Monday, April 28, 2008

Masyarakat Minim Kepercayaan

Saya tidak tahu apakah ini perasaan saya saja atau anda juga merasakan seperti yang saya rasakan. Indonesia ini bukannya tambah maju tapi jalan di tempat, dalam bidang tertentu malah mengalami kemunduran.

Hampir sepuluh tahun saya menempati rumah yang sekarang. Rumah sederhana yang berada di pedesaan kabupaten Bogor, 15 km arah barat kota Bogor. Anda tahu yang namanya desa, atmosfirnya jelas berbeda dengan kota. Namun jangan anda bayangkan desa saya itu seperti desa-desa yang dikelilingi sawah, lembah, dan pegunungan menghijau nan sejuk. Di depan rumah saya memang ada gunung, yang sayangnya, tapi masih lumayan, gunung kapur. Ada persawahan namun agak jauhan dari rumah saya. Rumah saya memang bukan rumah mewah alias mepet sawah. Bau-bau kotanya masih terasa karena sebagian besar tetangga saya orang-orang pendatang yang kerjanya di kota Bogor atau Jakarta.

Penerangan tidak ada masalah karena saat saya datang listrik sudah ada di desa itu. Semua rumah diterangi lampu walaupun sebagian ruas jalannya gelap di malam hari karena tidak ada penerangan jalan. Di gelap malam desa saya nampak berpendar oleh lampu bila dilihat dari puncak gunung kapur. Namun belakangan ini sering terlihat gelap. Lho? Saya tidak mengerti kenapa kinerja PLN jadi semakin begitu mundur dalam jaman yang makin maju ini. Terhadap orang awam dan bodoh seperti saya ini nggak usahlah ngomongin yang rumit-rumit tentang masalah yang terjadi dalam tubuh PLN yang menjadi penyebab seringnya listrik padam. Percuma, saya tidak bakal ngerti dan tidak mau tahu. Rasanya nggak masuk akal dengan kemajuan teknologi bidang energi listrik di dunia, Indonesia yang sebenarnya kaya bisa begitu kedodoran mengurusi listrik untuk rakyatnya. Sebagai rakyat yang selalu (dipaksa) membayar pajak sudah sewajarnya menuntut pelayanan dari pemerintah selaku penyelenggara negara, termasuk PLN tentu saja. Saya rasa orang lain yang statusnya sebagai rakyat jelata seperti saya ini akan menuntut hal yang sama.

Dulu ketika saya masih di Bogor kota atau di awal-awal waktu saya tinggal di desa yang sekarang, listrik di rumah jarang mati. Dalam keadaan hujan besarpun, listrik tetap menyala. Namun tahun-tahun terakhir ini, jangankan hujan gede, tidak hujan tidak mendung dan matahari bersinar cerah saja listrik tiba-tiba padam, dan itu bisa berlangsung berkali-kali dalam sehari. Apa tidak menjengkelkan? Bila kita baca lihat dan dengar bahwa republik ini mengalami krisis energi listrik sehingga suka diadakan pemadaman bergilir ya tidak aneh. Memang faktanya seperti itu. Tetapi yang kemudian muncul adalah pertanyaan kenapa bisa terjadi krisis setelah bertahun-tahun belajar mengelola listrik. Harusnya menjadi semakin mahir dan berpengalaman, bukan malah semakin bego. Maaf agak emosional. Apakah karena rakyat kita semakin banyak? Banyakan mana dengan India dan Cina?

Bukan hanya institusi pelayanan publik seperti PLN yang melayani rakyat dengan quality of service yang memprihatinkan, yang lainpun juga setali tiga uang. Karena banyaknya lembaga milik pemerintah yang memiliki kinerja ala kadarnya serta orang-orangnya yang korup inilah yang akhirnya menciptakan masyarakat minim kepercayaan. Kita ini dikenal sebagai low trust society oleh bangsa lain, masyarakat yang tingkat kepercayaannya rendah sekali. Kita ini tidak gampang mempercayai orang lain dan juga sulit dapat meyakinkan orang lain untuk percaya kepada kita. Itulah juga yang menjadi penyebab kenapa orang kita tidak suka belanja lewat internet. Kita tidak gampang percaya. Takut bila nanti mengalami kejadian uangnya sudah dibayarkan tetapi barangnya tidak datang. Lebih-lebih dengan adanya pemalsuan kartu kredit dan kejahatan cyber lain, makin gentar kita untuk belanja nyaman lewat internet. Lebih suka dan lebih mantap bila belanja langsung di pasar.

Kenapa kita bisa seperti sekarang ini? Bukan salah siapa-siapa. Jika harus mencari siapa yang salah, salah pemerintah kita sendiri lah. Siapapun yang jadi presidennya. Dalam sebuah organisasi, termasuk organisasi yang bernama negara, hirarki wewenang dan kekuasaan bentuknya seperti piramid. Semakin ke atas semakin tinggilah wewenang dan kekuasaannya. Begitu juga dalam hal tanggung jawab, yang terataslah yang memiliki tanggung jawab paling besar. Bila dalam sebuah negara terjadi chaos, yang bertanggung jawab dan punya kekuasaan mengendalikan adalah orang nomor satu di negeri ini. Meskipun pelaksananya bukan dia langsung tetapi komando datangnya dari dia. Jika bangsa ini dipenuhi oleh para koruptor, presidenlah yang menjadi kuncinya untuk memberantas kebobrokan yang terjadi itu. Sayangnya rakyat negeri yang gemah ripah ini sering dibikin bingung dengan ketidakmampuan memberantas korupsi yang sudah seperti kanker stadium tiga.

Kadang-kadang saya heran, kenapa pemerintah kita tidak berani mengambil tindakan seperti yang dilakukan Cina terhadap pelaku korupsi. Saya pernah membaca di media massa, mudah-mudahan saja saya tidak salah baca, beberapa waktu yang lalu Cina menghukum mati warganya yang melakukan korupsi sebagai peringatan dan contoh bagi warga yang lain untuk tidak bertindak sama. Apa tidak gemetar tuh para koruptor yang hidup makmur bila hukum itu benar-benar dijalankan di sini. Lagian kan gak ada ruginya dan justru menguntungkan buat rakyat banyak jika orang-orang yang korup itu dimatikan saja. Perihal hak asasi manusia, tidak usah diomongkan lah. Orang para koruptor itu justru lebih sadis merampas hak asasi orang lain, bukan hanya satuan hitungannya tetapi massal, ratusan juta rakyat Indonesia disengsarakan oleh mereka. Kira-kira anda setuju tidak bila hukuman itu ditegakkan di sini? Karena percuma saja bila, misalnya, tampang mereka dipertontonkan di televisi, orang mereka sudah nggak punya malu. Malah senang kali, jadi terkenal.

Agak berat dan berbau politik ya tulisan saya ini? Jika anda akur dengan yang saya tulis di sini, tidak ada salahnya kita mendukung wacana yang muncul dalam bursa pemilihan kepala negara mendatang untuk lebih mengedepankan calon-calon berusia muda. Diharapkan orang-orang muda ini lebih bersih dan jujur serta terbebas dari ikatan emosi dengan penguasa dan orang-orangnya sebelum dia. Dengan demikian tidak akan ada rasa sungkan ketika harus mengambil tindakan hukum. Rasanya memang harus mulai diputus lingkaran setan yang ada selama ini yang menghalangi penegakan supremasi hukum yang lebih memihak kepada hati nurani rakyat. Dan jika anda punya kekuasaan dan wewenang dalam sebuah media, apapun, yang bisa membentuk opini publik, mulailah membangun opini bahwa orang-orang yang sudah tua sudah selayaknya mundur dari kursi pemerintahan. Bukan masalah persamaan hak tetapi orang-orang tua ini rasanya tidak bisa melepaskan diri dari pengaruh penguasa sebelumnya. Ada kendala emosi yang terlalu berat bagi mereka untuk diatasinya.

Barangkali mimpi saya tentang terbebasnya kita dari julukan low trust society bisa mewujud bila pemerintah ini berani bertindak. Sakit rasanya bila kita tidak dipercaya orang. Kalau selama ini bangsa kita mendapat pinjaman dari bangsa-bangsa lain bukan berarti kita bisa dipercaya, tetapi karena mereka percaya bahwa kita ini bangsa yang bodoh dan bisa dibodohi.

No comments:

Post a Comment