Ini bukan cerita tentang kodok yang memimpin kodok lain. Atau manusia yang memimpin sekumpulan kodok. Apalagi tukang nyari kodok. Cerita ini mengenai perilaku seorang pemimpin. Lho? Terus apa hubungannya?
Gini lho. Menjadi pemimpin itu bukan pekerjaan gampang. Tul nggak? Tidak semua orang bisa (atau mau) menjadi pimpinan. Yang ini betul juga nggak? (nanya mulu ih) Banyak faktornya. Bisa jadi tidak pede. Mungkin merasa tidak punya kemampuan. Mukanya jelek (walah, rasis!). Bau (apa hubungannya? yah, dihubung-hubungin sendiri lah). Atau sebab-sebab yang lain. Namun, meskipun tidak gampang, bukan berarti tidak mungkin. Siapapun bisa menjadi pemimpin. Kalau mau. Asal siap bekerja keras untuk belajar. Belajar? Hiya lah. Belajar untuk jadi pemimpin. Gampang kok. Kemampuan memimpin itu kan bukan bakat, tapi sesuatu yang bisa didapat dengan mempelajari dan melatihnya terus-menerus, serta selalu melakukan perbaikan atas segala ketidakbenaran yang ditemukan. Mau dikritik. Jangan alergi.... dikritik. Bersedia belajar dari kesalahan. Jangan kaya keledai. Udah tau ada lubang di depannya dan pernah terperosok, eh lha kok diulangi lagi. Bego nggak?
Sebagian orang memang punya jiwa kepemimpinan. Ada leadership gitu lho. Tapi yang nggak punya pun bisa memiliki kalau mau belajar untuk menguasainya. Ada yang bilang memimpin itu juga sebuah seni. Jadi kalau ente suka buang air seni, berarti buang-buang kepemimpinan (kalo ini jelas ngaco). Maksudnya seni itu ya, memimpin dengan tidak kaku. Bisa menyelami (laut kale!), memahami, merasakan apa yang dirasakan orang-orang yang dipimpinnya. Kalo orang pinter bilang, kepemimpinan seperti ini disebut ‘servant leadership’. Servant artinya pelayan, leadership ya leadership, eh kepemimpinan. So what? Ya pemimpin babu. Bukan ding. Pemimpin yang siap melayani. Terus siapa yang dilayani? Ya anak buahnya itulah. Tapi kok agak aneh ya? Kan biasanya pemimpin itu minta dilayani. Hiya ya? Saya juga bingung kok. Eit...ntar dulu. Siapa yang bingung? Ya pokoknya gitu lah. Pemimpin yang merakyat gitu.
Nah sekarang kita kembali ngomongin kodok, atau bahasa Inggrisnya katak (parah nih bahasa Inggrisnya). Pernah denger pepatah ‘seperti katak dalam tempurung’? Ngapain ya ni kodok? (*pengen gelap-gelapan kali*) Kalau pemimpin diibaratkan kodok di dalam batok kepala, eh kelapa, ya artinya pemimpin yang picik. Cara berpikirnya tidak berkembang. Dunia yang dia ketahui hanyalah yang ada dalam tempurung. Dia nggak tahu kalau dunia ini maha luas. Tidak hanya sebatas taplak meja, apalagi daun kelor. Jadi banyak ‘lho’nya (sambil cengok). Lihat motor, lho. Ketemu kolor, lho. Ketemu nenek-nenek, lho. Ditabrak cewek cantik, asyiiiikkk... (kok nggak lho?).
Kalo you pekerja, maksudnya karyawan, yang menjadi anak buahnya sorang ketua, kepala, manajer, bos, direktur, kasi, ato apalah namanya, dan dia tukang nginjek bawahannya, sikut kanan sikut kiri pada teman selevel, ndongak ke atas sambil njilat (pantat atasannya) sampe lidahnya jadi satu meter, berarti selamat.... anda telah memiliki seorang pemimpin kodok. Ya seperti itulah perilaku seekor kodok. Nggak percaya kalo kodok seperti itu? Buktikan sendiri. Gimana caranya? Makanya jadi kodok dulu.
Kalo yang bikin ini mah manusia. Kan kodok nggak bisa nulis?
No comments:
Post a Comment