Monday, October 27, 2008

Kawah Ratu

Ini hari Senin, tapi cerita ini tentang yang saya lakukan kemarin. Sebuah uji stamina dalam pendakian ke Kawah Ratu. Tidak ada satupun ratu yang saya temukan di sana, hanya seekor elang jawa yang melayang-layang di kejauhan.

Hiking ini awalnya banyak peminat. Pada saat direncanakan, mungkin ada sekitar 15 orang yang berkeinginan ikut serta. Namun pas hari pelaksanaan, hanya empat orang termasuk saya yang akhirnya benar-benar berangkat. Sisanya? I don’t know why. Mungkin sakit, barangkali ada keperluan lain, atau, dan ini informasi yang sampai kepada saya, karena dana yang dibutuhkan untuk pendakian ini tidak berhasil mereka kumpulkan. Memang sebelumnya saya sampaikan perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk transpor, biaya masuk lokasi, dan keperluan lain berkisar Rp60.000. Jumlah segitu termasuk sudah longgar. Dan ternyata benar, total uang yang saya habiskan untuk pendakian itu hanya Rp44.000 tanpa makan siang karena sudah membawa sendiri dari rumah.

26 Oktober 2008 yang merupakan hari Minggu itu dipilih untuk melaksanakan hiking. Tempat yang digunakan sebagai meeting point ada dua. Mereka yang tinggal di Sukaraja dan sekitarnya berkumpul di depan pintu gerbang kampus BEC paling telat jam 6. Peserta yang rumahnya di Kota Bogor supaya menunggu di teras supermarket Matahari depan Taman Topi selambat-lambatnya jam 6.30. Sayangnya waktu yang sudah disepakati jadi molor. Saya penyebabnya. Karena keenakan tidur, jam 5.30 saya baru turun dari tempat tidur. Itupun karena dibangunin.

Setelah selesai mandi meskipun mata ini masih ‘sepet’ dan membereskan peralatan yang dibutuhkan, buru-buru saya berangkat. Jam di lengan kiri saya menunjukkan pukul 6.15. Sarapan yang sudah disiapkan istri tersayang saya minta dimasukkan ke tupperware saja. Rencananya mau dimakan di angkot atau ketika sampai di kaki Gunung Salak nanti. Di tengah perjalanan saya bertemu salah satu peserta, Sidik (mahasiswa BEC angkatan 10), yang bermaksud akan menjemput saya. Kami kemudian jalan bareng ke BEC. Jarak dari rumah saya ke BEC tidak jauh, hanya memerlukan waktu lima menit jalan kaki.

Di depan BEC, Angga (10), Asep (11), dan Riki (11) sudah menunggu. Mereka yang ingin ikut itu sedang memesan bubur ayam untuk sarapan ke tukang bubur yang gerobaknya parkir di depan pintu gerbang BEC. Saya juga membuka bekal sarapan. Sambil ngobrol, kami menikmati makan pagi. Selesai mengisi perut, kami berlima kemudian naik angkot menuju meeting point ke dua.

Pagi itu perjalanan menyenangkan. Udara pagi yang masih segar mengiringi keberangkatan. Sayang sekali kenikmatan perjalanan saya dirusak oleh kelakuan seorang laki-laki biadab yang menampar istrinya yang sedang menggendong anak. Sudah pasti masalah keluarga, namun mbok jangan menunjukkan kebiadaban di muka umum seperti itu. Bukan di tempat umumpun dia, atau siapapun, seharusnya tidak berlaku kasar seperti itu, lebih-lebih terhadap pasangan hidup. Laki-laki itu seangkot dengan saya dan duduk di sebelah sopir. Yang mengherankan saya, ketika turun, meskipun tidak bayar karena nampaknya kenal baik dengan si sopir, dia dengan ramah mengucapkan terima kasih. Tak tahunya, dia seorang monster.

Di tengah jalan, Riki turun dari angkot. Dia memutuskan batal ikut setelah tahu tempat turun pendakian nanti di Cidahu, Sukabumi dan sampai di Bogor lagi malam hari. Tadinya dia antusias ingin ikut. Tinggallah kami berempat: saya, Asep, Angga, dan Sidik menuju meeting point di seberang Taman Topi.

Kami turun di seberang Balai Kota. Ongkos angkot adalah Rp2.500 per orang. Itu uang transpor pertama yang kami keluarkan. Dari tempat itu kemudian berjalan menuju supermarket Matahari yang terasnya dijadikan meeting point kedua. Sampai di lokasi, arloji di tangan saya menunjukkan pukul 7.00. Tidak ada satupun dari mereka yang sebelumnya menyatakan ingin ikut pendakian saya temukan di tempat pertemuan itu. Saya tengok kiri-kanan barangkali mereka sedang berjalan menuju ke arah kami, namun tidak ada juga. Setelah menunggu sekitar 10 menit dan tidak ada juga yang datang, kami kemudian naik angkot menuju Terminal Laladon.

The show must go on. Meskipun kegiatan ini pada dasarnya saya adakan untuk mereka yang sebenarnya justru saya harapkan keikutsertaannya, tetapi ternyata tidak ada satupun yang muncul. Ya sudah, barangkali ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk bisa ikut. Setidaknya, pasti mereka punya alasan masing-masing. Meskipun tidak ada yang ikut kecuali Angga, Sidik, dan Asep, perjalanan tetap dilanjutkan.

Sampai di Terminal Laladon jam 7.30. Ongkos angkot yang dibayarkan adalah Rp2500. Kami pindah ke angkot jurusan Leuwiliang atau Jasinga tetapi harus jalan dulu sekitar 10 menit ke arah barat untuk mencari angkot yang tidak ngetem. Di pertigaan Cibatok, kami turun. Waktu menunjukkan pukul 8.10. Berarti perjalanan dari Terminal Laladon sampai Cibatok membutuhkan waktu 40 menit. Sedangkan ongkos untuk angkot Rp5000.

Di pertigaan Cibatok itu kami mampir dulu ke warung sembako beli kudapan untuk dimakan saat pendakian. Saya sendiri tidak beli apa-apa karena sehari sebelumnya sudah belanja segala perbekalan yang diperlukan. Sambil menunggu mereka yang belanja, saya mengira-ngira angkot mana yang akan membawa saya ke Pasir Reungit. Seperti biasa, makelar-makelar yang mangkal di pertigaan Cibatok mulai mengerubuti. Mereka seperti lalat yang kedatangan sampah yang baru turun dari truk untuk dimangsa. Makelar itu bertanya dan menawarkan jasa angkutan menuju Pasir Reungit. Tempat itu memang merupakan tujuan kami yang menjadi titik awal pendakian ke Kawah Ratu.

Setelah tawar-menawar akhirnya tercapai kesepakatan. Masing-masing dari kami akan membayar Rp10.000 untuk bisa diantar sampai Pasir Reungit. Meskipun sudah sepakat, saya tidak yakin sopir angkot mau menerima jumlah uang yang sudah dia sepakati. Dia pasti minta ongkos tambahan seperti yang saya alami sebelum-sebelumnya dengan para sopir angkot Cibatok. Dan nyatanya perkiraan saya benar, dia minta tambah ketika sampai tujuan. Kami yang berempat harusnya membayar Rp40.000 tetapi si sopir kemudian minta tambah. Saya bisa saja menolak permintaannya. Namun agar tidak panjang urusannya dan saya sendiri sebelumnya memang sudah mempersiapkan, kemudian saya tambah Rp5000.

Kami sampai di Pasir Reungit pukul 9.05. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mampir dulu ke kamar kecil yang disediakan oleh Mang Koko, pemilik warung yang ada di tempat itu. Di dekat kamar kecil disediakan kotak untuk pengunjung yang mau memasukkan uang kebersihan. Sifatnya sukarela, jadi kalau anda tidak membayarpun tidak apa-apa. Setelah semua oke, baru kami mulai mendaki.

Pasir Reungit merupakan pintu masuk menuju Kawah Ratu yang biasa saya gunakan. Sebenarnya ada alternatif pintu masuk lainnya yaitu melalui jalur Curug Seribu yang lokasinya lebih di bawah lagi. 23 April 2006, saya pernah melalui jalur itu. Gara-garanya adalah angkot yang menghantarkan saya tidak sanggup menanjak sampai ke Pasir Reungit.

Tidak lama berjalan, di depan sudah terlihat pos jaga. Pos itu berada di dekat hutan pinus. Terakhir melihat pos jaga itu masih berupa bangunan yang terbuat dari kayu. Di tempat itu para pengunjung Kawah Ratu atau pendaki Puncak Salak akan membayar tiket masuk. Sudah itu saja, sederhana dan gampang. Tidak ada urusan-urusan lain yang merepotkan. Waktu itu pengelolaannya masih ditangani Perhutani.

Sekarang pos itu sudah direnovasi. Bangunannya terbuat dari tembok dan ada pintu gerbang di dekatnya. Sejak Juli 2008, pengelolaan Kawah Ratu dan Puncak Salak dipegang oleh Balai Taman Nasional Gunung Halimun Salak. Sejak saat itu pula kerepotan bagi pengunjung mulai terjadi. Saya tahu maksudnya baik. Pasti biar terkendali, terkontrol, aman, ada pemasukan buat penduduk lokal, lestari dan lain-lain.

Masuk ke Kawah Ratu sudah tidak senyaman dulu lagi. Informasi dari pak Undang petugas yang ada di pos itu, setiap pengunjung Kawah Ratu maupun Puncak Salak selain harus membayar tiket masuk Rp2500 dan asuransi Rp2500, ada tambahan harus didampingi pemandu yang merupakan penduduk lokal yang berseragam dengan tarif sukarela (biasanya Rp50.000). Di samping itu, para pengunjung Kawah Ratu harus menyerahkan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa diri kita ini sehat. Waktu itu tentu saja saya tidak membawa surat dokter karena tidak tahu ada aturan baru seperti itu. Untungnya petugas itu memaklumi.

Informasi lain adalah pengunjung yang mau camping harus membayar tiket Rp5000 dan asuransi Rp2500 per orang per malam. Turis asing yang akan mengunjungi Kawah Ratu membayar tiket masuk Rp20.000 dan asuransi Rp5000. Bila memerlukan genset atau tenda peleton, mereka juga menyewakan. Biaya sewa untuk genset Rp300.000/malam sedangkan tenda peleton kapasitas 40 orang Rp.800.000 selama pemakaian.

Anda yang memiliki rencana mengunjungi Kawah Ratu atau pendakian ke Puncak Salak, jangan datang di bulan Agustus dan Januari. Pada bulan itu kedua wilayah ditutup dari pengunjung untuk keperluan recovery.

Akhirnya urusan dengan petugas jaga selesai, meskipun sebelumnya harus menunggu lumayan lama petugas itu menangani rombongan pendaki lain dulu. Ada kurang lebih 45 menit saya dan tim tertahan di pos itu. Jam 9.50 perjalanan baru dilanjutkan.

Jalur yang sudah lebih dari lima kali saya lewati itu masih tetap sama. Hanya sekarang ada tanda penunjuk arah yang kelihatannya belum lama dipasang. Bisa jadi dilakukan oleh pengelola yang baru. Kan sudah biasa seperti itu. Ganti orang, ada hal baru muncul, meskipun kadang tidak signifikan. Karena masih masuk musim penghujan, sungai-sungai yang berada di jalur pendakian airnya melimpah. Beberapa jalan malah terendam air sehingga yang tadinya memilih-milih jalan agar sepatu tidak basah sekarang harus masuk ke air. Tidak ada pilihan lain. Semua jalur tertutup air yang tingginya di atas mata kaki.

Pukul 11.20 Kawah Ratu ada di bawah telapak kaki saya. Seperti biasa, di lokasi itu kami foto-fotoan dan beristirahat. Sambil menikmati bekal yang dibawa, kami kagumi keindahan alam. Sebuah sungai berair jernih enak sekali untuk berendam atau mandi. Di beberapa bagian airnya malah terasa hangat. Tetapi hati-hati, jangan diminum air itu meskipun bening karena mengandung belerang. Di mana-mana terlihat asap tebal membumbung yang berasal dari dalam bumi. Bau belerang menusuk hidung. Asap itulah yang perlu diwaspadai. Di balik keindahan alam yang tersaji di depan mata, bila tidak waspada, ancaman gas beracun yang keluar berbarengan dengan asap bisa merenggut nyawa. Itulah yang selalu diperingatkan oleh petugas jaga. Dan memang peristiwa meninggalnya pengunjung Kawah Ratu karena keracunan sudah beberapa kali terjadi.

Saya tidak berlama-lama di kawah yang tetap selalu mengagumkan itu. Jam 12.00 saya dan tim meninggalkan lokasi. Setelah berjalan 30 menit, kami beristirahat untuk makan siang dan sholat lohor. Waktu di kawah tadi, kami memang sengaja hanya menyantap makanan ringan. Bukan karena belum waktunya makan siang, tetapi lebih karena perut ini belum menuntut untuk diisi nasi. Buat saya, apapun yang saya makan di kawah tadi, karena bukan nasi maka saya merasa belum makan siang. Biasa, perut kampung.

Jam 13.15 perjalanan dilanjutkan. Hati tenang karena telah sholat, perut kenyang setelah makan siang. Tempat di mana kami makan siang berada di tikungan dekat sebuah lapangan rumput yang terbuka. Di bawahnya mengalir anak sungai yang berair jernih dan aman untuk diminum. Sayangnya di dekat lokasi kami menggelar matras untuk sholat maupun makan sekarang terdapat lubang besar menganga. Bila tidak hati-hati, kita bisa kejeblos ke dalam lobang yang terbentuk karena gerusan arus sungai yang ada di bawahnya.

Sampai di persimpangan yang menuju Puncak Salak I, kami istirahat lagi sebentar. Dari persimpangan itu sebenarnya saya ingin melalui jalur yang menuju Hutan Cangkuang (Cidahu), tetapi setelah saya coba menemukannya, jalur itu sudah tertutup belukar dan kelihatan lama sekali tidak pernah dilewati manusia. Hilang sudah trek kesayangan saya. Anda tahu mengapa saya senang melewati jalur itu? Karena medannya yang luar biasa. Ada bagian yang begitu curam dan harus bergelayutan di akar pohon untuk naik atau turun. Bila habis hujan, wuuaaah… pasti menyenangkan sekali. Jalur itu akan licin dan menggelincirkan. Jangan harap pakaian yang kita pakai akan tetap bersih dari tanah. Namun sayang, itu tinggal masa lalu. Hiks…

Apa boleh buat. Jalur favorit sudah jadi sejarah. Saya kemudian memilih, harus sebenarnya, karena tidak ada pilihan lain, menggunakan jalur “banci” yang datar dengan batu alam yang tersusun rapi. Jalan setapak itu menuju ke pos jaga dekat Javana Spa, sebuah resort mewah milih mantan Menteri Koperasi di jaman orde baru, Bustanil Arifin. Saya menyerahkan kartu kontrol yang saya peroleh dari pos jaga Pasir Reungit kepada petugas yang ada di pos jaga Javana Spa pukul 14.35. Setelah itu kami menyusuri jalan aspal.

Perjalanan belum berakhir. Kami harus berjalan kaki ke bawah pos berharap ada angkot yang ke atas dan akan membawa kami ke Cicurug. Hujan turun terus semenjak kami masih di atas. Kami beristirahat dulu di Masjid Ar Raihan yang sekarang menjadi megah setelah direnovasi atas bantuan dari Javana Spa dan diresmikan oleh Bustanil Arifin tanggal 8 Agustus 2008. Setelah berganti baju kering dan sholat asar, kami kembali jalan ke bawah. Kami terus melangkahkan kaki meski hujan tidak berhenti mengguyur. Kami harus ke terminal angkot yang ada di bawah. Hingga akhirnya, ada tukang ojek yang menawarkan diri memanggilkan angkot. Oh, terima kasih mang ojek. Penderitaan saya karena kaki yang leklok akhirnya selesai sudah. Begitu angkot datang, saya langsung naik dan menikmati kemewahan bisa meluruskan kaki. Kami kemudian turun di Pasar Cicurug. Dari situ kemudian disambung naik bis ¾ yang datang dari Pelabuhan Ratu menuju Bogor.

Jam 18.30 saya sudah jalan kaki menuju rumah disambut dengan pekatnya malam. PLN berulah lagi. Bukan cerita baru bila listrik sering mati meskipun bayar rekeningnya tidak ada matinya

No comments:

Post a Comment