Thursday, September 11, 2008

Halalan Toyyiban

Boleh kan di bulan puasa ini ngomongin makanan? Daripada ghibah alias ngomongin orang lain, kan mending bicara tentang makanan dan makan-memakan. Dijamin tidak ada yang dirugikan. Kecuali yang diomongkan tentang kejelekan-kejelekan tukang masaknya. Itu sih cari perkara, dan ghibah juga namanya.

Peristiwanya sendiri sebenarnya terjadi sebelum Ramadhan. Tetapi nggak ada salahnya saya buat tulisan tentang hal yang menyenangkan itu sekarang. Lagian, kan tidak ada masa kadaluwarsanya. Apalagi untuk hal-hal yang menyenangkan sekaligus mempererat tali silaturahim, wajib hukumnya untuk dikenang, bukan dilupakan. Lebih afdol lagi, agar tidak hilang dan tetap bisa dinikmati sampai kapanpun, peristiwa itu sengaja saya jadikan tulisan. Dengan demikian, kenangan itu menjadi lestari.

Seperti biasa, teman-teman muda saya banyak yang memiliki ide menyenangkan. Kadang-kadang suka aneh memang, tapi buat saya nggak jadi masalah. Wajar sajalah bila mereka seperti itu. Jangankan cuma sekedar ide, orangnya yang aneh saja tidak saya ambil pusing. Apalagi bila melihat umur mereka yang lagi seneng-senengnya mencari jati diri. Yang dilakukan dalam mencari jati diri saja kadang-kadang dengan cara mencari perhatian. Ya dengan cara melontarkan ide yang aneh-aneh itulah. Belibet ya?

Namun ide yang satu ini bukan ide yang aneh atau untuk mencari perhatian. Ide yang disampaikan kepada saya adalah ajakan untuk masak rame-rame kemudian dimakan bareng-bareng. Mereka suka menyebut dengan istilah ngliwet. Itu tuh, menanak nasi dan membuat lauknya. Biasanya ikan teri goreng, kerupuk, lalap, dan sambal. Beras yang dimasak biasanya dicampur dengan rempah-rempah seperti daun salam, sereh, kemudian entah apa lagi yang dimasukkan. Malahan ada juga yang memasukkan minyak goreng dan ikan teri mentah. Saya sendiri hanya sebagai tim penggembira saja, alias hanya menjadi penonton dan pemakan.

Acara itu benar-benar mendadak. Tidak ada rencana atau terpikirkan sebelumnya sama sekali. Begitu gagasan itu dilontarkan, langsung direalisasikan. Biasanya kan memang yang seperti itu yang jalan. Jika dirancang-rancang dulu, suka tidak terlaksana. Mungkin saja sih rencana yang gagal dilaksanakan itu karena kitanya yang tidak komit. Bukannya karena direncanakan sebelumnya sehingga acara itu menjadi gagal. Namun sudah beberapa kali saya mengalami kejadian itu, cape-cape direncanakan nggak tahunya tidak jadi. Anda pernah mengalami seperti itu? Saya yakin pasti pernah.

Pagi hari itu, beberapa teman muda itu menemui saya dan mengajak untuk ngliwet nanti malam di rumah saya. Saya bilang kenapa tidak besok saja, lebih longgar waktunya. Mereka kemudian bilang besok tidak bisa karena ada kegiatan. Okelah, saya mengalah. Nggak ada ruginya diadakan hari itu juga. Tadinya saya usulkan sore saja tapi mereka malah ingin mulai masaknya habis magrib. Ya sudah kalau itu maunya. Jumlah yang akan datang ke rumah rencananya 15 orang. Mereka semua adalah anak-anak BEC angkatan 11 yang lagi ngekost di dekat tempat tinggal saya dan besok pagi mereka semua harus keluar dari tempat kost karena sudah habis waktunya. Itulah sebabnya mereka menolak saat saya usulkan masak-masaknya besok saja.

Selepas magrib, mereka pada berdatangan, berkelompok. Tidak bareng-bareng sekaligus. Mereka berangkat dari tempat kost masing-masing. Beberapa memang ada yang barengan dengan teman mereka yang kost di rumah yang berbeda. Bahan-bahan yang akan dimasak mereka bawa dalam kantong-kantong plastik yang sebelumnya sudah mereka siangi di tempat kost. Semua bahan masakan itu mereka beli siang tadi meskipun akhirnya terpaksa mengetuk warung yang sudah tutup di dekat rumah saya karena ada bahan yang belum kebeli.

Rumah yang saya tinggali menjadi ramai dan penuh manusia. mereka bertebaran di mana-mana. Teras, ruang tamu, ruang keluarga, dapur, semua penuh. Ada yang sibuk meracik bumbu, menggoreng kerupuk, nonton tv, main catur, main scrabble, atau hanya ngobrol. Bagaimana tidak ramai dan rumah menjadi penuh? Yang tadinya direncanakan hanya 15 orang, ternyata yang datang 30 orang lebih. Benar-benar crowded malam itu. Tapi nggak apa-apalah. Suasana malah jadi meriah dan kami semua senang. Meskipun sebagian dari mereka ada yang mengantuk dan pengen pulang tetapi saya cegah. Sebelum menikmati masakan yang dimasak ramai-ramai malam itu, mereka tidak pulang. Karena takut ancaman saya, mereka batal pulang. Yang menjadi korban, mohon maaf atas kekejaman saya. Bukanya saya sengaja, tetapi memang saya niat (apa sih maksudnya?).

Jam sembilanan hidangan sudah siap. Karena ruangannya tidak mencukupi, kami dibagi menjadi dua kelompok. Ada yang makan di teras menggunakan piring, sisanya di ruang tamu dengan menggelar daun pisang sebagai alas makan dan menyantapnya ramai-ramai. Bila dilihat jenis masakannya sih tidak terlalu istimewa, nasi liwet yang harum baunya karena dicampur daun salam dan sereh plus berbagai lauk pauk. Yang menjadikan makanan itu istimewa dan luar biasa nikmatnya adalah karena dimasak ramai-ramai dan disantap bareng-bareng. Apalagi pada dasarnya masakannya sendiri sebenarnya memang sudah lezat.

Selesai menyantap habis masakan yang ada hingga tidak tersisa, kami ngobrol-ngobrol dulu. Nggak nyangka, ternyata teman-teman muda saya ini pandai masak. Barangkali bakat itu turun dari orangtua mereka. Atau mereka jadi pintar masak karena terpaksa, terpaksa masak karena tinggal di tempat kost? Saya tidak tahu. Dan itu tidak penting buat saya. Yang penting adalah bagaimana acara ngliwet itu bisa diadakan lagi. Keahlian mereka masak malam itu sekaligus membuktikan, ternyata, anak-anak BEC pada jago masak. Padahal tidak ada mata kuliah kuliner atau masak-memasak lho. Saya bisa menyimpulkan mereka jago masak karena acara ngliwet dengan anak-anak BEC angkatan 11 malam itu bukanlah yang pertama kalinya. Saya juga pernah menikmati masakan anak-anak BEC angkatan 9 dan 10. Semua nikmat dan lezat. Saya yakin, masakan angkatan-angkatan berikutnya pasti juga enak. Tinggal nunggu saja tanggal mainnya.

Sebagaimana anak-anak BEC lainnya, selain pintar masak, mereka juga narsis, nggak yang laki-laki nggak yang perempuan. Nggak boleh ada kamera nganggur. Sebelum pulang, ada acara foto-fotoan. Berbagai pose mereka tunjukkan saat difoto. Mereka begitu heboh, mungkin karena mabuk nasi liwet dan ikan teri. Sayangnya tidak ada menu jengkol. Bila ada, pasti lebih dahsyat lagi gayanya. Apapun yang terjadi, yang jelas, kami semua malam itu bersuka cita menikmati hidangan yang sudah pasti halalan toyyiban.

No comments:

Post a Comment