Wednesday, August 29, 2007

1001 Malam

Apa karena tau saya suka buku, orang jadi pada senang ngasih buku ya? Atau karena kasian liat saya kaya kutu buku? Kucel maksudnya. Hanya Tuhan yang tau dan saya juga tau (kalau dikasih tau yang ngasih tau, yang punya buku maksudnya). Tapi emang bener, saya suka buku. Dan saya punya banyak buku. Lebih dari sepuluh. Hlah? Segitu kok banyak. Makanya saya seneng banget ketika siang tadi (28/8) ada yang ngasih buku. Surprise buat saya. Tega-teganya ngasih barang yang jadi demenan saya. T e r – l a – l u (*sambil ngelus-elus jenggot oma irama*). Ini seneng apa marah-marah sih?

Yang ngasih ini temen maen bilyar saya (padahal baru sekali maen, dan saya kalah mulu). Mahasiswa BEC angkatan 10. Sekarang baru mau praktek industri. Masih nyari-nyari perusahaan yang mau dipake buat magang. Mudah-mudahan cepat dapet tempat. Juga untuk anak angkatan 10 laennya yang sampe sekarang masih blon pada dapet. Sekaligus memenuhi keinginan mereka-mereka yang ngisi shoutbox di blog ini atau yang ketemu langsung dengan saya untuk permintaan doa saya.

Buku yang dikasih judulnya Kisah 1001 Malam Abunawas. Sebuah buku dagelan dari timur tengah dengan tokoh si Abunawas. Sebuah buku saku. Bukan masalah tebal tipis ato besar kecilnya, yang pasti buku itu akan nambah perbendaharaan kekonyolan saya. Apa biar saya jadi orang konyol ya? Jangan ah. Entar jadi nggak gampang dipercaya orang kalo suka becanda. Giliran serius, orang pada nggak percaya. Mereka ragu-ragu apakah saya ini lagi beneran pa lagi becanda. Repot dah jadinya.

Tapi kira-kira mau nggak kalo kita ini mulu idup dalam keseriusan? Gak ada canda-candanya sedikitpun? Saya jamin hidup anda akan sengsara. Apalagi kalo anda sudah sengsara dari sononya. Makin sengsara deh jadinya.

Ya emang sih, humor itu ada porsinya juga. Sersan gitu lah. Serius tapi sante. Bukan sersan polisi yang nembak temennya sendiri (ngelantur lagi deh). Asal candanya tidak berlebihan, sebatas variasi menghilangkan kejenuhan. Saya pikir ada baiknya dan nggak ada yang salah. Sebab hanya mereka yang di penjara Peledang sajalah yang salah. Ngaco.

Buat ente-ente (ngasih nasehat orang laen biar memberi kesan diri sendiri tidak terlibat) yang kelebihan becandanya, kurangilah. Tapi jangan dihilangkan. Karena hidup ini masih perlu ketawa. Selama ketawa belum dilarang dan dipajekin, bersuka-sukalah ketawa. Sebab di dunia ini banyak orang akan mengelilingi kita saat ketawa dan kita akan sendirian saat menangis. Kalo anda sudah terlanjur dicap orang yang tidak bisa serius, saya hanya bisa berucap, “Apa boleh buat tai kambing bulat-bulat tai kucing rasa coklat makan soto campur kawat. Hlah?”

Yadi Mulyadi, makasih banyak atas bukunya. Semoga dimudahkan segala urusan, banyak anak, banyak rejeki, enteng jodoh, dibimbing ke jalan yang benar, tidak kesasar, selamat sampai di tujuan, sekali merdeka tetap merdeka...bla...bla...bla... gubrag.

Tuesday, August 28, 2007

Pemimpin Besar Kemaluan

Masih. Kali ini saya masih ngomongin tentang kepemimpinan. Nggak tau kenapa kok itu lagi yang diurusin. Yah, masih pengen gitu ajalah. Entar kalo udah bosen ato dah nggak antusias ya akan saya tinggalin masalah kepemimpinan itu. Meskipun mungkin hanya untuk sementara. Dan akan balek lagi, bisa jadi, kalo pengen ngungkit-ungkit lagi masalah itu. Namanya juga plinplan (lah, plinplan kok bangga - *heran*).

Seperti yang saya tulis di Pemimpin Kodok, nggak gampang jadi seorang leader. Namun siapapun bisa jadi pemimpin dan akan. Akan jadi pemimpin maksudnya. Apapun bentuk dan jenisnya. Entah itu pemimpin yang bener maupun yang blo’on. Siapa yang akan dipimpin? Adakah orangnya yang mau dipimpin seorang blo’on? Saya jawab, ada. Yaitu dirinya sendiri. Hlo? Emang. Setidaknya, walaupun tidak ada orang lain yang dipimpinnya, dirinya sendirilah yang harus dipimpin. Jiwa raganya. Bangunlah jiwanya bangunlah badannya untuk e-ndo-ne-sa rayaaaaaaaaaaaaaaaaaa…. Lho, itu kan lagu?

Forget it. Don’t follow mix. Maksudnya, lupakan saja, gak usah ikut campur lah. Nah, terus gimana dong kalo dirinya sendiri yang jadi anak buahnya? Gampang. Tinggal kita yang jadi pemimpin ya jangan jadi pemimpin yang blo’on. Malu kan? Meskipun sama diri sendiri. Dan katanya. Ini katanya sih, boleh percaya tidak boleh bo’ong (gak konek ya?). Kalo sama dirinya sendiri aja bisa malu, apalagi dengan orang lain. Kalo kita sudah tau malu kepada dirinya sendiri, maka insyaAllah kita akan berusaha menjaga perilaku kita. Minimal bukan menjadi orang yang tidak tau malu. Kalo malu-maluin sih masih boleh, asal tidak banyak. Dan juga menjadi pemalu. Itu juga boleh, meskipun bisa kesasar. Apalagi di tempat baru. Seperti kata pepatah, malu bertanya sesat di jalan, besar kemal*** susah berjalan. Kok jadi muter-muter gini ya. Lieur aku! (bukan air lieur lho!)

Dijamin deh, kalo bisa mimpin diri sendiri orang yang dipimpin akan percaya. Bila tidak, sapa yang mo percaya orang yang bingung sama dirinya sendiri. Mimpin dirinya sendiri aja kelabakan, apalagi orang laen. Gitu katanya. Dan... gimana cara untuk bisa mimpin diri sendiri sebelum dipercaya ngatur orang lain? Gampang. Tinggal ambil peluit, tiup, posisi badan tegap, mata tidak boleh meleng, apalagi juling, kaki kanan dulu yang maju. Sebuah saran yang bodoh dan tidak masuk akal!

Ini serius. Biar bisa mimpin diri sendiri, perlu komitmen terhadap diri sendiri tentunya. Kemudian disiplin. Tidak menunda-nunda. Percaya diri. Trus apa lagi ya.... udah lah itu aja. Bisa nggak mraktekin yang disebutin tersebut. Kalo udah komit mau brenti mrokok besok, ya besok benar-benar nggak mrokok. Besoknya lagi, baru boleh mrokok lagi (ya nggak lah!). Itu contoh komitmen. Trus, disiplin bangun pagi jam tiga misalnya. Itu mah kepagian masssss. Tentang menunda-nunda, coba kurangi deh. Sukur-sukur bisa diilangkan. Seperti Dapit Koperpit si tukang sulap gitu lo. Kalo bisa dikerjakan sekarang, kenapa mesti harus nunggu lebaran monyet dulu. Sampe lebaran monyet juga nggak bakalan monyet punya lebaran. Jangan seperti semboyannya birokrat (yang penganut lebaran monyet), kalo bisa dilama-lamain kenapa mesti dipercepat. Kampungan ya? Ente percaya nggak kalo bisa terbang, seperti burung? Kalo anda percaya diri, pasti jawab ‘so pasti lah coy’. Buktinya saya dulu suka terbang. Kemana-mana. Ya iyalah pake sayapnya pesawat, maksudnya naik pesawat. Masak terbang pake sayap kaya burung bondol. Yang bener aja.

Jadi intinya, kalo pengen jadi pemimpin yang sukses harus besar kemaluan (ih hobi amat nyebut-nyebut kemaluan). Jangan ngeres dulu. Gini lo maksudnya. Datang telat, malu. Ingkar cristy eh janji, malu. KKN, malu. Tidak disiplin, malu. Rendah diri, malu.

Ya, jadi gitu ya? Cepet-cepet diperbesar itunya.

Monday, August 27, 2007

Sumber Belajar

Kadang-kadang repot juga ngadepin orang iri. Seperti kena duri. Didiemin nyakitin, diurusin ngrepotin. Jadi serba salah. Sering malahan seolah-olah kitalah yang memang salah.

Kalau ada yang bilang sirik tanda tak mampu, saya setuju 100%. Buat sebagian orang, ketidakbisaan yang dimiliki ditutupi dengan menyalahkan orang lain. Karena tidak bisa melakukan sebagaimana yang dikerjakan orang lain, dia protes seharusnya orang lain tidak boleh seperti itu. Lucu ya? Nggak! Aneh.

Yang lebih repot lagi kalo orang yang iri ini jago memutar balikkan fakta. Masih mending kalo memutar balikkan telor, biar gak gosong. Hla ini? Yang benar jadi kelihatan salah, yang salah dianggap benar. Dunia bisa kebalik-balik. Kenapa dia bisa seperti itu? Karena memiliki kecerdasan linguistik yang menjadi salah satu modal yang dimiliki orang-orang ini selain badannya yang bau (apa hubungannya?). Dengan fasihnya dia utarakan argumen-argumen yang ‘bull shit’ alias tk. Tau tk? Bukan, bukan taman kanak-kanak. Tk ya terjemahannya bull shit itu. Benar-benar pokrol.

Juga akan menjadi tambah berbahaya kalo pengiri (saya sebut gitu aja ya) ini kongkalikong alias kolusi dengan orang yang punya kekuasaan. Lebih-lebih yang punya kuasa ini orangnya bego. Maka, akan berkibarlah dia (bendera kale). Orang kuat aja bisa dilibas, apalagi yang lemah. Udah lemah, krempeng lagi (maksudnya?). Dunia persilatan bisa ancur. Para pengiri akan semakin merajalela kaya wabah kurap. Bagi orang-orang waras, yang bukan pengiri maksudnya, musti waspada. Tidak boleh lengah. Anggap saja para pengiri ini kecoa yang memang diberi kehidupan dan hidup di antara kita. Kelihatannya saja mengkilat tapi sebenarnya mainnya di tempat-tempat yang kotor menjijikkan. Tentu saja berbagai kuman penyakit sudah pasti dia bawa kemana-mana.

Pengiri ini memang menjengkelkan dan merugikan orang lain. Namun, di satu sisi, kita juga selayaknya mengucapkan terima kasih kepadanya. Dia yang sudah mau menjadi pengiri telah memberi pelajaran kepada kita. Pelajaran untuk tidak menjadi seperti dia. Coba bayangin kalo tidak ada dia. Kita jadi tidak punya contoh orang yang berperilaku negatif.

Kalau ente ketemu pengiri, atau ada pengiri di dekat ente, doain aja mudah-mudahan dia diterima disisiNya. Nantinya.

Tulisan ini saya dedikasikan kepada para pengiri yang hidup di dunia ini. IDUP PENGIRI!

Friday, August 24, 2007

Pemimpin Kodok

Ini bukan cerita tentang kodok yang memimpin kodok lain. Atau manusia yang memimpin sekumpulan kodok. Apalagi tukang nyari kodok. Cerita ini mengenai perilaku seorang pemimpin. Lho? Terus apa hubungannya?

Gini lho. Menjadi pemimpin itu bukan pekerjaan gampang. Tul nggak? Tidak semua orang bisa (atau mau) menjadi pimpinan. Yang ini betul juga nggak? (nanya mulu ih) Banyak faktornya. Bisa jadi tidak pede. Mungkin merasa tidak punya kemampuan. Mukanya jelek (walah, rasis!). Bau (apa hubungannya? yah, dihubung-hubungin sendiri lah). Atau sebab-sebab yang lain. Namun, meskipun tidak gampang, bukan berarti tidak mungkin. Siapapun bisa menjadi pemimpin. Kalau mau. Asal siap bekerja keras untuk belajar. Belajar? Hiya lah. Belajar untuk jadi pemimpin. Gampang kok. Kemampuan memimpin itu kan bukan bakat, tapi sesuatu yang bisa didapat dengan mempelajari dan melatihnya terus-menerus, serta selalu melakukan perbaikan atas segala ketidakbenaran yang ditemukan. Mau dikritik. Jangan alergi.... dikritik. Bersedia belajar dari kesalahan. Jangan kaya keledai. Udah tau ada lubang di depannya dan pernah terperosok, eh lha kok diulangi lagi. Bego nggak?

Sebagian orang memang punya jiwa kepemimpinan. Ada leadership gitu lho. Tapi yang nggak punya pun bisa memiliki kalau mau belajar untuk menguasainya. Ada yang bilang memimpin itu juga sebuah seni. Jadi kalau ente suka buang air seni, berarti buang-buang kepemimpinan (kalo ini jelas ngaco). Maksudnya seni itu ya, memimpin dengan tidak kaku. Bisa menyelami (laut kale!), memahami, merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang dipimpinnya. Kalo orang pinter bilang, kepemimpinan seperti ini disebut ‘servant leadership’. Servant artinya pelayan, leadership ya leadership, eh kepemimpinan. So what? Ya pemimpin babu. Bukan ding. Pemimpin yang siap melayani. Terus siapa yang dilayani? Ya anak buahnya itulah. Tapi kok agak aneh ya? Kan biasanya pemimpin itu minta dilayani. Hiya ya? Saya juga bingung kok. Eit...ntar dulu. Siapa yang bingung? Ya pokoknya gitu lah. Pemimpin yang merakyat gitu.

Nah sekarang kita kembali ngomongin kodok, atau bahasa Inggrisnya katak (parah nih bahasa Inggrisnya). Pernah denger pepatah ‘seperti katak dalam tempurung’? Ngapain ya ni kodok? (*pengen gelap-gelapan kali*) Kalau pemimpin diibaratkan kodok di dalam batok kepala, eh kelapa, ya artinya pemimpin yang picik. Cara berpikirnya tidak berkembang. Dunia yang dia ketahui hanyalah yang ada dalam tempurung. Dia nggak tahu kalau dunia ini maha luas. Tidak hanya sebatas taplak meja, apalagi daun kelor. Jadi banyak ‘lho’nya (sambil cengok). Lihat motor, lho. Ketemu kolor, lho. Ketemu nenek-nenek, lho. Ditabrak cewek cantik, asyiiiikkk... (kok nggak lho?).

Kalo you pekerja, maksudnya karyawan, yang menjadi anak buahnya sorang ketua, kepala, manajer, bos, direktur, kasi, ato apalah namanya, dan dia tukang nginjek bawahannya, sikut kanan sikut kiri pada teman selevel, ndongak ke atas sambil njilat (pantat atasannya) sampe lidahnya jadi satu meter, berarti selamat.... anda telah memiliki seorang pemimpin kodok. Ya seperti itulah perilaku seekor kodok. Nggak percaya kalo kodok seperti itu? Buktikan sendiri. Gimana caranya? Makanya jadi kodok dulu.

Kalo yang bikin ini mah manusia. Kan kodok nggak bisa nulis?

Monday, August 20, 2007

Gila

Emang repot ya jadi ngetop (walah... terdengar narsis ya? *pake nanya lage*). Dikejar-kejar. Diuber-uber. Malahan pernah ada yang jatuh bangun gara-gara pengen meluk (bo’ong ding). Tapi kalo mau dipeluk emang bener. Sayangnya, yang mau meluk itu... orang gila. Oohh nooooo..........

Ceritanya, dulu, dulu sekali, entah berapa taon yang lalu (ga pentinglah masalah waktunya, ya ga? Ga setuju? Ya udah ga jadi! Hlo kok jadi ngelantur gini?), okelah saya terusin, saat saya jalan-jalan malam di kota Jayapura, ya betul, ibukotanya Papua, setelah selesai makan malam saya jalan dengan perut kekenyangan. Saya abis makan gunung. Orang sana kalo nyebut makan nasi tuh makan gunung karena bentuknya mengerucut dan saking banyaknya. Hebat ya? Mereka, bukan saya.

Again, saat jalan pulang nyantai menuju hotel sambil mengelus-elus perut buncit, saya liat di depan ada seorang perempuan jalan ke arah saya. Karena emang banyak orang yang jalan-jalan, saya pikir dia juga salah satu di antaranya. Makanya saya tidak curiga blas. Saat di sudah ada di dekat saya, e lha kok tiba-tiba nyamperin saya dan mau memeluk sambil cengengesan. Kurang ajar, sompret @#???!&**+#0%. Enak aja maen peluk-peluk anak orang. Sori ye. Dengan pasti saya bisa putuskan (kaya pejabat aja) kalau dia itu wong edan. Orang gila. Untungnya saya sempat menghindar dan lari tunggang langgang lintang pukang kaya kukang banyak utang dikejar-kejar orang. Akhirnya selamat deh sampe di hotel. Dengan ngos-ngosan dan degdegan setelah terlibat dalam sebuah adegan horor di jalan barusan, saya menenangkan diri sambil merenung, apa salahku sampe mo dipeluk orang ga waras? Apa saya dikira temennya ya? Mungkin nanti akan saya tanyakan ke dia kalau ketemu lagi serta minta pertanggungjawabannya (mustahil amat, inget wajahnya saja kagak).

Ya itulah sodara-sodara sebuah kisah singkat yang pernah terjadi dalam kehidupan orang kampung di kampung orang. Peristiwa ini saya tulis agar tidak terlalu lama vakum. Gara-gara kerjaan yang menumpuk, salah satu penyebabnya ya karena salah saya sendiri menunda-nunda, cukup lama saya tidak mengisi blog ini. Mudah-mudahan saja kevakuman selama beberapa saat ini bisa menjadikan sampeyan-sampeyan orang yang sabar. Orang sabar itu banyak untungnya. Seperti kata pepatah, orang sabar pantatnya lebar (apa hubungannya? ga nyambung blas). Coba tengok pantat masing-masing, kalo pantat ente lebar berarti ente orang sabar (ngaco lage).