cipari, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi.

Akhirnya kami diturunkan di Cigombong di pinggir jalan raya menuju Bogor jam 15.50. Sebagai tanda terima kasih, kami kasih uang rokok buat pak sopir 20 ribu walaupun tidak minta. Mudah-mudahan saja tidak buat beli rokok meskipun istilahnya uang rokok. Dari tempat itu kemudian nyarter angkot Cicurug ke Pankid. Kami sepakat membayar 50 ribu untuk diantar sampai depan kampus BEC di Pankid. Sampai di BEC jam 17.00 pas. Dengan demikian berakhirlah ekspedisi Puncak Salak I yang amat sangat sangat sangat ruaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr biasa. Sebuah perjalanan yang bukan hanya membuat kami makin akrab tapi juga menjadi pengalaman yang mendebarkan dan membanggakan. Buat saya pribadi, ada kesan yang mendalam yang akan selalu menjadi kenangan sepanjang kehidupan saya.

Titi, Imeh, Fitri, Ardhi, Danang, Teguh, Rahmat, Mis, dan Deri, terima kasih telah mau menjadi teman seperjuangan saya dalam menaklukkan puncak tertinggi dari gunung Salak.