Vulgar ya judulnya? Hati-hati, jika anda menuduh saya ngeres maka anda akan menyesal setelah selesai membaca tulisan ini.
Dalam hidup ini selalu ada yang namanya stereotip. Dan bisa jadi suatu ketika kita jadi korban stereotip karena warna kulit kita, rambut, asal daerah, agama, kebangsaan, atau hal-hal lain yang kita miliki. Kita tidak bisa menyalahkan orang yang memberi label tertentu kepada kita karena didasarkan adanya stereotip. Siapa yang bisa menyalahkan ketika ada orang jawa yang mengatakan orang batak itu berangasan? Sementara orang batak bilang orang jawa itu lelet, tidak tegas, dan tidak efektif. Stereotip yang berdasarkan kesukuan itu tentu saja tidak selamanya benar. Sudah barang tentu tidak semua orang batak berangasan dan oran jawa tidak mau ngomong terbuka. Namun karena faktor lingkungan yang jelas berbeda antara Jawa dan Batak, bisa dipastikan cara melihatnya juga akan lain. Orang batak yang terbiasa berterus terang akan jengkel sekali melihat orang jawa yang tidak efektif dan efisien dalam berbicara dan bertindak. Orang jawa banyak menggunakan kata kiasan dan sindiran dan tidak langsung ke sasaran tetapi akan beramah-tamah dahulu sehingga hal ini oleh orang batak yang to the point dianggap bertele-tele dan tidak jelas. Sebaliknya ketika orang jawa yang terbiasa menghindari konflik akan melihat apa yang dilakukan oleh orang batak begitu kasar, grusa-grusu, dan tidak sopan sehingga dapat menyinggung perasaan orang lain.
Saya yang Jawa ini punya banyak teman orang batak. Di mata saya rata-rata mereka seperti yang saya gambarkan di atas. Begitu juga teman-teman batak saya melihat saya atau teman lain yang juga berasal dari Jawa bersikap sama seperti yang saya ceritakan di atas. Dengan demikian wajar saja bila kemudian muncul stereotip yang menempel di orang jawa dan orang batak seperti itu. Dengan banyaknya stereotip yang muncul, yang perlu dilakukan adalah berusaha memahami kasus per kasus. Bila tidak maka konflik pasti akan sering muncul.
Dalam cakupan yang lebih sempit, seperti dalam kehidupan orang jawa sendiri, akan terdapat juga generalisasi sehingga sangat mungkin terdengar komentar pemakluman terhadap sebuah tindakan karena melihat daerah asal si pelaku. “Oh pantas, dari Kudus sih. Ya nggak heran lah, orang dia berasal dari Purwodadi. Maklumlah, kan dia orang Magelang,” seperti itulah barangkali yang akan terdengar. So, apa yang harus dilakukan? Ya tidak perlu bersikap eksplosiflah bila komentar itu negatif dan tidak harus besar kepala bila yang dinyatakan itu berupa pujian. Yang penting adalah bagaimana kita bisa membuktikan stereotip yang negatif itu tidak benar, dan bila anggapan umum sudah positif bagaimana kita bersikap dan bertindak yang makin memperkuat hal positif itu.
Saya dulu, saat masih ngantor di Jakarta, pernah punya teman kerja, seruangan, yang perilakunya kebetulan kurang berkenan bagi orang lain. Saya tidak tahu apakah cerita ini sebelumnya sudah pernah saya kisahkan kepada anda. Mudah-mudahan saja cerita ini bukan cerita basi buat anda. Kembali ke teman seruangan kerja tadi, dia memang berasal dari keluarga kaya. Rumahnya berada satu komplek dengan mantan presiden Habibie, kalau tidak salah, di Jl. Patra, Jakarta. Bapaknya adalah direktur salah satu bank swasta besar di daerah segitiga emas. Karena dari keluarga kaya dan tinggal di lingkungan perumahan elit, dia begitu heran ketika tahu saya bisa naik sepeda atau motor. Sebaliknya saya juga jadi heran mengetahui dia heran saya bisa naik sepeda atau motor. Dia bersikap seperti itu karena hanya mobil saja yang bisa dia kendarai. Yang namanya kendaraan roda dua, sama sekali dia tidak bisa mengendarai dan tidak pernah sekalipun mencobanya. Maklum orang kaya. Sehingga ketika diterima di tempat kerja, kebetulan saya duluan masuknya, dia membawa mobil sendiri. Mobil dia itulah yang kemudian menyebabkan omongan orang-orang sekantor.
Saya sebenarnya tidak masalah dengan perjanjian yang saya buat dengan dia terkait dengan mobil yang dia miliki. Kebetulan inisiatif membuat perjanjian itu datangnya juga dari saya. Perjanjian yang ujung-ujungnya membuat dia dicibir banyak orang berawal dari perasaan sungkan saya. Perasaan itu mulai muncul setelah dia beberapa kali mengedrop saya di stasiun secara gratis. Saat itu saya sudah tinggal di Bogor dan setiap hari saya menggunakan krl (kereta rel listrik) untuk berangkat dan pulang kantor. Agar sama-sama enak antara saya dan teman saya itu, iseng-iseng saya tawarkan untuk membayar saja setiap kali dia mengantar saya ke stasiun. Besarnya Rp.500.
Sebetulnya saya asal sebut saja biaya yang akan saya bayarkan ke dia dengan tambahan keterangan bahwa dia juga sekalian pulang ke rumah. Meskipun sebenarnya tidak lewat di depan stasiun itu tetapi bisa saja dilewatkan untuk pulang ke rumah dia, kalau dia mau. Ternyata proposal saya diterima. Maka sejak itu setiap kali saya diantar ke stasiun, saya akan bayar Rp.500 ke dia. Saat itu, ongkos ojek atau bajaj dari kantor ke stasiun Rp.3.000. Di benak dia, mungkin, terpikir setiap pulang akan mendapatkan uang tambahan Rp.500 dari saya, dan saya juga membatin setiap saya pulang bareng dia akan menghemat Rp.2.500. Win-win solution sebenarnya. Sama-sama diuntungkan. Namun dia yang berasal dari keluarga kaya membuat posisinya tidak menguntungkan. Sehingga muncul komentar miring yang didasarkan stereotip kesukuan, “Kebangetan. Dasar otak bisnis, tak peduli teman sendiri. Uang receh gitu aja masih diambil.” Mendengar teman lain yang juga sekantor berkomentar seperti itu, saya bisa apa?
No bra no brain bisa juga merupakan bentuk stereotip. Perempuan yang lebih mengedepankan sex, biasanya otaknya ada di belakang. Atau cewek yang lebih mengagung-agungkan wajah dan bodi yang menarik cenderung karena o-on. Eit, jangan tersinggung dulu. Tidak semua yang obral diri sekaligus berwajah cantik selalu bodoh. Bisa jadi memang dia menderita kelainan dengan libidonya. Di negeri barat, ada stereotip yang relevan dengan no bra no brain. Di sana ada anggapan bahwa cewek yang berambut blonde (pirang/keemasan) biasanya otaknya kosong. Karena kebodohannya itu sehingga sering dijadikan bulan-bulanan dalam urusan nafsu hewani. Tentu saja, sekali lagi, hal itu tidak selamanya benar. Tidak semua wanita berambut pirang merupakan perempuan bodoh yang gampang diajak esek-esek. Sampai-sampai muncul film hollywood yang diangkat dari novel berdasarkan kisah nyata untuk merespon stereotip negatif tersebut. Film yang berjudul Legally Blonde itu menokohkan seorang wanita pirang pesolek mahasiswi hukum yang bukan hanya menarik tetapi juga berotak cemerlang.
Sampai segitunya mereka berkeinginan mematahkan stereotip yang menyesatkan itu. Namun siapa yang bisa disalahkan bila secara kebetulan, bom seks yang sering menjadi piala bergilir yang sering disiarkan media massa merupakan perempuan-perempuan bahenol yang berambut blonde?
No comments:
Post a Comment