Saturday, November 01, 2008

Penggemar Changcut

Maaf bila judulnya agak seronok. Memang begitulah adanya judul itu dibuat. Bagi anda yang memakai atau tidak memakai celana dalam, nggak usah diambil pusing. CD anda nggak ada urusannya dengan changcut yang saya tulis di sini. Penasaran? Glek aja langsung. Eh, maksudnya, terus aja langsung… membacanya.

Sudah menjadi hal umum dan tidak bisa disalahkan bila orang meniru-niru idolanya. Apa yang ada pada diri sang idola, ada kalanya akan ditiru mentah-mentah. Gaya rambut, pakaian, parfum yang digunakan, asesoris yang nempel di badan, bahkan cara berjalanpun tidak ketinggalan untuk ditiru. Tidak peduli apakah penduplikasiannya itu sesuai atau tidak, wagu, lucu, atau nggak mutu. Bukan masalah. Yang penting diri ini mirip-mirip idola, meskipun hanya sebatas “rasanya”, bukan “kelihatannya”.

Saya ketemu dengan manusia-manusia peniru seperti yang saya sebutkan barusan. Mereka benar-benar menakjubkan, tidak yang laki-laki tidak yang perempuan. Semua bertingkah dan bergaya sama. Apa yang dikenakan di badan dipatut-patutkan agar mendekati sang idola. Dari segi usia bisa dikatakan mereka memang sedang berada dalam masa-masa mencari sosok manusia yang bisa diidolakan. Mereka masih duduk di bangku smp, sma, dan kuliah. Ada juga beberapa anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka semua berkumpul untuk ketemu dengan kelompok musik idolanya. Mereka adalah para penggemar The Changcuters.

Kemarin kelompok musik yang asalnya dari Bandung itu memang lagi pentas di Universitas Pakuan (Unpak), Bogor. Selain The Changcuters, sebenarnya ada grup lain yang juga tampil, yaitu Andra and the Backbone. Tetapi nampaknya, yang paling ditunggu-tunggu adalah The Changcuters. Hal itu tidak mengherankan karena lagu-lagunya memang enerjik serta dapat menciptakan suasana menjadi begitu bergairah. Saya sempat merasakannya saat menyaksikan konser mereka meskipun dari tempat yang tidak terlalu dekat dengan panggung.

Begitu besar daya sihir kelompok musik yang penampilannya meniru personil The Beatles tetapi musik dan aksi panggungnya lebih mirip The Rolling Stones itu. Penggemarnya datang dari mana-mana. Bahkan ada rombongan yang menyewa bis untuk mendatangi acara tersebut. Melihat busnya, kelihatannya mereka dari Jakarta. Jalan-jalan di sekitar Unpak macet total. Saya yang biasanya bisa memasukkan motor saya ke dalam garasi Fakultas Sastra, saat itu harus mau mengalah memarkir motor di samping kantor kelurahan yang berjarak sekitar 200-an meter. Ada mobil yang menghalang di tengah jalan. Rupanya mobil dari crew-nya The Changcuters. Sementara itu, di pinggir kiri-kanan jalan itu penuh dengan sepeda motor yang diparkir. Malahan ketika saya sampai di ujung jalan dan akan lewat ada beberapa orang yang mencoba memperingatkan dan menghalangi saya untuk tidak masuk, katanya sudah penuh dan tidak bisa lewat. Setelah saya katakan saya mau ke kantor, baru mereka menyingkir meskipun dengan menunjukkan wajah yang kurang suka. Saya nggak bohong kok mas. Saya memang mau ke kantor. Kantornya orang sih.

Saya sendiri tidak tersihir dengan The Changcuters. Kedua anak sayalah yang tersihir. Karena mereka berdualah saya harus merelakan diri dan merepotkan diri berjuang menembus kerumunan manusia, motor, dan mobil untuk bisa sampai di dekat panggung. Secara gue bapak yang bertanggung jawab dan sayang pada anaknya gitu loh. Begitu jam 4, anak pertama saya yang kelas 2 smp sudah nongkrong di kantor saya. Paginya saya memang sudah janji sama dia supaya datang ke kantor. Selesai sholat asar terus berangkat menjemput adiknya yang sekolah siang pulang sore. Anak kedua saya ini baru kelas 3 sd. Dari sekolah dia, langsung menuju ke Unpak.

Dari kejauhan suara musik sudah terdengar, musik The Changcuters yang menghentak-hentak. Ternyata Andra and the Backbone sudah tampil duluan. Kami ketinggalan. Tetapi nggak begitu masalah, karena memang bukan grup itu yang lebih ingin ditonton. Kami berjalan terus mendekati panggung. Sedekat mungkin namun masih dalam jarak aman dari penonton lain yang lagi kesurupan. Mereka berputar-putar, meloncat-loncat, dan saling dorong. Seperti itukah anda kalau sedang menonton konser grup musik kesayangan anda?

Lagu-lagu The Changcuters memang enak. Saya sendiri juga suka meskipun tidak sampai terhipnotis. Lagu dia mengingatkan saya akan lagu-lagu kegemaran saya, The Rolling Stones. Jika anda mendengar lagu mereka yang berjudul I Love You Bibeh misalnya, lagu itu iramanya mirip Honky Tonk Woman-nya The Rolling Stones. Begitu juga gaya penyanyinya. Coba anda perhatikan, aksi panggungnya persis Mick Jagger vokalis dari The Rolling Stones. Meskipun meniru, masih okelah. Saya tidak menyalahkan The Changcuters. Toh para penggemarnya juga kemungkinan besar tidak peduli dengan hal itu. Apalagi mereka ada pada masa yang berbeda dengan jamannya musik-musik The Rolling Stones dan Mick Jagger-nya. Mana mereka kenal?

Saya nonton pentasnya The Changcuters selain karena memang suka dengan lagunya juga penasaran ingin melihat aksi panggungnya secara langsung. Namun yang lebih dari itu sebenarnya adalah karena saya khawatir terjadi apa-apa dengan junior-junior saya bila mereka menonton tanpa didampingi. Anda tahu sendirilah, berapa banyak konser sebuah grup band di negara kita ini yang memakan korban? Ironisnya, justru mereka yang menjadi korban adalah anak-anak yang mengidolakannya. Jadi seperti laron-laron yang datang mendatangi api untuk menghantarkan nyawanya. Saya tidak mau junior-junior saya menjadi laron.

Pertunjukan itu akhirnya selesai. Untungnya Unpak menerapkan kebijakan acara pentas-pentasan seperti itu tidak boleh lebih dari jam 6. Dengan demikian, lebih mudah untuk mengontrol. Semua berjalan dengan lancar. Tidak ada nyawa yang menjadi korban sia-sia. Apakah ada penonton yang luka-luka, saya tidak tahu. Tadi ketika berjoget mereka memang berjingkrak-jingkrak saling dorong dan menghantamkan badan. Mengerikan. Mudah-mudahan saja kalaupun ada yang cidera, hanya lecet-lecet saja. Para penonton pada bubar, sebagian yang lain masih duduk-duduk di sekitar panggung. Mereka berfoto-fotoan. Barangkali karena melihat saya memakai jaket hitam, membawa dua tas, satu tas kanvas kerja yang saya selempangkan ke depan satunya lagi backpack di punggung yang sebenarnya tas sekolah anak saya, dan kamera digital di tangan, mereka mengira saya wartawan. Ketika mereka saya suruh baris untuk difoto, dengan semangat mereka melakukannya. Alamak, sore itu para penggemar Changcut telah menjadi korban wartawan gadungan.

No comments:

Post a Comment