Peristiwa berbeda menentukan lebaran bukan yang pertama. Dulu juga pernah terjadi. Di Indonesia ini banyak organisasi Islamnya, dan mereka kadang menggunakan acuan yang berbeda-beda. Makanya nggak heran kalau kejadian berbeda menentukan hari lebaran terulang lagi.
Meskipun perbedaan ini dianggap rahmat menurut wakil presiden RI dan Din Syamsuddin, wakil ketua MUI yang juga ketua umum pusat Muhammadiyah, juga pesan kalau perbedaan ini jangan menjadi penyebab perselisihan, pertentangan, apalagi konflik, tetapi bagaimanapun juga tetap banyak orang awam yang kebingungan. Siapa yang mesti dianut. Pemerintah sebagai penguasa negara atau kelompok seperti Muhammadiyah, yang keukeuh tetap akan melaksanakan lebaran pada Senin 23 Oktober meskipun mayoritas peserta sidang isbat yang diselenggarakan pemerintah menyatakan tidak melihat hilal pada hari Minggu.
Islam ini satu. Muhammadiyah, NU, Hizbut Tahrir, PKS, atau apapun namanya adalah sebuah organisasi, bukan agama. Islam itu dasarnya kalamullah dan sunnah. Jadi tidak ada agama yang namanya Islam Muhammadiyah, Islam NU dan lain-lain. Dalam hal seperti sekarang ini, seharusnya wakil-wakil dari kelompok tersebut berkumpul dengan pemerintah sebagai koordinatornya untuk memutuskan kapan lebaran tahun ini akan tiba. Dengan demikian hasil yang keluar itulah yang jadi panutan seluruh kaum muslim di negeri ini, sehingga tidak muncul kebingungan. Bagaimanapun juga keresahan akan tetap muncul bila ada perbedaan.
Saya (mungkin juga orang awam lainnya) khawatir keputusan yang dikeluarkan Muhammadiyah itu lebih karena ego. Jangan sampai karena lebih menonjolkan egonya sampai-sampai tidak mau mengakui kelemahannya sendiri.
Saya punya cerita yang mirip dengan kondisi tersebut. Karena saking sombongnya, pelaku dalam kisah ini tidak mau mengakui kalau dirinya tuli. Mudah-mudahan saja saya atau anda tidak seperti tokoh di dalam cerita di bawah ini.
Suatu saat ada seorang datang untuk membeli rokok. “Permisi. Beli rokok.” Pemilik warungnya tidak muncul. “Permisi. Mau beli rokok!”, untuk kedua kalinya pembeli tersebut berkata. Kali ini lebih keras. Pemilik warung tidak keluar juga. Pembeli tersebut mulai jengkel, dia teriak lebih keras, “Permisi. Beli rokok!!”. Yang dipanggil tidak keluar juga. Karena jengkel dan sudah habis kesabarannya, berteriaklah dia sekeras-kerasnya. “Hei, tukang rokok, kalau budeg nggak usah jualan!!” Dari dalam nongollah tukang rokok tersebut dengan tampang ditekuk dan berkata “Jangan sembarangan bilang saya budeg ya. Emang situ mau beli gula berapa kilo sih?”
Apakah Muhammadiyah budeg? Mene ketehe!
Saya sendiri akan merayakan lebaran pada Selasa 24 Oktober, sesuai keputusan sidang isbat (22/10).
No comments:
Post a Comment