Sudah baca serial terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi tulisan Andrea Hirata? Banyak pujian atas tulisan orang Belitong ini. Begitu ramainya serial Laskar Pelangi disebut-sebut akhirnya saya jadi terpancing untuk tahu lebih banyak. Namun setelah membaca Maryamah Karpov, saya jadi kecewa. Apa yang saya harapkan tidak saya temukan dalam buku terakhir itu.
Awal ketergodaan saya dengan karya Andrea adalah ketika dia masuk acara Kick Andy! Memang acara tv yang satu ini manjur untuk mempengaruhi penontonnya. Buktinya bukan hanya saya saja yang terprovokasi, teman sekantor juga ada. Laskar Pelangi yang tadinya saya abaikan saat lewat di sebelahnya setiap kali ke toko buku, kemudian saya hampiri, saya lihat-lihat, meskipun tidak dibeli. Dan rupanya Kick Andy! tidak salah menampilkan penulisnya. Buku ini memang menarik. Tidak heran bila kemudian menjadi best seller dan difilmkan.
Atas kebaikan hati seorang teman yang menjaga perpustakaan di Universitas Pakuan, saya dipinjami tiga dari empat buku tetraloginya Andrea yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Semua menarik. Isinya ringan tetapi menginspirasi. Peristiwa masa kecil sampai kehidupan dewasa dari si penulis disajikan secara menarik. Oleh karena itu buku keempatnya saya tunggu-tunggu kehadirannya. Saya, apalagi penggemar berat Andrea, yakin buku terakhir itu pasti sangat memikat.
Buku terakhir itu akhirnya terbit juga setelah sekian lama ditunggu-tunggu. Dalam hitungan jam, buku yang dipanjang di toko-toko buku langsung habis. Saya yang datang di hari kedua sudah pasti tidak kebagian. Saya tidak heran hal itu terjadi. Dengan melambungnya tiga buku sebelumnya maka buku keempat ini tinggal menikmati kepopuleran yang sudah diperoleh. Itulah keuntungan dari buku serial. Sayangnya, seperti yang saya sebutkan di awal, buku keempat yang sudah terbit itu mengecewakan saya.
Memang, bahasa yang digunakan masih enteng namun menarik. Seperti tiga buku pendahulunya, kalimat-kalimat yang dibuat enak dibaca. Yang menarik adalah, Andrea ini jago dalam membuat metafora. Bisa dibilang metafora yang dia ciptakan cukup cerdas meskipun kadang agak aneh juga. Justru metafora yang agak berbeda itu dapat membuat pembacanya lebih memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis. Salah satu contoh metafora misalnya wajah kecewa, sakit hati, dan sedih yang digambarkan seperti orang yang tidak diajak naik bahteranya Nabi Nuh. Selain mempermudah, metafora-metafora itu kadang-kadang juga membuat pembaca terpingkal-pingkal.
Bicara tentang metafora, anda mungkin akan ingat Mahbub Djunaidi. Dia merupakan penulis kesukaan saya. Metafora yang dia buat tidak beda jauh dengan apa yang diciptakan Andrea sekarang. Mahbub dikenal sebagai penulis dengan metafora yang sangat kuat. Kuat dalam memberikan gambaran, selain menarik, lucu, dan aneh. Pada waktu Mahbub dulu mengisi kolom yang ada di Kompas Minggu, saya tidak pernah melewatkan untuk membacanya. Anda kenal dengan Mahbub? Bila belum, coba anda cari dan baca tulisan-tulisannya. Jika sudah maka anda akan tahu gaya tulisan Andrea sama dengan gayanya Mahbub. Bisa jadi Andrea merupakan penggemarnya.
Hal lain yang saya suka dari Maryamah Karpov adalah penamaan tokoh-tokohnya. Nama panggilan yang sekaligus dijadikan nama olok-olok dibuat berdasarkan kebiasaan, ciri fisik, jabatan dan lain-lain yang dimiliki si pemilik nama. Meskipun sebagai olok-olok, nama-nama itu dapat diterima karena sudah menjadi hal yang lumrah. Saya suka dengan penamaan tokoh-tokoh itu karena saya merasa itu dunia saya. Kelompok sepermainan saya dulu juga saling memanggil dengan nama yang bukan nama asli. Kami tidak marah mendapat panggilan itu. Justru malah senang karena merasa menjadi unik. Nama yang dibuat itu bisa diciptakan siapa saja yang kemudian disepakati meskipun tidak keluar ucapan sepakat. Saya yakin anda juga melakukan hal itu, mungkin dulu, atau mungkin malah sekarang. Dan sama seperti saya, anda pasti memanggil atau menciptakan nama panggilan itu karena didasari persahabatan dan keakraban.
Mudah-mudahan anda sekarang tidak jadi makin penasaran dan geregetan dengan saya karena saya belum menyebut-nyebut apa yang menyebabkan saya kecewa. Kecewa bagaimana sih? Sudah sejauh ini, kok saya tidak menyinggung-nyinggung kekecewaan saya terhadap Maryamah Karpov? Anda yang pecinta berat Andrea Hirata jangan-jangan malah sudah mulai muncul dendam kepada saya. Maafkan saya bila demikian.
Baiklah, saya sampaikan saja apa yang membuat saya menjadi kecewa berat dengan sekuel terakhir dari Laskar Pelangi. Buat anda mungkin kekecewaan saya ini mengada-ada. Tetapi, suer, saya memang benar-benar kecewa begitu kalimat terakhir dari Maryamah Karpov selesai saya baca. “Lho, udah, gitu aja?” Itu kalimat yang langsung muncul di kepala saya. Anda pasti tahu, judul sebuah buku (novel) merupakan wakil dari isi yang ada di dalamnya. Terus informasi apa yang dapat diperoleh tentang Maryamah Karpov dari buku yang merupakan paling tebal dari seri-seri pendahulunya? Tidak ada! Tokoh Maryamah Karpov hanya disinggung sekali dalam buku tebal itu. Itupun hanya penyebutan nama doang. Anda yang belum baca dan ingin tahu banyak tentang perempuan Maryamah Karpov, bersiaplah untuk kecewa seperti saya.
Bila setelah baca kemudian menjadi kecewa, so what? Anda mungkin bertanya seperti itu kepada saya. Ya, no what what lah (tidak apa-apa). Itu jawaban saya. Hanya disayangkan saja, tiga buku sebelumnya yang begitu memikat ditutup dengan buku pamungkas yang mengecewakan. Saya tidak tahu apakah anda merasakan seperti yang saya rasakan. Hanya saja, teman saya ada juga yang kecewa meskipun agak berbeda bentuk kekecewaanya. Dia kecewa karena ending Maryamah Karpov tidak sesuai dengan yang dia harapkan.
Apa yang saya tulis ini hanyalah ungkapan dari seorang pembaca buku. Setiap pembaca umumnya memiliki harapan dari apa yang sedang dia baca. Begitu juga dengan saya. Saya berharap mendapat jawaban atau gambaran tentang sosok Maryamah Karpov. Sayang, harapan saya tidak mewujud. Maryamah Karpov hanyalah sekedar judul. Dia tidak hidup di dalam bukunya.
Bagaimanapun juga, Andrea Hirata merupakan penulis fenomenal. Karyanya berhasil memikat banyak pembaca dan pantas mendapat acungan jempol.
Friday, December 26, 2008
Campers
Barangkali anda suka berkemah di hutan, mendaki gunung, atau aktifitas lain yang berkaitan dengan alam. Bila demikian, anda satu komunitas dengan saya. Dan ternyata, sebutan orang-orang yang mencintai alam seperti kita ini bisa menjadi istilah untuk kumpulan-kumpulan manusia yang memiliki karakter tertentu. Anda ingin tahu ada di kelompok mana?
Paul G. Stoltz menggolongkan manusia menjadi tiga kelompok sesuai sebutan yang diberikan kepada para pecinta alam. Dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient dia mengelompokkan orang-orang berdasarkan semangat dan daya juang dengan nama quitters, campers, dan climbers. Lalu, apa yang dimaksud dengan ketiga istilah itu?
Dari namanya barangkali anda sudah memiliki gambaran apa yang dimaksudkan. Untuk campers dan climbers, mungkin itu yang paling gampang dikira-kira karena kita sudah terbiasa dengan istilah camping dan climbing. Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa campers dan climbers itu pasti pelaku dari camping dan climbing. Bagaimana dengan quitters? Pelaku apa dia? Mari kita urai saja satu per satu.
Rupanya istilah-istilah itu dipinjam oleh Stoltz karena ada unsur kesamaan yang dapat digunakan untuk menggambarkan semangat dan daya juang seseorang dalam sebuah pencapaian. Saya merasa apa yang disampaikan Stoltz tidak salah. Dalam kegiatan pecinta alam, mendaki gunung misalnya, ada yang lebih suka berkemah saja di lerengnya, mencapai puncaknya, atau malah anti dengan kegiatan itu.
Quitters. Ketika saya suatu saat akan melakukan pendakian, saya mengajak seorang teman. Barangkali dia tertarik dan mau ikut. Tujuan saya mengajak dia adalah untuk berbagi keindahan yang hanya dapat dijumpai selama perjalanan dan di puncak gunung. Namun rupanya dia tidak suka dengan kegiatan itu. Jelas terlihat dia tidak ingin dekat-dekat dengan aktifitas yang mungkin buat dia konyol sekaligus melelahkan. Saya pun tidak memaksanya ketika menjawab tidak. Orang seperti itulah yang dimaksudkan dengan quitter. Bukan, bukan orang yang tidak suka naik gunung yang disebut dengan quitter. Yang dikelompokkan ke dalam quitters adalah mereka yang tidak mau terlibat atau ambil bagian dalam sebuah kegiatan. Quitters adalah Mereka akan berada jauh-jauh dari kegiatan yang sedang berlangsung. Dianalogikan dalam sebuah pertandingan sepakbola, orang-orang ini hanya menjadi penonton.
Para quitter ini tidak pernah mencapai keberhasilan dari pencapaian sebuah prestasi karena memang dia tidak mau terlibat dalam kegiatan itu. Bagaimana seseorang bisa sampai ke puncak gunung bila dia tidak pernah mendaki gunung? Mana mungkin seseorang dapat mencetak gol bila dia hanya duduk di kursi penonton? Itulah quitter. Dia merupakan orang yang tidak mau terlibat. Orang yang berhenti ketika acara belum mulai. Mereka yang menghindari kewajiban. Mereka menghentikan pendakian dan kembali turun ketika ketemu dengan kesulitan.
Campers. Ini kelompok yang menarik. Terutama di usia remaja, banyak orang suka pergi berkemah. Dengan bekal sekedarnya pun kadang dilakoni. Saya pernah melakukannya. Berbekal uang pas-pasan, peralatan yang jauh dari memadai, saya berangkat camping dengan ”gang” saya. Makanya tidak heran bila harus menumpang mobil bak terbuka dan kedinginan di lereng gunung. Itulah semangat ber-camping. Itulah semangat dari campers. Ketika para camper mendaki lereng gunung untuk berkemah mereka bersemangat menapak jalan yang menuju ke arah puncak. Hanya menuju ke puncak, bukan akan ke puncak. Saat sebuah lokasi yang datar ditemukan atau camping ground telah dicapai, mereka akan berhenti, beristirahat, dan kemudian mendirikan tenda. Mereka cukup puas hanya berada di lereng gunung, bukan di puncaknya.
Campers adalah orang-orang yang cepat puas. Berada hanya di lereng sudah cukup buat mereka. Selama hidupnya campers hanya tinggal di tempat itu. Mereka tidak tertarik untuk mencapai yang lebih tinggi. Tempat yang lebih tinggi artinya juga resiko yang semakin berat. Mereka cukup puas dengan posisi yang ditempati sekarang, senang dengan prestasi yang diraih saat ini. Puncak yang penuh sejuta kemewahan dan kemegahan tidak menarik lagi buat mereka untuk diraih. Mereka tidak mau meninggalkan tendanya.
Climbers. Siapa yang akan menikmati puncak gunung dengan segala keindahannya? Yang pasti buka campers apalagi quitters. Mari kita lihat tiga kelompok yang melakukan pendakian ke Gunung Salak melalui wilayah yang bernama Pasir Reungit, Bogor. Bagi quitters, mereka hanya akan menemukan sebuah sungai berair jernih serta rimbun dan hijaunya hutan pinus yang ada di dekat pos pendaftaran. Mereka tidak akan memperoleh hangatnya air sungai yang mengalir di tengah Kawah Ratu. Untuk campers, mereka akan mendapatkan Kawah Ratu dengan sungai air panasnya dan pemandangan yang luar biasa. Mereka bisa mandi atau berendam di sungai yang membelah Kawah Ratu yang berada di punggung Gunung Salak. Apa yang menjadi imbalan untuk climbers? Luar biasa. Bunga Nephentes (kantong semar), bunga abadi Leontopodium alpinum (edelweis), Elang Jawa yang gagah, sunset dan sunrise, merupakan hadiah bagi para pemberani yang mencapai puncak. Kawah Ratupun bisa dilihat dari jalan yang menuju ke puncak.
Climbers tidak akan berhenti bila belum sampai di puncak. Mereka adalah orang-orang yang berusaha dengan segala daya dan upaya untuk meraih puncak tertinggi. Mereka tidak puas bila hanya berada di lokasi perkemahan yang datar dan nyaman. Climbers sadar ada iming-iming yang terdapat di posisi yang lebih tinggi. Mereka harus ke sana untuk mendapatkannya. Mereka tahu ada resiko yang akan dihadapi tetapi hal itu sudah diperhitungkan. Bagi seorang climber, prestasi yang biasa-biasa saja tidak akan memuaskan jiwanya. Bila belum sampai pada prestasi yang tertinggi, dia pantang berhenti.
Siapa menjadi apa -quitter, camper, atau climber- itu bukan takdir. Anda bisa memilih untuk menjadi salah satu dari ketiga pilihan itu. Tentu saja masing-masing pilihan ada imbalan dan resikonya. Apapun keputusan yang anda ambil, anda mestinya sudah siap dengan segala konsekuensinya. Anda cukup memilih dan menjalaninya. Take it or leave it.
Paul G. Stoltz menggolongkan manusia menjadi tiga kelompok sesuai sebutan yang diberikan kepada para pecinta alam. Dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient dia mengelompokkan orang-orang berdasarkan semangat dan daya juang dengan nama quitters, campers, dan climbers. Lalu, apa yang dimaksud dengan ketiga istilah itu?
Dari namanya barangkali anda sudah memiliki gambaran apa yang dimaksudkan. Untuk campers dan climbers, mungkin itu yang paling gampang dikira-kira karena kita sudah terbiasa dengan istilah camping dan climbing. Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa campers dan climbers itu pasti pelaku dari camping dan climbing. Bagaimana dengan quitters? Pelaku apa dia? Mari kita urai saja satu per satu.
Rupanya istilah-istilah itu dipinjam oleh Stoltz karena ada unsur kesamaan yang dapat digunakan untuk menggambarkan semangat dan daya juang seseorang dalam sebuah pencapaian. Saya merasa apa yang disampaikan Stoltz tidak salah. Dalam kegiatan pecinta alam, mendaki gunung misalnya, ada yang lebih suka berkemah saja di lerengnya, mencapai puncaknya, atau malah anti dengan kegiatan itu.
Quitters. Ketika saya suatu saat akan melakukan pendakian, saya mengajak seorang teman. Barangkali dia tertarik dan mau ikut. Tujuan saya mengajak dia adalah untuk berbagi keindahan yang hanya dapat dijumpai selama perjalanan dan di puncak gunung. Namun rupanya dia tidak suka dengan kegiatan itu. Jelas terlihat dia tidak ingin dekat-dekat dengan aktifitas yang mungkin buat dia konyol sekaligus melelahkan. Saya pun tidak memaksanya ketika menjawab tidak. Orang seperti itulah yang dimaksudkan dengan quitter. Bukan, bukan orang yang tidak suka naik gunung yang disebut dengan quitter. Yang dikelompokkan ke dalam quitters adalah mereka yang tidak mau terlibat atau ambil bagian dalam sebuah kegiatan. Quitters adalah Mereka akan berada jauh-jauh dari kegiatan yang sedang berlangsung. Dianalogikan dalam sebuah pertandingan sepakbola, orang-orang ini hanya menjadi penonton.
Para quitter ini tidak pernah mencapai keberhasilan dari pencapaian sebuah prestasi karena memang dia tidak mau terlibat dalam kegiatan itu. Bagaimana seseorang bisa sampai ke puncak gunung bila dia tidak pernah mendaki gunung? Mana mungkin seseorang dapat mencetak gol bila dia hanya duduk di kursi penonton? Itulah quitter. Dia merupakan orang yang tidak mau terlibat. Orang yang berhenti ketika acara belum mulai. Mereka yang menghindari kewajiban. Mereka menghentikan pendakian dan kembali turun ketika ketemu dengan kesulitan.
Campers. Ini kelompok yang menarik. Terutama di usia remaja, banyak orang suka pergi berkemah. Dengan bekal sekedarnya pun kadang dilakoni. Saya pernah melakukannya. Berbekal uang pas-pasan, peralatan yang jauh dari memadai, saya berangkat camping dengan ”gang” saya. Makanya tidak heran bila harus menumpang mobil bak terbuka dan kedinginan di lereng gunung. Itulah semangat ber-camping. Itulah semangat dari campers. Ketika para camper mendaki lereng gunung untuk berkemah mereka bersemangat menapak jalan yang menuju ke arah puncak. Hanya menuju ke puncak, bukan akan ke puncak. Saat sebuah lokasi yang datar ditemukan atau camping ground telah dicapai, mereka akan berhenti, beristirahat, dan kemudian mendirikan tenda. Mereka cukup puas hanya berada di lereng gunung, bukan di puncaknya.
Campers adalah orang-orang yang cepat puas. Berada hanya di lereng sudah cukup buat mereka. Selama hidupnya campers hanya tinggal di tempat itu. Mereka tidak tertarik untuk mencapai yang lebih tinggi. Tempat yang lebih tinggi artinya juga resiko yang semakin berat. Mereka cukup puas dengan posisi yang ditempati sekarang, senang dengan prestasi yang diraih saat ini. Puncak yang penuh sejuta kemewahan dan kemegahan tidak menarik lagi buat mereka untuk diraih. Mereka tidak mau meninggalkan tendanya.
Climbers. Siapa yang akan menikmati puncak gunung dengan segala keindahannya? Yang pasti buka campers apalagi quitters. Mari kita lihat tiga kelompok yang melakukan pendakian ke Gunung Salak melalui wilayah yang bernama Pasir Reungit, Bogor. Bagi quitters, mereka hanya akan menemukan sebuah sungai berair jernih serta rimbun dan hijaunya hutan pinus yang ada di dekat pos pendaftaran. Mereka tidak akan memperoleh hangatnya air sungai yang mengalir di tengah Kawah Ratu. Untuk campers, mereka akan mendapatkan Kawah Ratu dengan sungai air panasnya dan pemandangan yang luar biasa. Mereka bisa mandi atau berendam di sungai yang membelah Kawah Ratu yang berada di punggung Gunung Salak. Apa yang menjadi imbalan untuk climbers? Luar biasa. Bunga Nephentes (kantong semar), bunga abadi Leontopodium alpinum (edelweis), Elang Jawa yang gagah, sunset dan sunrise, merupakan hadiah bagi para pemberani yang mencapai puncak. Kawah Ratupun bisa dilihat dari jalan yang menuju ke puncak.
Climbers tidak akan berhenti bila belum sampai di puncak. Mereka adalah orang-orang yang berusaha dengan segala daya dan upaya untuk meraih puncak tertinggi. Mereka tidak puas bila hanya berada di lokasi perkemahan yang datar dan nyaman. Climbers sadar ada iming-iming yang terdapat di posisi yang lebih tinggi. Mereka harus ke sana untuk mendapatkannya. Mereka tahu ada resiko yang akan dihadapi tetapi hal itu sudah diperhitungkan. Bagi seorang climber, prestasi yang biasa-biasa saja tidak akan memuaskan jiwanya. Bila belum sampai pada prestasi yang tertinggi, dia pantang berhenti.
Siapa menjadi apa -quitter, camper, atau climber- itu bukan takdir. Anda bisa memilih untuk menjadi salah satu dari ketiga pilihan itu. Tentu saja masing-masing pilihan ada imbalan dan resikonya. Apapun keputusan yang anda ambil, anda mestinya sudah siap dengan segala konsekuensinya. Anda cukup memilih dan menjalaninya. Take it or leave it.
Thursday, December 11, 2008
Manusia Hutan
Mengapa hutan penting bagi manusia? Karena kita adalah keturunan monyet. Anda percaya? Mohon maaf bila tulisan ini agak serius... dan panjang. Jika bicara tentang hutan kita yang sudah acakadut ini, apa boleh buat, kita harus serius.
Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut hanyalah sebuah olok-olok. Dari dulu, manusia diturunkan oleh manusia juga. Sampai kapanpun, tidak mungkin monyet beranak manusia. Meskipun teori evolusi Charles Darwin mendukung dan membuktikan bahwa kita ini asal usulnya dari monyet, tetapi ternyata teori itu tidak benar. Ilmuwan dari Turki, Harun Yahya yang memiliki nama asli Adnan Oktar, memberikan bantahan dengan menyertakan bukti-bukti ilmiah atas teori Darwin tersebut dan menyatakan Darwin hanyalah seorang pembohong. Namun, masih ada dari kita yang mempercayai teori evolusi itu.
Bagi manusia, hutan memang penting. Amat sangat penting. Bukan karena manusia itu keturunan monyet, tetapi manusia sama dengan monyet. Artinya, keberadaan hutan sangat dibutuhkan oleh manusia sebagaimana monyet. Bukan hanya masyarakat yang hidup di dalam atau sekitar hutan, bahkan mereka yang berada di kota besar sekalipun. Itulah sebabnya mengapa manusia, di manapun tempat tinggalnya, harus melestarikan hutan. Sayangnya, yang dilakukan malah sebaliknya.
Banyak tindakan manusia yang secara langsung maupun tidak langsung menghancurkan hutan. Meskipun beberapa di antaranya disebabkan karena ketidaktahuan dan kesalahan turun temurun, misalnya pembalakan liar atau pembakaran hutan untuk bercocok tanam. Celakanya lagi, pemerintah yang harusnya menjadi pengayom justru membuat aturan yang semakin meluluhlantakkan kelestarian hutan. Anda tentu masih ingat keputusan pemerintah yang dikeluarkan 4 Februari tahun ini. Keputusan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2008 benar-benar mengobral hutan lindung kita.
PP ini berisi tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Pemerintah melalui PP ini memberi ijin pembukaan hutan atau pengalihfungsian hutan untuk kepentingan pembangunan dan investor dengan tarif Rp1.200.000 hingga Rp3.000.000 per hektar per tahun, atau Rp120 sampai dengan Rp300 per meter. Sebuah pisang gorengpun bahkan lebih mahal dibandingkan harga per meter hutan. Walhi memperkirakan PP ini secara pasti akan memuluskan pemusnahan hutan lindung Indonesia seluas 925 ribu hektar yang akan dilakukan 13 perusahaan.
Tindakan pemerintah terbaru yang menghancurkan hutan dilansir Kompas, 16 Oktober 2008. Program kelestarian lingkungan yang bertajuk Gerakan Penghijauan Nasional (Gerhan) pada prakteknya justru menghancurkan flora dan fauna serta merusak ekologi lingkungan. Hutan seluas 700 hektar di tiga desa di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT dibakar habis. Tujuan pembakaran ini katanya untuk merehabilitasi lahan yang nantinya akan ditanami dengan pohon kemiri, jati, mahoni, kayu merah, mangga, jeruk, nangka, dan cendana yang semuanya adalah tanaman bernilai ekonomis. Apakah memang demikian? Bagaimana mungkin hutan beserta flora dan fauna yang ada di dalamnya hancur terbakar disebut dengan rehabilitasi?
Program Gerhan itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Namun apa lacur, hutan seluas 700 hektar sudah musnah. Merehabilitasi hutan seharusnya tidak dengan membakar hutan tetapi dengan menanami lahan kritis yang di NTT luasnya mencapai 2 hektar. “Dengan membakar hutan artinya menghancurkan flora dan fauna yang ada di dalamnya serta akan mengubah ekologi lingkungan secara keseluruhan,” kata Antonius Krivo, Ketua Yayasan Aksi Kemanusiaan TTS. Gerhan dianggap hanya merusak hutan ketimbang merehabilitasi.
Fakta lain tentang pemusnahan hutan adalah konversi hutan alam maupun hutan lindung menjadi perkebunan. Hal itu masih berlangsung sampai sekarang. Di bulan September kemarin terjadi pengalihfungsian hutan lindung seluas 40 hektar di Kecamatan Konservasi Lindu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah menjadi lahan perkebunan kopi dan kakao. Sementara itu catatan Greenomics Indonesia menyebutkan praktik konversi hutan alam selama dua tahun yang terjadi antara 2003-2005 mencapai 1,48 juta hektar.
Alih fungsi hutan juga dilakukan oleh masyarakat. Di Desa Suren Gede, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, hutan negara yang ada oleh masyarakat telah dirubah menjadi lahan pertanian untuk tanaman kentang. Menurut data Dinas Pertanian Wonosobo, area hutan negara di kecamatan itu terus menurun. Tahun 2006 luas hutan masih 2.307 hektar, tetapi pada 2007 tinggal 156 hektar. (Kompas, 18/10/08)
Melihat kondisi yang ada sampai saat ini, kita ini seperti berada di dalam kapal di tengah lautan yang lambungnya dilubangi oleh penumpang. Di satu pihak sebagian kita berupaya untuk bisa selamat tetapi di pihak lain sebagian penumpang lainnya malah membuat celaka seluruh penumpang dengan merusak kapal. Bila pengrusakan dan pemusnahan hutan terus dibiarkan dan tidak segera diambil langkah-langkah pencegahan seluruh penduduk bumi ini akan menuai bencana.
Sederetan bencana telah, sedang, dan akan terjadi di depan mata kita. Bencana yang muncul akibat rusak dan hilangnya hutan itu adalah kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Data yang dikeluarkan Bakornas Penanggulangan Bencana tahun 2003 saja menunjukkan sejak 1998 hingga 2003 telah terjadi 647 bencana yang menelan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. 85% dari total bencana itu adalah banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Keanekaragaman hayati akan punah karena rusak dan musnahnya hutan. Di hutan Kalimantan Timur saja, menurut Walhi, diperkirakan 267 jenis Dipterocarpaceae, 3 ribu jenis pohon, 133 jenis mamalia, dan 141 jenis katak akan punah (Gatra.com, 3 Juli 2008). Begitu juga dengan musnahnya hutan, hilang pula sumber obat-obatan dan makanan masyarakat yang mengandalkan hutan.
Bagi masyarakat global, hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang menyerap karbon dan mensuplai oksigen. Dengan hancurnya hutan, bisa dipastikan semakin berkurang juga fungsi paru-paru hutan Indonesia untuk kehidupan dunia. Pengrusakan hutan yang terus dilakukan juga akan mempengaruhi fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah. Sebagai akibatnya akan sering terjadi kekeringan saat kemarau serta banjir dan tanah longsor di musim penghujan.
Dengan rusaknya hutan, konsentrasi gas rumah kaca yang di atmosfer berbentuk CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), dan N2O (nitrogen oksida) akan meningkat. Penumpukan gas rumah kaca di atmosfer ini, terutama CO2, akan mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Dampak lanjutannya, suhu permukaan bumi makin panas yang akan mencairkan es di kutub utara dan selatan. Hal ini akan meningkatkan permukaan laut dan mengubah pola iklim dunia. Bila ini terus terjadi maka bisa dipastikan akan semakin banyak pulau dan kawasan pantai yang tenggelam serta perubahan iklim sudah tidak bisa diperkirakan lagi. Sebagai contoh, Indonesia yang semula memiliki 17.504 pulau, kini tinggal 17.480 (Gatra Edisi Khusus, 22 November 2007).
Tindakan pencegahan memang sudah dilakukan, tetapi belum maksimal. Upaya yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat serta individu harus terus didukung dan ditingkatkan. Tindakan pemerintah untuk melakukan penghentian sementara penebangan kayu atau disebut moratorium harus serius dijalankan dan diterapkan di seluruh hutan di Indonesia. Banyak keuntungan yang akan diperoleh bila moratorium ini dijalankan. Di antaranya yaitu menyelamatkan hutan terutama yang sudah sangat kritis seperti hutan yang ada di Sumatera dan Sulawesi, meningkatkan hasil sumber daya hutan bukan kayu, dan memaksa industri pengolahan kayu meningkatkan efisiensi dalam menggunakan bahan baku. Selama pelaksanaan moratorium, industri pengolahan kayu masih tetap bisa beroperasi melalui impor kayu. Moratorium merupakan mekanisme yang sangat efektif dalam pencegahan kerusakan dan penghancuran paru-paru dunia yang dimiliki Indonesia.
Pemerintah juga dapat menerapkan teknologi mutakhir untuk menggantikan penggunaan kayu dalam industri kertas sehingga tidak perlu lagi menebang pohon. Teknologi yang digunakan oleh Korea Selatan dalam membuat kertas bisa dijadikan contoh. Negara ini merupakan satu-satunya negara yang memproduksi kertas dari bahan baku rumput laut. Rasanya langkah maju Korea Selatan itu bukan hal yang sulit untuk ditiru Indonesia, apalagi negara kita memiliki sekitar 760 jenis rumput laut. (Media Indonesia, 19 Oktober 2008).
Peran institusi juga diperlukan dalam mencegah kerusakan hutan yang terus meluas. Diharapkan mereka terus mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Sebagai contoh misalnya institusi yang bergerak dalam penyiaran seperti stasiun televisi dapat membuat acara yang mengarah ke situ atau lembaga swadaya masyarakat seperti YPHL mengajak masyarakat sadar hutan dengan mengadakan lomba penulisan seperti ini.
Institusi pendidikan seperti sekolah merancang kurikulum yang mengintegrasikan program kelestarian hutan sehingga akan menanamkan kecintaan hutan dalam diri setiap anak didik. Dengan demikian diharapkan mereka selanjutnya akan memasuki karier atau profesi di bidang kehutanan. Hal ini terjadi di Jerman. Pada dasawarsa tahun 70-an, hasil jajak pendapat suatu Institut Aliensbach di Republik Federasi Jerman melaporkan bahwa golongan angkatan kerja (muda) di negeri itu paling menggandrungi profesi/karier yang berkaitan dengan bidang kehutanan. Dari 900 responden pada waktu itu, ternyata angkatan muda cenderung memilih profesi insinyur teknik/industri (25%) dan teknisi/ahli kehutanan (21%) yang sekaligus menjadi karir favorit. Baru sesudah itu menyusul profesi arsitek (18%) dan pendidikan (16%), demikian menurut buku Deutch 2000 (1973). Karena kecintaan terhadap hutan, 30 tahun kemudian pascajajak pendapat berdiri suatu partai politik ‘Die Gruner’ atau partai hijau di Jerman. Orientasi dari misi partai ini adalah pembangunan berwawasan lingkungan (Sumber: on-line library WWF-Indonesia). Sayangnya di Indonesia belum ada partai hijau seperti di Jerman ini yang masuk ke dalam kabinet sehingga dapat lebih kuat dalam memperjuangkan misi khususnya keselamatan hutan dan alam lingkungan pada umumnya.
Bagaimana dengan individu? Secara perorangan pun bukannya tidak mungkin turut serta berupaya melestarikan hutan. Tindakan yang dilakukan oleh Pak Saekan dari Desa Pucang Sawit bisa dijadikan contoh. Seperti yang disiarkan dalam acara Kick Andy 3 Oktober 2008, Pak Saekan sejak tahun 1992 mulai melakukan penghijauan. Dimulai dari tempat tinggalnya, Desa Pucang Sawit, Pak Saekan yang akhirnya bisa menggerakkan anggota masyarakat lainnya berhasil menghutankan lereng Gunung Wilis. Atas keberhasilannya ini kemudian dia mendapat Kalpataru dari presiden SBY di tahun 2008 ini sebagai penyelamat lingkungan.
Tidak harus menjadi seperti Pak Saekan untuk menyelamatkan hutan. Anda bisa memulai dari diri dan lingkungan anda. Dengan menanam pohon di sekitar anda, anda sudah turut membantu menghijaukan lingkungan. Apabila setiap orang melakukan hal yang sama untuk lingkungannya, secara komulatif dan pasti, alam akan mengalami perbaikan. Lambat laun paru-paru dunia yang saat ini bolong-bolong akan menutup.
Hal tersebut akan terwujud apabila empat komponen yang memiliki peran menentukan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Mereka adalah, pertama, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang membuat regulasi dan sebagai pihak yang memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar dan juga penghargaan untuk mereka yang dianggap berjasa seperti Pak Saekan di atas. Kedua, institusi pendidikan yang memberikan edukasi kepada warga negara baik yang masih duduk di bangku sekolah/kuliah maupun tidak tentang pentingnya hutan, pelestariannya, dan akibat yang ditimbulkan bila hutan mengalami kerusakan. Ketiga, masyarakat yang menjadi pihak pengguna sekaligus pengawas pemanfaatan hutan dan pelaksanaan program pelestarian hutan. Terakhir atau yang keempat, setiap individu yang bukan hanya memanfaatkan hutan untuk kepentingan pribadi atau industri tetapi juga harus mengimbanginya dengan reboisasi (reforestation).
Dengan pulihnya hutan kita, maka hutan sebagai paru-paru juga akan kembali berfungsi dengan baik. Bila kita ini dikatakan sebagai manusia hutan, memang demikian adanya. Paru-paru manusia di manapun mereka berada pada dasarnya tergantung kepada keberadaan hutan yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut hanyalah sebuah olok-olok. Dari dulu, manusia diturunkan oleh manusia juga. Sampai kapanpun, tidak mungkin monyet beranak manusia. Meskipun teori evolusi Charles Darwin mendukung dan membuktikan bahwa kita ini asal usulnya dari monyet, tetapi ternyata teori itu tidak benar. Ilmuwan dari Turki, Harun Yahya yang memiliki nama asli Adnan Oktar, memberikan bantahan dengan menyertakan bukti-bukti ilmiah atas teori Darwin tersebut dan menyatakan Darwin hanyalah seorang pembohong. Namun, masih ada dari kita yang mempercayai teori evolusi itu.
Bagi manusia, hutan memang penting. Amat sangat penting. Bukan karena manusia itu keturunan monyet, tetapi manusia sama dengan monyet. Artinya, keberadaan hutan sangat dibutuhkan oleh manusia sebagaimana monyet. Bukan hanya masyarakat yang hidup di dalam atau sekitar hutan, bahkan mereka yang berada di kota besar sekalipun. Itulah sebabnya mengapa manusia, di manapun tempat tinggalnya, harus melestarikan hutan. Sayangnya, yang dilakukan malah sebaliknya.
Banyak tindakan manusia yang secara langsung maupun tidak langsung menghancurkan hutan. Meskipun beberapa di antaranya disebabkan karena ketidaktahuan dan kesalahan turun temurun, misalnya pembalakan liar atau pembakaran hutan untuk bercocok tanam. Celakanya lagi, pemerintah yang harusnya menjadi pengayom justru membuat aturan yang semakin meluluhlantakkan kelestarian hutan. Anda tentu masih ingat keputusan pemerintah yang dikeluarkan 4 Februari tahun ini. Keputusan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2008 benar-benar mengobral hutan lindung kita.
PP ini berisi tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Pemerintah melalui PP ini memberi ijin pembukaan hutan atau pengalihfungsian hutan untuk kepentingan pembangunan dan investor dengan tarif Rp1.200.000 hingga Rp3.000.000 per hektar per tahun, atau Rp120 sampai dengan Rp300 per meter. Sebuah pisang gorengpun bahkan lebih mahal dibandingkan harga per meter hutan. Walhi memperkirakan PP ini secara pasti akan memuluskan pemusnahan hutan lindung Indonesia seluas 925 ribu hektar yang akan dilakukan 13 perusahaan.
Tindakan pemerintah terbaru yang menghancurkan hutan dilansir Kompas, 16 Oktober 2008. Program kelestarian lingkungan yang bertajuk Gerakan Penghijauan Nasional (Gerhan) pada prakteknya justru menghancurkan flora dan fauna serta merusak ekologi lingkungan. Hutan seluas 700 hektar di tiga desa di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT dibakar habis. Tujuan pembakaran ini katanya untuk merehabilitasi lahan yang nantinya akan ditanami dengan pohon kemiri, jati, mahoni, kayu merah, mangga, jeruk, nangka, dan cendana yang semuanya adalah tanaman bernilai ekonomis. Apakah memang demikian? Bagaimana mungkin hutan beserta flora dan fauna yang ada di dalamnya hancur terbakar disebut dengan rehabilitasi?
Program Gerhan itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Namun apa lacur, hutan seluas 700 hektar sudah musnah. Merehabilitasi hutan seharusnya tidak dengan membakar hutan tetapi dengan menanami lahan kritis yang di NTT luasnya mencapai 2 hektar. “Dengan membakar hutan artinya menghancurkan flora dan fauna yang ada di dalamnya serta akan mengubah ekologi lingkungan secara keseluruhan,” kata Antonius Krivo, Ketua Yayasan Aksi Kemanusiaan TTS. Gerhan dianggap hanya merusak hutan ketimbang merehabilitasi.
Fakta lain tentang pemusnahan hutan adalah konversi hutan alam maupun hutan lindung menjadi perkebunan. Hal itu masih berlangsung sampai sekarang. Di bulan September kemarin terjadi pengalihfungsian hutan lindung seluas 40 hektar di Kecamatan Konservasi Lindu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah menjadi lahan perkebunan kopi dan kakao. Sementara itu catatan Greenomics Indonesia menyebutkan praktik konversi hutan alam selama dua tahun yang terjadi antara 2003-2005 mencapai 1,48 juta hektar.
Alih fungsi hutan juga dilakukan oleh masyarakat. Di Desa Suren Gede, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, hutan negara yang ada oleh masyarakat telah dirubah menjadi lahan pertanian untuk tanaman kentang. Menurut data Dinas Pertanian Wonosobo, area hutan negara di kecamatan itu terus menurun. Tahun 2006 luas hutan masih 2.307 hektar, tetapi pada 2007 tinggal 156 hektar. (Kompas, 18/10/08)
Melihat kondisi yang ada sampai saat ini, kita ini seperti berada di dalam kapal di tengah lautan yang lambungnya dilubangi oleh penumpang. Di satu pihak sebagian kita berupaya untuk bisa selamat tetapi di pihak lain sebagian penumpang lainnya malah membuat celaka seluruh penumpang dengan merusak kapal. Bila pengrusakan dan pemusnahan hutan terus dibiarkan dan tidak segera diambil langkah-langkah pencegahan seluruh penduduk bumi ini akan menuai bencana.
Sederetan bencana telah, sedang, dan akan terjadi di depan mata kita. Bencana yang muncul akibat rusak dan hilangnya hutan itu adalah kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Data yang dikeluarkan Bakornas Penanggulangan Bencana tahun 2003 saja menunjukkan sejak 1998 hingga 2003 telah terjadi 647 bencana yang menelan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. 85% dari total bencana itu adalah banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Keanekaragaman hayati akan punah karena rusak dan musnahnya hutan. Di hutan Kalimantan Timur saja, menurut Walhi, diperkirakan 267 jenis Dipterocarpaceae, 3 ribu jenis pohon, 133 jenis mamalia, dan 141 jenis katak akan punah (Gatra.com, 3 Juli 2008). Begitu juga dengan musnahnya hutan, hilang pula sumber obat-obatan dan makanan masyarakat yang mengandalkan hutan.
Bagi masyarakat global, hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang menyerap karbon dan mensuplai oksigen. Dengan hancurnya hutan, bisa dipastikan semakin berkurang juga fungsi paru-paru hutan Indonesia untuk kehidupan dunia. Pengrusakan hutan yang terus dilakukan juga akan mempengaruhi fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah. Sebagai akibatnya akan sering terjadi kekeringan saat kemarau serta banjir dan tanah longsor di musim penghujan.
Dengan rusaknya hutan, konsentrasi gas rumah kaca yang di atmosfer berbentuk CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), dan N2O (nitrogen oksida) akan meningkat. Penumpukan gas rumah kaca di atmosfer ini, terutama CO2, akan mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Dampak lanjutannya, suhu permukaan bumi makin panas yang akan mencairkan es di kutub utara dan selatan. Hal ini akan meningkatkan permukaan laut dan mengubah pola iklim dunia. Bila ini terus terjadi maka bisa dipastikan akan semakin banyak pulau dan kawasan pantai yang tenggelam serta perubahan iklim sudah tidak bisa diperkirakan lagi. Sebagai contoh, Indonesia yang semula memiliki 17.504 pulau, kini tinggal 17.480 (Gatra Edisi Khusus, 22 November 2007).
Tindakan pencegahan memang sudah dilakukan, tetapi belum maksimal. Upaya yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat serta individu harus terus didukung dan ditingkatkan. Tindakan pemerintah untuk melakukan penghentian sementara penebangan kayu atau disebut moratorium harus serius dijalankan dan diterapkan di seluruh hutan di Indonesia. Banyak keuntungan yang akan diperoleh bila moratorium ini dijalankan. Di antaranya yaitu menyelamatkan hutan terutama yang sudah sangat kritis seperti hutan yang ada di Sumatera dan Sulawesi, meningkatkan hasil sumber daya hutan bukan kayu, dan memaksa industri pengolahan kayu meningkatkan efisiensi dalam menggunakan bahan baku. Selama pelaksanaan moratorium, industri pengolahan kayu masih tetap bisa beroperasi melalui impor kayu. Moratorium merupakan mekanisme yang sangat efektif dalam pencegahan kerusakan dan penghancuran paru-paru dunia yang dimiliki Indonesia.
Pemerintah juga dapat menerapkan teknologi mutakhir untuk menggantikan penggunaan kayu dalam industri kertas sehingga tidak perlu lagi menebang pohon. Teknologi yang digunakan oleh Korea Selatan dalam membuat kertas bisa dijadikan contoh. Negara ini merupakan satu-satunya negara yang memproduksi kertas dari bahan baku rumput laut. Rasanya langkah maju Korea Selatan itu bukan hal yang sulit untuk ditiru Indonesia, apalagi negara kita memiliki sekitar 760 jenis rumput laut. (Media Indonesia, 19 Oktober 2008).
Peran institusi juga diperlukan dalam mencegah kerusakan hutan yang terus meluas. Diharapkan mereka terus mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Sebagai contoh misalnya institusi yang bergerak dalam penyiaran seperti stasiun televisi dapat membuat acara yang mengarah ke situ atau lembaga swadaya masyarakat seperti YPHL mengajak masyarakat sadar hutan dengan mengadakan lomba penulisan seperti ini.
Institusi pendidikan seperti sekolah merancang kurikulum yang mengintegrasikan program kelestarian hutan sehingga akan menanamkan kecintaan hutan dalam diri setiap anak didik. Dengan demikian diharapkan mereka selanjutnya akan memasuki karier atau profesi di bidang kehutanan. Hal ini terjadi di Jerman. Pada dasawarsa tahun 70-an, hasil jajak pendapat suatu Institut Aliensbach di Republik Federasi Jerman melaporkan bahwa golongan angkatan kerja (muda) di negeri itu paling menggandrungi profesi/karier yang berkaitan dengan bidang kehutanan. Dari 900 responden pada waktu itu, ternyata angkatan muda cenderung memilih profesi insinyur teknik/industri (25%) dan teknisi/ahli kehutanan (21%) yang sekaligus menjadi karir favorit. Baru sesudah itu menyusul profesi arsitek (18%) dan pendidikan (16%), demikian menurut buku Deutch 2000 (1973). Karena kecintaan terhadap hutan, 30 tahun kemudian pascajajak pendapat berdiri suatu partai politik ‘Die Gruner’ atau partai hijau di Jerman. Orientasi dari misi partai ini adalah pembangunan berwawasan lingkungan (Sumber: on-line library WWF-Indonesia). Sayangnya di Indonesia belum ada partai hijau seperti di Jerman ini yang masuk ke dalam kabinet sehingga dapat lebih kuat dalam memperjuangkan misi khususnya keselamatan hutan dan alam lingkungan pada umumnya.
Bagaimana dengan individu? Secara perorangan pun bukannya tidak mungkin turut serta berupaya melestarikan hutan. Tindakan yang dilakukan oleh Pak Saekan dari Desa Pucang Sawit bisa dijadikan contoh. Seperti yang disiarkan dalam acara Kick Andy 3 Oktober 2008, Pak Saekan sejak tahun 1992 mulai melakukan penghijauan. Dimulai dari tempat tinggalnya, Desa Pucang Sawit, Pak Saekan yang akhirnya bisa menggerakkan anggota masyarakat lainnya berhasil menghutankan lereng Gunung Wilis. Atas keberhasilannya ini kemudian dia mendapat Kalpataru dari presiden SBY di tahun 2008 ini sebagai penyelamat lingkungan.
Tidak harus menjadi seperti Pak Saekan untuk menyelamatkan hutan. Anda bisa memulai dari diri dan lingkungan anda. Dengan menanam pohon di sekitar anda, anda sudah turut membantu menghijaukan lingkungan. Apabila setiap orang melakukan hal yang sama untuk lingkungannya, secara komulatif dan pasti, alam akan mengalami perbaikan. Lambat laun paru-paru dunia yang saat ini bolong-bolong akan menutup.
Hal tersebut akan terwujud apabila empat komponen yang memiliki peran menentukan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Mereka adalah, pertama, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang membuat regulasi dan sebagai pihak yang memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar dan juga penghargaan untuk mereka yang dianggap berjasa seperti Pak Saekan di atas. Kedua, institusi pendidikan yang memberikan edukasi kepada warga negara baik yang masih duduk di bangku sekolah/kuliah maupun tidak tentang pentingnya hutan, pelestariannya, dan akibat yang ditimbulkan bila hutan mengalami kerusakan. Ketiga, masyarakat yang menjadi pihak pengguna sekaligus pengawas pemanfaatan hutan dan pelaksanaan program pelestarian hutan. Terakhir atau yang keempat, setiap individu yang bukan hanya memanfaatkan hutan untuk kepentingan pribadi atau industri tetapi juga harus mengimbanginya dengan reboisasi (reforestation).
Dengan pulihnya hutan kita, maka hutan sebagai paru-paru juga akan kembali berfungsi dengan baik. Bila kita ini dikatakan sebagai manusia hutan, memang demikian adanya. Paru-paru manusia di manapun mereka berada pada dasarnya tergantung kepada keberadaan hutan yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Tuesday, December 09, 2008
Haul 90 Tahun
Tahu artinya haul? Jika belum, maka saya perlu jelaskan dulu arti kata itu. Bukan saya hendak menggurui. Bila anda tidak tahu artinya, meskipun telah menebak mati-matian, kan bisa jadi nggak “konek” nantinya. Namun jika anda sudah sangat paham yang dimaksud dengan haul, ya mohon dimaafkan kebawelan saya ini.
Bila dilihat dalam KBBI (saya selalu menggunakan kamus besar ini sebagai acuan), haul artinya peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali. Selanjutnya barangkali akan muncul pertanyaan susulan di kepala anda. Terus, siapa yang diperingati saat kematiannya yang ke 90 tahun itu? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, saya ajukan lagi pertanyaan berikutnya. Bila anda rajin mengikuti tulisan saya, anda akan bisa melihat benang merahnya. Pertanyaan saya itu adalah, anda kenal yang namanya TAS atau Raden Mas Tirto Adhi Soerjo? Saya pernah menulis tentang dia dalam tulisan Medan Priyayi (Agustus 2008) dan RM Tirto Adhi Soerjo (September 2008).
Tulisan ini mengenai kegiatan yang digagas oleh para keturunan TAS dalam memperingati 90 tahun wafatnya yang diadakan di Sekolah Kedokteran Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (MKN). Dalam tulisan tentang peringatan meninggalnya bapak pers nasional ini, saya ingin mengungkapkan kebanggaan sekaligus kegembiraaan saya bisa menghadiri acara itu. Biar lebih teratur, berurutan, dan anda sendiri bisa memahami kenapa saya kok menjadi gembira dan juga bangga hanya gara-gara hadir dalam tahlilan-nya orang mati, saya mulai saja dari awal sebelum saya sampai di tempat itu.
Perihal TAS bagi saya sekarang ini sudah bukan orang asing lagi. Ketika keturunan TAS yang saya kenal menawarkan undangan menghadiri acara haul 90 tahun kakek buyutnya di Jakarta, tanpa berpikir dua kali saya langsung mengatakan mau. Apalagi oleh pihak panitia, peserta yang dari Bogor sudah disediakan satu bis sendiri, semakin mempermudah transportasi yang ikut. Bis itu akan menunggu di Universitas Pakuan (Unpak) Bogor dan jadwal berangkat jam 12.00 wib, Sabtu, 6 Desember 2008.
Jam 11.45 saya sudah ada di Unpak. Saya tidak ingin ketinggalan sehingga saya berusaha datang lebih awal. Keberangkatan jam 12 tepat yang sebelumnya panitia benar-benar mengingatkan rupanya tidak bisa dipenuhi. Bis baru berangkat jam 12.30. Kapasitas bis yang 54 tidak terisi penuh. Saya pun duduk sendirian di kursi untuk tiga orang di belakang sopir. Dan rupanya saya diandalkan menjadi penunjuk arah menuju lokasi karena kebetulan saya dulu pernah kost di dekat tempat itu.
Bis sampai di MKN yang menjadi tempat acara haul sekitar jam 14.30 wib. Acara rupanya belum dimulai. Meja penerima tamu yang ada di sebelah kiri dan kanan pintu masuk bahkan belum ada isinya. Panitia yang melihat kami datang tergopoh-gopoh menyiapkan penyambutan. Mereka tahu bahwa kami merupakan rombongan dari Unpak karena seluruh mahasiswa Unpak yang ikut mengenakan jas almamater.
Selesai mengisi buku tamu dan menerima souvenir kami kemudian masuk ke dalam MKN. Gedung yang dulunya merupakan sekolahnya TAS masih terpelihara dengan baik. Bangunan peninggalan jaman Belanda itu kelihatan kuno tetapi kokoh. Melihat tempat yang dulu pernah menjadi sekolah dokter itu membuat saya teringat cerita yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer tentang TAS dalam bukunya Bumi Manusia. Dikisahkan saat TAS yang dalam novel itu bernama Minke ditelanjangi oleh para seniornya sebagai salah satu bentuk perploncoan terhadap mahasiswa baru. Barangkali bila cerita itu benar-benar terjadi, mungkin saja tempatnya adalah di mana saat itu saya sedang berdiri.
Setelah berjalan sesaat sambil melihat gambar dan barang-barang yang dipajang di dalam museum, di depan saya ada seorang laki-laki yang cukup umur sedang duduk sambil ngobrol dengan seseorang. Rambut, baju, celana, dan sepatu yang dipakainya memiliki warna sama, putih. Saya segera mengenali laki-laki itu. Dia adalah Remy Sylado, seorang budayawan dan penulis banyak buku. Salah satu novelnya yang difilmkan dan saya punya filmnya adalah Ca-Bau-Kan. Anda pernah nonton film itu? Saya sempat bersalaman dengan dia. Sebenarnya bukan hanya sekedar salaman dan bertegur sapa, saya ingin ngobrol banyak tetapi saya merasa tidak memiliki bahan obrolan, speechless. Dari situlah kebanggaan sekaligus kegembiraan bisa hadir dalam haulnya TAS dimulai.
Selain Remy Sylado, saat resepsi penganugerahan Sang Pemula Award malam harinya, ternyata banyak pesohor negeri ini yang menghadiri acara itu. Mereka adalah Rosihan Anwar, putri Pramoedya Ananta Toer, putri Proklamator RI Bung Hatta yang sekarang menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Farida Hatta, serta Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Buyut TAS sendiri yang menjadi penyanyi, Dewi Yull, tidak ikut acara penganugerahan itu. Dia datang di sore hari pada saat seminar.
Itulah sebabnya, saya bangga datang di acara haulnya TAS karena orang-orang terkenal atau keturunannya juga ikut hadir. Saya gembira sebab bisa bertemu dengan orang-orang top, apalagi beberapa dari mereka adalah selebriti bagi saya seperti Remy Sylado, Rosihan Anwar, dan putrinya Pramoedya Ananta Toer. Dengan demikian, dalam seminggu ini dua kali kesempatan saya ketemu dengan kelompok manusia luar biasa, saat Wisata Sastra dan ketika menghadiri haulnya TAS.
Acara malam itu belum selesai ketika rombongan saya memutuskan untuk pulang. Saya keluar dari MKN jam 21.35. Saya tidak lagi memakai bis yang saya naiki saat berangkat tetapi menggunakan kendaraan dinas Fakultas Sastra Unpak. Dalam mobil dinas itu masih tersedia tempat duduk buat saya.
Hari itu, selain bisa ketemu dengan orang-orang terkenal di negeri ini, saya juga bernostalgia. Saya melewati tempat kost saya dulu yang berada di tikungan Jl. Abdul Rahman Saleh samping MKN atau Gedung Stovia. Saya juga makan siang di warung pinggir jalan di Jl. Kwitang dan membeli buku di toko buku Gunung Agung di mana saya dulu sering datang hanya sekedar untuk membaca. Di Gunung Agung Kwitang itu pula dulu saya pertama kali mengenal dan membeli yang namanya Root Beer Float Ice Cream kepunyaan AW alias American Warteg. Sssrruuuffff…. aahhhh….
Bila dilihat dalam KBBI (saya selalu menggunakan kamus besar ini sebagai acuan), haul artinya peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali. Selanjutnya barangkali akan muncul pertanyaan susulan di kepala anda. Terus, siapa yang diperingati saat kematiannya yang ke 90 tahun itu? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, saya ajukan lagi pertanyaan berikutnya. Bila anda rajin mengikuti tulisan saya, anda akan bisa melihat benang merahnya. Pertanyaan saya itu adalah, anda kenal yang namanya TAS atau Raden Mas Tirto Adhi Soerjo? Saya pernah menulis tentang dia dalam tulisan Medan Priyayi (Agustus 2008) dan RM Tirto Adhi Soerjo (September 2008).
Tulisan ini mengenai kegiatan yang digagas oleh para keturunan TAS dalam memperingati 90 tahun wafatnya yang diadakan di Sekolah Kedokteran Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (MKN). Dalam tulisan tentang peringatan meninggalnya bapak pers nasional ini, saya ingin mengungkapkan kebanggaan sekaligus kegembiraaan saya bisa menghadiri acara itu. Biar lebih teratur, berurutan, dan anda sendiri bisa memahami kenapa saya kok menjadi gembira dan juga bangga hanya gara-gara hadir dalam tahlilan-nya orang mati, saya mulai saja dari awal sebelum saya sampai di tempat itu.
Perihal TAS bagi saya sekarang ini sudah bukan orang asing lagi. Ketika keturunan TAS yang saya kenal menawarkan undangan menghadiri acara haul 90 tahun kakek buyutnya di Jakarta, tanpa berpikir dua kali saya langsung mengatakan mau. Apalagi oleh pihak panitia, peserta yang dari Bogor sudah disediakan satu bis sendiri, semakin mempermudah transportasi yang ikut. Bis itu akan menunggu di Universitas Pakuan (Unpak) Bogor dan jadwal berangkat jam 12.00 wib, Sabtu, 6 Desember 2008.
Jam 11.45 saya sudah ada di Unpak. Saya tidak ingin ketinggalan sehingga saya berusaha datang lebih awal. Keberangkatan jam 12 tepat yang sebelumnya panitia benar-benar mengingatkan rupanya tidak bisa dipenuhi. Bis baru berangkat jam 12.30. Kapasitas bis yang 54 tidak terisi penuh. Saya pun duduk sendirian di kursi untuk tiga orang di belakang sopir. Dan rupanya saya diandalkan menjadi penunjuk arah menuju lokasi karena kebetulan saya dulu pernah kost di dekat tempat itu.
Bis sampai di MKN yang menjadi tempat acara haul sekitar jam 14.30 wib. Acara rupanya belum dimulai. Meja penerima tamu yang ada di sebelah kiri dan kanan pintu masuk bahkan belum ada isinya. Panitia yang melihat kami datang tergopoh-gopoh menyiapkan penyambutan. Mereka tahu bahwa kami merupakan rombongan dari Unpak karena seluruh mahasiswa Unpak yang ikut mengenakan jas almamater.
Selesai mengisi buku tamu dan menerima souvenir kami kemudian masuk ke dalam MKN. Gedung yang dulunya merupakan sekolahnya TAS masih terpelihara dengan baik. Bangunan peninggalan jaman Belanda itu kelihatan kuno tetapi kokoh. Melihat tempat yang dulu pernah menjadi sekolah dokter itu membuat saya teringat cerita yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer tentang TAS dalam bukunya Bumi Manusia. Dikisahkan saat TAS yang dalam novel itu bernama Minke ditelanjangi oleh para seniornya sebagai salah satu bentuk perploncoan terhadap mahasiswa baru. Barangkali bila cerita itu benar-benar terjadi, mungkin saja tempatnya adalah di mana saat itu saya sedang berdiri.
Setelah berjalan sesaat sambil melihat gambar dan barang-barang yang dipajang di dalam museum, di depan saya ada seorang laki-laki yang cukup umur sedang duduk sambil ngobrol dengan seseorang. Rambut, baju, celana, dan sepatu yang dipakainya memiliki warna sama, putih. Saya segera mengenali laki-laki itu. Dia adalah Remy Sylado, seorang budayawan dan penulis banyak buku. Salah satu novelnya yang difilmkan dan saya punya filmnya adalah Ca-Bau-Kan. Anda pernah nonton film itu? Saya sempat bersalaman dengan dia. Sebenarnya bukan hanya sekedar salaman dan bertegur sapa, saya ingin ngobrol banyak tetapi saya merasa tidak memiliki bahan obrolan, speechless. Dari situlah kebanggaan sekaligus kegembiraan bisa hadir dalam haulnya TAS dimulai.
Selain Remy Sylado, saat resepsi penganugerahan Sang Pemula Award malam harinya, ternyata banyak pesohor negeri ini yang menghadiri acara itu. Mereka adalah Rosihan Anwar, putri Pramoedya Ananta Toer, putri Proklamator RI Bung Hatta yang sekarang menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Farida Hatta, serta Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Buyut TAS sendiri yang menjadi penyanyi, Dewi Yull, tidak ikut acara penganugerahan itu. Dia datang di sore hari pada saat seminar.
Itulah sebabnya, saya bangga datang di acara haulnya TAS karena orang-orang terkenal atau keturunannya juga ikut hadir. Saya gembira sebab bisa bertemu dengan orang-orang top, apalagi beberapa dari mereka adalah selebriti bagi saya seperti Remy Sylado, Rosihan Anwar, dan putrinya Pramoedya Ananta Toer. Dengan demikian, dalam seminggu ini dua kali kesempatan saya ketemu dengan kelompok manusia luar biasa, saat Wisata Sastra dan ketika menghadiri haulnya TAS.
Acara malam itu belum selesai ketika rombongan saya memutuskan untuk pulang. Saya keluar dari MKN jam 21.35. Saya tidak lagi memakai bis yang saya naiki saat berangkat tetapi menggunakan kendaraan dinas Fakultas Sastra Unpak. Dalam mobil dinas itu masih tersedia tempat duduk buat saya.
Hari itu, selain bisa ketemu dengan orang-orang terkenal di negeri ini, saya juga bernostalgia. Saya melewati tempat kost saya dulu yang berada di tikungan Jl. Abdul Rahman Saleh samping MKN atau Gedung Stovia. Saya juga makan siang di warung pinggir jalan di Jl. Kwitang dan membeli buku di toko buku Gunung Agung di mana saya dulu sering datang hanya sekedar untuk membaca. Di Gunung Agung Kwitang itu pula dulu saya pertama kali mengenal dan membeli yang namanya Root Beer Float Ice Cream kepunyaan AW alias American Warteg. Sssrruuuffff…. aahhhh….
Monday, December 01, 2008
Wisata Sastra
Sudah lama saya tidak ke Jakarta. Semenjak mengundurkan diri dari tempat kerja tahun 2001, sebulan sekalipun belum tentu saya ke sana. Kesempatan ke ibukota lagi datang secara kebetulan. Ketika saya menelepon teman saya yang penulis, dia mengajak pergi ke Jakarta. Karena ada kesempatan dan saya sendiri ingin ikut, saya iyakan ajakannya itu. Perjalanan ke Jakarta ini kemudian sudah muncul di kepala saya akan saya beri nama Wisata Sastra dan yang juga akan menjadi judul tulisan saya nanti (yaitu tulisan yang sedang anda baca sekarang). Dan ini merupakan pengalaman pertama saya terlibat dalam dunianya teman saya itu.
Mengapa saya beri nama Wisata Sastra? Karena memang kepergian saya ke Jakarta adalah untuk menghadiri kegiatan sastra. Teman saya yang penulis dan juga kritikus sastra itu diundang untuk menjadi pembicara dalam Peluncuran dan Diskusi Novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseno. Acara tersebut diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Perjalanan dimulai saat saya keluar dari rumah pukul 10.30 wib dengan motor kesayangan menuju Bojong Gede. Rencana berangkat dari Bojong Gede jam 12.00 karena acara di TIM dimulai pukul 13.00. Dengan naik KRL, diperkirakan dalam satu jam sudah sampai ke tempat tujuan. Ketika di atas motor saya hanya berdoa mudah-mudahan selamat di jalan dan tidak ada masalah dengan motor.
Doa saya terkabul. Saya sampai di Bojong Gede jam 11.15. Teman saya lagi ada di teras membaca koran bersama istri. Bukannya terus siap-siap, dia malah mengajak saya main catur. Kenapa tidak? Memang itu yang saya tunggu-tunggu. Selama ini saya tidak pernah menang dari dia. Saya berharap kali ini saya bisa mengalahkannya. Dan ternyata dari dua kali main, yang kedua berhasil saya menangkan.
Saat memainkan partai kedua, saya ingatkan ke teman saya bahwa dia harus sudah ada di TIM jam 13.00. Dijawabnya, “Kita berangkat setelah ini.” Padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam 12.00. Terserah apa mau dia. Saya ngikut saja. Selesai main catur, kami siap-siap berangkat. Sambil menunggu dia mandi saya kemudian sholat lohor dulu.
Akhirnya kami berangkat hampir jam 12.30. Dengan menggunakan motor saya, kami menuju Stasiun Bojong Gede. Tidak lebih dari sepuluh menit sampai di stasiun. Teman saya lari ke loket beli karcis, saya menaruh motor ke tempat penitipan. Nggak lama kemudian dia kembali dengan dua tiket Pakuan Ekspres. Dia meminta saya untuk buru-buru karena sebentar lagi kereta tiba. Saya ikut lari-lari di belakangnya khawatir kereta keburu datang. Begitu sampai di peron tidak lama kemudian kereta muncul. Untung saja kami dapat kereta yang tidak berhenti di setiap stasiun sehingga bisa cepat sampai di Jakarta.
Perjalanan dengan Pakuan Ekspres cukup nyaman. Karena saat itu hari Minggu, kereta yang biasanya penuh di hari kerja sekarang sepi. Di gerbong yang saya tempati hanya terisi beberapa orang. AC kereta masih bisa saya rasakan meskipun udara di luar begitu panas. Ngobrol pun jadi enak dalam gerbong yang lega dan berpendingin sehingga tanpa terasa kereta sudah masuk Jakarta.
Kami kemudian turun di Stasiun Gondangdia. Stasiun ini merupakan tempat yang sering saya datangi untuk naik KRL ke Bogor saat dulu saya masih kerja di Jakarta. Kondisi stasiun masih tetap sama. Tidak ada perubahan yang berarti. Dari stasiun itu kami kemudian naik bajaj menuju TIM. Kendaraan roda tiga yang kelakuan pengemudinya tidak beda jauh dengan tukang becak. Slonong sana slonong sini, nyerobot jalan sesukanya, ngelawan arus, belok seenaknya, adalah hal biasa yang sering dijumpai dari sebuah bajaj. Sampai-sampai andapun akan mengalami kesulitan bila harus menebak sebuah bajaj hendak berbelok ke mana. Pokoknya bajaj itu salah satu raja jalanan di Jakarta.
Dalam waktu beberapa menit bajaj kami akhirnya sampai di TIM meskipun sebelumnya hampir terjadi insiden. Saat meninggalkan Stasiun Gondangdia tadi, bajaj kami nyaris bertabrakan dengan bajaj yang lain. Dengan kecepatan tinggi plus sopir yang meleng, bajaj kami ngepot di tikungan yang ada di kolong rel. Bajaj kami banting ke kiri, begitu juga bajaj lawan. Beruntung dua-duanya tidak salah banting. Bila mereka berdua salah banting ke kanan, sudah pasti kamilah yang akan kebanting. Jika itu yang terjadi, bukan TIM lagi tujuannya, bisa-bisa malah RSCM.
Rupanya panitia memang menunggu kedatangan teman saya. Kegiatan yang dijadwalkan jam 13.00 jadi mundur 13.30. Acara segera dimulai begitu kami datang. Semua yang terlibat sudah hadir, penulis novel, dua pembicara, moderator, dan pembawa acara. Sambil mengikuti acara saya menikmati snak dan minuman yang saya ambil sebelumnya dari meja hidangan. Lumayan buat menggajal perut sebagai pengganti makan siang.
Selama acara, saya sempat keluar untuk melihat-lihat buku di toko buku bekas di dalam lingkungan TIM. Sayang buku yang saya cari tidak ada dan untungnya tidak ada, karena harganya terlalu mahal buat saya. Saya juga menyempatkan untuk sholat asar di Masjid Amir Hamzah walaupun mesti mencari-cari dulu letak masjid itu.
Acara berlangsung sampai sore. Ramai juga diskusi yang berlangsung. Ada tanya jawab yang sebagian saya tidak begitu paham. Mutiara Karam yang merupakan pemenang kedua sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 adalah novel sastra melayu yang ditulis oleh Tusiran Suseno seorang melayu Riau keturunan Jawa. Saya tidak begitu paham sastra melayu, tetapi saya senang bisa menghadiri diskusi tersebut. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang pandai menuangkan idenya dalam tulisan. Begitu acara diskusi selesai saya segera menemui sang penulis untuk meminta tanda tangan. Bangga rasanya bila memiliki buku yang di dalamnya ada tanda tangan penulisnya.
Selesai diskusi, kami semua pindah ke dalam ruang teater. Acara dilanjutkan dengan menyaksikan pembacaan beberapa bagian novel yang diselingi dengan lagu-lagu melayu. Benar-benar indah dan menawan, baik nyanyian maupun pembacaan novel. Saya sangat menikmati sekaligus terpukau, terutama saat bagian novel dibacakan. Begitu teatrikal cara membacanya.
Yang lebih membuat hati saya berbunga-bunga adalah setelah acara di TIM itu. Saya makan malam bareng dengan penulis Mutiara Karam yang rupanya kenal baik dengan teman saya. Bersama beberapa sastrawan lain, kami makan di restoran Warung Daun yang lokasi persis di depan TIM. Sambil menunggu dan ketika menyantap hidangan, kami ngobrolin apa saja, termasuk kain (jarik) yang digantung di atas kepala kami sebagai pajangan. Bagi orang melayu, duduk apalagi makan di bawah kain yang digantung adalah tabu. Orang Bogor (Sunda) bilang pamali. Bagi mereka, ada di bawah kain seperti ada di bawah selangkangan perempuan. Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya makan di bawah selangkangan, pasti horor.
Kami kemudian memanggil salah satu pelayan restoran. Teman saya bilang kepada pelayan itu supaya disampaikan kepada yang berkuasa di restoran tentang makna kain yang digantung di atas kepala bagi orang melayu. Rupanya pemilik restoran tidak paham dengan kultur melayu berkaitan dengan kain yang suka dipakai emak-emak kampung ke pasar atau none-none kota merayakan kartinian. Mudah-mudahan pesan itu betul-betul akan disampaikan kepada penguasa atau pemilik restoran sehingga kalaupun kain itu masih tetap dijadikan dekorasi, tidak digantung di atas meja tempat para pengunjung menikmati hidangan. Saya sendiri juga baru tahu makna kain yang digantung di atas kepala dalam budaya melayu malam itu.
Selesai makan malam, Saya dan teman saya kemudian menuju Hotel Alia yang letaknya berdekatan dengan Warung Daun, juga di seberang TIM. Di hotel itu sedang ada acara yang teman saya adalah salah satu jurinya. Di acara yang bertajuk Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan 2008 itu, saya ketemu banyak selebriti. Bukan selebriti dalam dunia hiburan seperti penyanyi atau pemain film, tetapi mereka adalah para penulis top. Mereka itulah sebenar-benarnya selebriti bagi saya. Merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bisa ketemu dengan Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, dan K. Usman. Mereka diperkenalkan sebagai juri-juri bidang fiksi dalam sayembara tahunan yang diadakan oleh Departemen P & K. Sebagai ketua dewan juri bidang fiksi yang totalnya berjumlah 27 orang yang malam itu tidak semuanya hadir adalah Ahmadun Yosi Herfanda yang juga berada di antara para juri.
Bila tidak karena mengejar kereta kami masih ingin lama-lama di acara itu. Keinginan saya untuk bisa foto bersama Hamsad Rangkuti hanya cukup digantikan dengan mengambil foto dia saat duduk bersama-sama juri yang lain. Kami meninggalkan hotel jam 20.20 untuk naik kopaja (bis kecil) menuju Stasiun Cikini. KRL terakhir menuju Bogor adalah jam 20.30. Kami beruntung tidak ketinggalan saat tiba di stasiun. Begitu sampai di peron, tidak lama kemudian kereta datang.
Singkat cerita, kami sampai di Stasiun Bojong Gede pukul 21.30. Motor yang tadi siang saya titipkan dekat stasiun masih ada tetapi sudah tidak pada tempatnya. Motor saya berpindah di sebelah tiang besi dari rel bekas dan dirantai. Begitu melihat kami datang, tukang parkir ngomel-ngomel. Dia merasa telah memberi tahu kami saat siang tadi bahwa waktu parkir hanya sampai jam 20.00. Dia bilang jika bukan karena kasihan, dia tidak akan menunggu kami. Motor akan ditinggalkan terantai di tiang begitu saja. Setahu saya, dia tidak pernah bilang bila parkir hanya sampai jam delapan malam. Meneketehe! Namun kami tidak mau ribut-ribut. Uang parkir Rp5000 yang diminta segera dikasih meskipun biasanya hanya Rp2000 atau Rp3000.
Seperti itulah bila kerja hanya berorientasi pada uang. Tidak ada keikhlasan dalam melayani. Motornya memang bagus dan kelihatan baru dan juga mungkin uangnya banyak, namun bisa jadi dia tidak pernah ke mana-mana. Hidupnya hanya di situ-situ saja. Hidup yang indah ini tidak begitu bisa dinikmati. Sayang sekali.
Saat tiba kembali di rumah teman saya, malam mulai larut. Dari stasiun tadi sempat mampir dulu untuk beli oleh-oleh sehingga sampai rumah hampir jam 22.30. Meskipun demikian, kami sempatkan main catur walau hanya satu set. Saya kembali menang, dan kemenangan yang saya peroleh benar-benar indah. Lawan main saya juga mengakui hal itu. Selesai main, saya siap-siap pulang.
Jam 23.30 saya baru pulang dari Bojong Gede. Jalan yang sepi dan gelapnya malam saya nikmati seutuhnya. Sang Pencipta mendukung saya menikmati perjalanan malam itu dengan tidak diturunkan hujan.
Mengapa saya beri nama Wisata Sastra? Karena memang kepergian saya ke Jakarta adalah untuk menghadiri kegiatan sastra. Teman saya yang penulis dan juga kritikus sastra itu diundang untuk menjadi pembicara dalam Peluncuran dan Diskusi Novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseno. Acara tersebut diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Perjalanan dimulai saat saya keluar dari rumah pukul 10.30 wib dengan motor kesayangan menuju Bojong Gede. Rencana berangkat dari Bojong Gede jam 12.00 karena acara di TIM dimulai pukul 13.00. Dengan naik KRL, diperkirakan dalam satu jam sudah sampai ke tempat tujuan. Ketika di atas motor saya hanya berdoa mudah-mudahan selamat di jalan dan tidak ada masalah dengan motor.
Doa saya terkabul. Saya sampai di Bojong Gede jam 11.15. Teman saya lagi ada di teras membaca koran bersama istri. Bukannya terus siap-siap, dia malah mengajak saya main catur. Kenapa tidak? Memang itu yang saya tunggu-tunggu. Selama ini saya tidak pernah menang dari dia. Saya berharap kali ini saya bisa mengalahkannya. Dan ternyata dari dua kali main, yang kedua berhasil saya menangkan.
Saat memainkan partai kedua, saya ingatkan ke teman saya bahwa dia harus sudah ada di TIM jam 13.00. Dijawabnya, “Kita berangkat setelah ini.” Padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam 12.00. Terserah apa mau dia. Saya ngikut saja. Selesai main catur, kami siap-siap berangkat. Sambil menunggu dia mandi saya kemudian sholat lohor dulu.
Akhirnya kami berangkat hampir jam 12.30. Dengan menggunakan motor saya, kami menuju Stasiun Bojong Gede. Tidak lebih dari sepuluh menit sampai di stasiun. Teman saya lari ke loket beli karcis, saya menaruh motor ke tempat penitipan. Nggak lama kemudian dia kembali dengan dua tiket Pakuan Ekspres. Dia meminta saya untuk buru-buru karena sebentar lagi kereta tiba. Saya ikut lari-lari di belakangnya khawatir kereta keburu datang. Begitu sampai di peron tidak lama kemudian kereta muncul. Untung saja kami dapat kereta yang tidak berhenti di setiap stasiun sehingga bisa cepat sampai di Jakarta.
Perjalanan dengan Pakuan Ekspres cukup nyaman. Karena saat itu hari Minggu, kereta yang biasanya penuh di hari kerja sekarang sepi. Di gerbong yang saya tempati hanya terisi beberapa orang. AC kereta masih bisa saya rasakan meskipun udara di luar begitu panas. Ngobrol pun jadi enak dalam gerbong yang lega dan berpendingin sehingga tanpa terasa kereta sudah masuk Jakarta.
Kami kemudian turun di Stasiun Gondangdia. Stasiun ini merupakan tempat yang sering saya datangi untuk naik KRL ke Bogor saat dulu saya masih kerja di Jakarta. Kondisi stasiun masih tetap sama. Tidak ada perubahan yang berarti. Dari stasiun itu kami kemudian naik bajaj menuju TIM. Kendaraan roda tiga yang kelakuan pengemudinya tidak beda jauh dengan tukang becak. Slonong sana slonong sini, nyerobot jalan sesukanya, ngelawan arus, belok seenaknya, adalah hal biasa yang sering dijumpai dari sebuah bajaj. Sampai-sampai andapun akan mengalami kesulitan bila harus menebak sebuah bajaj hendak berbelok ke mana. Pokoknya bajaj itu salah satu raja jalanan di Jakarta.
Dalam waktu beberapa menit bajaj kami akhirnya sampai di TIM meskipun sebelumnya hampir terjadi insiden. Saat meninggalkan Stasiun Gondangdia tadi, bajaj kami nyaris bertabrakan dengan bajaj yang lain. Dengan kecepatan tinggi plus sopir yang meleng, bajaj kami ngepot di tikungan yang ada di kolong rel. Bajaj kami banting ke kiri, begitu juga bajaj lawan. Beruntung dua-duanya tidak salah banting. Bila mereka berdua salah banting ke kanan, sudah pasti kamilah yang akan kebanting. Jika itu yang terjadi, bukan TIM lagi tujuannya, bisa-bisa malah RSCM.
Rupanya panitia memang menunggu kedatangan teman saya. Kegiatan yang dijadwalkan jam 13.00 jadi mundur 13.30. Acara segera dimulai begitu kami datang. Semua yang terlibat sudah hadir, penulis novel, dua pembicara, moderator, dan pembawa acara. Sambil mengikuti acara saya menikmati snak dan minuman yang saya ambil sebelumnya dari meja hidangan. Lumayan buat menggajal perut sebagai pengganti makan siang.
Selama acara, saya sempat keluar untuk melihat-lihat buku di toko buku bekas di dalam lingkungan TIM. Sayang buku yang saya cari tidak ada dan untungnya tidak ada, karena harganya terlalu mahal buat saya. Saya juga menyempatkan untuk sholat asar di Masjid Amir Hamzah walaupun mesti mencari-cari dulu letak masjid itu.
Acara berlangsung sampai sore. Ramai juga diskusi yang berlangsung. Ada tanya jawab yang sebagian saya tidak begitu paham. Mutiara Karam yang merupakan pemenang kedua sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 adalah novel sastra melayu yang ditulis oleh Tusiran Suseno seorang melayu Riau keturunan Jawa. Saya tidak begitu paham sastra melayu, tetapi saya senang bisa menghadiri diskusi tersebut. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang pandai menuangkan idenya dalam tulisan. Begitu acara diskusi selesai saya segera menemui sang penulis untuk meminta tanda tangan. Bangga rasanya bila memiliki buku yang di dalamnya ada tanda tangan penulisnya.
Selesai diskusi, kami semua pindah ke dalam ruang teater. Acara dilanjutkan dengan menyaksikan pembacaan beberapa bagian novel yang diselingi dengan lagu-lagu melayu. Benar-benar indah dan menawan, baik nyanyian maupun pembacaan novel. Saya sangat menikmati sekaligus terpukau, terutama saat bagian novel dibacakan. Begitu teatrikal cara membacanya.
Yang lebih membuat hati saya berbunga-bunga adalah setelah acara di TIM itu. Saya makan malam bareng dengan penulis Mutiara Karam yang rupanya kenal baik dengan teman saya. Bersama beberapa sastrawan lain, kami makan di restoran Warung Daun yang lokasi persis di depan TIM. Sambil menunggu dan ketika menyantap hidangan, kami ngobrolin apa saja, termasuk kain (jarik) yang digantung di atas kepala kami sebagai pajangan. Bagi orang melayu, duduk apalagi makan di bawah kain yang digantung adalah tabu. Orang Bogor (Sunda) bilang pamali. Bagi mereka, ada di bawah kain seperti ada di bawah selangkangan perempuan. Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya makan di bawah selangkangan, pasti horor.
Kami kemudian memanggil salah satu pelayan restoran. Teman saya bilang kepada pelayan itu supaya disampaikan kepada yang berkuasa di restoran tentang makna kain yang digantung di atas kepala bagi orang melayu. Rupanya pemilik restoran tidak paham dengan kultur melayu berkaitan dengan kain yang suka dipakai emak-emak kampung ke pasar atau none-none kota merayakan kartinian. Mudah-mudahan pesan itu betul-betul akan disampaikan kepada penguasa atau pemilik restoran sehingga kalaupun kain itu masih tetap dijadikan dekorasi, tidak digantung di atas meja tempat para pengunjung menikmati hidangan. Saya sendiri juga baru tahu makna kain yang digantung di atas kepala dalam budaya melayu malam itu.
Selesai makan malam, Saya dan teman saya kemudian menuju Hotel Alia yang letaknya berdekatan dengan Warung Daun, juga di seberang TIM. Di hotel itu sedang ada acara yang teman saya adalah salah satu jurinya. Di acara yang bertajuk Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan 2008 itu, saya ketemu banyak selebriti. Bukan selebriti dalam dunia hiburan seperti penyanyi atau pemain film, tetapi mereka adalah para penulis top. Mereka itulah sebenar-benarnya selebriti bagi saya. Merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bisa ketemu dengan Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, dan K. Usman. Mereka diperkenalkan sebagai juri-juri bidang fiksi dalam sayembara tahunan yang diadakan oleh Departemen P & K. Sebagai ketua dewan juri bidang fiksi yang totalnya berjumlah 27 orang yang malam itu tidak semuanya hadir adalah Ahmadun Yosi Herfanda yang juga berada di antara para juri.
Bila tidak karena mengejar kereta kami masih ingin lama-lama di acara itu. Keinginan saya untuk bisa foto bersama Hamsad Rangkuti hanya cukup digantikan dengan mengambil foto dia saat duduk bersama-sama juri yang lain. Kami meninggalkan hotel jam 20.20 untuk naik kopaja (bis kecil) menuju Stasiun Cikini. KRL terakhir menuju Bogor adalah jam 20.30. Kami beruntung tidak ketinggalan saat tiba di stasiun. Begitu sampai di peron, tidak lama kemudian kereta datang.
Singkat cerita, kami sampai di Stasiun Bojong Gede pukul 21.30. Motor yang tadi siang saya titipkan dekat stasiun masih ada tetapi sudah tidak pada tempatnya. Motor saya berpindah di sebelah tiang besi dari rel bekas dan dirantai. Begitu melihat kami datang, tukang parkir ngomel-ngomel. Dia merasa telah memberi tahu kami saat siang tadi bahwa waktu parkir hanya sampai jam 20.00. Dia bilang jika bukan karena kasihan, dia tidak akan menunggu kami. Motor akan ditinggalkan terantai di tiang begitu saja. Setahu saya, dia tidak pernah bilang bila parkir hanya sampai jam delapan malam. Meneketehe! Namun kami tidak mau ribut-ribut. Uang parkir Rp5000 yang diminta segera dikasih meskipun biasanya hanya Rp2000 atau Rp3000.
Seperti itulah bila kerja hanya berorientasi pada uang. Tidak ada keikhlasan dalam melayani. Motornya memang bagus dan kelihatan baru dan juga mungkin uangnya banyak, namun bisa jadi dia tidak pernah ke mana-mana. Hidupnya hanya di situ-situ saja. Hidup yang indah ini tidak begitu bisa dinikmati. Sayang sekali.
Saat tiba kembali di rumah teman saya, malam mulai larut. Dari stasiun tadi sempat mampir dulu untuk beli oleh-oleh sehingga sampai rumah hampir jam 22.30. Meskipun demikian, kami sempatkan main catur walau hanya satu set. Saya kembali menang, dan kemenangan yang saya peroleh benar-benar indah. Lawan main saya juga mengakui hal itu. Selesai main, saya siap-siap pulang.
Jam 23.30 saya baru pulang dari Bojong Gede. Jalan yang sepi dan gelapnya malam saya nikmati seutuhnya. Sang Pencipta mendukung saya menikmati perjalanan malam itu dengan tidak diturunkan hujan.
Saturday, November 29, 2008
Histrionik
Dalam majalah Intisari edisi bulan ini (November), ada artikel tentang penyakit kejiwaan yang lebih sering menghinggapi kaum hawa. Ya, histrionik namanya. Anda yang perempuan, jangan sinis dulu dengan saya. Penyakit ini memang memalukan. Tapi bila kemudian saya menuliskannya di sini, itu bukan salah saya kan?
Saya sempat dituduh yang tidak-tidak ketika mengucapkan kata itu beserta artinya di depan teman-teman kantor yang di ktp mereka disebutkan berjenis kelamin perempuan. Dikiranya saya mendiskreditkan mereka. Saya dituduh mengada-ada dan mengarang-ngarang untuk mencari sensasi. Mereka tidak percaya bahwa penyakit itu memang ada. Bagaimana dengan anda (khususnya anda yang perempuan), nggak percaya juga?
Bisa dimaklumi bila teman sekantor saya yang perempuan bersikap seperti itu. Meskipun faktanya sebagian wanita menunjukkan tanda-tanda mengidap histrionik tetapi mungkin saja mereka tidak menyadari kelainan yang dialaminya. Dengan demikian, mereka protes keras dengan informasi yang diterima. Tengsin juga kan bila cantik-cantik punya kelainan? Apalagi sudah jelek, kelainan lagi! Idih, kejam amat ya ungkapannya.
Saya tidak tahu apakah anda pernah bertemu dengan penderita histrionik. Saya pernah. Meskipun tidak yakin apakah mereka penderita kelainan kepribadian itu tetapi bila melihat ciri-cirinya, tidak salah lagi. Mereka kemungkinan besar adalah mengidap histrionik. Anda yang merasa kenal dan menjadi teman saya, jangan sinis dulu sama saya. Bukan anda yang saya maksudkan. Namun bila anda merasa bahwa saya sedang membicarakan anda, itu kesimpulan anda. Jadi, jangan salahkan saya. Salahkan saja orang-orang yang sedang dibui. Memang di situlah tempat orang-orang yang salah. Lalu seperti apa ciri-ciri dari histrionik?
Penderita histrionik biasanya memiliki ciri-ciri seperti di bawah ini. (Intisari, Nov 2008, halaman 175)
Histrionik adalah penyakit kejiwaan yang penderitanya suka caper alias mencari perhatian. Anda yang perempuan kemudian mungkin protes, kan laki-laki pun ada juga yang suka caper? Anda tidak salah. Memang bukan hanya perempuan, laki-laki ada juga yang suka menjadi pusat perhatian. Namun dari hasil survei, yang sering ditemukan menderita kelainan ini adalah perempuan. Terima sajalah fakta yang ada. Atau, jangan-jangan anda sedang mencurigai diri anda sendiri? Anda khawatir jangan-jangan… jangan-jangan… anda seorang pengindap histrionik.
Seorang dengan histrionik-nya ini suka banget diperhatikan. Itu semua demi kepentingan dan kenyamanan diri sendiri. Bukan hanya menarik perhatian dengan berdandan nyeleneh dan mboten-mboten, bila perlu dengan sakit pun akan dia jalani. Dengan demikian, perhatian dari sekelilingnya akan dia terima. Padahal bila dibawa ke dokter dan diperiksa, tidak ada satupun penyakit yang ditemukan.
Pengidap histrionik benar-benar seorang drama queen. Sebegitu hebat permainan peran yang dijalankan penderita histrionik. Sampai-sampai fisiknya pun mendukung kelainan psikis tersebut. Bila dia mengeluh sakit, tubuhnya bisa mengeluarkan keringat dingin, jantung berdebar-debar, atau nafas ngos-ngosan.
Kadang juga ditemukan seorang penderita histrionik sering merasa terancam jiwanya. Oleh karena itu dia akan selalu curiga dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, lebih-lebih yang dia tidak kenal. Akibatnya dia juga menjadi seorang paranoid.
Kira-kira, histrionik ini penyakit keturunan atau nemu di jalan (maksudnya dalam perjalanan hidup)? Bila dikatakan histrionik itu terjadi karena faktor genetik, ternyata para ahli belum menyepakatinya. Memang pada tahun 1993 Dahl pernah meneliti bahwa ada riwayat keluarga yang pernah mengalami gangguan kepribadian psikosomatis (berkaitan dengan emosi atau mental).
Penderita histrionik tidak membahayakan orang lain. Meskipun demikian, bisa sangat menyebalkan. Oleh karena itu, perlu ditangani dengan benar agar sembuh. Seorang psikolog adalah pihak yang tepat untuk melakukan terapi penyembuhan. Jangan dibawa ke dukun, ya?
Saya rasa bila si penderita sadar bahwa dirinya sedang sakit, dia pasti ingin sembuh. Repotnya, kerap kali mereka ini tidak menyadari bahwa dirinya menderita kelainan. Mereka merasa baik-baik saja dengan perilakunya yang suka mencari perhatian. Baginya, mendapatkan perhatian bukan sebuah kesalahan, apalagi dosa. Jadi, apa salahnya?
Bila setelah membaca tulisan ini kemudian anda bertanya, “Siapa sih anda?” Maka saya akan jawab, “Saya bukan seorang psikolog yang lagi memberikan kuliah. Hanya seorang blogger yang sedang mencoba berbagi tentang hal-hal kecil yang barangkali sedang terjadi di lingkungan anda atau sedang anda hadapi.” Jika anda ingin tahu lebih banyak lagi tentang histrionik, barangkali informasi dari Kompas.com yang saya link ini bisa bermanfaat bagi anda.
Saya sempat dituduh yang tidak-tidak ketika mengucapkan kata itu beserta artinya di depan teman-teman kantor yang di ktp mereka disebutkan berjenis kelamin perempuan. Dikiranya saya mendiskreditkan mereka. Saya dituduh mengada-ada dan mengarang-ngarang untuk mencari sensasi. Mereka tidak percaya bahwa penyakit itu memang ada. Bagaimana dengan anda (khususnya anda yang perempuan), nggak percaya juga?
Bisa dimaklumi bila teman sekantor saya yang perempuan bersikap seperti itu. Meskipun faktanya sebagian wanita menunjukkan tanda-tanda mengidap histrionik tetapi mungkin saja mereka tidak menyadari kelainan yang dialaminya. Dengan demikian, mereka protes keras dengan informasi yang diterima. Tengsin juga kan bila cantik-cantik punya kelainan? Apalagi sudah jelek, kelainan lagi! Idih, kejam amat ya ungkapannya.
Saya tidak tahu apakah anda pernah bertemu dengan penderita histrionik. Saya pernah. Meskipun tidak yakin apakah mereka penderita kelainan kepribadian itu tetapi bila melihat ciri-cirinya, tidak salah lagi. Mereka kemungkinan besar adalah mengidap histrionik. Anda yang merasa kenal dan menjadi teman saya, jangan sinis dulu sama saya. Bukan anda yang saya maksudkan. Namun bila anda merasa bahwa saya sedang membicarakan anda, itu kesimpulan anda. Jadi, jangan salahkan saya. Salahkan saja orang-orang yang sedang dibui. Memang di situlah tempat orang-orang yang salah. Lalu seperti apa ciri-ciri dari histrionik?
Penderita histrionik biasanya memiliki ciri-ciri seperti di bawah ini. (Intisari, Nov 2008, halaman 175)
- Emosinya naik turun.
- Gampang GR (gede rasa).
- Merasa dirinya menarik. dandanan dan busananya mencolok, tetapi belum tentu pantas. bukan karena ia tergolong modis, namun semata-mata untuk menarik perhatian.
- Keadaan mood-nya dramatik dan labil.
- Sering mengeluh sakit, tapi dokter tak menemukan sakit apa pun.
- Alur bicaranya tidak runtut, dan kalau ditanya lebih lanjut tak bisa mengurai secara rinci.
Histrionik adalah penyakit kejiwaan yang penderitanya suka caper alias mencari perhatian. Anda yang perempuan kemudian mungkin protes, kan laki-laki pun ada juga yang suka caper? Anda tidak salah. Memang bukan hanya perempuan, laki-laki ada juga yang suka menjadi pusat perhatian. Namun dari hasil survei, yang sering ditemukan menderita kelainan ini adalah perempuan. Terima sajalah fakta yang ada. Atau, jangan-jangan anda sedang mencurigai diri anda sendiri? Anda khawatir jangan-jangan… jangan-jangan… anda seorang pengindap histrionik.
Seorang dengan histrionik-nya ini suka banget diperhatikan. Itu semua demi kepentingan dan kenyamanan diri sendiri. Bukan hanya menarik perhatian dengan berdandan nyeleneh dan mboten-mboten, bila perlu dengan sakit pun akan dia jalani. Dengan demikian, perhatian dari sekelilingnya akan dia terima. Padahal bila dibawa ke dokter dan diperiksa, tidak ada satupun penyakit yang ditemukan.
Pengidap histrionik benar-benar seorang drama queen. Sebegitu hebat permainan peran yang dijalankan penderita histrionik. Sampai-sampai fisiknya pun mendukung kelainan psikis tersebut. Bila dia mengeluh sakit, tubuhnya bisa mengeluarkan keringat dingin, jantung berdebar-debar, atau nafas ngos-ngosan.
Kadang juga ditemukan seorang penderita histrionik sering merasa terancam jiwanya. Oleh karena itu dia akan selalu curiga dengan orang-orang yang ada di sekelilingnya, lebih-lebih yang dia tidak kenal. Akibatnya dia juga menjadi seorang paranoid.
Kira-kira, histrionik ini penyakit keturunan atau nemu di jalan (maksudnya dalam perjalanan hidup)? Bila dikatakan histrionik itu terjadi karena faktor genetik, ternyata para ahli belum menyepakatinya. Memang pada tahun 1993 Dahl pernah meneliti bahwa ada riwayat keluarga yang pernah mengalami gangguan kepribadian psikosomatis (berkaitan dengan emosi atau mental).
Penderita histrionik tidak membahayakan orang lain. Meskipun demikian, bisa sangat menyebalkan. Oleh karena itu, perlu ditangani dengan benar agar sembuh. Seorang psikolog adalah pihak yang tepat untuk melakukan terapi penyembuhan. Jangan dibawa ke dukun, ya?
Saya rasa bila si penderita sadar bahwa dirinya sedang sakit, dia pasti ingin sembuh. Repotnya, kerap kali mereka ini tidak menyadari bahwa dirinya menderita kelainan. Mereka merasa baik-baik saja dengan perilakunya yang suka mencari perhatian. Baginya, mendapatkan perhatian bukan sebuah kesalahan, apalagi dosa. Jadi, apa salahnya?
Bila setelah membaca tulisan ini kemudian anda bertanya, “Siapa sih anda?” Maka saya akan jawab, “Saya bukan seorang psikolog yang lagi memberikan kuliah. Hanya seorang blogger yang sedang mencoba berbagi tentang hal-hal kecil yang barangkali sedang terjadi di lingkungan anda atau sedang anda hadapi.” Jika anda ingin tahu lebih banyak lagi tentang histrionik, barangkali informasi dari Kompas.com yang saya link ini bisa bermanfaat bagi anda.
Moving Class
Tiga kali dalam seminggu mereka mengunjungi rumah-rumah kaca di belakang kastil untuk mempelajari Herbalogi –ilmu rempah-rempah- di bawah asuhan wanita penyihir gemuk-pendek bernama Profesor Sprout. Di tempat itu mereka belajar bagaimana merawat semua tanaman dan jamur-jamur aneh dan apa kegunaannya. (Harry Potter dan Batu Bertuah, halaman 166)
Cuplikan di atas saya ambil dari buku pertama serial Harry Potter karangan Joanne Kathleen Rowling. Saya memajang potongan paragraf itu sebagai pembuka tulisan bukan tanpa tujuan. Ada hal menarik dalam sistem moving class yang ingin saya bicarakan di sini. Juga, saya ingin menunjukkan kepada anda bahwa yang namanya moving class dalam dunia pendidikan itu sudah lama di terapkan di luar negeri sana. Namun, apa sih yang dinamakan moving class?
Moving class merupakan sebuah sistem dalam proses belajar mengajar. Sistem moving class memiliki ciri siswa mendatangi ruang kelas yang sudah didesain untuk mata pelajaran tertentu dan akan pindah ke ruang kelas lain setiap ganti pelajaran. Dengan demikian, ruang kelas akan difungsikan seperti laboratorium. Segala yang ada di dalamnya sesuai dengan karakter masing-masing mata pelajaran. Kelas Speaking misalnya, di dalamnya bisa terdapat panggung yang di atasnya disediakan mikrofon. Dindingnya dilapisi kaca cermin untuk melihat gerak tubuh dan pose badan saat mempelajari public speaking. Bagian dinding yang lain dipasang poster orator kondang atau tokoh-tokoh dalam dunia entertainment seperti Oprah Winfrey, dan lain-lain.
Sistem moving class sudah lama dikenal dan diterapkan terutama oleh dunia pendidikan di barat tetapi merupakan hal baru bagi saya yang asli orang kampung. Di Indonesia beberapa sekolah khususnya yang menerapkan kurikulum internasional atau suka juga menyebut dirinya sekolah global mulai menerapkan sistem ini. Sebuah lembaga pendidikan gratis yang berada di Bogor juga tidak mau ketinggalan. Lembaga pendidikan yang bernama Bogor EduCARE (BEC) ini mulai mencoba menerapkan sistem moving class.
Apakah sistem ini akan berhasil dijalankan BEC, hanya waktulah yang akan menunjukkan berhasil tidaknya. Sekolah-sekolah yang lebih dahulu menerapkan sistem ini memberikan laporan yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa moving class membuat kelas menjadi kondusif karena sarana penunjang yang ada di dalam kelas memang sesuai karakter dari mata pelajaran yang sedang dipelajari. Ada pula yang bilang, siswa menjadi fresh karena suasana kelas ganti-ganti setiap ganti pelajaran. Namun ada yang mengeluh, moving class bikin cape karena harus berpindah-pindah setiap ganti pelajaran, apalagi bila kelas satu dengan yang lain ada di lantai yang berbeda. Selain itu, banyak siswa yang sengaja memperlambat menuju kelas berikutnya, malahan ada yang sempat mampir ke kantin dulu. Saat guru sampai di kelas, ternyata masih kosong. Sebaliknya, pihak guru juga mendapat kritikan. Pada waktu siswa sudah ada di kelas berikutnya, gurunya malah belum datang.
Untuk sekolah yang jumlah ruang kelasnya terbatas, mereka akan kedodoran ketika menerapkan sistem moving class. Idealnya adalah satu ruang kelas untuk satu mata pelajaran. Dengan demikian, ruangan bisa diatur sedemikian rupa sesuai mata pelajaran yang menggunakannya dan guru pengampu menjadikan kelas itu sebagai ruang kerja sehingga dia selalu ada ketika siswa yang akan belajar datang. Namun bagaimana hal itu bisa terlaksana bila jumlah ruangan terbatas, apalagi bila jumlah tenaga pengajarnya terbatas serta jumlah mata pelajaran juga banyak. Alangkah pusing untuk bisa menerapkan sistem yang kedengarannya efektif itu.
Ada cara memang untuk menyiasati keterbatasan jumlah ruang kelas, yaitu dengan mengelompokkan mata pelajaran-mata pelajaran yang serumpun. Namun demikian, tetap masih dibutuhkan jumlah ruangan yang lumayan banyak. Kan tidak mungkin, misalnya, mengumpulkan Matematika, Agama, Bahasa, dan Kesenian menjadi satu yang kemudian disediakan satu ruang kelas?
Ealah, kok saya jadi menggurui begini ya? Yah, harap maklum saja. Bila mendapatkan sesuatu yang baru, orang kan biasanya bersemangat sekali. Begitu juga saya. Karena moving class ini merupakan mainan baru buat saya, tidak heran bila kemudian saya tuangkan dalam tulisan ini. Sampai-sampai, karena saking semangatnya, barangkali malah terkesan nyinyir. Mudah-mudahan saja anda tidak mendapatkan kesan seperti itu.
Saat ngorek-ngorek internet untuk mendapatkan informasi tentang moving class dan kemudian sedikit banyak telah mendapatkan yang saya cari itu, saya kok merasa tidak asing dengan konsep moving class. Ingatan saya kemudian hinggap pada sekolah sihir Hogwarts yang ada dalam buku imajinasinya JK Rowling. Bukankah sekolah itu menerapkan sistem moving class? Harry Potter dan teman sekelasnya kan selalu berpindah-pindah bila akan belajar mata pelajaran berikutnya. Kalau begitu, tidak salah lagi, Hogwarts pasti menerapkan sistem belajar mengajar yang disebut moving class. Itu juga sebabnya saya mengawali tulisan ini dengan sebuah cukilan dari buku Harry Potter.
Hogwarts memang rekaan. Namun yang namanya rekaan, pasti ada latar belakangnya. Bila kita tahu Rowling itu pengarang dari negerinya Ratu Elizabeth, berarti pendidikan di Inggris pasti menerapkan sistem moving class. Dan sistem itulah yang kemudian mengilhami Rowling mengadopsinya ke dalam sekolah sihir tempat tiga sekawan Harry, Ron, dan Hermione menimba ilmu sihir.
Kembali ke dunia nyata, memang tidak salah bila sebuah sistem baru ingin dicoba diterapkan. Moving class yang merupakan sistem lama bagi sebagian orang tetapi baru untuk sebagian lainnya, boleh saja diujicoba. Masalah apakah akan berhasil atau gagal, itu urusan nanti. Barangkali bisa juga akan terjadi modifikasi dalam penerapannya. Tidak murni moving class sebagaimana konsep aslinya tetapi sudah diotak-otak dan direka-reka sesuai kondisi setempat dan peruntukannya. Kan memang kita ini terkenal untuk hal-hal yang seperti itu? Anda tahu kan yang saya maksudkan? Anda pasti tahu!
Cuplikan di atas saya ambil dari buku pertama serial Harry Potter karangan Joanne Kathleen Rowling. Saya memajang potongan paragraf itu sebagai pembuka tulisan bukan tanpa tujuan. Ada hal menarik dalam sistem moving class yang ingin saya bicarakan di sini. Juga, saya ingin menunjukkan kepada anda bahwa yang namanya moving class dalam dunia pendidikan itu sudah lama di terapkan di luar negeri sana. Namun, apa sih yang dinamakan moving class?
Moving class merupakan sebuah sistem dalam proses belajar mengajar. Sistem moving class memiliki ciri siswa mendatangi ruang kelas yang sudah didesain untuk mata pelajaran tertentu dan akan pindah ke ruang kelas lain setiap ganti pelajaran. Dengan demikian, ruang kelas akan difungsikan seperti laboratorium. Segala yang ada di dalamnya sesuai dengan karakter masing-masing mata pelajaran. Kelas Speaking misalnya, di dalamnya bisa terdapat panggung yang di atasnya disediakan mikrofon. Dindingnya dilapisi kaca cermin untuk melihat gerak tubuh dan pose badan saat mempelajari public speaking. Bagian dinding yang lain dipasang poster orator kondang atau tokoh-tokoh dalam dunia entertainment seperti Oprah Winfrey, dan lain-lain.
Sistem moving class sudah lama dikenal dan diterapkan terutama oleh dunia pendidikan di barat tetapi merupakan hal baru bagi saya yang asli orang kampung. Di Indonesia beberapa sekolah khususnya yang menerapkan kurikulum internasional atau suka juga menyebut dirinya sekolah global mulai menerapkan sistem ini. Sebuah lembaga pendidikan gratis yang berada di Bogor juga tidak mau ketinggalan. Lembaga pendidikan yang bernama Bogor EduCARE (BEC) ini mulai mencoba menerapkan sistem moving class.
Apakah sistem ini akan berhasil dijalankan BEC, hanya waktulah yang akan menunjukkan berhasil tidaknya. Sekolah-sekolah yang lebih dahulu menerapkan sistem ini memberikan laporan yang berbeda-beda. Ada yang menyatakan bahwa moving class membuat kelas menjadi kondusif karena sarana penunjang yang ada di dalam kelas memang sesuai karakter dari mata pelajaran yang sedang dipelajari. Ada pula yang bilang, siswa menjadi fresh karena suasana kelas ganti-ganti setiap ganti pelajaran. Namun ada yang mengeluh, moving class bikin cape karena harus berpindah-pindah setiap ganti pelajaran, apalagi bila kelas satu dengan yang lain ada di lantai yang berbeda. Selain itu, banyak siswa yang sengaja memperlambat menuju kelas berikutnya, malahan ada yang sempat mampir ke kantin dulu. Saat guru sampai di kelas, ternyata masih kosong. Sebaliknya, pihak guru juga mendapat kritikan. Pada waktu siswa sudah ada di kelas berikutnya, gurunya malah belum datang.
Untuk sekolah yang jumlah ruang kelasnya terbatas, mereka akan kedodoran ketika menerapkan sistem moving class. Idealnya adalah satu ruang kelas untuk satu mata pelajaran. Dengan demikian, ruangan bisa diatur sedemikian rupa sesuai mata pelajaran yang menggunakannya dan guru pengampu menjadikan kelas itu sebagai ruang kerja sehingga dia selalu ada ketika siswa yang akan belajar datang. Namun bagaimana hal itu bisa terlaksana bila jumlah ruangan terbatas, apalagi bila jumlah tenaga pengajarnya terbatas serta jumlah mata pelajaran juga banyak. Alangkah pusing untuk bisa menerapkan sistem yang kedengarannya efektif itu.
Ada cara memang untuk menyiasati keterbatasan jumlah ruang kelas, yaitu dengan mengelompokkan mata pelajaran-mata pelajaran yang serumpun. Namun demikian, tetap masih dibutuhkan jumlah ruangan yang lumayan banyak. Kan tidak mungkin, misalnya, mengumpulkan Matematika, Agama, Bahasa, dan Kesenian menjadi satu yang kemudian disediakan satu ruang kelas?
Ealah, kok saya jadi menggurui begini ya? Yah, harap maklum saja. Bila mendapatkan sesuatu yang baru, orang kan biasanya bersemangat sekali. Begitu juga saya. Karena moving class ini merupakan mainan baru buat saya, tidak heran bila kemudian saya tuangkan dalam tulisan ini. Sampai-sampai, karena saking semangatnya, barangkali malah terkesan nyinyir. Mudah-mudahan saja anda tidak mendapatkan kesan seperti itu.
Saat ngorek-ngorek internet untuk mendapatkan informasi tentang moving class dan kemudian sedikit banyak telah mendapatkan yang saya cari itu, saya kok merasa tidak asing dengan konsep moving class. Ingatan saya kemudian hinggap pada sekolah sihir Hogwarts yang ada dalam buku imajinasinya JK Rowling. Bukankah sekolah itu menerapkan sistem moving class? Harry Potter dan teman sekelasnya kan selalu berpindah-pindah bila akan belajar mata pelajaran berikutnya. Kalau begitu, tidak salah lagi, Hogwarts pasti menerapkan sistem belajar mengajar yang disebut moving class. Itu juga sebabnya saya mengawali tulisan ini dengan sebuah cukilan dari buku Harry Potter.
Hogwarts memang rekaan. Namun yang namanya rekaan, pasti ada latar belakangnya. Bila kita tahu Rowling itu pengarang dari negerinya Ratu Elizabeth, berarti pendidikan di Inggris pasti menerapkan sistem moving class. Dan sistem itulah yang kemudian mengilhami Rowling mengadopsinya ke dalam sekolah sihir tempat tiga sekawan Harry, Ron, dan Hermione menimba ilmu sihir.
Kembali ke dunia nyata, memang tidak salah bila sebuah sistem baru ingin dicoba diterapkan. Moving class yang merupakan sistem lama bagi sebagian orang tetapi baru untuk sebagian lainnya, boleh saja diujicoba. Masalah apakah akan berhasil atau gagal, itu urusan nanti. Barangkali bisa juga akan terjadi modifikasi dalam penerapannya. Tidak murni moving class sebagaimana konsep aslinya tetapi sudah diotak-otak dan direka-reka sesuai kondisi setempat dan peruntukannya. Kan memang kita ini terkenal untuk hal-hal yang seperti itu? Anda tahu kan yang saya maksudkan? Anda pasti tahu!
Friday, November 28, 2008
Mabok Apa Mabuk?
Mana yang benar dari dua kata itu, nggak usah diambil pusinglah. Biar itu jadi urusannya orang-orang Pusat Bahasa. Yang jelas, ada kondisi yang menggambarkan seseorang atau sekelompok orang menjadi lupa diri karena kemenangan. Anda tahu kan dengan istilah euforia?
Ya, euforia merupakan perasaan nyaman atau gembira yang berlebih-lebihan. Akibatnya, kadang-kadang yang bersangkutan menjadi lupa daratan, seperti orang mabuk gitulah. Anda tahu kan gimana orang mabuk itu? Perasaan ini sering dijumpai pada orang-orang yang memperoleh kemenangan. Menang lotere misalnya. Apalagi mereka yang sekali-sekalinya beli lotere, eh, hla kok kemudian menang. Mabuk kepayanglah dia.
Belum lama berselang, barangkali juga sampai saat ini, rakyat Amerika terutama pendukung Partai Demokrat mengalami euforia. Pada Selasa malam 4 November 2008, sekitar seperempat juta rakyat Amerika berkumpul di Grand Park pinggiran Danau Michigan untuk sebuah pesta yang disebut Election Night. Mereka merayakan kemenangan capres dari Partai Demokrat, Senator Barack Hussein Obama Junior yang berpasangan dengan Senator Joe Biden.
Kegembiraan itu kemudian bukan hanya milik pendukung Obama tapi telah menjadi milik seluruh penduduk Amerika pada umumnya. Hal itu dikarenakan contoh sikap positif yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Saat pemenangnya sudah terpilih, pihak yang kalah bukan terus memperkarakan kemenangan lawan dan berbuat anarki. Yang dilakukan John McCain sebagai calon presiden yang dikalahkan adalah mendatangi Obama untuk bersalaman dan mengucapkan selamat atas kemenangan lawannya. Sungguh, sebuah tauladan yang berasal dari pemimpin sejati. Betapa indahnya bila para calon pemimpin kita yang dikalahkan dalam pilkada maupun pemilu dapat berlaku seperti itu.
Euforia atas kemenangan Obama itu ternyata tidak hanya dialami orang-orang Amerika. Sebagian dari penduduk ini rupanya turut gembira dengan terpilihnya Obama. Barangkali hal ini terjadi karena dia pernah tinggal di Indonesia. Orang-orang yang terkena euforia itu merasa memiliki ikatan batin dan emosi dengan presiden yang baru terpilih. Apalagi teman-teman sekelasnya waktu sekolah di Menteng, Jakarta dulu.
Menyaksikan peristiwa pemilihan seorang pemimpin di negeri ini selama ini, rasanya kita masih harus banyak belajar, terutama belajar menata emosi. Keinginan menduduki sebuah jabatan pemimpin seharusnya didasarkan pada pengabdian. Sebuah pengabdian dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan mengabdi yang hanya digembor-gemborkan saat kampanye semata-mata untuk mendapatkan suara dari massa. Malu rasanya setiap ada pilihan pemimpin selalu ribut.
Nggak ada habis-habisnya dan malah semakin sakit hati bila diterusin omongan tentang kelakuan orang-orang yang tidak amanah itu. Kita ngomongin yang senang-senang sajalah. Bila hati ini senang, sakit akan hilang. Itu yang disebutkan sebuah artikel dalam majalah Reader’s Digest Indonesia bulan ini. Saya tuliskan kembali artikel itu untuk anda di sini.
Artikel kesehatan ini menukil isi dari buku seorang neuroscientist, Morten Kringelbach, dari Universiti of Oxford. Morten melakukan penelitian revolusioner dengan cara memasukkan elektroda ke dalam otak seseorang untuk menghilangkan rasa sakit dan mengubahnya menjadi rasa senang dan nyaman. Dalam bukunya yang berjudul The Pleasure Center, dia memaparkan hasil penelitiannya itu.
Bagaimana komentar anda? Bersenang-senang itu banyak untungnya, termasuk euforia. Bila anda sekarang sedang mengalami euforia, teruskan saja. Asal anda tidak kebablasan dalam bersenang-senang. Sebagian orang masalahnya melihat euforia itu secara negatif. Euforia diidentikan dengan anarki. Jadi, mari bersenang-senang.
Ya, euforia merupakan perasaan nyaman atau gembira yang berlebih-lebihan. Akibatnya, kadang-kadang yang bersangkutan menjadi lupa daratan, seperti orang mabuk gitulah. Anda tahu kan gimana orang mabuk itu? Perasaan ini sering dijumpai pada orang-orang yang memperoleh kemenangan. Menang lotere misalnya. Apalagi mereka yang sekali-sekalinya beli lotere, eh, hla kok kemudian menang. Mabuk kepayanglah dia.
Belum lama berselang, barangkali juga sampai saat ini, rakyat Amerika terutama pendukung Partai Demokrat mengalami euforia. Pada Selasa malam 4 November 2008, sekitar seperempat juta rakyat Amerika berkumpul di Grand Park pinggiran Danau Michigan untuk sebuah pesta yang disebut Election Night. Mereka merayakan kemenangan capres dari Partai Demokrat, Senator Barack Hussein Obama Junior yang berpasangan dengan Senator Joe Biden.
Kegembiraan itu kemudian bukan hanya milik pendukung Obama tapi telah menjadi milik seluruh penduduk Amerika pada umumnya. Hal itu dikarenakan contoh sikap positif yang ditunjukkan oleh pemimpinnya. Saat pemenangnya sudah terpilih, pihak yang kalah bukan terus memperkarakan kemenangan lawan dan berbuat anarki. Yang dilakukan John McCain sebagai calon presiden yang dikalahkan adalah mendatangi Obama untuk bersalaman dan mengucapkan selamat atas kemenangan lawannya. Sungguh, sebuah tauladan yang berasal dari pemimpin sejati. Betapa indahnya bila para calon pemimpin kita yang dikalahkan dalam pilkada maupun pemilu dapat berlaku seperti itu.
Euforia atas kemenangan Obama itu ternyata tidak hanya dialami orang-orang Amerika. Sebagian dari penduduk ini rupanya turut gembira dengan terpilihnya Obama. Barangkali hal ini terjadi karena dia pernah tinggal di Indonesia. Orang-orang yang terkena euforia itu merasa memiliki ikatan batin dan emosi dengan presiden yang baru terpilih. Apalagi teman-teman sekelasnya waktu sekolah di Menteng, Jakarta dulu.
Menyaksikan peristiwa pemilihan seorang pemimpin di negeri ini selama ini, rasanya kita masih harus banyak belajar, terutama belajar menata emosi. Keinginan menduduki sebuah jabatan pemimpin seharusnya didasarkan pada pengabdian. Sebuah pengabdian dalam arti yang sebenar-benarnya, bukan mengabdi yang hanya digembor-gemborkan saat kampanye semata-mata untuk mendapatkan suara dari massa. Malu rasanya setiap ada pilihan pemimpin selalu ribut.
Nggak ada habis-habisnya dan malah semakin sakit hati bila diterusin omongan tentang kelakuan orang-orang yang tidak amanah itu. Kita ngomongin yang senang-senang sajalah. Bila hati ini senang, sakit akan hilang. Itu yang disebutkan sebuah artikel dalam majalah Reader’s Digest Indonesia bulan ini. Saya tuliskan kembali artikel itu untuk anda di sini.
Artikel kesehatan ini menukil isi dari buku seorang neuroscientist, Morten Kringelbach, dari Universiti of Oxford. Morten melakukan penelitian revolusioner dengan cara memasukkan elektroda ke dalam otak seseorang untuk menghilangkan rasa sakit dan mengubahnya menjadi rasa senang dan nyaman. Dalam bukunya yang berjudul The Pleasure Center, dia memaparkan hasil penelitiannya itu.
- Untuk menghilangkan rasa sakit dan mengubahnya menjadi rasa senang dan nyaman, elektroda-elektroda itu harus distimulasi pada titik-titik yang tepat. Cara ini juga bisa membantu pasien depresi untuk mengatasi depresinya.
- Namun elektroda itu tidak bisa digunakan hanya untuk bersenang-senang semata. Sebetulnya, otak secara otomatis akan menyeimbangkan dirinya, dan anda hanya dapat membantu memulihkan keseimbangan itu untuk sementara waktu, tidak permanen. Inilah sebabnya mengapa banyak orang, sekalipun mereka tidak mendapatkan perawatan, kemungkinan akan bisa pulih dari depresi dalam waktu setahun.
- Kesenangan paling besar dirasakan orang saat melakukan hubungan seks. Urutan kedua adalah saat bersama teman-teman.
- Meski belum terbukti, elektroda di otak bagian dalam tersebut mungkin dapat membantu mengembalikan keseimbangan mekanisme rasa puas di otak – sinyal-sinyal yang memberitahu kita untuk menghentikan apa yang kita makan atau minum, sehingga membantu mengatasi obesitas.
- Namun begitu, elektroda tersebut bukanlah solusi dari segala masalah. Agar kita bisa hidup lebih senang dan nyaman, nikmati saja kebersamaan dengan keluarga dan teman-teman, dan jangan bekerja terlalu keras. Kesenangan yang paling sederhana justru bisa menjadi yang terbaik untuk kesehatan anda.
Bagaimana komentar anda? Bersenang-senang itu banyak untungnya, termasuk euforia. Bila anda sekarang sedang mengalami euforia, teruskan saja. Asal anda tidak kebablasan dalam bersenang-senang. Sebagian orang masalahnya melihat euforia itu secara negatif. Euforia diidentikan dengan anarki. Jadi, mari bersenang-senang.
Monday, November 03, 2008
Ten Commandments
Bila anda mendapat perintah langsung dari atasan, anda tentu akan melaksanakan. Itu yang dilakukan oleh Nabi Musa ketika dia mendapat firman dari Penguasa Alam Raya untuk melaksanakan sepuluh perintah-Nya. Kisah kerasulan ini kemudian difilmkan dengan judul The Ten Commandments oleh Cecil B. DeMille.
Saya juga mendapat perintah. Bukan sepuluh, dan juga bukan dari Tuhan. Hanya satu dan itupun dari teman baik yang sekaligus guru menulis saya. Harap dicatat dulu, saya tidak bermaksud menyamakan dia dengan Tuhan. Perintahnya sederhana. Atau mungkin lebih cocok bila saya sebut sebagai provokasi. Dia mendorong-dorong saya untuk, ehm, merokok. Anjuran yang menyesatkan itu tentu saja dia sampaikan dengan tidak serius, dan sayapun menganggapnya begitu. Kenapa itu bisa terjadi?
Karena saya tidak ada acara kemana-mana, kemarin (Minggu) saya bertandang ke Bojong Gede. Saya main ke rumah seorang penulis yang reputasinya tidak main-main lagi. Sehari sebelumnya dia berjanji akan memberi bukunya yang baru diterbitkan asal saya mau datang ke rumahnya. Jika cuma disuruh datang agar memperoleh buku baru, ya dengan senang hatilah saya memenuhi syarat itu. Bukan hanya karena ingin mendapatkan buku baru saja yang menyebabkan saya mau datang. Kebetulan saya punya naskah buku yang butuh masukan dari dia. Selain itu, saya memang sudah lumayan lama tidak bersilaturahim ke tempat dia. Demi buku sekaligus persahabatan dan persaudaraan, saya berusaha keras untuk datang.
Lama tidak ngobrol dengan dia, kangen juga saya. Bila ketemu, seperti kemarin dan seperti biasa, obrolan yang dilakukan tidak jauh dari dunia tulis-menulis. Kami berdua memang cocok bagaikan mur dan baut. Kami kebetulan sama-sama memiliki keahlian. Dia mahir merangkai kata, saya ahli bertanya bagaimana meronce kata menjadi kalimat yang enak dibaca. Banyak petuah yang dia ucapkan untuk saya. Dengan khidmat saya mendengarkan. Selanjutnya saya berusaha menyerapnya. Sebagai seorang murid yang baik, memang seharusnya seperti itu bila gurunya berbicara.
Disamping mengajari menulis, dia juga menjadi guru untuk kegiatan lain yang juga sama-sama saya dan dia sukai. Kami berdua sama-sama penggemar permainan catur. Yang membuat saya terkesan, kok ya dalam setiap permainan dia tidak pernah terkalahkan. Setiap ketemu dengan dia, saya berharap untuk bisa bermain catur dengannya, tentu saja berharap juga untuk menang. Kemarin saya beruntung bisa bertanding melawan dia meskipun dari empat kali bermain, tidak satu pun yang saya menangkan. Saya akui, dia memang ulet dan tidak tergesa-gesa dalam melangkah. Dalam pertandingan-pertandingan yang dimainkan, termasuk kemarin, sebenarnya beberapa di antaranya saya sering berada di atas angin. Namun rupanya saya tidak seulet dan sehati-hati dia.
Pertandingan catur persahabatan saya lakukan karena hujan terlanjur turun. Akibat hujan, saya jadi tidak bisa pulang. Sebelum itu, saya dengan dia asik ngobrol di teras. Kebetulan ada empat orang dari Fakultas Hukum Unpak Bogor yang juga hadir. Mereka datang untuk urusan penerbitan buku. Mereka kemudian ikut bergabung dalam obrolan. Suasana jadi semakin ramai. Saat ngobrol itulah dia memprovokasi. Ya itu tadi, agar lancar menulis saya disarankan merokok. Dia memang perokok berat, begitu juga empat laki-laki yang dari Fakultas Hukum.
Saya hanya tersenyum mendengar anjuran itu. Kemudian saya meminta dia menyebutkan sepuluh alasan merokok untuk meyakinkan saya. Sepuluh keuntungan dari merokok. Dia dan orang-orang Fakultas Hukum dengan antusias mengumpulkan alasan itu. Pertama, merokok meningkatkan konsentrasi. Kedua, banyak penulis hebat yang perokok berat. Ketiga, orang merokok menunjukkan bahwa dirinya sehat. Buktinya, bila perokok yang sakit ditanya kenapa kok tidak merokok, dia akan menjawab, “Lagi sakit.” Keempat, rokok memiliki nilai sosial tinggi. “Perokok suka berbagi bila temannya tidak memiliki atau kehabisan rokok,” kata salah satu orang Fakultas Hukum sambil mengambil rokok teman saya yang tergeletak di atas meja. Kelima, merokok akan memperlancar dan memperpanjang percakapan. Dalam ilmu bahasa istilahnya fatis (phatic).
Kemudian saya ikut menambahi karena mereka sudah kehabisan alasan. Keenam, perokok awet muda, karena mereka tidak sempat tua. Smokers never grow old, because they die young. Begitu tulisan yang pernah saya baca pada sebuah kaos yang dipakai seseorang. Anda tentu bisa melengkapi dengan kemandulan, impotensi, keguguran dan lain-lain, bahkan lebih banyak lagi dari sekedar keuntungan merokok.
Sepuluh alasan yang saya minta memang bukan Ten Commandments, dan akhirnya mereka juga tidak dapat memberikan. Bila mereka bisa menyebutkan sepuluh alasan yang masuk akal dan tidak dicari-cari, sudah pasti anjuran merokok akan saya turuti. Dan saya anggap, alasan yang mereka sampaikan memang memiliki kebenaran yang dapat dipercaya.
Begitulah yang biasa terjadi bila orang tidak dapat melepas kebiasaan buruknya. Selalu ada legitimasi untuk menghalalkan perbuatan yang jelas-jelas banyak mudharat daripada baiknya seperti kebiasaan merokok. Hanya gara-gara susah menghentikan, akhirnya dicari alasan untuk menenangkan hati yang sebenarnya gundah. Seandainya salah satu dari Ten Commandments itu adalah perintah merokok, alangkah bangga dan besar kepala seluruh perokok di dunia ini. Mereka bisa mengatakan yang mereka kerjakan bukan hanya sekedar dilindungi peraturan rece-rece seperti undang-undang buatan manusia, tapi merupakan perintah yang datang langsung dari Tuhan. Untungnya hal itu hanya mimpi di siang bolong.
Bagi anda yang perokok, jika anda ingin tahu apa isi sepuluh perintah Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, jangan tanya saya. Tonton saja film The Ten Commandments. Namun saya ingatkan, jangan harap salah satunya adalah perintah untuk merokok. Setelah nonton film itu, jangan lupa cerita kepada saya. Sebutkan kesepuluh perintah yang diberikan itu dengan sejelas-jelasnya.
Khusus untuk teman tercinta yang saya kisahkan di sini, terima kasih atas petuah, ajaran dan bimbingan menulis yang telah diberikan. Juga perlu saya sampaikan terima kasih atas permainan catur yang tidak pernah sekalipun saya menangkan. Tunggu saja. Saya akan datang lagi dan memenangkan permainan itu.
Saya juga mendapat perintah. Bukan sepuluh, dan juga bukan dari Tuhan. Hanya satu dan itupun dari teman baik yang sekaligus guru menulis saya. Harap dicatat dulu, saya tidak bermaksud menyamakan dia dengan Tuhan. Perintahnya sederhana. Atau mungkin lebih cocok bila saya sebut sebagai provokasi. Dia mendorong-dorong saya untuk, ehm, merokok. Anjuran yang menyesatkan itu tentu saja dia sampaikan dengan tidak serius, dan sayapun menganggapnya begitu. Kenapa itu bisa terjadi?
Karena saya tidak ada acara kemana-mana, kemarin (Minggu) saya bertandang ke Bojong Gede. Saya main ke rumah seorang penulis yang reputasinya tidak main-main lagi. Sehari sebelumnya dia berjanji akan memberi bukunya yang baru diterbitkan asal saya mau datang ke rumahnya. Jika cuma disuruh datang agar memperoleh buku baru, ya dengan senang hatilah saya memenuhi syarat itu. Bukan hanya karena ingin mendapatkan buku baru saja yang menyebabkan saya mau datang. Kebetulan saya punya naskah buku yang butuh masukan dari dia. Selain itu, saya memang sudah lumayan lama tidak bersilaturahim ke tempat dia. Demi buku sekaligus persahabatan dan persaudaraan, saya berusaha keras untuk datang.
Lama tidak ngobrol dengan dia, kangen juga saya. Bila ketemu, seperti kemarin dan seperti biasa, obrolan yang dilakukan tidak jauh dari dunia tulis-menulis. Kami berdua memang cocok bagaikan mur dan baut. Kami kebetulan sama-sama memiliki keahlian. Dia mahir merangkai kata, saya ahli bertanya bagaimana meronce kata menjadi kalimat yang enak dibaca. Banyak petuah yang dia ucapkan untuk saya. Dengan khidmat saya mendengarkan. Selanjutnya saya berusaha menyerapnya. Sebagai seorang murid yang baik, memang seharusnya seperti itu bila gurunya berbicara.
Disamping mengajari menulis, dia juga menjadi guru untuk kegiatan lain yang juga sama-sama saya dan dia sukai. Kami berdua sama-sama penggemar permainan catur. Yang membuat saya terkesan, kok ya dalam setiap permainan dia tidak pernah terkalahkan. Setiap ketemu dengan dia, saya berharap untuk bisa bermain catur dengannya, tentu saja berharap juga untuk menang. Kemarin saya beruntung bisa bertanding melawan dia meskipun dari empat kali bermain, tidak satu pun yang saya menangkan. Saya akui, dia memang ulet dan tidak tergesa-gesa dalam melangkah. Dalam pertandingan-pertandingan yang dimainkan, termasuk kemarin, sebenarnya beberapa di antaranya saya sering berada di atas angin. Namun rupanya saya tidak seulet dan sehati-hati dia.
Pertandingan catur persahabatan saya lakukan karena hujan terlanjur turun. Akibat hujan, saya jadi tidak bisa pulang. Sebelum itu, saya dengan dia asik ngobrol di teras. Kebetulan ada empat orang dari Fakultas Hukum Unpak Bogor yang juga hadir. Mereka datang untuk urusan penerbitan buku. Mereka kemudian ikut bergabung dalam obrolan. Suasana jadi semakin ramai. Saat ngobrol itulah dia memprovokasi. Ya itu tadi, agar lancar menulis saya disarankan merokok. Dia memang perokok berat, begitu juga empat laki-laki yang dari Fakultas Hukum.
Saya hanya tersenyum mendengar anjuran itu. Kemudian saya meminta dia menyebutkan sepuluh alasan merokok untuk meyakinkan saya. Sepuluh keuntungan dari merokok. Dia dan orang-orang Fakultas Hukum dengan antusias mengumpulkan alasan itu. Pertama, merokok meningkatkan konsentrasi. Kedua, banyak penulis hebat yang perokok berat. Ketiga, orang merokok menunjukkan bahwa dirinya sehat. Buktinya, bila perokok yang sakit ditanya kenapa kok tidak merokok, dia akan menjawab, “Lagi sakit.” Keempat, rokok memiliki nilai sosial tinggi. “Perokok suka berbagi bila temannya tidak memiliki atau kehabisan rokok,” kata salah satu orang Fakultas Hukum sambil mengambil rokok teman saya yang tergeletak di atas meja. Kelima, merokok akan memperlancar dan memperpanjang percakapan. Dalam ilmu bahasa istilahnya fatis (phatic).
Kemudian saya ikut menambahi karena mereka sudah kehabisan alasan. Keenam, perokok awet muda, karena mereka tidak sempat tua. Smokers never grow old, because they die young. Begitu tulisan yang pernah saya baca pada sebuah kaos yang dipakai seseorang. Anda tentu bisa melengkapi dengan kemandulan, impotensi, keguguran dan lain-lain, bahkan lebih banyak lagi dari sekedar keuntungan merokok.
Sepuluh alasan yang saya minta memang bukan Ten Commandments, dan akhirnya mereka juga tidak dapat memberikan. Bila mereka bisa menyebutkan sepuluh alasan yang masuk akal dan tidak dicari-cari, sudah pasti anjuran merokok akan saya turuti. Dan saya anggap, alasan yang mereka sampaikan memang memiliki kebenaran yang dapat dipercaya.
Begitulah yang biasa terjadi bila orang tidak dapat melepas kebiasaan buruknya. Selalu ada legitimasi untuk menghalalkan perbuatan yang jelas-jelas banyak mudharat daripada baiknya seperti kebiasaan merokok. Hanya gara-gara susah menghentikan, akhirnya dicari alasan untuk menenangkan hati yang sebenarnya gundah. Seandainya salah satu dari Ten Commandments itu adalah perintah merokok, alangkah bangga dan besar kepala seluruh perokok di dunia ini. Mereka bisa mengatakan yang mereka kerjakan bukan hanya sekedar dilindungi peraturan rece-rece seperti undang-undang buatan manusia, tapi merupakan perintah yang datang langsung dari Tuhan. Untungnya hal itu hanya mimpi di siang bolong.
Bagi anda yang perokok, jika anda ingin tahu apa isi sepuluh perintah Tuhan yang diturunkan kepada Nabi Musa, jangan tanya saya. Tonton saja film The Ten Commandments. Namun saya ingatkan, jangan harap salah satunya adalah perintah untuk merokok. Setelah nonton film itu, jangan lupa cerita kepada saya. Sebutkan kesepuluh perintah yang diberikan itu dengan sejelas-jelasnya.
Khusus untuk teman tercinta yang saya kisahkan di sini, terima kasih atas petuah, ajaran dan bimbingan menulis yang telah diberikan. Juga perlu saya sampaikan terima kasih atas permainan catur yang tidak pernah sekalipun saya menangkan. Tunggu saja. Saya akan datang lagi dan memenangkan permainan itu.
Saturday, November 01, 2008
Penggemar Changcut
Maaf bila judulnya agak seronok. Memang begitulah adanya judul itu dibuat. Bagi anda yang memakai atau tidak memakai celana dalam, nggak usah diambil pusing. CD anda nggak ada urusannya dengan changcut yang saya tulis di sini. Penasaran? Glek aja langsung. Eh, maksudnya, terus aja langsung… membacanya.
Sudah menjadi hal umum dan tidak bisa disalahkan bila orang meniru-niru idolanya. Apa yang ada pada diri sang idola, ada kalanya akan ditiru mentah-mentah. Gaya rambut, pakaian, parfum yang digunakan, asesoris yang nempel di badan, bahkan cara berjalanpun tidak ketinggalan untuk ditiru. Tidak peduli apakah penduplikasiannya itu sesuai atau tidak, wagu, lucu, atau nggak mutu. Bukan masalah. Yang penting diri ini mirip-mirip idola, meskipun hanya sebatas “rasanya”, bukan “kelihatannya”.
Saya ketemu dengan manusia-manusia peniru seperti yang saya sebutkan barusan. Mereka benar-benar menakjubkan, tidak yang laki-laki tidak yang perempuan. Semua bertingkah dan bergaya sama. Apa yang dikenakan di badan dipatut-patutkan agar mendekati sang idola. Dari segi usia bisa dikatakan mereka memang sedang berada dalam masa-masa mencari sosok manusia yang bisa diidolakan. Mereka masih duduk di bangku smp, sma, dan kuliah. Ada juga beberapa anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka semua berkumpul untuk ketemu dengan kelompok musik idolanya. Mereka adalah para penggemar The Changcuters.
Kemarin kelompok musik yang asalnya dari Bandung itu memang lagi pentas di Universitas Pakuan (Unpak), Bogor. Selain The Changcuters, sebenarnya ada grup lain yang juga tampil, yaitu Andra and the Backbone. Tetapi nampaknya, yang paling ditunggu-tunggu adalah The Changcuters. Hal itu tidak mengherankan karena lagu-lagunya memang enerjik serta dapat menciptakan suasana menjadi begitu bergairah. Saya sempat merasakannya saat menyaksikan konser mereka meskipun dari tempat yang tidak terlalu dekat dengan panggung.
Begitu besar daya sihir kelompok musik yang penampilannya meniru personil The Beatles tetapi musik dan aksi panggungnya lebih mirip The Rolling Stones itu. Penggemarnya datang dari mana-mana. Bahkan ada rombongan yang menyewa bis untuk mendatangi acara tersebut. Melihat busnya, kelihatannya mereka dari Jakarta. Jalan-jalan di sekitar Unpak macet total. Saya yang biasanya bisa memasukkan motor saya ke dalam garasi Fakultas Sastra, saat itu harus mau mengalah memarkir motor di samping kantor kelurahan yang berjarak sekitar 200-an meter. Ada mobil yang menghalang di tengah jalan. Rupanya mobil dari crew-nya The Changcuters. Sementara itu, di pinggir kiri-kanan jalan itu penuh dengan sepeda motor yang diparkir. Malahan ketika saya sampai di ujung jalan dan akan lewat ada beberapa orang yang mencoba memperingatkan dan menghalangi saya untuk tidak masuk, katanya sudah penuh dan tidak bisa lewat. Setelah saya katakan saya mau ke kantor, baru mereka menyingkir meskipun dengan menunjukkan wajah yang kurang suka. Saya nggak bohong kok mas. Saya memang mau ke kantor. Kantornya orang sih.
Saya sendiri tidak tersihir dengan The Changcuters. Kedua anak sayalah yang tersihir. Karena mereka berdualah saya harus merelakan diri dan merepotkan diri berjuang menembus kerumunan manusia, motor, dan mobil untuk bisa sampai di dekat panggung. Secara gue bapak yang bertanggung jawab dan sayang pada anaknya gitu loh. Begitu jam 4, anak pertama saya yang kelas 2 smp sudah nongkrong di kantor saya. Paginya saya memang sudah janji sama dia supaya datang ke kantor. Selesai sholat asar terus berangkat menjemput adiknya yang sekolah siang pulang sore. Anak kedua saya ini baru kelas 3 sd. Dari sekolah dia, langsung menuju ke Unpak.
Dari kejauhan suara musik sudah terdengar, musik The Changcuters yang menghentak-hentak. Ternyata Andra and the Backbone sudah tampil duluan. Kami ketinggalan. Tetapi nggak begitu masalah, karena memang bukan grup itu yang lebih ingin ditonton. Kami berjalan terus mendekati panggung. Sedekat mungkin namun masih dalam jarak aman dari penonton lain yang lagi kesurupan. Mereka berputar-putar, meloncat-loncat, dan saling dorong. Seperti itukah anda kalau sedang menonton konser grup musik kesayangan anda?
Lagu-lagu The Changcuters memang enak. Saya sendiri juga suka meskipun tidak sampai terhipnotis. Lagu dia mengingatkan saya akan lagu-lagu kegemaran saya, The Rolling Stones. Jika anda mendengar lagu mereka yang berjudul I Love You Bibeh misalnya, lagu itu iramanya mirip Honky Tonk Woman-nya The Rolling Stones. Begitu juga gaya penyanyinya. Coba anda perhatikan, aksi panggungnya persis Mick Jagger vokalis dari The Rolling Stones. Meskipun meniru, masih okelah. Saya tidak menyalahkan The Changcuters. Toh para penggemarnya juga kemungkinan besar tidak peduli dengan hal itu. Apalagi mereka ada pada masa yang berbeda dengan jamannya musik-musik The Rolling Stones dan Mick Jagger-nya. Mana mereka kenal?
Saya nonton pentasnya The Changcuters selain karena memang suka dengan lagunya juga penasaran ingin melihat aksi panggungnya secara langsung. Namun yang lebih dari itu sebenarnya adalah karena saya khawatir terjadi apa-apa dengan junior-junior saya bila mereka menonton tanpa didampingi. Anda tahu sendirilah, berapa banyak konser sebuah grup band di negara kita ini yang memakan korban? Ironisnya, justru mereka yang menjadi korban adalah anak-anak yang mengidolakannya. Jadi seperti laron-laron yang datang mendatangi api untuk menghantarkan nyawanya. Saya tidak mau junior-junior saya menjadi laron.
Pertunjukan itu akhirnya selesai. Untungnya Unpak menerapkan kebijakan acara pentas-pentasan seperti itu tidak boleh lebih dari jam 6. Dengan demikian, lebih mudah untuk mengontrol. Semua berjalan dengan lancar. Tidak ada nyawa yang menjadi korban sia-sia. Apakah ada penonton yang luka-luka, saya tidak tahu. Tadi ketika berjoget mereka memang berjingkrak-jingkrak saling dorong dan menghantamkan badan. Mengerikan. Mudah-mudahan saja kalaupun ada yang cidera, hanya lecet-lecet saja. Para penonton pada bubar, sebagian yang lain masih duduk-duduk di sekitar panggung. Mereka berfoto-fotoan. Barangkali karena melihat saya memakai jaket hitam, membawa dua tas, satu tas kanvas kerja yang saya selempangkan ke depan satunya lagi backpack di punggung yang sebenarnya tas sekolah anak saya, dan kamera digital di tangan, mereka mengira saya wartawan. Ketika mereka saya suruh baris untuk difoto, dengan semangat mereka melakukannya. Alamak, sore itu para penggemar Changcut telah menjadi korban wartawan gadungan.
Sudah menjadi hal umum dan tidak bisa disalahkan bila orang meniru-niru idolanya. Apa yang ada pada diri sang idola, ada kalanya akan ditiru mentah-mentah. Gaya rambut, pakaian, parfum yang digunakan, asesoris yang nempel di badan, bahkan cara berjalanpun tidak ketinggalan untuk ditiru. Tidak peduli apakah penduplikasiannya itu sesuai atau tidak, wagu, lucu, atau nggak mutu. Bukan masalah. Yang penting diri ini mirip-mirip idola, meskipun hanya sebatas “rasanya”, bukan “kelihatannya”.
Saya ketemu dengan manusia-manusia peniru seperti yang saya sebutkan barusan. Mereka benar-benar menakjubkan, tidak yang laki-laki tidak yang perempuan. Semua bertingkah dan bergaya sama. Apa yang dikenakan di badan dipatut-patutkan agar mendekati sang idola. Dari segi usia bisa dikatakan mereka memang sedang berada dalam masa-masa mencari sosok manusia yang bisa diidolakan. Mereka masih duduk di bangku smp, sma, dan kuliah. Ada juga beberapa anak-anak yang masih duduk di bangku sekolah dasar. Mereka semua berkumpul untuk ketemu dengan kelompok musik idolanya. Mereka adalah para penggemar The Changcuters.
Kemarin kelompok musik yang asalnya dari Bandung itu memang lagi pentas di Universitas Pakuan (Unpak), Bogor. Selain The Changcuters, sebenarnya ada grup lain yang juga tampil, yaitu Andra and the Backbone. Tetapi nampaknya, yang paling ditunggu-tunggu adalah The Changcuters. Hal itu tidak mengherankan karena lagu-lagunya memang enerjik serta dapat menciptakan suasana menjadi begitu bergairah. Saya sempat merasakannya saat menyaksikan konser mereka meskipun dari tempat yang tidak terlalu dekat dengan panggung.
Begitu besar daya sihir kelompok musik yang penampilannya meniru personil The Beatles tetapi musik dan aksi panggungnya lebih mirip The Rolling Stones itu. Penggemarnya datang dari mana-mana. Bahkan ada rombongan yang menyewa bis untuk mendatangi acara tersebut. Melihat busnya, kelihatannya mereka dari Jakarta. Jalan-jalan di sekitar Unpak macet total. Saya yang biasanya bisa memasukkan motor saya ke dalam garasi Fakultas Sastra, saat itu harus mau mengalah memarkir motor di samping kantor kelurahan yang berjarak sekitar 200-an meter. Ada mobil yang menghalang di tengah jalan. Rupanya mobil dari crew-nya The Changcuters. Sementara itu, di pinggir kiri-kanan jalan itu penuh dengan sepeda motor yang diparkir. Malahan ketika saya sampai di ujung jalan dan akan lewat ada beberapa orang yang mencoba memperingatkan dan menghalangi saya untuk tidak masuk, katanya sudah penuh dan tidak bisa lewat. Setelah saya katakan saya mau ke kantor, baru mereka menyingkir meskipun dengan menunjukkan wajah yang kurang suka. Saya nggak bohong kok mas. Saya memang mau ke kantor. Kantornya orang sih.
Saya sendiri tidak tersihir dengan The Changcuters. Kedua anak sayalah yang tersihir. Karena mereka berdualah saya harus merelakan diri dan merepotkan diri berjuang menembus kerumunan manusia, motor, dan mobil untuk bisa sampai di dekat panggung. Secara gue bapak yang bertanggung jawab dan sayang pada anaknya gitu loh. Begitu jam 4, anak pertama saya yang kelas 2 smp sudah nongkrong di kantor saya. Paginya saya memang sudah janji sama dia supaya datang ke kantor. Selesai sholat asar terus berangkat menjemput adiknya yang sekolah siang pulang sore. Anak kedua saya ini baru kelas 3 sd. Dari sekolah dia, langsung menuju ke Unpak.
Dari kejauhan suara musik sudah terdengar, musik The Changcuters yang menghentak-hentak. Ternyata Andra and the Backbone sudah tampil duluan. Kami ketinggalan. Tetapi nggak begitu masalah, karena memang bukan grup itu yang lebih ingin ditonton. Kami berjalan terus mendekati panggung. Sedekat mungkin namun masih dalam jarak aman dari penonton lain yang lagi kesurupan. Mereka berputar-putar, meloncat-loncat, dan saling dorong. Seperti itukah anda kalau sedang menonton konser grup musik kesayangan anda?
Lagu-lagu The Changcuters memang enak. Saya sendiri juga suka meskipun tidak sampai terhipnotis. Lagu dia mengingatkan saya akan lagu-lagu kegemaran saya, The Rolling Stones. Jika anda mendengar lagu mereka yang berjudul I Love You Bibeh misalnya, lagu itu iramanya mirip Honky Tonk Woman-nya The Rolling Stones. Begitu juga gaya penyanyinya. Coba anda perhatikan, aksi panggungnya persis Mick Jagger vokalis dari The Rolling Stones. Meskipun meniru, masih okelah. Saya tidak menyalahkan The Changcuters. Toh para penggemarnya juga kemungkinan besar tidak peduli dengan hal itu. Apalagi mereka ada pada masa yang berbeda dengan jamannya musik-musik The Rolling Stones dan Mick Jagger-nya. Mana mereka kenal?
Saya nonton pentasnya The Changcuters selain karena memang suka dengan lagunya juga penasaran ingin melihat aksi panggungnya secara langsung. Namun yang lebih dari itu sebenarnya adalah karena saya khawatir terjadi apa-apa dengan junior-junior saya bila mereka menonton tanpa didampingi. Anda tahu sendirilah, berapa banyak konser sebuah grup band di negara kita ini yang memakan korban? Ironisnya, justru mereka yang menjadi korban adalah anak-anak yang mengidolakannya. Jadi seperti laron-laron yang datang mendatangi api untuk menghantarkan nyawanya. Saya tidak mau junior-junior saya menjadi laron.
Pertunjukan itu akhirnya selesai. Untungnya Unpak menerapkan kebijakan acara pentas-pentasan seperti itu tidak boleh lebih dari jam 6. Dengan demikian, lebih mudah untuk mengontrol. Semua berjalan dengan lancar. Tidak ada nyawa yang menjadi korban sia-sia. Apakah ada penonton yang luka-luka, saya tidak tahu. Tadi ketika berjoget mereka memang berjingkrak-jingkrak saling dorong dan menghantamkan badan. Mengerikan. Mudah-mudahan saja kalaupun ada yang cidera, hanya lecet-lecet saja. Para penonton pada bubar, sebagian yang lain masih duduk-duduk di sekitar panggung. Mereka berfoto-fotoan. Barangkali karena melihat saya memakai jaket hitam, membawa dua tas, satu tas kanvas kerja yang saya selempangkan ke depan satunya lagi backpack di punggung yang sebenarnya tas sekolah anak saya, dan kamera digital di tangan, mereka mengira saya wartawan. Ketika mereka saya suruh baris untuk difoto, dengan semangat mereka melakukannya. Alamak, sore itu para penggemar Changcut telah menjadi korban wartawan gadungan.
Tuesday, October 28, 2008
Soempah, Saya Pemoeda
Ada berita bagus. Hari Minggu kemarin di Jimbaran, Bali, Indonesia dinyatakan sebagai juara umum di ajang ABG dengan perolehan medali 23 emas, 8 perak, dan 20 perunggu. Salut. ABG (Asian Beach Games) merupakan pesta olah raga pantai antarnegara Asia. Atlit yang bertanding berasal dari negara-negara yang ada di bagian Asia Selatan, Asia Barat, Asia Timur, Asia Tengah, dan tak ketinggalan pula Asia Tenggara. Mereka adalah para pemuda-pemudi, termasuk abg -anak baru gede- tentunya, yang datang dari seluruh penjuru benua Asia termasuk Indonesia. Kemenangan dalam event di Bali itu membuktikan bahwa pemuda-pemudi kita punya prestasi yang bisa mengangkat martabat bangsa di mata dunia.
Berita gembira di atas tentu menarik untuk dibicarakan. Siapa sih yang tidak sumringah membicarakan sesuatu yang menyenangkan? Peristiwa yang terjadi di Bali kemarin memang cukup membanggakan. Bukan hanya bagi anak muda, yang tua pun sudah pasti turut merasakannya. Bila sudah begitu, tidak mengherankan bila semangat nasionalisme kemudian muncul. Sumpah yang dulu pernah dikumandangkan pertama kali pada 28 Oktober 1928 oleh para pemuda, saat itu kembali menggelombang: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kita merasa satu. Alangkah indahnya.
Hari ini, Sumpah Pemuda sudah berusia 80 tahun. Bila diibaratkan manusia, Sumpah Pemuda sudah menjadi kakek-kakek. Selama kurun waktu itu, dilandasi dengan semangat Sumpah Pemuda, karya apa yang ditunjukkan generasi muda sampai saat ini bagi negerinya? Menyandang gelar juara umum di Bali memang bisa dijadikan contoh positif. Namun, cukupkah hanya dengan menunjukkan prestasi di bidang olah raga? Saya tidak bermaksud mengecilkan arti kemenangan yang diraih. Jika kemudian kemenangan itu membuat lupa akan pentingnya peran pemuda bagi bidang yang lain, betapa disayangkan. Banyak dimensi kehidupan yang bisa menjadi sarana pengaktualisasian diri pemuda selain olah raga, misalnya pendidikan, kesenian, lingkungan, dan teknologi.
Bentuk aktualisasi diri yang dilakukan pemuda saat ini sudah barang tentu berbeda dengan generasi muda sebelumnya. Dulu jaringan global internet belum dikenal atau malahan belum ada. Saat ini, generasi muda kita sudah terbiasa memanfaatkan teknologi informasi itu. Layanan berbasis komunitas seperti blog, facebook, atau friendster sudah sangat dikenal oleh mereka. Dengan munculnya berbagai jenis layanan tersebut yang, ini yang menarik dan menyenangkan, semuanya gratis, banyak generasi muda memanfaatkannya sebagai ajang unjuk gigi. Apa yang mereka lakukan merupakan hal yang positif. Lebih-lebih bila layanan gratis itu digunakan bukan hanya untuk urusan senang-senang semata tetapi juga sebagai media pembelajaran baik bagi diri sendiri maupun pembacanya.
Langkah menuju ke arah tersebut sebenarnya sudah dirintis generasi muda kita. Bagi warga Bogor khususnya, komunitas pengguna blog (blogger) yang tergabung dalam situs http://blogor.org sudah mulai mengarah ke sana. Blogor sebagai wadah para blogger yang berdomisili di Kota dan Kabupaten Bogor mencoba menjadikan blog sebagai sarana untuk menyatukan mereka. Dengan bergabung dalam perkumpulan ini, para anggotanya bukan hanya sekedar menuangkan ide dan kreatifitas dalam blog masing-masing tetapi mereka juga saling bertukar ilmu dan informasi. Pertukaran itu mereka lakukan selain melalui mailing list yang mereka miliki juga melalui pertemuan tatap muka atau biasa disebut kopdar yang diagendakan secara periodik. Salah satu contoh realisasi dari tekad itu adalah dengan didatangkannya seorang pakar IT dari IPB untuk berbagi ilmu dalam kopdar yang diadakan pada 12 Oktober 2008 lalu.
Melihat kegiatan yang dilaksanakan para anggota Blogor yang baru dibentuk 24 Agustus 2008 itu, bukannya tidak mungkin layanan internet berbasis komunitas yang awalnya hanya sebagai buku harian online selanjutnya bertambah fungsinya menjadi media pendidikan. Setiap blog yang ada bukan hanya diisi dengan hal remeh-temeh tetapi juga informasi yang meningkatkan kecerdasan. Karena sasaran utamanya adalah generasi muda, tentu saja bahasa yang digunakan ringan dan mengalir sebagaimana yang mereka pakai sehari-hari. Untuk mewujudkan hal itu memang dibutuhkan komitmen yang serius. Namun, saya yakin pasti bisa. Sebagai generasi muda, anda tentunya juga tidak mau bila dikatakan hanya sebagai generasi yang bisanya hura-hura. Sudah waktunya anda menunjukkan bahwa generasi anda dapat memanfaatkan blog yang sifatnya pribadi itu menjadi sarana belajar bagi siapapun khususnya generasi muda. Melalui blog, anda juga bisa memperlihatkan bahwa anda mampu berkembang mengikuti peradaban dan memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk sebuah kreatifitas yang positif.
Hasil kreatifitas dalam memanfaatkan blog juga sangat mungkin sekali diubah menjadi pundi-pundi uang. Artinya, blog yang kita buat bukan hanya sekedar wadah untuk menuangkan uneg-uneg, keinginan dan angan-angan, serta rencana. Dari apa yang tertuang dalam blog, kita bisa terbitkan menjadi sebuah buku. Banyak contoh yang dengan mudah kita temukan. Kambing Jantan, Jakarta Underkompor, The Naked Traveler, atau yang segera terbit Perempuan Telentang karangan Adi Satriane Gambi adalah buku-buku yang berasal dari blog. Beberapa di antaranya malah menjadi best seller. Anda tentu akan senang sekali bila blog yang anda kelola ternyata juga bisa menjadi sapi perah yang akan menggemukkan kantong anda.
Melalui blog, hasil pemikiran anda juga bisa disuarakan. Anda, misalnya, dapat menanggapi gugatan yang sudah muncul perihal mengapa Indonesia yang sudah merdeka 63 tahun tidak maju-maju juga, lebih-lebih jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang semakin bergegas menggapai kemajuan. Atau mengenai kehidupan sosial, politik, dan perilaku politisinya, bisa ditanggapi dari sudut pandang anda sebagai generasi muda. Anda dapat urun rembug dalam mencari solusi mengatasi polarisasi sosial politik yang terjadi di negeri ini. Polarisasi sosial politik yang menghambat proses sinergi, solidaritas, dan kekompakan dalam menghadapi tantangan bangsa dan negara yang begitu besar dan rumit (Kompas, 27 Oktober 2008).
Dengan memiliki blog yang mendatangkan manfaat, anda dapat membuktikan bahwa anda bukan pemuda biasa. Melalui tulisan yang anda buat dalam blog, anda menunjukkan kepada dunia bahwa api semangat yang dimunculkan 80 tahun silam dalam Sumpah Pemuda sekarang masih ada dan tetap berkobar. Sambil menepuk dada anda dapat mengatakan, “Saya bukan pemuda biasa. Saya adalah pemuda yang bersemangat Sumpah Pemuda.” Bila perlu wujudkan dalam bentuk sumpah sebagaimana yang dilakukan pada 28 Oktober 1928 bahwa anda akan menjadi pemuda yang berguna bagi bangsa, negara, dan agama.
Negara ini membutuhkan generasi muda yang terampil, berwawasan global, dan tidak cengeng. Roda kemajuan semakin cepat berputar. Perkembangan peradaban sudah tidak mungkin dibendung dengan batas teritorial sebuah negara. Semua itu menuntut peran aktif seluruh warga, terutama generasi muda.
Jika anda mengaku generasi muda, tunjukkan anda siap maju menghadapi tantangan. Kalau anda pemuda, buktikan bahwa anda benar-benar pemuda sejati. Bahkan bila perlu, ucapkan sumpah. Sumpah yang menunjukkan anda adalah sejati-jatinya pemuda. Bukan pemuda sayur yang sebenarnya perempuan tua ganjen yang suka memamerkan keganjenan dan kemesuman serta membanggakan dirinya “tumakninah”. Orang Bogor bilang, tumpak nini-nini oge ngeunah. Maaf, saya tidak bermaksud ganjen dan mesum.
(Tulisan ini dibuat untuk lomba menulis yang diadakan Komunitas Blogger Bogor. Mudah-mudahan saja belum terlambat... dan menang). ;-) dan ternyata MENANG! HORREEEE.....
Berita gembira di atas tentu menarik untuk dibicarakan. Siapa sih yang tidak sumringah membicarakan sesuatu yang menyenangkan? Peristiwa yang terjadi di Bali kemarin memang cukup membanggakan. Bukan hanya bagi anak muda, yang tua pun sudah pasti turut merasakannya. Bila sudah begitu, tidak mengherankan bila semangat nasionalisme kemudian muncul. Sumpah yang dulu pernah dikumandangkan pertama kali pada 28 Oktober 1928 oleh para pemuda, saat itu kembali menggelombang: satu nusa, satu bangsa, dan satu bahasa. Kita merasa satu. Alangkah indahnya.
Hari ini, Sumpah Pemuda sudah berusia 80 tahun. Bila diibaratkan manusia, Sumpah Pemuda sudah menjadi kakek-kakek. Selama kurun waktu itu, dilandasi dengan semangat Sumpah Pemuda, karya apa yang ditunjukkan generasi muda sampai saat ini bagi negerinya? Menyandang gelar juara umum di Bali memang bisa dijadikan contoh positif. Namun, cukupkah hanya dengan menunjukkan prestasi di bidang olah raga? Saya tidak bermaksud mengecilkan arti kemenangan yang diraih. Jika kemudian kemenangan itu membuat lupa akan pentingnya peran pemuda bagi bidang yang lain, betapa disayangkan. Banyak dimensi kehidupan yang bisa menjadi sarana pengaktualisasian diri pemuda selain olah raga, misalnya pendidikan, kesenian, lingkungan, dan teknologi.
Bentuk aktualisasi diri yang dilakukan pemuda saat ini sudah barang tentu berbeda dengan generasi muda sebelumnya. Dulu jaringan global internet belum dikenal atau malahan belum ada. Saat ini, generasi muda kita sudah terbiasa memanfaatkan teknologi informasi itu. Layanan berbasis komunitas seperti blog, facebook, atau friendster sudah sangat dikenal oleh mereka. Dengan munculnya berbagai jenis layanan tersebut yang, ini yang menarik dan menyenangkan, semuanya gratis, banyak generasi muda memanfaatkannya sebagai ajang unjuk gigi. Apa yang mereka lakukan merupakan hal yang positif. Lebih-lebih bila layanan gratis itu digunakan bukan hanya untuk urusan senang-senang semata tetapi juga sebagai media pembelajaran baik bagi diri sendiri maupun pembacanya.
Langkah menuju ke arah tersebut sebenarnya sudah dirintis generasi muda kita. Bagi warga Bogor khususnya, komunitas pengguna blog (blogger) yang tergabung dalam situs http://blogor.org sudah mulai mengarah ke sana. Blogor sebagai wadah para blogger yang berdomisili di Kota dan Kabupaten Bogor mencoba menjadikan blog sebagai sarana untuk menyatukan mereka. Dengan bergabung dalam perkumpulan ini, para anggotanya bukan hanya sekedar menuangkan ide dan kreatifitas dalam blog masing-masing tetapi mereka juga saling bertukar ilmu dan informasi. Pertukaran itu mereka lakukan selain melalui mailing list yang mereka miliki juga melalui pertemuan tatap muka atau biasa disebut kopdar yang diagendakan secara periodik. Salah satu contoh realisasi dari tekad itu adalah dengan didatangkannya seorang pakar IT dari IPB untuk berbagi ilmu dalam kopdar yang diadakan pada 12 Oktober 2008 lalu.
Melihat kegiatan yang dilaksanakan para anggota Blogor yang baru dibentuk 24 Agustus 2008 itu, bukannya tidak mungkin layanan internet berbasis komunitas yang awalnya hanya sebagai buku harian online selanjutnya bertambah fungsinya menjadi media pendidikan. Setiap blog yang ada bukan hanya diisi dengan hal remeh-temeh tetapi juga informasi yang meningkatkan kecerdasan. Karena sasaran utamanya adalah generasi muda, tentu saja bahasa yang digunakan ringan dan mengalir sebagaimana yang mereka pakai sehari-hari. Untuk mewujudkan hal itu memang dibutuhkan komitmen yang serius. Namun, saya yakin pasti bisa. Sebagai generasi muda, anda tentunya juga tidak mau bila dikatakan hanya sebagai generasi yang bisanya hura-hura. Sudah waktunya anda menunjukkan bahwa generasi anda dapat memanfaatkan blog yang sifatnya pribadi itu menjadi sarana belajar bagi siapapun khususnya generasi muda. Melalui blog, anda juga bisa memperlihatkan bahwa anda mampu berkembang mengikuti peradaban dan memanfaatkan teknologi yang tersedia untuk sebuah kreatifitas yang positif.
Hasil kreatifitas dalam memanfaatkan blog juga sangat mungkin sekali diubah menjadi pundi-pundi uang. Artinya, blog yang kita buat bukan hanya sekedar wadah untuk menuangkan uneg-uneg, keinginan dan angan-angan, serta rencana. Dari apa yang tertuang dalam blog, kita bisa terbitkan menjadi sebuah buku. Banyak contoh yang dengan mudah kita temukan. Kambing Jantan, Jakarta Underkompor, The Naked Traveler, atau yang segera terbit Perempuan Telentang karangan Adi Satriane Gambi adalah buku-buku yang berasal dari blog. Beberapa di antaranya malah menjadi best seller. Anda tentu akan senang sekali bila blog yang anda kelola ternyata juga bisa menjadi sapi perah yang akan menggemukkan kantong anda.
Melalui blog, hasil pemikiran anda juga bisa disuarakan. Anda, misalnya, dapat menanggapi gugatan yang sudah muncul perihal mengapa Indonesia yang sudah merdeka 63 tahun tidak maju-maju juga, lebih-lebih jika dibandingkan dengan negara-negara tetangga yang semakin bergegas menggapai kemajuan. Atau mengenai kehidupan sosial, politik, dan perilaku politisinya, bisa ditanggapi dari sudut pandang anda sebagai generasi muda. Anda dapat urun rembug dalam mencari solusi mengatasi polarisasi sosial politik yang terjadi di negeri ini. Polarisasi sosial politik yang menghambat proses sinergi, solidaritas, dan kekompakan dalam menghadapi tantangan bangsa dan negara yang begitu besar dan rumit (Kompas, 27 Oktober 2008).
Dengan memiliki blog yang mendatangkan manfaat, anda dapat membuktikan bahwa anda bukan pemuda biasa. Melalui tulisan yang anda buat dalam blog, anda menunjukkan kepada dunia bahwa api semangat yang dimunculkan 80 tahun silam dalam Sumpah Pemuda sekarang masih ada dan tetap berkobar. Sambil menepuk dada anda dapat mengatakan, “Saya bukan pemuda biasa. Saya adalah pemuda yang bersemangat Sumpah Pemuda.” Bila perlu wujudkan dalam bentuk sumpah sebagaimana yang dilakukan pada 28 Oktober 1928 bahwa anda akan menjadi pemuda yang berguna bagi bangsa, negara, dan agama.
Negara ini membutuhkan generasi muda yang terampil, berwawasan global, dan tidak cengeng. Roda kemajuan semakin cepat berputar. Perkembangan peradaban sudah tidak mungkin dibendung dengan batas teritorial sebuah negara. Semua itu menuntut peran aktif seluruh warga, terutama generasi muda.
Jika anda mengaku generasi muda, tunjukkan anda siap maju menghadapi tantangan. Kalau anda pemuda, buktikan bahwa anda benar-benar pemuda sejati. Bahkan bila perlu, ucapkan sumpah. Sumpah yang menunjukkan anda adalah sejati-jatinya pemuda. Bukan pemuda sayur yang sebenarnya perempuan tua ganjen yang suka memamerkan keganjenan dan kemesuman serta membanggakan dirinya “tumakninah”. Orang Bogor bilang, tumpak nini-nini oge ngeunah. Maaf, saya tidak bermaksud ganjen dan mesum.
(Tulisan ini dibuat untuk lomba menulis yang diadakan Komunitas Blogger Bogor. Mudah-mudahan saja belum terlambat... dan menang). ;-) dan ternyata MENANG! HORREEEE.....
Monday, October 27, 2008
Kawah Ratu
Ini hari Senin, tapi cerita ini tentang yang saya lakukan kemarin. Sebuah uji stamina dalam pendakian ke Kawah Ratu. Tidak ada satupun ratu yang saya temukan di sana, hanya seekor elang jawa yang melayang-layang di kejauhan.
Hiking ini awalnya banyak peminat. Pada saat direncanakan, mungkin ada sekitar 15 orang yang berkeinginan ikut serta. Namun pas hari pelaksanaan, hanya empat orang termasuk saya yang akhirnya benar-benar berangkat. Sisanya? I don’t know why. Mungkin sakit, barangkali ada keperluan lain, atau, dan ini informasi yang sampai kepada saya, karena dana yang dibutuhkan untuk pendakian ini tidak berhasil mereka kumpulkan. Memang sebelumnya saya sampaikan perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk transpor, biaya masuk lokasi, dan keperluan lain berkisar Rp60.000. Jumlah segitu termasuk sudah longgar. Dan ternyata benar, total uang yang saya habiskan untuk pendakian itu hanya Rp44.000 tanpa makan siang karena sudah membawa sendiri dari rumah.
26 Oktober 2008 yang merupakan hari Minggu itu dipilih untuk melaksanakan hiking. Tempat yang digunakan sebagai meeting point ada dua. Mereka yang tinggal di Sukaraja dan sekitarnya berkumpul di depan pintu gerbang kampus BEC paling telat jam 6. Peserta yang rumahnya di Kota Bogor supaya menunggu di teras supermarket Matahari depan Taman Topi selambat-lambatnya jam 6.30. Sayangnya waktu yang sudah disepakati jadi molor. Saya penyebabnya. Karena keenakan tidur, jam 5.30 saya baru turun dari tempat tidur. Itupun karena dibangunin.
Setelah selesai mandi meskipun mata ini masih ‘sepet’ dan membereskan peralatan yang dibutuhkan, buru-buru saya berangkat. Jam di lengan kiri saya menunjukkan pukul 6.15. Sarapan yang sudah disiapkan istri tersayang saya minta dimasukkan ke tupperware saja. Rencananya mau dimakan di angkot atau ketika sampai di kaki Gunung Salak nanti. Di tengah perjalanan saya bertemu salah satu peserta, Sidik (mahasiswa BEC angkatan 10), yang bermaksud akan menjemput saya. Kami kemudian jalan bareng ke BEC. Jarak dari rumah saya ke BEC tidak jauh, hanya memerlukan waktu lima menit jalan kaki.
Di depan BEC, Angga (10), Asep (11), dan Riki (11) sudah menunggu. Mereka yang ingin ikut itu sedang memesan bubur ayam untuk sarapan ke tukang bubur yang gerobaknya parkir di depan pintu gerbang BEC. Saya juga membuka bekal sarapan. Sambil ngobrol, kami menikmati makan pagi. Selesai mengisi perut, kami berlima kemudian naik angkot menuju meeting point ke dua.
Pagi itu perjalanan menyenangkan. Udara pagi yang masih segar mengiringi keberangkatan. Sayang sekali kenikmatan perjalanan saya dirusak oleh kelakuan seorang laki-laki biadab yang menampar istrinya yang sedang menggendong anak. Sudah pasti masalah keluarga, namun mbok jangan menunjukkan kebiadaban di muka umum seperti itu. Bukan di tempat umumpun dia, atau siapapun, seharusnya tidak berlaku kasar seperti itu, lebih-lebih terhadap pasangan hidup. Laki-laki itu seangkot dengan saya dan duduk di sebelah sopir. Yang mengherankan saya, ketika turun, meskipun tidak bayar karena nampaknya kenal baik dengan si sopir, dia dengan ramah mengucapkan terima kasih. Tak tahunya, dia seorang monster.
Di tengah jalan, Riki turun dari angkot. Dia memutuskan batal ikut setelah tahu tempat turun pendakian nanti di Cidahu, Sukabumi dan sampai di Bogor lagi malam hari. Tadinya dia antusias ingin ikut. Tinggallah kami berempat: saya, Asep, Angga, dan Sidik menuju meeting point di seberang Taman Topi.
Kami turun di seberang Balai Kota. Ongkos angkot adalah Rp2.500 per orang. Itu uang transpor pertama yang kami keluarkan. Dari tempat itu kemudian berjalan menuju supermarket Matahari yang terasnya dijadikan meeting point kedua. Sampai di lokasi, arloji di tangan saya menunjukkan pukul 7.00. Tidak ada satupun dari mereka yang sebelumnya menyatakan ingin ikut pendakian saya temukan di tempat pertemuan itu. Saya tengok kiri-kanan barangkali mereka sedang berjalan menuju ke arah kami, namun tidak ada juga. Setelah menunggu sekitar 10 menit dan tidak ada juga yang datang, kami kemudian naik angkot menuju Terminal Laladon.
The show must go on. Meskipun kegiatan ini pada dasarnya saya adakan untuk mereka yang sebenarnya justru saya harapkan keikutsertaannya, tetapi ternyata tidak ada satupun yang muncul. Ya sudah, barangkali ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk bisa ikut. Setidaknya, pasti mereka punya alasan masing-masing. Meskipun tidak ada yang ikut kecuali Angga, Sidik, dan Asep, perjalanan tetap dilanjutkan.
Sampai di Terminal Laladon jam 7.30. Ongkos angkot yang dibayarkan adalah Rp2500. Kami pindah ke angkot jurusan Leuwiliang atau Jasinga tetapi harus jalan dulu sekitar 10 menit ke arah barat untuk mencari angkot yang tidak ngetem. Di pertigaan Cibatok, kami turun. Waktu menunjukkan pukul 8.10. Berarti perjalanan dari Terminal Laladon sampai Cibatok membutuhkan waktu 40 menit. Sedangkan ongkos untuk angkot Rp5000.
Di pertigaan Cibatok itu kami mampir dulu ke warung sembako beli kudapan untuk dimakan saat pendakian. Saya sendiri tidak beli apa-apa karena sehari sebelumnya sudah belanja segala perbekalan yang diperlukan. Sambil menunggu mereka yang belanja, saya mengira-ngira angkot mana yang akan membawa saya ke Pasir Reungit. Seperti biasa, makelar-makelar yang mangkal di pertigaan Cibatok mulai mengerubuti. Mereka seperti lalat yang kedatangan sampah yang baru turun dari truk untuk dimangsa. Makelar itu bertanya dan menawarkan jasa angkutan menuju Pasir Reungit. Tempat itu memang merupakan tujuan kami yang menjadi titik awal pendakian ke Kawah Ratu.
Setelah tawar-menawar akhirnya tercapai kesepakatan. Masing-masing dari kami akan membayar Rp10.000 untuk bisa diantar sampai Pasir Reungit. Meskipun sudah sepakat, saya tidak yakin sopir angkot mau menerima jumlah uang yang sudah dia sepakati. Dia pasti minta ongkos tambahan seperti yang saya alami sebelum-sebelumnya dengan para sopir angkot Cibatok. Dan nyatanya perkiraan saya benar, dia minta tambah ketika sampai tujuan. Kami yang berempat harusnya membayar Rp40.000 tetapi si sopir kemudian minta tambah. Saya bisa saja menolak permintaannya. Namun agar tidak panjang urusannya dan saya sendiri sebelumnya memang sudah mempersiapkan, kemudian saya tambah Rp5000.
Kami sampai di Pasir Reungit pukul 9.05. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mampir dulu ke kamar kecil yang disediakan oleh Mang Koko, pemilik warung yang ada di tempat itu. Di dekat kamar kecil disediakan kotak untuk pengunjung yang mau memasukkan uang kebersihan. Sifatnya sukarela, jadi kalau anda tidak membayarpun tidak apa-apa. Setelah semua oke, baru kami mulai mendaki.
Pasir Reungit merupakan pintu masuk menuju Kawah Ratu yang biasa saya gunakan. Sebenarnya ada alternatif pintu masuk lainnya yaitu melalui jalur Curug Seribu yang lokasinya lebih di bawah lagi. 23 April 2006, saya pernah melalui jalur itu. Gara-garanya adalah angkot yang menghantarkan saya tidak sanggup menanjak sampai ke Pasir Reungit.
Tidak lama berjalan, di depan sudah terlihat pos jaga. Pos itu berada di dekat hutan pinus. Terakhir melihat pos jaga itu masih berupa bangunan yang terbuat dari kayu. Di tempat itu para pengunjung Kawah Ratu atau pendaki Puncak Salak akan membayar tiket masuk. Sudah itu saja, sederhana dan gampang. Tidak ada urusan-urusan lain yang merepotkan. Waktu itu pengelolaannya masih ditangani Perhutani.
Sekarang pos itu sudah direnovasi. Bangunannya terbuat dari tembok dan ada pintu gerbang di dekatnya. Sejak Juli 2008, pengelolaan Kawah Ratu dan Puncak Salak dipegang oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sejak saat itu pula kerepotan bagi pengunjung mulai terjadi. Saya tahu maksudnya baik. Pasti biar terkendali, terkontrol, aman, ada pemasukan buat penduduk lokal, lestari dan lain-lain.
Masuk ke Kawah Ratu sudah tidak senyaman dulu lagi. Informasi dari pak Undang petugas yang ada di pos itu, setiap pengunjung Kawah Ratu maupun Puncak Salak selain harus membayar tiket masuk Rp2500 dan asuransi Rp2500, ada tambahan harus didampingi pemandu yang merupakan penduduk lokal yang berseragam dengan tarif sukarela (biasanya Rp50.000). Di samping itu, para pengunjung Kawah Ratu harus menyerahkan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa diri kita ini sehat. Waktu itu tentu saja saya tidak membawa surat dokter karena tidak tahu ada aturan baru seperti itu. Untungnya petugas itu memaklumi.
Informasi lain adalah pengunjung yang mau camping harus membayar tiket Rp5000 dan asuransi Rp2500 per orang per malam. Turis asing yang akan mengunjungi Kawah Ratu membayar tiket masuk Rp20.000 dan asuransi Rp5000. Bila memerlukan genset atau tenda peleton, mereka juga menyewakan. Biaya sewa untuk genset Rp300.000/malam sedangkan tenda peleton kapasitas 40 orang Rp.800.000 selama pemakaian.
Anda yang memiliki rencana mengunjungi Kawah Ratu atau pendakian ke Puncak Salak, jangan datang di bulan Agustus dan Januari. Pada bulan itu kedua wilayah ditutup dari pengunjung untuk keperluan recovery.
Akhirnya urusan dengan petugas jaga selesai, meskipun sebelumnya harus menunggu lumayan lama petugas itu menangani rombongan pendaki lain dulu. Ada kurang lebih 45 menit saya dan tim tertahan di pos itu. Jam 9.50 perjalanan baru dilanjutkan.
Jalur yang sudah lebih dari lima kali saya lewati itu masih tetap sama. Hanya sekarang ada tanda penunjuk arah yang kelihatannya belum lama dipasang. Bisa jadi dilakukan oleh pengelola yang baru. Kan sudah biasa seperti itu. Ganti orang, ada hal baru muncul, meskipun kadang tidak signifikan. Karena masih masuk musim penghujan, sungai-sungai yang berada di jalur pendakian airnya melimpah. Beberapa jalan malah terendam air sehingga yang tadinya memilih-milih jalan agar sepatu tidak basah sekarang harus masuk ke air. Tidak ada pilihan lain. Semua jalur tertutup air yang tingginya di atas mata kaki.
Pukul 11.20 Kawah Ratu ada di bawah telapak kaki saya. Seperti biasa, di lokasi itu kami foto-fotoan dan beristirahat. Sambil menikmati bekal yang dibawa, kami kagumi keindahan alam. Sebuah sungai berair jernih enak sekali untuk berendam atau mandi. Di beberapa bagian airnya malah terasa hangat. Tetapi hati-hati, jangan diminum air itu meskipun bening karena mengandung belerang. Di mana-mana terlihat asap tebal membumbung yang berasal dari dalam bumi. Bau belerang menusuk hidung. Asap itulah yang perlu diwaspadai. Di balik keindahan alam yang tersaji di depan mata, bila tidak waspada, ancaman gas beracun yang keluar berbarengan dengan asap bisa merenggut nyawa. Itulah yang selalu diperingatkan oleh petugas jaga. Dan memang peristiwa meninggalnya pengunjung Kawah Ratu karena keracunan sudah beberapa kali terjadi.
Saya tidak berlama-lama di kawah yang tetap selalu mengagumkan itu. Jam 12.00 saya dan tim meninggalkan lokasi. Setelah berjalan 30 menit, kami beristirahat untuk makan siang dan sholat lohor. Waktu di kawah tadi, kami memang sengaja hanya menyantap makanan ringan. Bukan karena belum waktunya makan siang, tetapi lebih karena perut ini belum menuntut untuk diisi nasi. Buat saya, apapun yang saya makan di kawah tadi, karena bukan nasi maka saya merasa belum makan siang. Biasa, perut kampung.
Jam 13.15 perjalanan dilanjutkan. Hati tenang karena telah sholat, perut kenyang setelah makan siang. Tempat di mana kami makan siang berada di tikungan dekat sebuah lapangan rumput yang terbuka. Di bawahnya mengalir anak sungai yang berair jernih dan aman untuk diminum. Sayangnya di dekat lokasi kami menggelar matras untuk sholat maupun makan sekarang terdapat lubang besar menganga. Bila tidak hati-hati, kita bisa kejeblos ke dalam lobang yang terbentuk karena gerusan arus sungai yang ada di bawahnya.
Sampai di persimpangan yang menuju Puncak Salak I, kami istirahat lagi sebentar. Dari persimpangan itu sebenarnya saya ingin melalui jalur yang menuju Hutan Cangkuang (Cidahu), tetapi setelah saya coba menemukannya, jalur itu sudah tertutup belukar dan kelihatan lama sekali tidak pernah dilewati manusia. Hilang sudah trek kesayangan saya. Anda tahu mengapa saya senang melewati jalur itu? Karena medannya yang luar biasa. Ada bagian yang begitu curam dan harus bergelayutan di akar pohon untuk naik atau turun. Bila habis hujan, wuuaaah… pasti menyenangkan sekali. Jalur itu akan licin dan menggelincirkan. Jangan harap pakaian yang kita pakai akan tetap bersih dari tanah. Namun sayang, itu tinggal masa lalu. Hiks…
Apa boleh buat. Jalur favorit sudah jadi sejarah. Saya kemudian memilih, harus sebenarnya, karena tidak ada pilihan lain, menggunakan jalur “banci” yang datar dengan batu alam yang tersusun rapi. Jalan setapak itu menuju ke pos jaga dekat Javana Spa, sebuah resort mewah milih mantan Menteri Koperasi di jaman orde baru, Bustanil Arifin. Saya menyerahkan kartu kontrol yang saya peroleh dari pos jaga Pasir Reungit kepada petugas yang ada di pos jaga Javana Spa pukul 14.35. Setelah itu kami menyusuri jalan aspal.
Perjalanan belum berakhir. Kami harus berjalan kaki ke bawah pos berharap ada angkot yang ke atas dan akan membawa kami ke Cicurug. Hujan turun terus semenjak kami masih di atas. Kami beristirahat dulu di Masjid Ar Raihan yang sekarang menjadi megah setelah direnovasi atas bantuan dari Javana Spa dan diresmikan oleh Bustanil Arifin tanggal 8 Agustus 2008. Setelah berganti baju kering dan sholat asar, kami kembali jalan ke bawah. Kami terus melangkahkan kaki meski hujan tidak berhenti mengguyur. Kami harus ke terminal angkot yang ada di bawah. Hingga akhirnya, ada tukang ojek yang menawarkan diri memanggilkan angkot. Oh, terima kasih mang ojek. Penderitaan saya karena kaki yang leklok akhirnya selesai sudah. Begitu angkot datang, saya langsung naik dan menikmati kemewahan bisa meluruskan kaki. Kami kemudian turun di Pasar Cicurug. Dari situ kemudian disambung naik bis ¾ yang datang dari Pelabuhan Ratu menuju Bogor.
Jam 18.30 saya sudah jalan kaki menuju rumah disambut dengan pekatnya malam. PLN berulah lagi. Bukan cerita baru bila listrik sering mati meskipun bayar rekeningnya tidak ada matinya
Hiking ini awalnya banyak peminat. Pada saat direncanakan, mungkin ada sekitar 15 orang yang berkeinginan ikut serta. Namun pas hari pelaksanaan, hanya empat orang termasuk saya yang akhirnya benar-benar berangkat. Sisanya? I don’t know why. Mungkin sakit, barangkali ada keperluan lain, atau, dan ini informasi yang sampai kepada saya, karena dana yang dibutuhkan untuk pendakian ini tidak berhasil mereka kumpulkan. Memang sebelumnya saya sampaikan perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk transpor, biaya masuk lokasi, dan keperluan lain berkisar Rp60.000. Jumlah segitu termasuk sudah longgar. Dan ternyata benar, total uang yang saya habiskan untuk pendakian itu hanya Rp44.000 tanpa makan siang karena sudah membawa sendiri dari rumah.
26 Oktober 2008 yang merupakan hari Minggu itu dipilih untuk melaksanakan hiking. Tempat yang digunakan sebagai meeting point ada dua. Mereka yang tinggal di Sukaraja dan sekitarnya berkumpul di depan pintu gerbang kampus BEC paling telat jam 6. Peserta yang rumahnya di Kota Bogor supaya menunggu di teras supermarket Matahari depan Taman Topi selambat-lambatnya jam 6.30. Sayangnya waktu yang sudah disepakati jadi molor. Saya penyebabnya. Karena keenakan tidur, jam 5.30 saya baru turun dari tempat tidur. Itupun karena dibangunin.
Setelah selesai mandi meskipun mata ini masih ‘sepet’ dan membereskan peralatan yang dibutuhkan, buru-buru saya berangkat. Jam di lengan kiri saya menunjukkan pukul 6.15. Sarapan yang sudah disiapkan istri tersayang saya minta dimasukkan ke tupperware saja. Rencananya mau dimakan di angkot atau ketika sampai di kaki Gunung Salak nanti. Di tengah perjalanan saya bertemu salah satu peserta, Sidik (mahasiswa BEC angkatan 10), yang bermaksud akan menjemput saya. Kami kemudian jalan bareng ke BEC. Jarak dari rumah saya ke BEC tidak jauh, hanya memerlukan waktu lima menit jalan kaki.
Di depan BEC, Angga (10), Asep (11), dan Riki (11) sudah menunggu. Mereka yang ingin ikut itu sedang memesan bubur ayam untuk sarapan ke tukang bubur yang gerobaknya parkir di depan pintu gerbang BEC. Saya juga membuka bekal sarapan. Sambil ngobrol, kami menikmati makan pagi. Selesai mengisi perut, kami berlima kemudian naik angkot menuju meeting point ke dua.
Pagi itu perjalanan menyenangkan. Udara pagi yang masih segar mengiringi keberangkatan. Sayang sekali kenikmatan perjalanan saya dirusak oleh kelakuan seorang laki-laki biadab yang menampar istrinya yang sedang menggendong anak. Sudah pasti masalah keluarga, namun mbok jangan menunjukkan kebiadaban di muka umum seperti itu. Bukan di tempat umumpun dia, atau siapapun, seharusnya tidak berlaku kasar seperti itu, lebih-lebih terhadap pasangan hidup. Laki-laki itu seangkot dengan saya dan duduk di sebelah sopir. Yang mengherankan saya, ketika turun, meskipun tidak bayar karena nampaknya kenal baik dengan si sopir, dia dengan ramah mengucapkan terima kasih. Tak tahunya, dia seorang monster.
Di tengah jalan, Riki turun dari angkot. Dia memutuskan batal ikut setelah tahu tempat turun pendakian nanti di Cidahu, Sukabumi dan sampai di Bogor lagi malam hari. Tadinya dia antusias ingin ikut. Tinggallah kami berempat: saya, Asep, Angga, dan Sidik menuju meeting point di seberang Taman Topi.
Kami turun di seberang Balai Kota. Ongkos angkot adalah Rp2.500 per orang. Itu uang transpor pertama yang kami keluarkan. Dari tempat itu kemudian berjalan menuju supermarket Matahari yang terasnya dijadikan meeting point kedua. Sampai di lokasi, arloji di tangan saya menunjukkan pukul 7.00. Tidak ada satupun dari mereka yang sebelumnya menyatakan ingin ikut pendakian saya temukan di tempat pertemuan itu. Saya tengok kiri-kanan barangkali mereka sedang berjalan menuju ke arah kami, namun tidak ada juga. Setelah menunggu sekitar 10 menit dan tidak ada juga yang datang, kami kemudian naik angkot menuju Terminal Laladon.
The show must go on. Meskipun kegiatan ini pada dasarnya saya adakan untuk mereka yang sebenarnya justru saya harapkan keikutsertaannya, tetapi ternyata tidak ada satupun yang muncul. Ya sudah, barangkali ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk bisa ikut. Setidaknya, pasti mereka punya alasan masing-masing. Meskipun tidak ada yang ikut kecuali Angga, Sidik, dan Asep, perjalanan tetap dilanjutkan.
Sampai di Terminal Laladon jam 7.30. Ongkos angkot yang dibayarkan adalah Rp2500. Kami pindah ke angkot jurusan Leuwiliang atau Jasinga tetapi harus jalan dulu sekitar 10 menit ke arah barat untuk mencari angkot yang tidak ngetem. Di pertigaan Cibatok, kami turun. Waktu menunjukkan pukul 8.10. Berarti perjalanan dari Terminal Laladon sampai Cibatok membutuhkan waktu 40 menit. Sedangkan ongkos untuk angkot Rp5000.
Di pertigaan Cibatok itu kami mampir dulu ke warung sembako beli kudapan untuk dimakan saat pendakian. Saya sendiri tidak beli apa-apa karena sehari sebelumnya sudah belanja segala perbekalan yang diperlukan. Sambil menunggu mereka yang belanja, saya mengira-ngira angkot mana yang akan membawa saya ke Pasir Reungit. Seperti biasa, makelar-makelar yang mangkal di pertigaan Cibatok mulai mengerubuti. Mereka seperti lalat yang kedatangan sampah yang baru turun dari truk untuk dimangsa. Makelar itu bertanya dan menawarkan jasa angkutan menuju Pasir Reungit. Tempat itu memang merupakan tujuan kami yang menjadi titik awal pendakian ke Kawah Ratu.
Setelah tawar-menawar akhirnya tercapai kesepakatan. Masing-masing dari kami akan membayar Rp10.000 untuk bisa diantar sampai Pasir Reungit. Meskipun sudah sepakat, saya tidak yakin sopir angkot mau menerima jumlah uang yang sudah dia sepakati. Dia pasti minta ongkos tambahan seperti yang saya alami sebelum-sebelumnya dengan para sopir angkot Cibatok. Dan nyatanya perkiraan saya benar, dia minta tambah ketika sampai tujuan. Kami yang berempat harusnya membayar Rp40.000 tetapi si sopir kemudian minta tambah. Saya bisa saja menolak permintaannya. Namun agar tidak panjang urusannya dan saya sendiri sebelumnya memang sudah mempersiapkan, kemudian saya tambah Rp5000.
Kami sampai di Pasir Reungit pukul 9.05. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mampir dulu ke kamar kecil yang disediakan oleh Mang Koko, pemilik warung yang ada di tempat itu. Di dekat kamar kecil disediakan kotak untuk pengunjung yang mau memasukkan uang kebersihan. Sifatnya sukarela, jadi kalau anda tidak membayarpun tidak apa-apa. Setelah semua oke, baru kami mulai mendaki.
Pasir Reungit merupakan pintu masuk menuju Kawah Ratu yang biasa saya gunakan. Sebenarnya ada alternatif pintu masuk lainnya yaitu melalui jalur Curug Seribu yang lokasinya lebih di bawah lagi. 23 April 2006, saya pernah melalui jalur itu. Gara-garanya adalah angkot yang menghantarkan saya tidak sanggup menanjak sampai ke Pasir Reungit.
Tidak lama berjalan, di depan sudah terlihat pos jaga. Pos itu berada di dekat hutan pinus. Terakhir melihat pos jaga itu masih berupa bangunan yang terbuat dari kayu. Di tempat itu para pengunjung Kawah Ratu atau pendaki Puncak Salak akan membayar tiket masuk. Sudah itu saja, sederhana dan gampang. Tidak ada urusan-urusan lain yang merepotkan. Waktu itu pengelolaannya masih ditangani Perhutani.
Sekarang pos itu sudah direnovasi. Bangunannya terbuat dari tembok dan ada pintu gerbang di dekatnya. Sejak Juli 2008, pengelolaan Kawah Ratu dan Puncak Salak dipegang oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sejak saat itu pula kerepotan bagi pengunjung mulai terjadi. Saya tahu maksudnya baik. Pasti biar terkendali, terkontrol, aman, ada pemasukan buat penduduk lokal, lestari dan lain-lain.
Masuk ke Kawah Ratu sudah tidak senyaman dulu lagi. Informasi dari pak Undang petugas yang ada di pos itu, setiap pengunjung Kawah Ratu maupun Puncak Salak selain harus membayar tiket masuk Rp2500 dan asuransi Rp2500, ada tambahan harus didampingi pemandu yang merupakan penduduk lokal yang berseragam dengan tarif sukarela (biasanya Rp50.000). Di samping itu, para pengunjung Kawah Ratu harus menyerahkan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa diri kita ini sehat. Waktu itu tentu saja saya tidak membawa surat dokter karena tidak tahu ada aturan baru seperti itu. Untungnya petugas itu memaklumi.
Informasi lain adalah pengunjung yang mau camping harus membayar tiket Rp5000 dan asuransi Rp2500 per orang per malam. Turis asing yang akan mengunjungi Kawah Ratu membayar tiket masuk Rp20.000 dan asuransi Rp5000. Bila memerlukan genset atau tenda peleton, mereka juga menyewakan. Biaya sewa untuk genset Rp300.000/malam sedangkan tenda peleton kapasitas 40 orang Rp.800.000 selama pemakaian.
Anda yang memiliki rencana mengunjungi Kawah Ratu atau pendakian ke Puncak Salak, jangan datang di bulan Agustus dan Januari. Pada bulan itu kedua wilayah ditutup dari pengunjung untuk keperluan recovery.
Akhirnya urusan dengan petugas jaga selesai, meskipun sebelumnya harus menunggu lumayan lama petugas itu menangani rombongan pendaki lain dulu. Ada kurang lebih 45 menit saya dan tim tertahan di pos itu. Jam 9.50 perjalanan baru dilanjutkan.
Jalur yang sudah lebih dari lima kali saya lewati itu masih tetap sama. Hanya sekarang ada tanda penunjuk arah yang kelihatannya belum lama dipasang. Bisa jadi dilakukan oleh pengelola yang baru. Kan sudah biasa seperti itu. Ganti orang, ada hal baru muncul, meskipun kadang tidak signifikan. Karena masih masuk musim penghujan, sungai-sungai yang berada di jalur pendakian airnya melimpah. Beberapa jalan malah terendam air sehingga yang tadinya memilih-milih jalan agar sepatu tidak basah sekarang harus masuk ke air. Tidak ada pilihan lain. Semua jalur tertutup air yang tingginya di atas mata kaki.
Pukul 11.20 Kawah Ratu ada di bawah telapak kaki saya. Seperti biasa, di lokasi itu kami foto-fotoan dan beristirahat. Sambil menikmati bekal yang dibawa, kami kagumi keindahan alam. Sebuah sungai berair jernih enak sekali untuk berendam atau mandi. Di beberapa bagian airnya malah terasa hangat. Tetapi hati-hati, jangan diminum air itu meskipun bening karena mengandung belerang. Di mana-mana terlihat asap tebal membumbung yang berasal dari dalam bumi. Bau belerang menusuk hidung. Asap itulah yang perlu diwaspadai. Di balik keindahan alam yang tersaji di depan mata, bila tidak waspada, ancaman gas beracun yang keluar berbarengan dengan asap bisa merenggut nyawa. Itulah yang selalu diperingatkan oleh petugas jaga. Dan memang peristiwa meninggalnya pengunjung Kawah Ratu karena keracunan sudah beberapa kali terjadi.
Saya tidak berlama-lama di kawah yang tetap selalu mengagumkan itu. Jam 12.00 saya dan tim meninggalkan lokasi. Setelah berjalan 30 menit, kami beristirahat untuk makan siang dan sholat lohor. Waktu di kawah tadi, kami memang sengaja hanya menyantap makanan ringan. Bukan karena belum waktunya makan siang, tetapi lebih karena perut ini belum menuntut untuk diisi nasi. Buat saya, apapun yang saya makan di kawah tadi, karena bukan nasi maka saya merasa belum makan siang. Biasa, perut kampung.
Jam 13.15 perjalanan dilanjutkan. Hati tenang karena telah sholat, perut kenyang setelah makan siang. Tempat di mana kami makan siang berada di tikungan dekat sebuah lapangan rumput yang terbuka. Di bawahnya mengalir anak sungai yang berair jernih dan aman untuk diminum. Sayangnya di dekat lokasi kami menggelar matras untuk sholat maupun makan sekarang terdapat lubang besar menganga. Bila tidak hati-hati, kita bisa kejeblos ke dalam lobang yang terbentuk karena gerusan arus sungai yang ada di bawahnya.
Sampai di persimpangan yang menuju Puncak Salak I, kami istirahat lagi sebentar. Dari persimpangan itu sebenarnya saya ingin melalui jalur yang menuju Hutan Cangkuang (Cidahu), tetapi setelah saya coba menemukannya, jalur itu sudah tertutup belukar dan kelihatan lama sekali tidak pernah dilewati manusia. Hilang sudah trek kesayangan saya. Anda tahu mengapa saya senang melewati jalur itu? Karena medannya yang luar biasa. Ada bagian yang begitu curam dan harus bergelayutan di akar pohon untuk naik atau turun. Bila habis hujan, wuuaaah… pasti menyenangkan sekali. Jalur itu akan licin dan menggelincirkan. Jangan harap pakaian yang kita pakai akan tetap bersih dari tanah. Namun sayang, itu tinggal masa lalu. Hiks…
Apa boleh buat. Jalur favorit sudah jadi sejarah. Saya kemudian memilih, harus sebenarnya, karena tidak ada pilihan lain, menggunakan jalur “banci” yang datar dengan batu alam yang tersusun rapi. Jalan setapak itu menuju ke pos jaga dekat Javana Spa, sebuah resort mewah milih mantan Menteri Koperasi di jaman orde baru, Bustanil Arifin. Saya menyerahkan kartu kontrol yang saya peroleh dari pos jaga Pasir Reungit kepada petugas yang ada di pos jaga Javana Spa pukul 14.35. Setelah itu kami menyusuri jalan aspal.
Perjalanan belum berakhir. Kami harus berjalan kaki ke bawah pos berharap ada angkot yang ke atas dan akan membawa kami ke Cicurug. Hujan turun terus semenjak kami masih di atas. Kami beristirahat dulu di Masjid Ar Raihan yang sekarang menjadi megah setelah direnovasi atas bantuan dari Javana Spa dan diresmikan oleh Bustanil Arifin tanggal 8 Agustus 2008. Setelah berganti baju kering dan sholat asar, kami kembali jalan ke bawah. Kami terus melangkahkan kaki meski hujan tidak berhenti mengguyur. Kami harus ke terminal angkot yang ada di bawah. Hingga akhirnya, ada tukang ojek yang menawarkan diri memanggilkan angkot. Oh, terima kasih mang ojek. Penderitaan saya karena kaki yang leklok akhirnya selesai sudah. Begitu angkot datang, saya langsung naik dan menikmati kemewahan bisa meluruskan kaki. Kami kemudian turun di Pasar Cicurug. Dari situ kemudian disambung naik bis ¾ yang datang dari Pelabuhan Ratu menuju Bogor.
Jam 18.30 saya sudah jalan kaki menuju rumah disambut dengan pekatnya malam. PLN berulah lagi. Bukan cerita baru bila listrik sering mati meskipun bayar rekeningnya tidak ada matinya
Subscribe to:
Posts (Atom)