Saturday, November 29, 2008

Histrionik

Dalam majalah Intisari edisi bulan ini (November), ada artikel tentang penyakit kejiwaan yang lebih sering menghinggapi kaum hawa. Ya, histrionik namanya. Anda yang perempuan, jangan sinis dulu dengan saya. Penyakit ini memang memalukan. Tapi bila kemudian saya menuliskannya di sini, itu bukan salah saya kan?

Saya sempat dituduh yang tidak-tidak ketika mengucapkan kata itu beserta artinya di depan teman-teman kantor yang di ktp mereka disebutkan berjenis kelamin perempuan. Dikiranya saya mendiskreditkan mereka. Saya dituduh mengada-ada dan mengarang-ngarang untuk mencari sensasi. Mereka tidak percaya bahwa penyakit itu memang ada. Bagaimana dengan anda (khususnya anda yang perempuan), nggak percaya juga?

Bisa dimaklumi bila teman sekantor saya yang perempuan bersikap seperti itu. Meskipun faktanya sebagian wanita menunjukkan tanda-tanda mengidap histrionik tetapi mungkin saja mereka tidak menyadari kelainan yang dialaminya. Dengan demikian, mereka protes keras dengan informasi yang diterima. Tengsin juga kan bila cantik-cantik punya kelainan? Apalagi sudah jelek, kelainan lagi! Idih, kejam amat ya ungkapannya.

Saya tidak tahu apakah anda pernah bertemu dengan penderita histrionik. Saya pernah. Meskipun tidak yakin apakah mereka penderita kelainan kepribadian itu tetapi bila melihat ciri-cirinya, tidak salah lagi. Mereka kemungkinan besar adalah mengidap histrionik. Anda yang merasa kenal dan menjadi teman saya, jangan sinis dulu sama saya. Bukan anda yang saya maksudkan. Namun bila anda merasa bahwa saya sedang membicarakan anda, itu kesimpulan anda. Jadi, jangan salahkan saya. Salahkan saja orang-orang yang sedang dibui. Memang di situlah tempat orang-orang yang salah. Lalu seperti apa ciri-ciri dari histrionik?

Penderita histrionik biasanya memiliki ciri-ciri seperti di bawah ini. (Intisari, Nov 2008, halaman 175)
  1. Emosinya naik turun.
  2. Gampang GR (gede rasa).
  3. Merasa dirinya menarik. dandanan dan busananya mencolok, tetapi belum tentu pantas. bukan karena ia tergolong modis, namun semata-mata untuk menarik perhatian.
  4. Keadaan mood-nya dramatik dan labil.
  5. Sering mengeluh sakit, tapi dokter tak menemukan sakit apa pun.
  6. Alur bicaranya tidak runtut, dan kalau ditanya lebih lanjut tak bisa mengurai secara rinci.

Histrionik adalah penyakit kejiwaan yang penderitanya suka caper alias mencari perhatian. Anda yang perempuan kemudian mungkin protes, kan laki-laki pun ada juga yang suka caper? Anda tidak salah. Memang bukan hanya perempuan, laki-laki ada juga yang suka menjadi pusat perhatian. Namun dari hasil survei, yang sering ditemukan menderita kelainan ini adalah perempuan. Terima sajalah fakta yang ada. Atau, jangan-jangan anda sedang mencurigai diri anda sendiri? Anda khawatir jangan-jangan… jangan-jangan… anda seorang pengindap histrionik.

Seorang dengan histrionik-nya ini suka banget diperhatikan. Itu semua demi kepentingan dan kenyamanan diri sendiri. Bukan hanya menarik perhatian dengan berdandan nyeleneh dan mboten-mboten, bila perlu dengan sakit pun akan dia jalani. Dengan demikian, perhatian dari sekelilingnya akan dia terima. Padahal bila dibawa ke dokter dan diperiksa, tidak ada satupun penyakit yang ditemukan.

Pengidap histrionik benar-benar seorang drama queen. Sebegitu hebat permainan peran yang dijalankan penderita histrionik. Sampai-sampai fisiknya pun mendukung kelainan psikis tersebut. Bila dia mengeluh sakit, tubuhnya bisa mengeluarkan keringat dingin, jantung berdebar-debar, atau nafas ngos-ngosan.

Kadang juga ditemukan seorang penderita histrionik sering merasa terancam jiwanya. Oleh karena itu dia akan selalu curiga dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, lebih-lebih yang dia tidak kenal. Akibatnya dia juga menjadi seorang paranoid.

Kira-kira, histrionik ini penyakit keturunan atau nemu di jalan (maksudnya dalam perjalanan hidup)? Bila dikatakan histrionik itu terjadi karena faktor genetik, ternyata para ahli belum menyepakatinya. Memang pada tahun 1993 Dahl pernah meneliti bahwa ada riwayat keluarga yang pernah mengalami gangguan kepribadian psikosomatis (berkaitan dengan emosi atau mental).

Penderita histrionik tidak membahayakan orang lain. Meskipun demikian, bisa sangat menyebalkan. Oleh karena itu, perlu ditangani dengan benar agar sembuh. Seorang psikolog adalah pihak yang tepat untuk melakukan terapi penyembuhan. Jangan dibawa ke dukun, ya?

Saya rasa bila si penderita sadar bahwa dirinya sedang sakit, dia pasti ingin sembuh. Repotnya, kerap kali mereka ini tidak menyadari bahwa dirinya menderita kelainan. Mereka merasa baik-baik saja dengan perilakunya yang suka mencari perhatian. Baginya, mendapatkan perhatian bukan sebuah kesalahan, apalagi dosa. Jadi, apa salahnya?

Bila setelah membaca tulisan ini kemudian anda bertanya, “Siapa sih anda?” Maka saya akan jawab, “Saya bukan seorang psikolog yang lagi memberikan kuliah. Hanya seorang blogger yang sedang mencoba berbagi tentang hal-hal kecil yang barangkali sedang terjadi di lingkungan anda atau sedang anda hadapi.” Jika anda ingin tahu lebih banyak lagi tentang histrionik, barangkali informasi dari Kompas.com yang saya link ini bisa bermanfaat bagi anda.

Moving Class

Tiga kali dalam seminggu mereka mengunjungi rumah-rumah kaca di belakang kastil untuk mempelajari Herbalogi –ilmu rempah-rempah- di bawah asuhan wanita penyihir gemuk-pendek bernama Profesor Sprout. Di tempat itu mereka belajar bagaimana merawat semua tanaman dan jamur-jamur aneh dan apa kegunaannya. (Harry Potter dan Batu Bertuah, halaman 166)

Cuplikan di atas saya ambil dari buku pertama serial Harry Potter karangan Joanne Kathleen Rowling. Saya memajang potongan paragraf itu sebagai pembuka tulisan bukan tanpa tujuan. Ada hal menarik dalam sistem moving class yang ingin saya bicarakan di sini. Juga, saya ingin menunjukkan kepada anda bahwa yang namanya moving class dalam dunia pendidikan itu sudah lama di terapkan di luar negeri sana. Namun, apa sih yang dinamakan moving class?

Moving class merupakan sebuah sistem dalam proses belajar mengajar. Sistem moving class memiliki ciri siswa mendatangi ruang kelas yang sudah didesain untuk mata pelajaran tertentu dan akan pindah ke ruang kelas lain setiap ganti pelajaran. Dengan demikian, ruang kelas akan difungsikan seperti laboratorium. Segala yang ada di dalamnya sesuai dengan karakter masing-masing mata pelajaran. Kelas Speaking misalnya, di dalamnya bisa terdapat panggung yang di atasnya disediakan mikrofon. Dindingnya dilapisi kaca cermin untuk melihat gerak tubuh dan pose badan saat mempelajari public speaking. Bagian dinding yang lain dipasang poster orator kondang atau tokoh-tokoh dalam dunia entertainment seperti Oprah Winfrey, dan lain-lain.

Sistem moving class sudah lama dikenal dan diterapkan terutama oleh dunia pendidikan di barat tetapi merupakan hal baru bagi saya yang asli orang kampung. Di Indonesia beberapa sekolah khususnya yang menerapkan kurikulum internasional atau suka juga menyebut dirinya sekolah global mulai menerapkan sistem ini. Sebuah lembaga pendidikan gratis yang berada di Bogor juga tidak mau ketinggalan. Lembaga pendidikan yang bernama Bogor EduCARE (BEC) ini mulai mencoba menerapkan sistem moving class.

Apakah sistem ini akan berhasil dijalankan BEC, hanya waktulah yang akan menunjukkan berhasil tidaknya. Sekolah-sekolah yang lebih dahulu menerapkan sistem ini memberikan laporan yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa moving class membuat kelas menjadi kondusif karena sarana penunjang yang ada di dalam kelas memang sesuai karakter dari mata pelajaran yang sedang dipelajari. Ada pula yang bilang, siswa menjadi fresh karena suasana kelas ganti-ganti setiap ganti pelajaran. Namun ada yang mengeluh, moving class bikin cape karena harus berpindah-pindah setiap ganti pelajaran, apalagi bila kelas satu dengan yang lain ada di lantai yang berbeda. Selain itu, banyak siswa yang sengaja memperlambat menuju kelas berikutnya, malahan ada yang sempat mampir ke kantin dulu. Saat guru sampai di kelas, ternyata masih kosong. Sebaliknya, pihak guru juga mendapat kritikan. Pada waktu siswa sudah ada di kelas berikutnya, gurunya malah belum datang.

Untuk sekolah yang jumlah ruang kelasnya terbatas, mereka akan kedodoran ketika menerapkan sistem moving class. Idealnya adalah satu ruang kelas untuk satu mata pelajaran. Dengan demikian, ruangan bisa diatur sedemikian rupa sesuai mata pelajaran yang menggunakannya dan guru pengampu menjadikan kelas itu sebagai ruang kerja sehingga dia selalu ada ketika siswa yang akan belajar datang. Namun bagaimana hal itu bisa terlaksana bila jumlah ruangan terbatas, apalagi bila jumlah tenaga pengajarnya terbatas serta jumlah mata pelajaran juga banyak. Alangkah pusing untuk bisa menerapkan sistem yang kedengarannya efektif itu.

Ada cara memang untuk menyiasati keterbatasan jumlah ruang kelas, yaitu dengan mengelompokkan mata pelajaran-mata pelajaran yang serumpun. Namun demikian, tetap masih dibutuhkan jumlah ruangan yang lumayan banyak. Kan tidak mungkin, misalnya, mengumpulkan Matematika, Agama, Bahasa, dan Kesenian menjadi satu yang kemudian disediakan satu ruang kelas?

Ealah, kok saya jadi menggurui begini ya? Yah, harap maklum saja. Bila mendapatkan sesuatu yang baru, orang kan biasanya bersemangat sekali. Begitu juga saya. Karena moving class ini merupakan mainan baru buat saya, tidak heran bila kemudian saya tuangkan dalam tulisan ini. Sampai-sampai, karena saking semangatnya, barangkali malah terkesan nyinyir. Mudah-mudahan saja anda tidak mendapatkan kesan seperti itu.

Saat ngorek-ngorek internet untuk mendapatkan informasi tentang moving class dan kemudian sedikit banyak telah mendapatkan yang saya cari itu, saya kok merasa tidak asing dengan konsep moving class. Ingatan saya kemudian hinggap pada sekolah sihir Hogwarts yang ada dalam buku imajinasinya JK Rowling. Bukankah sekolah itu menerapkan sistem moving class? Harry Potter dan teman sekelasnya kan selalu berpindah-pindah bila akan belajar mata pelajaran berikutnya. Kalau begitu, tidak salah lagi, Hogwarts pasti menerapkan sistem belajar mengajar yang disebut moving class. Itu juga sebabnya saya mengawali tulisan ini dengan sebuah cukilan dari buku Harry Potter.

Hogwarts memang rekaan. Namun yang namanya rekaan, pasti ada latar belakangnya. Bila kita tahu Rowling itu pengarang dari negerinya Ratu Elizabeth, berarti pendidikan di Inggris pasti menerapkan sistem moving class. Dan sistem itulah yang kemudian mengilhami Rowling mengadopsinya ke dalam sekolah sihir tempat tiga sekawan Harry, Ron, dan Hermione menimba ilmu sihir.

Kembali ke dunia nyata, memang tidak salah bila sebuah sistem baru ingin dicoba diterapkan. Moving class yang merupakan sistem lama bagi sebagian orang tetapi baru untuk sebagian lainnya, boleh saja diujicoba. Masalah apakah akan berhasil atau gagal, itu urusan nanti. Barangkali bisa juga akan terjadi modifikasi dalam penerapannya. Tidak murni moving class sebagaimana konsep aslinya tetapi sudah diotak-otak dan direka-reka sesuai kondisi setempat dan peruntukannya. Kan memang kita ini terkenal untuk hal-hal yang seperti itu? Anda tahu kan yang saya maksudkan? Anda pasti tahu!

Friday, November 28, 2008

Mabok Apa Mabuk?

Mana yang benar dari dua kata itu, nggak usah diambil pusinglah. Biar itu jadi urusannya orang-orang Pusat Bahasa. Yang jelas, ada kondisi yang menggambarkan seseorang atau sekelompok orang menjadi lupa diri karena kemenangan. Anda tahu kan dengan istilah euforia?

Ya, euforia merupakan perasaan nyaman atau gembira yang berlebih-lebihan. Akibatnya, kadang-kadang yang bersangkutan menjadi lupa daratan, seperti orang mabuk gitulah. Anda tahu kan gimana orang mabuk itu? Perasaan ini sering dijumpai pada orang-orang yang memperoleh kemenangan. Menang lotere misalnya. Apalagi mereka yang sekali-sekalinya beli lotere, eh, hla kok kemudian menang. Mabuk kepayanglah dia.

Belum lama berselang, barangkali juga sampai saat ini, rakyat Amerika terutama pendukung Partai Demokrat mengalami euforia. Pada Selasa malam 4 November 2008, sekitar seperempat juta rakyat Amerika berkumpul di Grand Park pinggiran Danau Michigan untuk sebuah pesta yang disebut Election Night. Mereka merayakan kemenangan capres dari Partai Demokrat, Senator Barack Hussein Obama Junior yang berpasangan dengan Senator Joe Biden.

Kegembiraan itu kemudian bukan hanya milik pendukung Obama tapi telah menjadi milik seluruh penduduk Amerika pada umumnya. Hal itu dikarenakan contoh sikap positif yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Saat pemenangnya sudah terpilih, pihak yang kalah bukan terus memperkarakan kemenangan lawan dan berbuat anarki. Yang dilakukan John McCain sebagai calon presiden yang dikalahkan adalah mendatangi Obama untuk bersalaman dan mengucapkan selamat atas kemenangan lawannya. Sungguh, sebuah tauladan yang berasal dari pemimpin sejati. Betapa indahnya bila para calon pemimpin kita yang dikalahkan dalam pilkada maupun pemilu dapat berlaku seperti itu.

Euforia atas kemenangan Obama itu ternyata tidak hanya dialami orang-orang Amerika. Sebagian dari penduduk ini rupanya turut gembira dengan terpilihnya Obama. Barangkali hal ini terjadi karena dia pernah tinggal di Indonesia. Orang-orang yang terkena euforia itu merasa memiliki ikatan batin dan emosi dengan presiden yang baru terpilih. Apalagi teman-teman sekelasnya waktu sekolah di Menteng, Jakarta dulu.

Menyaksikan peristiwa pemilihan seorang pemimpin di negeri ini selama ini, rasanya kita masih harus banyak belajar, terutama belajar menata emosi. Keinginan menduduki sebuah jabatan pemimpin seharusnya didasarkan pada pengabdian. Sebuah pengabdian dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan mengabdi yang hanya digembor-gemborkan saat kampanye semata-mata untuk mendapatkan suara dari massa. Malu rasanya setiap ada pilihan pemimpin selalu ribut.

Nggak ada habis-habisnya dan malah semakin sakit hati bila diterusin omongan tentang kelakuan orang-orang yang tidak amanah itu. Kita ngomongin yang senang-senang sajalah. Bila hati ini senang, sakit akan hilang. Itu yang disebutkan sebuah artikel dalam majalah Reader’s Digest Indonesia bulan ini. Saya tuliskan kembali artikel itu untuk anda di sini.

Artikel kesehatan ini menukil isi dari buku seorang neuroscientist, Morten Kringelbach, dari Universiti of Oxford. Morten melakukan penelitian revolusioner dengan cara memasukkan elektroda ke dalam otak seseorang untuk menghilangkan rasa sakit dan mengubahnya menjadi rasa senang dan nyaman. Dalam bukunya yang berjudul The Pleasure Center, dia memaparkan hasil penelitiannya itu.
  • Untuk menghilangkan rasa sakit dan mengubahnya menjadi rasa senang dan nyaman, elektroda-elektroda itu harus distimulasi pada titik-titik yang tepat. Cara ini juga bisa membantu pasien depresi untuk mengatasi depresinya.
  • Namun elektroda itu tidak bisa digunakan hanya untuk bersenang-senang semata. Sebetulnya, otak secara otomatis akan menyeimbangkan dirinya, dan anda hanya dapat membantu memulihkan keseimbangan itu untuk sementara waktu, tidak permanen. Inilah sebabnya mengapa banyak orang, sekalipun mereka tidak mendapatkan perawatan, kemungkinan akan bisa pulih dari depresi dalam waktu setahun.
  • Kesenangan paling besar dirasakan orang saat melakukan hubungan seks. Urutan kedua adalah saat bersama teman-teman.
  • Meski belum terbukti, elektroda di otak bagian dalam tersebut mungkin dapat membantu mengembalikan keseimbangan mekanisme rasa puas di otak – sinyal-sinyal yang memberitahu kita untuk menghentikan apa yang kita makan atau minum, sehingga membantu mengatasi obesitas.
  • Namun begitu, elektroda tersebut bukanlah solusi dari segala masalah. Agar kita bisa hidup lebih senang dan nyaman, nikmati saja kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman, dan jangan bekerja terlalu keras. Kesenangan yang paling sederhana justru bisa menjadi yang terbaik untuk kesehatan anda.

Bagaimana komentar anda? Bersenang-senang itu banyak untungnya, termasuk euforia. Bila anda sekarang sedang mengalami euforia, teruskan saja. Asal anda tidak kebablasan dalam bersenang-senang. Sebagian orang masalahnya melihat euforia itu secara negatif. Euforia diidentikan dengan anarki. Jadi, mari bersenang-senang.

Monday, November 03, 2008

Ten Commandments

Bila anda mendapat perintah langsung dari atasan, anda tentu akan melaksanakan. Itu yang dilakukan oleh Nabi Musa ketika dia mendapat firman dari Penguasa Alam Raya untuk melaksanakan sepuluh perintah-Nya. Kisah kerasulan ini kemudian difilmkan dengan judul The Ten Commandments oleh Cecil B. DeMille.

Saya juga mendapat perintah. Bukan sepuluh, dan juga bukan dari Tuhan. Hanya satu dan itupun dari teman baik yang sekaligus guru menulis saya. Harap dicatat dulu, saya tidak bermaksud menyamakan dia dengan Tuhan. Perintahnya sederhana. Atau mungkin lebih cocok bila saya sebut sebagai provokasi. Dia mendorong-dorong saya untuk, ehm, merokok. Anjuran yang menyesatkan itu tentu saja dia sampaikan dengan tidak serius, dan sayapun menganggapnya begitu. Kenapa itu bisa terjadi?

Karena saya tidak ada acara kemana-mana, kemarin (Minggu) saya bertandang ke Bojong Gede. Saya main ke rumah seorang penulis yang reputasinya tidak main-main lagi. Sehari sebelumnya dia berjanji akan memberi bukunya yang baru diterbitkan asal saya mau datang ke rumahnya. Jika cuma disuruh datang agar memperoleh buku baru, ya dengan senang hatilah saya memenuhi syarat itu. Bukan hanya karena ingin mendapatkan buku baru saja yang menyebabkan saya mau datang. Kebetulan saya punya naskah buku yang butuh masukan dari dia. Selain itu, saya memang sudah lumayan lama tidak bersilaturahim ke tempat dia. Demi buku sekaligus persahabatan dan persaudaraan, saya berusaha keras untuk datang.

Lama tidak ngobrol dengan dia, kangen juga saya. Bila ketemu, seperti kemarin dan seperti biasa, obrolan yang dilakukan tidak jauh dari dunia tulis-menulis. Kami berdua memang cocok bagaikan mur dan baut. Kami kebetulan sama-sama memiliki keahlian. Dia mahir merangkai kata, saya ahli bertanya bagaimana meronce kata menjadi kalimat yang enak dibaca. Banyak petuah yang dia ucapkan untuk saya. Dengan khidmat saya mendengarkan. Selanjutnya saya berusaha menyerapnya. Sebagai seorang murid yang baik, memang seharusnya seperti itu bila gurunya berbicara.

Disamping mengajari menulis, dia juga menjadi guru untuk kegiatan lain yang juga sama-sama saya dan dia sukai. Kami berdua sama-sama penggemar permainan catur. Yang membuat saya terkesan, kok ya dalam setiap permainan dia tidak pernah terkalahkan. Setiap ketemu dengan dia, saya berharap untuk bisa bermain catur dengannya, tentu saja berharap juga untuk menang. Kemarin saya beruntung bisa bertanding melawan dia meskipun dari empat kali bermain, tidak satu pun yang saya menangkan. Saya akui, dia memang ulet dan tidak tergesa-gesa dalam melangkah. Dalam pertandingan-pertandingan yang dimainkan, termasuk kemarin, sebenarnya beberapa di antaranya saya sering berada di atas angin. Namun rupanya saya tidak seulet dan sehati-hati dia.

Pertandingan catur persahabatan saya lakukan karena hujan terlanjur turun. Akibat hujan, saya jadi tidak bisa pulang. Sebelum itu, saya dengan dia asik ngobrol di teras. Kebetulan ada empat orang dari Fakultas Hukum Unpak Bogor yang juga hadir. Mereka datang untuk urusan penerbitan buku. Mereka kemudian ikut bergabung dalam obrolan. Suasana jadi semakin ramai. Saat ngobrol itulah dia memprovokasi. Ya itu tadi, agar lancar menulis saya disarankan merokok. Dia memang perokok berat, begitu juga empat laki-laki yang dari Fakultas Hukum.

Saya hanya tersenyum mendengar anjuran itu. Kemudian saya meminta dia menyebutkan sepuluh alasan merokok untuk meyakinkan saya. Sepuluh keuntungan dari merokok. Dia dan orang-orang Fakultas Hukum dengan antusias mengumpulkan alasan itu. Pertama, merokok meningkatkan konsentrasi. Kedua, banyak penulis hebat yang perokok berat. Ketiga, orang merokok menunjukkan bahwa dirinya sehat. Buktinya, bila perokok yang sakit ditanya kenapa kok tidak merokok, dia akan menjawab, “Lagi sakit.” Keempat, rokok memiliki nilai sosial tinggi. “Perokok suka berbagi bila temannya tidak memiliki atau kehabisan rokok,” kata salah satu orang Fakultas Hukum sambil mengambil rokok teman saya yang tergeletak di atas meja. Kelima, merokok akan memperlancar dan memperpanjang percakapan. Dalam ilmu bahasa istilahnya fatis (phatic).

Kemudian saya ikut menambahi karena mereka sudah kehabisan alasan. Keenam, perokok awet muda, karena mereka tidak sempat tua. Smokers never grow old, because they die young. Begitu tulisan yang pernah saya baca pada sebuah kaos yang dipakai seseorang. Anda tentu bisa melengkapi dengan kemandulan, impotensi, keguguran dan lain-lain, bahkan lebih banyak lagi dari sekedar keuntungan merokok.

Sepuluh alasan yang saya minta memang bukan Ten Commandments, dan akhirnya mereka juga tidak dapat memberikan. Bila mereka bisa menyebutkan sepuluh alasan yang masuk akal dan tidak dicari-cari, sudah pasti anjuran merokok akan saya turuti. Dan saya anggap, alasan yang mereka sampaikan memang memiliki kebenaran yang dapat dipercaya.

Begitulah yang biasa terjadi bila orang tidak dapat melepas kebiasaan buruknya. Selalu ada legitimasi untuk menghalalkan perbuatan yang jelas-jelas banyak mudharat daripada baiknya seperti kebiasaan merokok. Hanya gara-gara susah menghentikan, akhirnya dicari alasan untuk menenangkan hati yang sebenarnya gundah. Seandainya salah satu dari Ten Commandments itu adalah perintah merokok, alangkah bangga dan besar kepala seluruh perokok di dunia ini. Mereka bisa mengatakan yang mereka kerjakan bukan hanya sekedar dilindungi peraturan rece-rece seperti undang-undang buatan manusia, tapi merupakan perintah yang datang langsung dari Tuhan. Untungnya hal itu hanya mimpi di siang bolong.

Bagi anda yang perokok, jika anda ingin tahu apa isi sepuluh perintah Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, jangan tanya saya. Tonton saja film The Ten Commandments. Namun saya ingatkan, jangan harap salah satunya adalah perintah untuk merokok. Setelah nonton film itu, jangan lupa cerita kepada saya. Sebutkan kesepuluh perintah yang diberikan itu dengan sejelas-jelasnya.

Khusus untuk teman tercinta yang saya kisahkan di sini, terima kasih atas petuah, ajaran dan bimbingan menulis yang telah diberikan. Juga perlu saya sampaikan terima kasih atas permainan catur yang tidak pernah sekalipun saya menangkan. Tunggu saja. Saya akan datang lagi dan memenangkan permainan itu.

Saturday, November 01, 2008

Penggemar Changcut

Maaf bila judulnya agak seronok. Memang begitulah adanya judul itu dibuat. Bagi anda yang memakai atau tidak memakai celana dalam, nggak usah diambil pusing. CD anda nggak ada urusannya dengan changcut yang saya tulis di sini. Penasaran? Glek aja langsung. Eh, maksudnya, terus aja langsung… membacanya.

Sudah menjadi hal umum dan tidak bisa disalahkan bila orang meniru-niru idolanya. Apa yang ada pada diri sang idola, ada kalanya akan ditiru mentah-mentah. Gaya rambut, pakaian, parfum yang digunakan, asesoris yang nempel di badan, bahkan cara berjalanpun tidak ketinggalan untuk ditiru. Tidak peduli apakah penduplikasiannya itu sesuai atau tidak, wagu, lucu, atau nggak mutu. Bukan masalah. Yang penting diri ini mirip-mirip idola, meskipun hanya sebatas “rasanya”, bukan “kelihatannya”.

Saya ketemu dengan manusia-manusia peniru seperti yang saya sebutkan barusan. Mereka benar-benar menakjubkan, tidak yang laki-laki tidak yang perempuan. Semua bertingkah dan bergaya sama. Apa yang dikenakan di badan dipatut-patutkan agar mendekati sang idola. Dari segi usia bisa dikatakan mereka memang sedang berada dalam masa-masa mencari sosok manusia yang bisa diidolakan. Mereka masih duduk di bangku smp, sma, dan kuliah. Ada juga beberapa anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka semua berkumpul untuk ketemu dengan kelompok musik idolanya. Mereka adalah para penggemar The Changcuters.

Kemarin kelompok musik yang asalnya dari Bandung itu memang lagi pentas di Universitas Pakuan (Unpak), Bogor. Selain The Changcuters, sebenarnya ada grup lain yang juga tampil, yaitu Andra and the Backbone. Tetapi nampaknya, yang paling ditunggu-tunggu adalah The Changcuters. Hal itu tidak mengherankan karena lagu-lagunya memang enerjik serta dapat menciptakan suasana menjadi begitu bergairah. Saya sempat merasakannya saat menyaksikan konser mereka meskipun dari tempat yang tidak terlalu dekat dengan panggung.

Begitu besar daya sihir kelompok musik yang penampilannya meniru personil The Beatles tetapi musik dan aksi panggungnya lebih mirip The Rolling Stones itu. Penggemarnya datang dari mana-mana. Bahkan ada rombongan yang menyewa bis untuk mendatangi acara tersebut. Melihat busnya, kelihatannya mereka dari Jakarta. Jalan-jalan di sekitar Unpak macet total. Saya yang biasanya bisa memasukkan motor saya ke dalam garasi Fakultas Sastra, saat itu harus mau mengalah memarkir motor di samping kantor kelurahan yang berjarak sekitar 200-an meter. Ada mobil yang menghalang di tengah jalan. Rupanya mobil dari crew-nya The Changcuters. Sementara itu, di pinggir kiri-kanan jalan itu penuh dengan sepeda motor yang diparkir. Malahan ketika saya sampai di ujung jalan dan akan lewat ada beberapa orang yang mencoba memperingatkan dan menghalangi saya untuk tidak masuk, katanya sudah penuh dan tidak bisa lewat. Setelah saya katakan saya mau ke kantor, baru mereka menyingkir meskipun dengan menunjukkan wajah yang kurang suka. Saya nggak bohong kok mas. Saya memang mau ke kantor. Kantornya orang sih.

Saya sendiri tidak tersihir dengan The Changcuters. Kedua anak sayalah yang tersihir. Karena mereka berdualah saya harus merelakan diri dan merepotkan diri berjuang menembus kerumunan manusia, motor, dan mobil untuk bisa sampai di dekat panggung. Secara gue bapak yang bertanggung jawab dan sayang pada anaknya gitu loh. Begitu jam 4, anak pertama saya yang kelas 2 smp sudah nongkrong di kantor saya. Paginya saya memang sudah janji sama dia supaya datang ke kantor. Selesai sholat asar terus berangkat menjemput adiknya yang sekolah siang pulang sore. Anak kedua saya ini baru kelas 3 sd. Dari sekolah dia, langsung menuju ke Unpak.

Dari kejauhan suara musik sudah terdengar, musik The Changcuters yang menghentak-hentak. Ternyata Andra and the Backbone sudah tampil duluan. Kami ketinggalan. Tetapi nggak begitu masalah, karena memang bukan grup itu yang lebih ingin ditonton. Kami berjalan terus mendekati panggung. Sedekat mungkin namun masih dalam jarak aman dari penonton lain yang lagi kesurupan. Mereka berputar-putar, meloncat-loncat, dan saling dorong. Seperti itukah anda kalau sedang menonton konser grup musik kesayangan anda?

Lagu-lagu The Changcuters memang enak. Saya sendiri juga suka meskipun tidak sampai terhipnotis. Lagu dia mengingatkan saya akan lagu-lagu kegemaran saya, The Rolling Stones. Jika anda mendengar lagu mereka yang berjudul I Love You Bibeh misalnya, lagu itu iramanya mirip Honky Tonk Woman-nya The Rolling Stones. Begitu juga gaya penyanyinya. Coba anda perhatikan, aksi panggungnya persis Mick Jagger vokalis dari The Rolling Stones. Meskipun meniru, masih okelah. Saya tidak menyalahkan The Changcuters. Toh para penggemarnya juga kemungkinan besar tidak peduli dengan hal itu. Apalagi mereka ada pada masa yang berbeda dengan jamannya musik-musik The Rolling Stones dan Mick Jagger-nya. Mana mereka kenal?

Saya nonton pentasnya The Changcuters selain karena memang suka dengan lagunya juga penasaran ingin melihat aksi panggungnya secara langsung. Namun yang lebih dari itu sebenarnya adalah karena saya khawatir terjadi apa-apa dengan junior-junior saya bila mereka menonton tanpa didampingi. Anda tahu sendirilah, berapa banyak konser sebuah grup band di negara kita ini yang memakan korban? Ironisnya, justru mereka yang menjadi korban adalah anak-anak yang mengidolakannya. Jadi seperti laron-laron yang datang mendatangi api untuk menghantarkan nyawanya. Saya tidak mau junior-junior saya menjadi laron.

Pertunjukan itu akhirnya selesai. Untungnya Unpak menerapkan kebijakan acara pentas-pentasan seperti itu tidak boleh lebih dari jam 6. Dengan demikian, lebih mudah untuk mengontrol. Semua berjalan dengan lancar. Tidak ada nyawa yang menjadi korban sia-sia. Apakah ada penonton yang luka-luka, saya tidak tahu. Tadi ketika berjoget mereka memang berjingkrak-jingkrak saling dorong dan menghantamkan badan. Mengerikan. Mudah-mudahan saja kalaupun ada yang cidera, hanya lecet-lecet saja. Para penonton pada bubar, sebagian yang lain masih duduk-duduk di sekitar panggung. Mereka berfoto-fotoan. Barangkali karena melihat saya memakai jaket hitam, membawa dua tas, satu tas kanvas kerja yang saya selempangkan ke depan satunya lagi backpack di punggung yang sebenarnya tas sekolah anak saya, dan kamera digital di tangan, mereka mengira saya wartawan. Ketika mereka saya suruh baris untuk difoto, dengan semangat mereka melakukannya. Alamak, sore itu para penggemar Changcut telah menjadi korban wartawan gadungan.