
Penampilan memang kadang menipu. Orang sering menilai sesuatu dari penampilannya. Hal itu wajar saja, tetapi seharusnya tidak berhenti sampai di situ saja. Bolehlah apa yang terlihat dijadikan parameter pertama dalam penilaian. Namun bukan satu-satunya. Bila yang pertama itu tidak masuk standar tidak berarti terus dibuang. Barangkali sebelum benar-benar disingkirkan perlu dilihat dulu yang lain-lainnya. Bisa jadi hanya bagian awalnya saja yang tidak memenuhi syarat. Sedangkan yang lain, sebenarnya bagus, bahkan mungkin lebih baik dari yang tampilannya lebih menarik. Dalam satu hal, mempertimbangkan selain penampilan saja bisa menjadi tindakan yang lebih bijaksana.
Banyak contoh kita jumpai dalam hidup ini yang lebih menomorsatukan, orang komputer bilang, casing. Bukannya penampilan luar itu tidak penting, tetapi bila kemudian menutup mata terhadap prestasi yang sebenarnya lebih esensial, kita jadi terjebak dengan indahnya fatamorgana. Dan itu yang terjadi sekarang ini dengan lomba-lomba yang diadakan atau diada-adakan televisi kita yang tujuan sebenarnya untuk mengeruk keuntungan.
Jika anda sempat mengikuti liputan di beberapa koran akhir-akhir ini, banyak artikel yang mengulas cerita sedih di balik penyelenggaraan ajang kompetisi bakat di layar kaca. Trenyuh rasanya membaca penderitaan dari salah satu kontestan yang nasibnya bagai langit dan bumi ketika masih terlibat dalam acara itu dan sesudahnya. Akhir yang tidak menyisakan apa-apa kecuali hutang puluhan bahkan ratusan juta. Ironis memang. Ketika masih di atas panggung disanjung-sanjung, tidur di hotel berbintang, dan makan di restoran mewah. Dan ternyata itu tidak diperoleh dengan gratis. Untuk bisa menjadi yang teratas dia harus, istilahnya, ngebom sms. Menjual apa yang dimiliki dan berhutang kesana-sini agar dapat membeli sms untuk dirinya sendiri. Saat masih jaya, memang dia terlihat trendi. Penampilannya bak ratu atau raja. Begitu kontes berakhir, berakhir pula nasib baiknya. Televisi yang mengorbitkan dia setelah itu sangat jarang, untuk mengatakan tidak pernah, memberikan job. Untuk menyambung hidup di Jakarta mereka akhirnya kerja apa saja dan tidur juga terpaksa numpang di rumah orang lain. Sementara itu pihak televisi bekerja sama dengan operator telepon selular atau pihak sponsor terus mengadakan kontes lanjutan atau jenis baru untuk mengeruk keuntungan dari sms yang masuk. Itulah contoh kejamnya industri hiburan dan itu juga contoh keperkasaan dari yang namanya penampilan. Sudahlah sampai di sini saja. Saya tidak akan memperpanjang cerita mantan selebriti yang jadi terseok-seok menjalani nasib.
Gara-gara penampilan yang sebenarnya semu, pelecehan bisa terjadi. Yang kebagian enak-enak mungkin tidak merasakan atau tidak peduli, tetapi yang dari penampilan kurang mendukung sehingga dilecehkan bisa sakit hati. Bagaimana tidak? Bila dari segi kemampuan sebenarnya sama atau malah lebih baik, hanya gara-gara penampilannya yang tidak kul kemudian tidak dianggap. Lihat saja nasib grup band dari Lampung yang bernama Kangen Band. Apa bedanya, misalnya, dia dengan kelompok band Ungu? Jika kita lihat, mereka sama-sama mengusung lagu-lagu yang bertema cinta. Namun lagu siapa yang dikatakan cengeng, norak, dan mendayu-dayu? Kangen Band! Keduanya bukan berasal dari ibukota, satunya dari Bogor yang lain dari Lampung. Tetapi yang mana yang dianggap kampungan? Kangen Band! Dari kualitas suara, siapa yang lebih unggul? Coba anda jawab secara obyektif. Bila kita dengarkan suara mereka, masing-masing memiliki karakter yang khas. Terus apanya yang salah? Penampilan! Karena penampilan para personil Ungu, katanya, lebih kelihatan kota, mereka dianggap lebih kul. Dan karena itulah kemudian anda melihat para personil boyband satunya yang dari Lampung itu tidak cocok menjadi selebriti.
Saya bukan penggemar Kangen Band meskipun yang saya tulis ini memberi kesan saya fan beratnya. Saya hanya ingin meluruskan persepsi sebagian orang yang malu mengakui bahwa dirinya sebenarnya suka dengan lagu-lagunya Kangen Band. Hanya karena personil band ini tadinya penjual es cendol dan anaknya tukang becak serta penampilannya yang ndeso, mereka mempersepsikan kelompok ini kacangan. Mereka takut dikatakan selera musiknya rendah karena senang dengan kelompok musik yang penampilan personilnya ndeso-ndeso. Kemudian mereka yang merasa dirinya berselera tinggi memvonis Kangen Band dianggap tidak pantas masuk ke blantika musik Indonesia. Malang nian nasibnya. Coba sekali lagi anda perhatikan kelompok musik indie dari Lampung ini tanpa melihat casingnya. Bagaimana dengan kualitas musik dan suaranya? Jujur saja anda menjawabnya. Tidak usah malu. Musik itu universal sekaligus unik. Artinya, di belahan bumi manapun selalu ada musik dan apapun jenis musiknya selalu ada penggemarnya. Namun bila anda menyukai suatu jenis musik atau sebuah kelompok band tapi karena anda malu karena musiknya dianggap sebagai simbol kemiskinan atau penyanyinya bertampang kampung, itu artinya anda menyiksa diri sendiri. Nggak usahlah jadi seorang hipokrit. Rugi dunia akhirat.

Pamungkas, anda yang dikarunia wajah cantik atau tampan, bersyukurlah. Anda yang tidak cantik dan tidak tampan, juga bersyukurlah karena anda masih dikasih wajah. bila kemudian orang mengomentari penampilan anda, baik anda yang kelompok pertama maupun kedua, bahwa anda kul, jangan besar kepala dulu. Jangan-jangan kul yang dikatakan itu masih ada kelanjutannya. Ya, anda kul. Kulemek (dekil) maksudnya. Memang, anda kul. Kuleuheu (kucel) tauk! Karena tampang anda berdaki dan kusem kayak orang tidak mandi 40 hari.
No comments:
Post a Comment