
Hiking ini awalnya banyak peminat. Pada saat direncanakan, mungkin ada sekitar 15 orang yang berkeinginan ikut serta. Namun pas hari pelaksanaan, hanya empat orang termasuk saya yang akhirnya benar-benar berangkat. Sisanya? I don’t know why. Mungkin sakit, barangkali ada keperluan lain, atau, dan ini informasi yang sampai kepada saya, karena dana yang dibutuhkan untuk pendakian ini tidak berhasil mereka kumpulkan. Memang sebelumnya saya sampaikan perkiraan biaya yang dibutuhkan untuk transpor, biaya masuk lokasi, dan keperluan lain berkisar Rp60.000. Jumlah segitu termasuk sudah longgar. Dan ternyata benar, total uang yang saya habiskan untuk pendakian itu hanya Rp44.000 tanpa makan siang karena sudah membawa sendiri dari rumah.
26 Oktober 2008 yang merupakan hari Minggu itu dipilih untuk melaksanakan hiking. Tempat yang digunakan sebagai meeting point ada dua. Mereka yang tinggal di Sukaraja dan sekitarnya berkumpul di depan pintu gerbang kampus BEC paling telat jam 6. Peserta yang rumahnya di Kota Bogor supaya menunggu di teras supermarket Matahari depan Taman Topi selambat-lambatnya jam 6.30. Sayangnya waktu yang sudah disepakati jadi molor. Saya penyebabnya. Karena keenakan tidur, jam 5.30 saya baru turun dari tempat tidur. Itupun karena dibangunin.
Setelah selesai mandi meskipun mata ini masih ‘sepet’ dan membereskan peralatan yang dibutuhkan, buru-buru saya berangkat. Jam di lengan kiri saya menunjukkan pukul 6.15. Sarapan yang sudah disiapkan istri tersayang saya minta dimasukkan ke tupperware saja. Rencananya mau dimakan di angkot atau ketika sampai di kaki Gunung Salak nanti. Di tengah perjalanan saya bertemu salah satu peserta, Sidik (mahasiswa BEC angkatan 10), yang bermaksud akan menjemput saya. Kami kemudian jalan bareng ke BEC. Jarak dari rumah saya ke BEC tidak jauh, hanya memerlukan waktu lima menit jalan kaki.
Di depan BEC, Angga (10), Asep (11), dan Riki (11) sudah menunggu. Mereka yang ingin ikut itu sedang memesan bubur ayam untuk sarapan ke tukang bubur yang gerobaknya parkir di depan pintu gerbang BEC. Saya juga membuka bekal sarapan. Sambil ngobrol, kami menikmati makan pagi. Selesai mengisi perut, kami berlima kemudian naik angkot menuju meeting point ke dua.
Pagi itu perjalanan menyenangkan. Udara pagi yang masih segar mengiringi keberangkatan. Sayang sekali kenikmatan perjalanan saya dirusak oleh kelakuan seorang laki-laki biadab yang menampar istrinya yang sedang menggendong anak. Sudah pasti masalah keluarga, namun mbok jangan menunjukkan kebiadaban di muka umum seperti itu. Bukan di tempat umumpun dia, atau siapapun, seharusnya tidak berlaku kasar seperti itu, lebih-lebih terhadap pasangan hidup. Laki-laki itu seangkot dengan saya dan duduk di sebelah sopir. Yang mengherankan saya, ketika turun, meskipun tidak bayar karena nampaknya kenal baik dengan si sopir, dia dengan ramah mengucapkan terima kasih. Tak tahunya, dia seorang monster.
Di tengah jalan, Riki turun dari angkot. Dia memutuskan batal ikut setelah tahu tempat turun pendakian nanti di Cidahu, Sukabumi dan sampai di Bogor lagi malam hari. Tadinya dia antusias ingin ikut. Tinggallah kami berempat: saya, Asep, Angga, dan Sidik menuju meeting point di seberang Taman Topi.
Kami turun di seberang Balai Kota. Ongkos angkot adalah Rp2.500 per orang. Itu uang transpor pertama yang kami keluarkan. Dari tempat itu kemudian berjalan menuju supermarket Matahari yang terasnya dijadikan meeting point kedua. Sampai di lokasi, arloji di tangan saya menunjukkan pukul 7.00. Tidak ada satupun dari mereka yang sebelumnya menyatakan ingin ikut pendakian saya temukan di tempat pertemuan itu. Saya tengok kiri-kanan barangkali mereka sedang berjalan menuju ke arah kami, namun tidak ada juga. Setelah menunggu sekitar 10 menit dan tidak ada juga yang datang, kami kemudian naik angkot menuju Terminal Laladon.
The show must go on. Meskipun kegiatan ini pada dasarnya saya adakan untuk mereka yang sebenarnya justru saya harapkan keikutsertaannya, tetapi ternyata tidak ada satupun yang muncul. Ya sudah, barangkali ada sesuatu yang menghalangi mereka untuk bisa ikut. Setidaknya, pasti mereka punya alasan masing-masing. Meskipun tidak ada yang ikut kecuali Angga, Sidik, dan Asep, perjalanan tetap dilanjutkan.
Sampai di Terminal Laladon jam 7.30. Ongkos angkot yang dibayarkan adalah Rp2500. Kami pindah ke angkot jurusan Leuwiliang atau Jasinga tetapi harus jalan dulu sekitar 10 menit ke arah barat untuk mencari angkot yang tidak ngetem. Di pertigaan Cibatok, kami turun. Waktu menunjukkan pukul 8.10. Berarti perjalanan dari Terminal Laladon sampai Cibatok membutuhkan waktu 40 menit. Sedangkan ongkos untuk angkot Rp5000.
Di pertigaan Cibatok itu kami mampir dulu ke warung sembako beli kudapan untuk dimakan saat pendakian. Saya sendiri tidak beli apa-apa karena sehari sebelumnya sudah belanja segala perbekalan yang diperlukan. Sambil menunggu mereka yang belanja, saya mengira-ngira angkot mana yang akan membawa saya ke Pasir Reungit. Seperti biasa, makelar-makelar yang mangkal di pertigaan Cibatok mulai mengerubuti. Mereka seperti lalat yang kedatangan sampah yang baru turun dari truk untuk dimangsa. Makelar itu bertanya dan menawarkan jasa angkutan menuju Pasir Reungit. Tempat itu memang merupakan tujuan kami yang menjadi titik awal pendakian ke Kawah Ratu.
Setelah tawar-menawar akhirnya tercapai kesepakatan. Masing-masing dari kami akan membayar Rp10.000 untuk bisa diantar sampai Pasir Reungit. Meskipun sudah sepakat, saya tidak yakin sopir angkot mau menerima jumlah uang yang sudah dia sepakati. Dia pasti minta ongkos tambahan seperti yang saya alami sebelum-sebelumnya dengan para sopir angkot Cibatok. Dan nyatanya perkiraan saya benar, dia minta tambah ketika sampai tujuan. Kami yang berempat harusnya membayar Rp40.000 tetapi si sopir kemudian minta tambah. Saya bisa saja menolak permintaannya. Namun agar tidak panjang urusannya dan saya sendiri sebelumnya memang sudah mempersiapkan, kemudian saya tambah Rp5000.
Kami sampai di Pasir Reungit pukul 9.05. Sebelum melanjutkan perjalanan, kami mampir dulu ke kamar kecil yang disediakan oleh Mang Koko, pemilik warung yang ada di tempat itu. Di dekat kamar kecil disediakan kotak untuk pengunjung yang mau memasukkan uang kebersihan. Sifatnya sukarela, jadi kalau anda tidak membayarpun tidak apa-apa. Setelah semua oke, baru kami mulai mendaki.
Pasir Reungit merupakan pintu masuk menuju Kawah Ratu yang biasa saya gunakan. Sebenarnya ada alternatif pintu masuk lainnya yaitu melalui jalur Curug Seribu yang lokasinya lebih di bawah lagi. 23 April 2006, saya pernah melalui jalur itu. Gara-garanya adalah angkot yang menghantarkan saya tidak sanggup menanjak sampai ke Pasir Reungit.
Tidak lama berjalan, di depan sudah terlihat pos jaga. Pos itu berada di dekat hutan pinus. Terakhir melihat pos jaga itu masih berupa bangunan yang terbuat dari kayu. Di tempat itu para pengunjung Kawah Ratu atau pendaki Puncak Salak akan membayar tiket masuk. Sudah itu saja, sederhana dan gampang. Tidak ada urusan-urusan lain yang merepotkan. Waktu itu pengelolaannya masih ditangani Perhutani.

Masuk ke Kawah Ratu sudah tidak senyaman dulu lagi. Informasi dari pak Undang petugas yang ada di pos itu, setiap pengunjung Kawah Ratu maupun Puncak Salak selain harus membayar tiket masuk Rp2500 dan asuransi Rp2500, ada tambahan harus didampingi pemandu yang merupakan penduduk lokal yang berseragam dengan tarif sukarela (biasanya Rp50.000). Di samping itu, para pengunjung Kawah Ratu harus menyerahkan surat keterangan dokter yang menyatakan bahwa diri kita ini sehat. Waktu itu tentu saja saya tidak membawa surat dokter karena tidak tahu ada aturan baru seperti itu. Untungnya petugas itu memaklumi.
Informasi lain adalah pengunjung yang mau camping harus membayar tiket Rp5000 dan asuransi Rp2500 per orang per malam. Turis asing yang akan mengunjungi Kawah Ratu membayar tiket masuk Rp20.000 dan asuransi Rp5000. Bila memerlukan genset atau tenda peleton, mereka juga menyewakan. Biaya sewa untuk genset Rp300.000/malam sedangkan tenda peleton kapasitas 40 orang Rp.800.000 selama pemakaian.

Akhirnya urusan dengan petugas jaga selesai, meskipun sebelumnya harus menunggu lumayan lama petugas itu menangani rombongan pendaki lain dulu. Ada kurang lebih 45 menit saya dan tim tertahan di pos itu. Jam 9.50 perjalanan baru dilanjutkan.







Jam 18.30 saya sudah jalan kaki menuju rumah disambut dengan pekatnya malam. PLN berulah lagi. Bukan cerita baru bila listrik sering mati meskipun bayar rekeningnya tidak ada matinya
No comments:
Post a Comment