Tuesday, August 22, 2006

Jablai

Setiap saya berangkat ngantor selalu lihat tulisan itu. Di kiri jalan sebelah toko foto sebelum pasar Gunung Batu kalau dari arah terminal Laladon atau Bubulak. Ditulis seseorang di dinding triplek di sebelah gedung yang lagi dibangun. Kata tersebut kalau nggak salah pernah saya baca di Kompas. Entah judul lagu, entah film, atau jargon anyar yang baru muncul. Dilontarkan oleh salah seorang artis Indonesia saat diwawancara. Pernah tahu kepanjangannya tapi selalu kesulitan bila mengingat-ingatnya lagi. Ee..hla kok kemarin waktu ke Jakarta, di sandaran kursi bis menuju Blok M ketemu lagi dengan kata tersebut. Meskipun belakangnya tidak pakai huruf ’i’tapi ’y’. Karena penasaran nggak ketemu-ketemu juga singkatannya, saya tanyakan ke istri yang duduk sebelah saya. Dijawabnya dengan tangkas, “jarang dibelai!” Waduh, saya kok jadi kena saat melihat matanya yang indah melengos. Dengan menjawab pertanyaan saya, sekaligus memberi sinyal bahwa dia termasuk orang yang jablai. Masak sih saya jarang membelai istri? Perasaan bukan cuma mbelai deh, ngremus malah (krupuk kalee...).

Siapa sih yang nggak ingin dibelai? Kucing saja seneng banget kalau dibelai. Malahan gara-gara membelai kucing, saya jadi tahu rasa dan baunya pipis kucing (hiiiiiiiii....jijai).
Bener. Serius. Barangkali karena keenakan, dianya sampai terkencing-kencing. Dan mengenai muka saya. Kenapa bisa kena muka? Ya karena salah saya sendiri yang iseng meratiin dari dekat sambil bengong pas dibelakang pantatnya. Langsung saya kenain pinalti dia. Tendangan dua belas pas. Gondok rasanya. Air susu dibalas dengan air tuba. Mending kalau mbalesnya pakai air tebu, manis. Meski sial, saya berterima kasih juga sama kucing yang saya jadikan bola itu. Maaf cing, saya menyesal bila ingat telah menjadi Ronaldinho terhadapmu. Sekarang jadi tahu, kalau ada kucing nungging-nunggingin pantatnya berarti dia mau buang hajat.

Saya ke Jakarta kemarin karena ada undangan pernikahan. Adik sepupu saya menikah. Gedung resepsi yang dipakai adalah aula masjid di kantor walikota Jakarta Barat. Saya tidak begitu hapal dengan Jakarta Barat. Makanya ketika dikasih tahu supaya dari Bogor naik bis turun di UKI terus nyambung ke Blok M kemudian pindah taksi ke tempat tujuan, jadi keki saya. Masak harus bayar taksi 47 ribu. Padahal kalau tau, saya bisa naik bis dari Bogor turun ke Grogol. Dari situ baru naik taksi ke kantor walikota di Jl. Puri Kembangan. Paling ongkosnya nggak sampai 30 ribu. Meskipun demikian masih termasuk murah buat saya untuk membayar ketidaktahuan sebesar 47 ribu.

Ada yang menarik perhatian didalam acara pernikahan sepupu saya itu. Saat kedua mempelai mau memasuki gedung menuju kursi pelaminan, mereka disambut oleh empat orang penari cantik dan satu orang yang nggak tau apa namanya. Orangnya memberi kesan tua, kumis dan jenggotnya ubanan, gigi kecoklat-coklatan (tau asli tau bikinan), berpakaian hitam-hitam pakai ikat kepala. Sesosok orang kampung dari tanah pasundan. Sepupu saya ini memang turunan sunda. Almarhum ayahnya (om saya) berasal dari Sadawangi (dekat Sumedang) Jawa Barat. Penyambut itu menghantarkan pengantin ke pelaminan. Salah satu dari kekayaan budaya Indonesia yang patuh dibanggakan.

Yach.... pengalaman itu memang kadang mahal harganya. Bisa mahal bila dihitung dengan uang atau yang lain. Perasaan misalnya. Sama seperti ketika ketemu kucing jablai.

No comments:

Post a Comment