Kata pensiun bisa menjadi momok bagi sebagian kita yang mendengarnya. Seolah-olah merupakan monster yang mengerikan. Efeknya bisa berbentuk sindrom psikis yang dikenal dengan post power syndrome, penyakit karena hilangnya kekuasaan yang pernah dimiliki. Wujudnya dapat berupa perilaku yang melecehkan orang lain atau menganggap kita ini bawahan yang bisa disuruh-suruh seenak perutnya. Penderita post power syndrome bisa menjadi manusia asosial.
Saya tidak ngomongin tentang penyakit yang diderita oleh orang-orang yang tidak siap menghadapi pensiun tersebut. Itu bukan bidang saya. Dan kalaupun ngerti, mungkin hanya kulitnya saja. Ada bu dan pak psikolog yang lebih kompeten dalam hal ini untuk memberikan penjelasan. Kemudian bila anda tanya kenapa judul tulisan ini kok pangsiun, apa itu artinya? Sebenarnya maknanya sama dengan pensiun. Saya memberi judul itu karena saya ingat dengan orang-orang tua dulu yang suka mengistilahkan sudah tidak kerja lagi dengan pangsiun yang tentu saja maksudnya pensiun. No big deal, lah.
Bila judul ini dicocok-cocokkan dengan bahasa sunda, dari segi arti, ya ada benarnya juga. Meskipun sedikit maksain, tapi nggak apa-apalah orang namanya mencocok-cocokkan. Sebagaimana kerjaan orang meramal nomor togel kan seperti itu juga, maksain. Dalam bahasa sunda pang artinya sangat dan siun (benernya sih sieun) berarti takut. Nah jika pangsiun memiliki makna sangat takut, kan ada benarnya juga, ya toh? Buat sebagian orang, anda misalnya yang kebetulan terancam pensiun dini (phk) atau sesuai peraturan perusahaan dari segi usia memang sudah waktunya anda pensiun, berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan bisa menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Tidak sampai gila memang, tapi bila kemudian jadi blo-on, ngangap tiap hari nggak peduli banyak lalat masuk, ya tidak heran.
Memang bukan pekerjaan mudah bila rutinitas yang sudah berjalan sekian lama tiba-tiba harus berhenti. Banyak hal yang menghantui pikiran ketika masa pensiun menjelang. Bagaimana nanti saya harus menghidupi keluarga, bagaimana dengan hutang-hutang yang belum lunas, bagaimana jika sakit nanti, bagaimana dengan kesenangan-kesenangan yang selama ini saya jalani, banyak, masih banyak lagi hal-hal yang kesemuanya itu bisa mendatangkan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Masalah ini terutama akan muncul pada orang-orang yang umurnya sudah tidak muda lagi. Akan menjadi lebih berat bila selain faktor usia juga minimnya pengetahuan dan keterampilan, ditambah lagi dengan banyaknya tanggungan yang menjadi beban tanggung jawabnya.
Dalam tulisan saya sebelum ini, yang mengisahkan tentang ekspedisi ke Gunung Pangrango dan Gunung Gede, saya membukanya dengan rencana pensiun jadi pendaki. Saya sengaja melempar gagasan pensiun dengan maksud untuk mengetahui seperti apa tanggapan yang akan saya terima. Keinginan pensiun itu ada dalam pikiran saya bukan tanpa pertimbangan dan bukan muncul begitu saja. Saya hanya merasakan perjalanan yang harus saya lakukan sudah sangat berbeda dengan petualangan-petualangan sebelumnya. Dari segi semangat masih tetap menggebu-gebu, cuma saya ini sekarang merasa sama seperti dalam ungkapan ’nafsu besar tenaga kurang.’ Fisik saya jelas berbeda dengan, katakanlah, ketika usia saya seumuran anak sma atau mahasiswa. Sudah pastilah itu. Tetapi ternyata, rencana yang belum merupakan final decision itu ditentang banyak orang. Keputusan itu baru berupa wacana. Saya sendiri saat itu berpikiran demikian karena merasa saya kok begitu gampang cape dan cepat kram, sehingga selalu berada di rombongan paling belakang.
Anda boleh menilai saya sebagai seorang loser karena terkesan begitu mudah menyerah, meskipun bisa jadi penyebab saya mudah cape dan kram adalah karena kurangnya persiapan fisik sebelum pendakian, bukan faktor U. Bagaimanapun juga, saya harus tahu dan sadar diri. Hukum alam tidak bisa dirubah. Yang namanya usia akan tetap berjalan apapun halangan yang ada di depannya. Jika ada program mencegah ketuaan, dari segi usia program itu omong kosong. Penampilan mungkin bisa dirombak, tetapi yang namanya stamina mengikuti usia. Memang bila dikelola dengan baik, melakukan olah raga teratur dan mengkonsumsi asupan yang dikontrol misalnya, hasilnya, stamina memang akan bisa menjadi lebih baik bila dibandingkan mereka yang tidak menjalankan program itu. Dari tampang dan bentuk tubuh memang kelihatan awet muda, tetapi tetap tua dari segi usia.
Secara kebetulan, beberapa hari setelah rencana pensiun itu saya lontarkan, saya menonton acara televisi yang menampilkan pendaki tertua Indonesia yang masuk MuRI (Museum Rekor Indonesia). Di usianya yang kepala tujuh, orang tua ini telah mencapai puncak gunung yang memiliki ketinggian di atas 3.000 mdpl seperti Gunung Slamet dan Gunung Rinjani. Dalam tayangan itu juga dia katakan akan mendaki Gunung Kerinci di usia 72 tahun. Luar biasa. Kok bisa kebetulan seperti itu? Saya yang punya rencana pensiun jadi pendaki (meskipun itu istilah saya saja karena mana ada orang yang pensiun menjalankan hobinya) jadi malu sendiri. Apakah saya serius akan pensiun? Atau acara itu sengaja muncul secara kebetulan dan secara kebetulan juga saya menontonnya untuk sekedar mengolok-olok rencana saya yang ridiculous ini? Saya belum setua dia tentu saja, tapi saya jadi tersindir sekaligus termotivasi dengan rekor yang dia capai. Jangan salah sangka, saya tidak bermaksud mencetak rekor seperti yang dia lakukan. Saya hanya ingin menikmati kesenangan di lingkungan alam. Itu saja.
Bila anda penasaran ingin tahu apakah saya serius akan benar-benar berhenti dari naik gunung, tinggal anda tunggu dan lihat saja. Jika saya naik lagi, ya... itu artinya saya belum niat pangsiun. Dan mungkin anda ingin tahu, sebenarnya masih ada keinginan di hati saya untuk ada di puncak Gunung Ciremai. Terserah anda menafsirkan keinginan saya itu, apakah artinya saya sebenarnya tidak ingin pensiun atau keinginan itu sebetulnya hanya sekedar angan-angan saja. Terlepas dari itu, frankly speaking, saya malu dengan anak-anak remaja yang lagi semangat-semangatnya mendaki gunung. Seandainya saya tetap naik, kok kesannya nggak tahu diri gitu. Cuma yang disayangkan dari para remaja itu, sering mereka ceroboh dan tidak mempersiapkan secara matang sebelum pendakian, hanya bermodal semangat yang cenderung nekat.
Mengenai usia, saat pendakian ke Pangrango dan Gede kemarin, saya sempat ketemu kelompok pendaki yang, bila dilihat dari penampilan, seumuran dengan saya. Bahkan ada bapak-bapak lain yang saya yakin lebih tua dari saya, mungkin jauh lebih tua. Jadi serba salah saya. Jika melihat para remaja, saya merasa kok tidak sadar diri bahwa, kata teman-teman pendakian ke Pangrango dan Gede minggu kemarin, saya sudah manula. Bila ketemu yang lebih tua, baik saat di gunung maupun seperti yang ada dalam acara televisi, saya jadi malu kalau mundur hanya lantaran usia. Jadi bagaimana dong?
Sudahlah, tidak usah dipusingkan. Biar nanti saya urus sendiri. Yang penting sekarang kita jalani saja kehidupan ini seiring berlalunya waktu dengan hal-hal yang positif, menyenangkan, dan bermanfaat. Saya hanya pesan terutama buat anda yang akan pensiun, rencanakanlah kegiatan yang akan anda lakukan saat pensiun nanti. Jangan sampai saat pensiun tiba, anda malah bingung mau ngapain, malah merasa jadi orang yang tidak produktif dan tidak bermanfaat. Ujung-ujungnya anda jadi depresi. Dan itu yang berbahaya. Meskipun dampak depresi mungkin tidak merugikan orang lain secara langsung, namun bila tidak ditangani dengan baik, akibat yang merugikan diri sendiri itu akhirnya berimbas ke orang-orang terdekat anda terutama keluarga.
Sekali lagi, saya memang ada keinginan bahwa Ekspedisi Panggede kemarin merupakan pendakian terakhir saya. Itu berarti saya pensiun jadi pendaki. Namun perlu anda catat bahwa apakah itu sebuah keputusan, saya tidak akan menjawabnya di sini. Saya hanya akan memberi tahu anda bahwa saya sudah memutuskan sekarang. Memutuskan untuk tidak memutuskan. Keputusan untuk tidak memutuskan adalah juga sebuah keputusan. Tul kan?
Monday, May 26, 2008
Wednesday, May 21, 2008
Ekspedisi Panggede
Ketika saya katakan pendakian ini merupakan pendakian terakhir saya, beberapa teman pendaki tidak setuju. Kata mereka saya tidak boleh pensiun. Mereka masih menginginkan saya untuk tetap mendampingi mereka menjelajah hutan menaklukkan puncak gunung. Saya sendiri merasa faktor ‘U’ alias umur menuntut saya menggantungkan sepatu petualangan saya. Apabila anda juga seorang pendaki, pernahkah terpikirkan di benak anda untuk pensiun?
Sabtu, 17 Mei 2008
Ini cerita sebuah kesuksesan gemilang yang menjadi dendam (obsesi) saya. Pendakian Gede-Pangrango yang dulu pernah saya lakukan dan gagal sekarang sudah terbayarkan. Puaaasss... biangget (’g’-nya dua karena saking puasnya). Ekspedisi yang berlangsung dari 17 s/d 19 Mei 2008 ini merupakan retest dari pendakian yang gagal tersebut. Dengan jumlah personil sepuluh (ini yang paling penting karena tidak terlalu banyak) dan jantan semua, perjalanan menjadi lebih cepat.
Sesuai yang disepakati, tempat berkumpulnya peserta pendakian adalah di Panaragan Kidul (Pankid). Peserta yang terdaftar sebenarnya 17 orang terdiri dari dua perempuan dan sisanya laki-laki. Mendekati hari H-nya, satu persatu mengundurkan diri dengan berbagai alasan hingga akhirnya tersisa sepuluh orang. Kesepuluh orang inilah pada pagi 17 Mei berkumpul di Pankid. Mereka adalah Ujang, Faisal, Rahmat, Idan, Adi, Hudri, Fajar, Teguh, Ridwan, dan Mefhta. Rencana berangkat jam 07.00 wib namun seperti biasa, bukan orang Indonesia kalau tidak ngaret, akhirnya baru berangkat 30 menit kemudian.
Kami berjalan dulu ke depan Swalayan Naga untuk naik angkot jurusan Baranangsiang dan turun di depan seberang mesra (mesjid raya). Dari situ kemudian disambung dengan angset (angkutan setan) atau orang suka menyebut juga dengan mobil elf. Seperti ekspedisi sebelumnya, kami harus menghadapi orang-orang konyol penghisap darah kehidupan sopir dulu, yaitu para calo sialan, untuk bisa menggunakan jasa angset menuju Cibodas, pintu masuk menuju pendakian. Gara-gara lintah ini, ongkos yang ke Desa Gunung Putri yang jaraknya lebih jauh dari Cibodas saja dulu kami bayar Rp.12.000, sekarang mereka minta Rp.15.000 untuk mengantarkan kami ke Cibodas. Kok bisa-bisanya ya mereka kerja dengan cara memeras keringat orang lain. Karena posisi kami lemah dan waktu sudah siang, pilihan yang tidak mengenakkan itu terpaksa kami ambil.
Jam 08.40 wib kami semua naik angkot. Saat nego harga sopir janji akan langsung mengantar kami sampai Cibodas dan tidak akan mengambil penumpang di jalan. Tetapi kenyataannya, sebelum tol dia mengambil dua penumpang lagi. Rejeki tambahan sih buat dia tetapi dia telah melanggar kesepakatan. Dan kami yang menggunakan jasanya tidak bisa berbuat apa-apa selain ngedumel. Begitulah mental sebagian sodara-sodara kita sebangsa setanah air.
Dengan dua penumpang tambahan yang mengakibatkan sedikit ketidaknyamanan, angset kami menuju Cibodas. Cuaca cerah hari itu. Hanya ada sedikit awan putih menghiasi birunya langit kota Bogor. Saya berdoa mudah-mudahan cuaca seperti ini juga yang muncul ketika kami berada di ketinggian. Namun kekhawatiran saya muncul ketika sampai di Puncak, awan gelap menyambut. Bila di atas nanti juga seperti itu, bisa jadi hujan akan turun. Dan itu yang tidak diharapkan.
Pukul 10.01 wib mobil kami sampai di pertigaan menuju Cibodas. Dari tempat itu menuju Cibodas ternyata hanya ditempuh dalam waktu tujuh menit. Sayangnya kami diturunkan sebelum pintu retribusi. Kata sopir, memang di situlah kami harus turun. Dia beralasan tidak mau masuk karena harus membayar retribusi. Emang benar seperti itu? Kalaupun tetap masuk, siapa sih yang akan membayar? Kami-kami juga. Ya toh? Dasar dianya aja yang dari awal keberangkatan sudah menunjukkan itikad yang kurang baik. Bagaimanapun juga, akhirnya kami sampai di Cibodas, meskipun harus membayar lagi, katanya karcis retribusi, sebesar Rp.2000 per orang selain karcis masuk pengunjung TNGP (taman nasional gunung gede pangrango) Rp.2500 dan asuransi kecelakaan diri pengunjung Rp.2000 yang telah kami bayarkan sebulan yang lalu saat mengajukan ijin pendakian.
Dari pos retribusi itu, kami harus berjalan dulu untuk sampai di lokasi warung-warung yang menjual suvenir dan sayur-mayur. Kami berhenti di tempat itu untuk membeli kebutuhan seperti sayur, minyak goreng, minyak tanah, dan nasi bungkus untuk makan siang yang akan kami bawa ke atas. Sebagian dari kami juga membeli kaos untuk kenang-kenangan karena harganya yang termasuk murah (Rp.20.000 dan Rp.25.000) dengan kualitas yang cukup bagus.
Belanja tetek-bengek dan repacking selesai pukul 10.50 wib. Selanjutnya kami berjalan menuju pos terakhir untuk melaporkan sekaligus menyerahkan surat ijin pendakian kami. Hanya memerlukan waktu sepuluh menit untuk mencapai pos itu. Was-was juga saat menyerahkan surat ijin pendakian. Masalahnya dua peserta yaitu Mehfta dan Idan namanya tidak terdapat dalam surat ijin itu. Mereka statusnya booking pada saat mendaftar karena masa berlaku ktp mereka habis. Mereka berdua kemudian diaku dengan nama lain yang ada di daftar tetapi batal ikut. Untungnya petugas yang melayani tidak menanyakan ktp masing-masing peserta dan hanya meminta untuk mengisi berapa jumlah bungkus perbekalan yang akan menjadi sampah nanti seperti mi instan dan biskuit serta jumlah pisau lipat atau gunting yang dibawa. Plong rasanya bisa melewati pos pelaporan pendakian itu.
Kami foto-foto dulu di depan pos itu sebelum melanjutkan perjalanan. Saat meninggalkan pos pelaporan pendakian, jam menunjukkan 11.00 wib. Dari sinilah pendakian benar-benar dimulai. Kalau pendakian yang dulu gagal dilakukan diawali dari Desa Gunung Putri diakhiri di Cibodas, sekarang rutenya dibalik, Cibodas dulu baru turun di Desa Gunung Putri. Yang pertama kali akan didaki adalah Gunung Pangrango, setelah itu Gunung Gede.
Obyek menarik pertama yang ditemui adalah Telaga Biru. Meskipun namanya seperti itu, kenyataannya air telaga itu berwarna hijau. Bila melihat papan informasi yang ada di dekat telaga, baru ketemu penyebabnya. Telaga itu bisa berubah-ubah warnanya tergantung pertumbuhan alga yang ada di dalamnya. Buat turis lokal, apalagi orang kampung seperti saya yang sering melihat telaga, balong, kolam, danau, atau apapun sebutannya untuk lubang berisi air, besar maupun kecil, Telaga Biru bukanlah suatu obyek yang istimewa. Jika dikatakan menarik, menariknya adalah karena danau kecil itu menjadi selingan setelah sekian lama perjalanan hanya ketemu pepohonan saja.
Talaga itu berada di ketinggian 1.500 mdpl. Berjarak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Walaupun disebutkan bisa dicapai dalam waktu 25 menit, saya sendiri perlu waktu 40 menit. Itupun dari pos pelaporan, yang berjarak sepuluh menit jalan kaki setelah pintu masuk Cibodas. Yang bisa dinikmati dari telaga adalah airnya yang tenang menyejukkan. Jika anda ingin main air, mendingan di sungai kecil yang mengalir di sebelahnya. Airnya jernih dan berpasir. Berbeda dengan air telaga yang berlumpur dan tidak mudah dijangkau. Anda bisa terperosok dan kotor semua oleh lumpur bila tetap nekat. Cukup anda pandangi saja air Telaga Biru yang tidak biru itu dan dengarkan heningnya sekeliling yang kadang-kadang diselingi dengan suara burung dan binatang hutan entah-apa-itu lainnya.
Kami beristirahat dan mengambil foto sekitar 32 menit sebelum melanjutkan perjalanan menuju air terjun Cibeureum (1.650 mdpl) yang berjarak 2,7 km dari pintu masuk Cibodas atau 1 jam perjalanan. Air terjun ini merupakan destinasi kedua bagi pengunjung TNGP dan juga terakhir bagi mereka yang melakukan hiking. Dari pertigaan Panyangcangan yang di situ terdapat pos peristirahatan, air terjun Cibereum dapat ditempuh dalam sepuluh menit. Jalan yang menuju air terjun berupa batu yang disusun rapi yang sebagian di antaranya malah berupa susunan papan yang dibuat seperti jembatan. Sangat nyaman untuk berjalan namun perlu hati-hati juga karena di beberapa bagian kayunya sudah lapuk. Pandangan harus waspada untuk menghindari kejeblos ke dalam celahnya.
Sebagian dari kami menikmati dinginnya air terjun. Saya sendiri lebih suka melihat dari pos peristirahatan yang atapnya sudah bolong-bolong tidak jauh dari air terjun. Di tempat itu juga kami sempat ngobrol dan foto-foto dengan turis perempuan muda dari Perancis yang sebelumnya sudah ketemu ketika ada di Telaga Biru. Saat saya tanya namanya, dia sebutkan Claire. Setidaknya itu yang saya dengar. Teman-teman begitu antusias foto bersama dengan manusia Perancis ini. Dianya senang-senang saja diajak foto bareng-bareng. Malahan saat berada di Telaga Biru, justru dia yang meminta Idan dan Rahmat untuk difoto bersamanya. Kemudian Claire tanya apakah saya punya alamat email. Saat saya jawab ada lalu dia meminta supaya foto-foto dia yang ada di kamera kami dikirim. Saya sanggupi asal dia mengirim email dulu ke alamat email yang saya berikan.
Di pos dekat air terjun kami kemudian membuka semua nasi bungkus yang kami beli tadi untuk digelar berjajar. Dengan berhadap-hadapan kami menikmati makan siang yang begitu mewah. Bagi sekumpulan pendaki gunung yang kelaparan, nasi dengan sayur kacang dan tempe ditambah dengan kentang goreng, telur bulat balado, tahu, serta beberapa kerat daging yang dibawa salah satu anggota merupakan menu mewah dan istimewa. Nikmat banget rasanya. Makan siang bersama dihibur dengan suara gemuruh air terjun dan uap airnya yang sekali-sekali tertiup angin menyelimuti badan merupakan kesempatan langka yang tidak ternilai harganya. Kami jadi kompak dengan cara makan seperti itu. Dan yang jelas, kenyang. Dengan perut yang sudah terisi, semangat kami juga pulih kembali untuk melanjutkan perjalanan menyongsong puncak Pangrango dan Gede.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sholat berjamaah dulu di atas jalan sekaligus jembatan kayu yang menuju air terjun. Di situlah tempat yang datar dan nyaman untuk mengingat Sang Pencipta. Bagaimanapun juga, se’hepi-hepi’nya kami menikmati kegembiraan, harus tidak boleh lupa mengingat Yang Berkuasa. Setelah itu barulah langkah kaki kami teruskan. Jam menunjukkan pukul 13.25 wib ketika kami kembali di persimpangan Panyangcangan. Dari pertigaan itu, kami mengambil jalan yang belok ke kanan untuk menuju sungai air panas. Dari plang yang terdapat di pertigaan Panyangcangan, air panas berjarak 2,8 km atau 5,3 km dari pintu masuk Cibodas. Bila rata-rata per kilonya ditempuh selama satu jam, berarti perlu waktu hampir tiga jam untuk mencapainya. Setelah berjalan dengan perlahan tapi pasti, kami sampai di air panas jam 16.05 wib. Dengan demikian, air panas yang berada di ketinggian 2.100 mdpl itu bisa kami capai dari pertigaan Panyangcangan dalam waktu 2 jam 40 menit. Tidak begitu jauh dari yang diperkirakan.
Air panas ini merupakan obyek menarik terakhir yang bisa ditemui dalam perjalanan menuju puncak Gede maupun Pangrango. Para pendaki yang berangkat dari Cibodas akan melewati lokasi ini dan biasanya akan menyempatkan diri untuk berhenti dan bermain air yang di sebagian tempat tidak terlalu panas serta tentu saja mengambil beberapa foto untuk mereka yang membawa kamera. Kamipun melakukan hal yang sama. Medannya yang cukup berbahaya menjadi tantangan tersendiri. Bebatuan yang licin berlumut bisa menyebabkan tergelincir bila tidak hati-hati. Untungnya tersedia tali sepanjang tepian jalan yang berada di bawah air panas yang mengocor dari atas sehingga bisa dijadikan pegangan agar tidak jatuh ke dalam jurang yang berada di sebelah luar tali.
Setelah air panas terlewati, di sebelahnya terdapat pos peristirahatan Kandang Batu. Setelah tempat istirahat ini, pos selanjutnya yang akan dicapai adalah Kandang Badak. Jaraknya adalah 2,3 km dari Kandang Batu. Kandang Badak merupakan tempat yang biasanya digunakan untuk beristirahat. Di dekat pos Kandang Badak terdapat camping ground yang digunakan oleh para pendaki mendirikan tenda sebelum mereka melanjutkan pendakian baik ke Gunung Gede atau Gunung Pangrango. Kandang Badak merupakan pos persimpangan untuk mencapai kedua gunung yang sangat populer terutama bagi warga Jabodetabek dan satu-satunya eh dua-duanya gunung di Indonesia yang memerlukan ijin khusus untuk mendakinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.40 wib ketika kami meninggalkan air panas dan Kandang Batunya. Satu lagi tujuan yang harus kami capai untuk bisa mendirikan tenda dan beristirahat mengumpulkan tenaga, yaitu Kandang Badak. Esok hari kami akan melanjutkan perjalanan yang membutuhkan stamina prima. Hari masih benderang ketika kami menyusuri rerimbunan pepohonan di depan kami. Perlahan tapi pasti jejak langkah kami membawa ke tujuan. Saya tidak bisa berjalan dengan sempurna karena kaki yang mengalami shock akibat sebelumnya tidak pernah melakukan peregangan dan persiapan pendakian. Hasilnya, setiap ada tanjakan yang terlalu tinggi kaki mengalami kram dan harus segera istirahat untuk memulihkan kembali. Dan anda tahu sendiri, yang namanya naik gunung mana mungkin tidak menanjak. Dengan demikian, saya harus mengatur langkah kaki agar bisa berjalan sampai tujuan. Slow but sure.
Pendakian menuju Kandang Badak terus berlangsung. Kaki yang lek-lok dan kadang-kadang kram tidak menjadi kendala. Hanya saja saya harus beristirahat bila terasa kaki mau kram. Itu pula yang menyebabkan perjalanan tidak bisa cepat. Cahaya matahari yang terpancar di langit mulai memudar. Hutan menjadi remang-remang. Namun kami belum perlu mengeluarkan senter karena track yang harus dilewati masih bisa terlihat. Baru menjelang Kandang Badak senter-senter yang ada dikeluarkan karena pandangan sudah tidak begitu jelas lagi. Akhirnya kami sampai di camping ground Kandang Badak jam 18.30 wib. Rahmat, Idan, dan Mefhta yang berjalan di depan sudah sampai duluan di tempat itu satu jam sebelumnya. Mereka malahan sempat menggelar ponco untuk alas tidur. Kami semua kelelahan tetapi kami segera mencari lokasi yang bisa dipakai untuk mendirikan tenda agar bisa segera istirahat. Sebagian mendirikan tiga buah tenda doom, yang lain menyiapkan makan malam.
Camping ground di Kandang Badak sudah seperti pasar malam. Lokasi di tengah hutan di ketinggian lereng itu begitu ramai. Puluhan tenda berdiri berhimpit-himpitan. Mereka semua beristirahat sebelum melanjutkan pendakian ke Gunung Gede, Gunung Pangrango, atau turun ke Cibodas. Rombongan pendaki masih terus berdatangan sehingga area Kandang Badak semakin crowded. Bahkan sampai jam 4 pagi pun masih ada yang datang. Setelah makan malam, sholat, dan ngrumpi sambil berdiang di dekat api unggun yang kami buat, kami beristirahat untuk persiapan pendakian Gunung Pangrango besok. Jumlah jam pendakian hari ini yang sudah kami jalani mulai dari pos pelaporan di Cibodas sampai Kandang Badak yang berada di ketinggian 2.400 mdpl adalah 7,5 jam yaitu dari jam 11.00 wib s/d 18.30 wib. Tiga setengah jam lebih lambat dari yang seharusnya.
Minggu, 18 Mei 2008
Esok hari di Kandang Badak begitu dingin. Jam 4 pagi saya sempat keluar dari tenda tetapi kemudian saya putuskan masuk lagi dan kembali ke sleeping bag saya yang hangat. Udara di luar membuat seluruh badan menggigil. Muka yang tidak terlindung terasa seperti ditampar-tampar oleh dinginnya udara pagi, sakit dan kaku. Dengan berada di dalam tenda dan juga sleeping bag, saya terlindung dari terpaan udara dingin membekukan. Lereng Gunung Gede-Pangrango memang lebih dingin bila dibandingkan dengan lereng Gunung Salak.
Jam 07.00 wib kami mulai packing setelah sarapan. Tenda mulai dibongkar, segala peralatan dikumpulkan dan dirapikan, carrier diberesi masing-masing pemiliknya. Pagi ini kami akan mendaki Gunung Pangrango. Itu merupakan tujuan dan target utama ekspedisi ini. Setelah dari Pangrango, bila memungkinkan, kami akan lanjutkan ke Gede. Kalaupun tidak berhasil, setidaknya Puncak Pangrango sudah kami raih.
Jam 08.05 wib semua sudah rapi. Akhirnya kami berangkat menuju Pangrango. Sebelumnya saya hanya khawatir saja dengan kondisi Teguh yang semalam batuk-batuk dan saat pendakian kemarin berjalan lamban dan terlihat kelelahan. Beberapa bulan yang lalu dia sempat diopname karena kena demam berdarah. Ketika tadi pagi saya tanya apakah yakin sanggup naik Pangrango dan dia jawab siap maka saya putuskan pendakian tetap dilanjutkan. Dari Kandang Badak kami harus mencapai pertigaan dulu baru belok ke kanan untuk menuju Puncak Pangrango. Pertigaan yang bila belok ke kiri menuju Puncak Gede itu ternyata hanya dibutuhkan waktu lima menit untuk mencapainya. Setelah pertigaan itu, kami mendapat bonus meskipun tidak banyak, jalan yang mendatar.
Sepanjang jalan kami menikmati pemandangan khas hutan tropis dengan pohon-pohonnya. Seperti biasa dalam setiap pendakian, selalu ada yang dijadikan bahan ledekan. Kali ini Teguh, Hudri, dan Faisal yang jadi korbannya. Mereka dicengin sebagai hombreng karena suka pegang-pegangan dan peluk-pelukan. Kami tahu kesepuluh anggota tim adalah pejantan dan normal semua. Sudah pasti gurauan yang dilontarkan hanya sekedar hiburan dan sebagai suplemen agar tetap kompak dan semangat. Tidak ada yang marah atau tersinggung, yang ada hanya ketawa-ketiwi.
Bila seorang pecinta alam ingin menghangatkan sleeping bag, yang dilakukan biasanya merebus air kemudian dimasukkan ke dalam sebuah botol (atau tempat lain). Botol yang sudah terisi air panas itu selanjutnya dimasukkan ke dalam sleeping bag dan dibiarkan beberapa saat, sepuluh menitanlah. Jika ingin cepat menjadi hangat, jangan satu tapi lima botol besar sekaligus. Yang lebih gila lagi, bukan hanya lima botol, tapi sleeping bag diisi penuh dengan botol air panas sampai pemiliknya tidak bisa masuk. Dia menunggu sampai kantong tidurnya menjadi hangat dengan tidur-tiduran di sebelahnya. Dan yang terjadi adalah di ketiduran sampai pagi. Tentu saja kejadian ini hanya sekedar bercandaan kami di jalan. Namun bila benar-benar terjadi, alangkah o-onnya.
Uangkapan ’sepuluh menitanlah’ juga menjadi bahan bercandaan. Penyebabnya adalah ketika kami papasan dengan rombongan pendaki lain dan menanyakan kira-kira berapa lama lagi Puncak Pangrango dan kemudian dijawab sepuluh menitanlah. Kenyataannya, sudah setengah jam puncak yang dituju belum sampai-sampai juga. Setelah itu, setiap di antara kami ada yang tanya berapa lama lagi teman yang lain selalu menjawab dengan, ”sepuluh menitanlah.” Bahkan uangkapan itu terus diucapkan ketika kami sudah berada di atas bis menuju Bogor.
Karena semalam sempat istirahat dan tidak begadang, sekarang stamina lumayan baik. Kaki sudah tidak kebas lagi dan mulai terbiasa dengan kondisi medan yang terjal, curam, dan menaik. Di tempat yang agak terbuka dan datar, kami sempatkan istirahat. Saya minum bekal air yang saya bawa. Nikmat sekali. Tapi saya tidak berani minum banyak-banyak. Saya harus berhemat karena belum tahu pasti berapa lama lagi puncak agak tergapai. Tidak ada yang bisa memperkirakan sebab tidak ada satupun dari kami yang pernah mendaki Puncak Pangrango. Di tempat istrihat itu ternyata ada sebatang pohon edelweis (Leontopodium alpinum) yang kami temukan. Pohon idaman setiap pendaki. Sayangnya bunga abadinya belum keluar. Namun demikian, dengan adanya pohon itu, setidaknya kami bisa memperkirakan puncak gunungnya tidak lama lagi. ”Sepuluh menitanlah!”
Perjalanan diteruskan. Kami tidak memperhatikan waktu lagi. Bila terasa penat, kami beristirahat. Melangkah lagi. Istirahat lagi. Begitu terus. Hingga akhirnya, Puncak Pangrango yang kami rindukan ada di depan mata. Saya sempatkan melihat arloji. Jam menunjukkan pukul 12.20 wib. Saat itulah kami mencapai tempat tertinggi dari Gunung Pangrango. Kami berada di ketinggian 3.019 mdpl yang menjadi puncaknya. Jus apel yang sudah saya persiapkan buat menyambut keberhasilan segera saya keluarkan. Setelah berjalan dengan diselingi istirahat selama 4 jam 15 menit, akhirnya kami bisa menikmati jus kemenangan di Puncak Pangrango. Tidak percaya rasanya, Puncak Pangrango yang tadi pagi kami lihat dari camping ground Kandang Badang sekarang ada di bawah telapak kaki. Kami sedang mengangkanginya sekarang. Pangrango, akhirnya tlah kutaklukkan dirimu.
Setelah merayakan kemenangan, sudah pasti kami berfoto ria. Berbagai pose diambil. Tugu penanda puncak yang berwarna hijau bukan hanya disandari, dipantati, bahkan dinaiki dan ditunggangi rame-rame. Alangkah malang nasibnya. Entah sudah berapa ratus ribu pasang tangan yang menjamahnya. Tetangga saya saja yang sudah tua pernah memperlihatkan fotonya saat masih muda sedang berdiri di sebelah tugu tersebut. Itulah resiko yang harus diterima bila datang pendaki-pendaki yang kalap karena bisa mencapai tempat tersebut. Untungnya saja hanya sebuah tugu, kalau manusia, waduh, nggak kebayang deh hasilnya.
Dari puncak itu, ada jalan menurun menuju lapangan di mana terdapat ratusan pohon edelweis. Nama lapangan itu, katanya, Widya Mandala. Bisa ditempuh dalam waktu lima menit dari tugu penanda puncak. Lebarnya tidak seluas Alun-alun Suryakencana di Gunung Gede. Namun bagus juga lokasinya untuk dijadikan tempat mengambil foto. Di tengahnya terdapat cekungan memanjang seperti selokan yang di beberapa bagiannya terdapat genangan air. Kami memanfaatkan air tersebut untuk memasak mi instan dan membersihkan peralatan masak dan makan sesudahnya. Selain itu air itu juga digunakan untuk berwudlu. Bila anda berniat berkemah di lapangan ini, saya sarankan anda membawa perbekalan air dari Kandang Badak. Meskipun terdapat air di lapangan itu tetapi tidak memadai. Dan juga, jaga-jaga bila air yang tidak seberapa itu mengering.
Kami benar-benar beruntung saat itu. Ketika sampai di lapangan Widya Mandala, bunga edelweis sedang bermekaran. Kami dikelilingi kuntum-kuntum edelweis. Alangkah indahnya. Pohon edelweis yang jumlahnya tidak sebanyak di Alun-alun Suryakencana ini saja begitu menakjubkan, apalagi di Alun-alun Suryakencana, pasti luar biasa. Ada ribuan pohon edelweis di sana. Bila semua sedang berbunga seperti di lapangan Widya Mandala, merupakan bonus tambahan bagi para pendaki yang sampai di tempat itu.
Selesai berpuas-puas menikmati indahnya pemandangan dan bunga edelweis, tak lupa juga sholat dan makan siang, jam 14.25 wib kami turun. Kali ini kami bisa jalan lebih cepat dan istirahatnya tidak sebanyak ketika mendaki. Saking semangatnya, kewaspadaan saya berkurang. Akibatnya tulang kering bagian atas saya menghajar tonggak pohon yang agak tertutup belukar. Saya langsung mengaduh-aduh dan terpincang-pincang. Kulit di bawah lutut saya mengelupas. Untungnya saya masih bisa jalan meskipun tertatih-tatih. Jam 16.20 wib kami sudah tiba kembali di pertigaan 5-menit-jalan-kaki-di-atas-Kandang-Badak yang ada plang penunjuk arah menuju Puncak Gede dan Puncak Pangrango. Bila saat naik yang dimulai dari persimpangan itu tadi kami memerlukan waktu 4 jam 10 menit, sekarang turunnya hanya membutuhkan waktu 1 jam 55 menit. Luar biasa! Sementara yang lain istirahat, Idan dan Fajar turun ke Kandang Bandang untuk mengisi botol dan jirigen air untuk bekal mendaki ke Puncak Gede. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gede.
Setelah Idan dan Fajar kembali dari mengisi air dan istirahat, 15 menit kemudian kami berangkat menuju Puncak Gede. Jam 16.35 wib kami mulai jalan. Karena dari pagi kami sudah berjalan naik dan turun Gunung Pangrango, kami tidak bisa berjalan cepat. Apalagi sekarang dalam posisi mendaki. Kembali kami harus mengatur kaki dan langkah. Bila dari Kandang Badak, Puncak Gede umumnya bisa dicapai dalam waktu satu jam. Saya yakin bisa dua kali lipat atau lebih untuk bisa sampai di tempat itu. Biarin sajalah, alon-alon waton kelakon, yang penting nyampe.
Mayoritas pendaki tahu bahwa ada penghalang yang, bukan berat tapi cukup menantang, berada di antara Kandang Badak dan Puncak Gede yaitu yang disebut dengan Tanjakan Setan. Tanjakan ini sangat populer karena medannya yang aduhai. Tebing paling curam dalam pendakian Gunung Gede. Anda harus hati-hati dan tidak boleh meleng untuk melewatinya. Bila tidak, bisa jadi nyawa taruhannya. Kami sampai di tempat itu jam 17.30 wib. Lembayung langit sore menggantung di atas kami, namun hari masih terang. Dan ini menguntungkan kami. Dengan demikian kami bisa melewati Tanjakan Setan dengan lebih mudah karena bisa memilih di bagian mana kaki kami harus berpijak di batu cadas itu. Hal lain yang membantu adalah adanya dua jenis tali, baja dan plastik, yang digunakan sebagai pegangan. Namun bila tidak waspada, tali bajanya bisa mencederai. Beberapa bagian dari tali baja serabut kawatnya mencuat keluar sehingga dapat melukai tangan, terutama yang tidak memakai sarung tangan. Selain itu pakaian dan tas juga bisa sobek bila tersangkut.
Dari namanya, Tanjakan Setan memang mengerikan sekaligus menimbulkan penasaran bila mendengarnya. Meskipun demikian, ada bonus yang akan didapat bila sampai di tempat itu asalkan hari masih terang. Kita bisa memandangi Gunung Pangrango yang luar biasa indah dan gagah sepuasnya yang terlihat jelas dari Tanjakan Setan. Tidak rugi rasanya bersusah-payah memanjat tebing terjal dengan taruhan tangan sobek oleh tali baja dan mungkin saja kematian bila terjatuh.
Perjalanan terus dilanjutkan setelah rintangan yang paling berat terlewati. Tanjakan Setan telah kami tinggalkan. Hari mulai gelap. Setelah mata sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk melihat jalan, segera senter yang ada dikeluarkan. Rasanya Puncak Gede sudah dekat. Namun kok gak sampai-sampai ya? Jalan yang saya lewati semakin terjal dan berat. Hal ini mungkin dikarenakan kelelahan. Bayangin saja, kami mulai jalan jam 08.05 tadi pagi. Kurang lebih sudah sepuluh jam kami berjalan. Dengan badan begitu penat, medan yang semakin terjal dan gelapnya malam, perjalanan tidak bisa cepat. Setiap sepuluh menit jalan, selalu berhenti dulu untuk istirahat. Berkat kegigihan serta keinginan untuk segera dapat menginjakkan kaki di Puncak Gede sajalah yang terus memompa semangat kami terus melangkah.
Jam 19.00 wib akhirnya kami mencapai puncak. Namun ini puncak yang paling ujung. Kami harus berjalan menuju Puncak Gede tertinggi yang ada menaranya. Dari situlah keindahan kawah dan kaldera Gunung Gede bisa disaksikan. Sayangnya kami berada di Puncak Gede pada malam hari. Masih untung bulan purnama di atas kepala kami memberi penerangan meskipun remang-remang sehingga kami bisa melihat kawah dan kalderanya Gunung Gede yang berada di sebelah kiri. Sementara itu di sisi kanan bawah, terlihat kerlap-kerlip lampu yang berasal dari tenda-tenda yang berada di Alun-alun Suryakencana. Bahkan suara mereka yang berada di perkemahan itu bisa kedengaran meskipun sayup-sayup. Alun-alun itu memang bisa dilihat dari atas Puncak Gede.
Meskipun sudah berada di puncak, rupanya untuk mencapai puncak tertinggi dari Gunung Gede tidak begitu mudah. Meskipun dari jauh kami bisa melihat menaranya, rasanya tidak sampai-sampai. Lokasi yang terbuka dan berada di tempat tinggi menjadikan perjalanan semakin berat. Udara dingin dan berangin membekukan kami. Kami jadi cepat cape dan harus sering istirahat. Dengan carrier masih melekat di punggung kami duduk beristirahat begitu saja di tengah jalan. Carrier yang ada di punggung kami dijadikan sandaran. Rasanya mata ini mudah sekali mengantuk. Beberapa dari kami malah sempat tertidur, mendengkur lagi, sebelum dibangunkan untuk melanjutkan perjalanan. 50 menit kemudian, tepatnya jam 19.50 wib, kami sampai di puncak tertinggi Gunung Gede. Kami beristirahat sebentar sambil melihat pemandangan yang, meskipun hanya diteringi sinar bulan, masih tetap indah bahkan terasa mistis.
Setelah 25 menit berada di Puncak Gede, jam 20.15 wib kami turun menuju Alun-alun Suryakencana. Perlahan tapi pasti kami menuruni jalan setapak yang berada dekat menara yang terdapat plang tanda tetapi sudah tidak ada tulisan apa-apa. Barangkali plang itu dulu merupakan penunjuk arah menuju Alun-alun Suryakencana. Rupanya jalan menuju alun-alun lebih parah terjalnya. Batu berbongkah-bongkah dan mudah lepas harus kami lewati di tengah malam gulita. Hanya mengandalkan sinar senter yang menjadi penuntun langkah kaki kami.
Jam 21.30 wib kami mulai masuk area Alun-alun Suryakencana. Dari tempat itu kami harus berjalan dulu melintasi alun-alun menuju ke lokasi yang akan kami gunakan sebagai tempat mendirikan tenda. Lokasi itu ada di ujung jalur turun menuju Desa Gunung Putri. Sengaja saya memilih tempat itu agar besok ketika turun bisa langsung masuk ke jalur turun. Disamping dekat dengan jalur turun, tempat itu juga tidak jauh dari sumber air sebagaimana yang saya alami tahun kemarin. Rupanya perkiraan saya tentang dekatnya tempat berkemah dengan sumber air salah. Mungkin karena sudah lama tidak turun hujan, sumber air yang tahun kemarin saya gunakan sudah mengering semua. Yang ada hanya selokan-selokan berlumut. Terpaksa Idan dan Rahmat kembali ke tempat kami datang tadi dengan membawa jirigen serta botol-botol aqua kosong untuk diisi air. Sementara kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi berkemah untuk mendirikan tenda.
Pukul 22.30 wib kami baru sampai di tempat tujuan. Segera tenda-tenda didirikan. Air yang masih tersisa direbus untuk membuat kopi atau teh untuk menghangatkan badan yang kedinginan terterpa angin malam yang menusuk tulang. Meskipun tangan kami beku tetapi tidak begitu kesakitan dan masih bisa memasang tenda secara perlahan-lahan. Begitu tenda saya berdiri, saya segera masuk untuk ganti semua baju yang saya pakai karena baunya sudah menuntut untuk diganti. Mata rasanya sudah berat, begitu juga badan saya. Sementara nafsu makan saya sudah terbang. Saya sudah tidak peduli lagi dengan orang-orang yang berada di luar menyiapkan makan malam. Yang saya inginkan hanya masuk sleeping bag dan memberi kesempatan tubuh yang teramat cape ini beristirahat. Hari ini saya sudah jalan kaki hampir 14,5 jam.
Senin, 19 Mei 2008
Jam 05.30 wib, ada dua anak yang datang ke tenda saya hendak menumpang masuk tenda. Mereka berasal dari rombongan SMA 13 Tanjung Priok yang ketinggalan teman-temannya tadi malam. Karena ketinggalan itulah mereka tidur di luar. Salah satunya hanya bercelana selutut dan menggunakan sarung. Akibatnya, ketika pagi itu datang ke tenda saya, anak itu mengginggil luar biasa. Gerakannya sudah tidak terkontrol lagi dan saya yakin bila tidak segera ditolong maka akan terserang hypothermia. Buru-buru saya keluar dari sleeping bag dan menyuruhnya masuk ke dalamnya sebagai pertolongan pertama. Kemudian saya merebus air untuk dimasukkan ke dalam botol kaca bekas minuman vitamin C yang sengaja saya beli sebelum berangkat. Ketika akan saya berikan ke anak tersebut, saya sempat punya pikiran buruk saat melihat dia diam saja melingkar di dalam sleeping bag. ”Jangan-jangan dia sudah bablas,” begitu saya membatin. Untungnya waktu badannya saya goyang-goyang, dia bangun dan menerima botol air panas yang saya sodorkan. Setelah itu saya hanya berdoa mudah-mudahan kondisinya kembali normal dan bisa kembali bergabung dengan rombongannya.
Matahari pagi sudah keluar dan panas cahayanya terasa di kulit. Tidak membuang-buang kesempatan, saya berjemur diri untuk menghangatkan badan. Dari kejauhan terlihat sebaris kabut putih melatari empat orang yang berjalan menuju ke arah saya. Mereka merupakan pedagang nasi uduk yang hendak menjajakan dagangannya ke para pendaki sebagai menu sarapan. Dulu saat pertama kali ketemu, saya sempat surprised juga. Kok di atas gunung ada orang jualan nasi uduk. Mereka penduduk lokal, entah dari desa di sekitar Cibodas atau dari desa Gunung Putri, dan saya juga tidak tahu di mana tidurnya dan kapan berangkat dari rumah.
Hari ini kami akan pulang, turun ke arah Desa Gunung Putri. Jam sembilanan saya bangunkan dua pendaki yang menumpang di tenda saya. Saya katakan matahari sudah keluar dan bisa digunakan untuk menghangatkan badan. Mereka bangun dan yang hampir terkena hypothermia sudah terlihat pulih. Segera mereka keluar tenda sambil mengucapkan terima kasih. Selamat jalan kawan, mudah-mudahan bisa pulang kembali ke rumah dengan selamat.
Sementara Mefhta dan Hudri mencari air untuk bekal turun nanti, yang lain membongkar tenda dan mengepak serta merapikan barang-barang yang ada. Kami sekarang tinggal berenam. Jam enam tadi Fajar, Ujang, Faisal, dan Ridwan pulang duluan, rencananya mau masuk kerja. Rencana sebenarnya tadi malam sih setelah turun dari Puncak Gede tidak akan camping di alun-alun tetapi langsung turun ke Desa Gunung Putri dan berkemah di camping ground yang ada di seberang pos jaga Gunung Putri. Dengan demikian, kami bisa pulang ke Bogor menggunakan angkot pertama dari Desa Gunung Putri dan diharapkan bisa masuk kerja sesuai waktunya. Namun rencana tinggal rencana, karena kecapean semua, akhirnya diputuskan bermalam di Alun-alun Suryakencana.
Setelah sarapan dan semua sudah dipak dan rapi, pukul 10.10 kami turun menuju Desa Gunung Putri. Kami berjalan bersahaja karena tidak ada yang dikejar. Jam 14.00 kami sudah sampai di pos jaga Gunung Putri. Setelah melapor dan menyerahkan surat ijin pendakian kami langsung turun menuju masjid Desa Gunung Putri untuk sholat dan bebenah. Dari masjid kemudian mengisi perut di warung Nona Mini. Sayang nona mini yang mungil dan cantik yang tahun lalu melayani kami tidak kelihatan lagi. Entah di mana dia berada.
Di warung ini saya sempat tanyakan berapa ongkos angkutan (warna kuning) ke Cipanas. Oleh pemilik warung dijawab Rp.3.000. Itulah sebabnya saat mau naik dan, sekali lagi saya ketemu orang konyol alias calo, dikatakan ongkosnya Rp.4.000 kami yang tadinya sudah ada di dalam mobil langsung turun. Saya tanya kenapa harus jadi Rp.4.000 bila ongkosnya biasanya Rp.3.000 dan dia memberi jawaban yang aneh, ”kalau mau nyarter bayarnya Rp.4.000.” Kebetulan memang ada empat orang rombongan pendaki yang mau membayar Rp.40.000 untuk mencarter mobil itu. Bila kami yang enam orang ini bergabung, maka jumlahnya menjadi sepuluh orang. Dengan demikian masing-masing akan membayar Rp.4.000. Tapi saya tidak mau nyarter. Tidak masalah bila harus digabungkan dengan penumpang yang lain. Namanya juga angkutan umum.
Kami bertahan tidak mau naik dan duduk-duduk saja sambil menunggu angkutan lain. Saya tahu posisi tawar saya lemah. Tidak ada pilihan angkutan lain di situ. Saya yakin ujung-ujungnya kami yang akan mengalah untuk membayar Rp.4.000 bila mereka juga tidak mau mengalah. Akhirnya sopir angkutan yang berikutnya yang sebelumnya sudah ngetem di situ memanggil saya untuk naik. Awalnya dia juga meminta kami membayar Rp.4.000. Saya kembali menanyakan kenapa harus membayar Rp.4.000 bila biasanya Rp.3.000. Kali ini sopirnya diam saja. Dia tidak bisa menjawab. Barangkali bingung harus menjawab apa. Saya rasa dia, baik sopir maupun calo, menggunakan aji mumpung. Kemudian sopir menyuruh kami dan lima orang dari rombongan lain masuk mobilnya. Sopir bersedia menerima bayaran sesuai tarif normal.
Jam 15.45 wib kami turun dari Desa Gunung Putri dan sampai di Cipanas16.04 wib atau 19 menit kemudian. Kami menunggu bis tujuan Bandung-Bogor di trotoar depan kantor pos Sindanglaya. Pukul 16.50 wib baru ada bis ke arah Bogor dengan tiket Rp.7.000. Bis kami memasuki Terminal Baranangsiang jam 19.00 wib. Dari terminal kota Bogor itu kemudian disambung dengan angkot menuju ke rumah masing-masing.
Ekspedisi telah sukses dijalankan. Dua puncak gunung telah ditaklukkan. Dalam ekspedisi kali ini banyak hal yang mendukung keberhasilan. Di antaranya adalah jumlah peserta yang tidak terlalu banyak, hanya sepuluh orang. Kesemuanya laki-laki (ladies, sori, bukan meremehkan kemampuan kalian). Cuacanya mendukung. Hanya gerimis sebentar saat berada di lapangan Widya Mandala. Namun sayangnya, Titi, Imeh, dan Fitri yang dulu ikut menaklukan Puncak Salak I sekarang tidak bisa bergabung. Terus terang saja kami butuh kalian. Rasanya hampa dengan ketidakhadiran kalian karena... tidak ada yang dicengin.
Sabtu, 17 Mei 2008
Ini cerita sebuah kesuksesan gemilang yang menjadi dendam (obsesi) saya. Pendakian Gede-Pangrango yang dulu pernah saya lakukan dan gagal sekarang sudah terbayarkan. Puaaasss... biangget (’g’-nya dua karena saking puasnya). Ekspedisi yang berlangsung dari 17 s/d 19 Mei 2008 ini merupakan retest dari pendakian yang gagal tersebut. Dengan jumlah personil sepuluh (ini yang paling penting karena tidak terlalu banyak) dan jantan semua, perjalanan menjadi lebih cepat.
Sesuai yang disepakati, tempat berkumpulnya peserta pendakian adalah di Panaragan Kidul (Pankid). Peserta yang terdaftar sebenarnya 17 orang terdiri dari dua perempuan dan sisanya laki-laki. Mendekati hari H-nya, satu persatu mengundurkan diri dengan berbagai alasan hingga akhirnya tersisa sepuluh orang. Kesepuluh orang inilah pada pagi 17 Mei berkumpul di Pankid. Mereka adalah Ujang, Faisal, Rahmat, Idan, Adi, Hudri, Fajar, Teguh, Ridwan, dan Mefhta. Rencana berangkat jam 07.00 wib namun seperti biasa, bukan orang Indonesia kalau tidak ngaret, akhirnya baru berangkat 30 menit kemudian.
Kami berjalan dulu ke depan Swalayan Naga untuk naik angkot jurusan Baranangsiang dan turun di depan seberang mesra (mesjid raya). Dari situ kemudian disambung dengan angset (angkutan setan) atau orang suka menyebut juga dengan mobil elf. Seperti ekspedisi sebelumnya, kami harus menghadapi orang-orang konyol penghisap darah kehidupan sopir dulu, yaitu para calo sialan, untuk bisa menggunakan jasa angset menuju Cibodas, pintu masuk menuju pendakian. Gara-gara lintah ini, ongkos yang ke Desa Gunung Putri yang jaraknya lebih jauh dari Cibodas saja dulu kami bayar Rp.12.000, sekarang mereka minta Rp.15.000 untuk mengantarkan kami ke Cibodas. Kok bisa-bisanya ya mereka kerja dengan cara memeras keringat orang lain. Karena posisi kami lemah dan waktu sudah siang, pilihan yang tidak mengenakkan itu terpaksa kami ambil.
Jam 08.40 wib kami semua naik angkot. Saat nego harga sopir janji akan langsung mengantar kami sampai Cibodas dan tidak akan mengambil penumpang di jalan. Tetapi kenyataannya, sebelum tol dia mengambil dua penumpang lagi. Rejeki tambahan sih buat dia tetapi dia telah melanggar kesepakatan. Dan kami yang menggunakan jasanya tidak bisa berbuat apa-apa selain ngedumel. Begitulah mental sebagian sodara-sodara kita sebangsa setanah air.
Dengan dua penumpang tambahan yang mengakibatkan sedikit ketidaknyamanan, angset kami menuju Cibodas. Cuaca cerah hari itu. Hanya ada sedikit awan putih menghiasi birunya langit kota Bogor. Saya berdoa mudah-mudahan cuaca seperti ini juga yang muncul ketika kami berada di ketinggian. Namun kekhawatiran saya muncul ketika sampai di Puncak, awan gelap menyambut. Bila di atas nanti juga seperti itu, bisa jadi hujan akan turun. Dan itu yang tidak diharapkan.
Pukul 10.01 wib mobil kami sampai di pertigaan menuju Cibodas. Dari tempat itu menuju Cibodas ternyata hanya ditempuh dalam waktu tujuh menit. Sayangnya kami diturunkan sebelum pintu retribusi. Kata sopir, memang di situlah kami harus turun. Dia beralasan tidak mau masuk karena harus membayar retribusi. Emang benar seperti itu? Kalaupun tetap masuk, siapa sih yang akan membayar? Kami-kami juga. Ya toh? Dasar dianya aja yang dari awal keberangkatan sudah menunjukkan itikad yang kurang baik. Bagaimanapun juga, akhirnya kami sampai di Cibodas, meskipun harus membayar lagi, katanya karcis retribusi, sebesar Rp.2000 per orang selain karcis masuk pengunjung TNGP (taman nasional gunung gede pangrango) Rp.2500 dan asuransi kecelakaan diri pengunjung Rp.2000 yang telah kami bayarkan sebulan yang lalu saat mengajukan ijin pendakian.
Dari pos retribusi itu, kami harus berjalan dulu untuk sampai di lokasi warung-warung yang menjual suvenir dan sayur-mayur. Kami berhenti di tempat itu untuk membeli kebutuhan seperti sayur, minyak goreng, minyak tanah, dan nasi bungkus untuk makan siang yang akan kami bawa ke atas. Sebagian dari kami juga membeli kaos untuk kenang-kenangan karena harganya yang termasuk murah (Rp.20.000 dan Rp.25.000) dengan kualitas yang cukup bagus.
Belanja tetek-bengek dan repacking selesai pukul 10.50 wib. Selanjutnya kami berjalan menuju pos terakhir untuk melaporkan sekaligus menyerahkan surat ijin pendakian kami. Hanya memerlukan waktu sepuluh menit untuk mencapai pos itu. Was-was juga saat menyerahkan surat ijin pendakian. Masalahnya dua peserta yaitu Mehfta dan Idan namanya tidak terdapat dalam surat ijin itu. Mereka statusnya booking pada saat mendaftar karena masa berlaku ktp mereka habis. Mereka berdua kemudian diaku dengan nama lain yang ada di daftar tetapi batal ikut. Untungnya petugas yang melayani tidak menanyakan ktp masing-masing peserta dan hanya meminta untuk mengisi berapa jumlah bungkus perbekalan yang akan menjadi sampah nanti seperti mi instan dan biskuit serta jumlah pisau lipat atau gunting yang dibawa. Plong rasanya bisa melewati pos pelaporan pendakian itu.
Kami foto-foto dulu di depan pos itu sebelum melanjutkan perjalanan. Saat meninggalkan pos pelaporan pendakian, jam menunjukkan 11.00 wib. Dari sinilah pendakian benar-benar dimulai. Kalau pendakian yang dulu gagal dilakukan diawali dari Desa Gunung Putri diakhiri di Cibodas, sekarang rutenya dibalik, Cibodas dulu baru turun di Desa Gunung Putri. Yang pertama kali akan didaki adalah Gunung Pangrango, setelah itu Gunung Gede.
Obyek menarik pertama yang ditemui adalah Telaga Biru. Meskipun namanya seperti itu, kenyataannya air telaga itu berwarna hijau. Bila melihat papan informasi yang ada di dekat telaga, baru ketemu penyebabnya. Telaga itu bisa berubah-ubah warnanya tergantung pertumbuhan alga yang ada di dalamnya. Buat turis lokal, apalagi orang kampung seperti saya yang sering melihat telaga, balong, kolam, danau, atau apapun sebutannya untuk lubang berisi air, besar maupun kecil, Telaga Biru bukanlah suatu obyek yang istimewa. Jika dikatakan menarik, menariknya adalah karena danau kecil itu menjadi selingan setelah sekian lama perjalanan hanya ketemu pepohonan saja.
Talaga itu berada di ketinggian 1.500 mdpl. Berjarak 1,5 km dari pintu masuk Cibodas. Walaupun disebutkan bisa dicapai dalam waktu 25 menit, saya sendiri perlu waktu 40 menit. Itupun dari pos pelaporan, yang berjarak sepuluh menit jalan kaki setelah pintu masuk Cibodas. Yang bisa dinikmati dari telaga adalah airnya yang tenang menyejukkan. Jika anda ingin main air, mendingan di sungai kecil yang mengalir di sebelahnya. Airnya jernih dan berpasir. Berbeda dengan air telaga yang berlumpur dan tidak mudah dijangkau. Anda bisa terperosok dan kotor semua oleh lumpur bila tetap nekat. Cukup anda pandangi saja air Telaga Biru yang tidak biru itu dan dengarkan heningnya sekeliling yang kadang-kadang diselingi dengan suara burung dan binatang hutan entah-apa-itu lainnya.
Kami beristirahat dan mengambil foto sekitar 32 menit sebelum melanjutkan perjalanan menuju air terjun Cibeureum (1.650 mdpl) yang berjarak 2,7 km dari pintu masuk Cibodas atau 1 jam perjalanan. Air terjun ini merupakan destinasi kedua bagi pengunjung TNGP dan juga terakhir bagi mereka yang melakukan hiking. Dari pertigaan Panyangcangan yang di situ terdapat pos peristirahatan, air terjun Cibereum dapat ditempuh dalam sepuluh menit. Jalan yang menuju air terjun berupa batu yang disusun rapi yang sebagian di antaranya malah berupa susunan papan yang dibuat seperti jembatan. Sangat nyaman untuk berjalan namun perlu hati-hati juga karena di beberapa bagian kayunya sudah lapuk. Pandangan harus waspada untuk menghindari kejeblos ke dalam celahnya.
Sebagian dari kami menikmati dinginnya air terjun. Saya sendiri lebih suka melihat dari pos peristirahatan yang atapnya sudah bolong-bolong tidak jauh dari air terjun. Di tempat itu juga kami sempat ngobrol dan foto-foto dengan turis perempuan muda dari Perancis yang sebelumnya sudah ketemu ketika ada di Telaga Biru. Saat saya tanya namanya, dia sebutkan Claire. Setidaknya itu yang saya dengar. Teman-teman begitu antusias foto bersama dengan manusia Perancis ini. Dianya senang-senang saja diajak foto bareng-bareng. Malahan saat berada di Telaga Biru, justru dia yang meminta Idan dan Rahmat untuk difoto bersamanya. Kemudian Claire tanya apakah saya punya alamat email. Saat saya jawab ada lalu dia meminta supaya foto-foto dia yang ada di kamera kami dikirim. Saya sanggupi asal dia mengirim email dulu ke alamat email yang saya berikan.
Di pos dekat air terjun kami kemudian membuka semua nasi bungkus yang kami beli tadi untuk digelar berjajar. Dengan berhadap-hadapan kami menikmati makan siang yang begitu mewah. Bagi sekumpulan pendaki gunung yang kelaparan, nasi dengan sayur kacang dan tempe ditambah dengan kentang goreng, telur bulat balado, tahu, serta beberapa kerat daging yang dibawa salah satu anggota merupakan menu mewah dan istimewa. Nikmat banget rasanya. Makan siang bersama dihibur dengan suara gemuruh air terjun dan uap airnya yang sekali-sekali tertiup angin menyelimuti badan merupakan kesempatan langka yang tidak ternilai harganya. Kami jadi kompak dengan cara makan seperti itu. Dan yang jelas, kenyang. Dengan perut yang sudah terisi, semangat kami juga pulih kembali untuk melanjutkan perjalanan menyongsong puncak Pangrango dan Gede.
Sebelum melanjutkan perjalanan, kami sholat berjamaah dulu di atas jalan sekaligus jembatan kayu yang menuju air terjun. Di situlah tempat yang datar dan nyaman untuk mengingat Sang Pencipta. Bagaimanapun juga, se’hepi-hepi’nya kami menikmati kegembiraan, harus tidak boleh lupa mengingat Yang Berkuasa. Setelah itu barulah langkah kaki kami teruskan. Jam menunjukkan pukul 13.25 wib ketika kami kembali di persimpangan Panyangcangan. Dari pertigaan itu, kami mengambil jalan yang belok ke kanan untuk menuju sungai air panas. Dari plang yang terdapat di pertigaan Panyangcangan, air panas berjarak 2,8 km atau 5,3 km dari pintu masuk Cibodas. Bila rata-rata per kilonya ditempuh selama satu jam, berarti perlu waktu hampir tiga jam untuk mencapainya. Setelah berjalan dengan perlahan tapi pasti, kami sampai di air panas jam 16.05 wib. Dengan demikian, air panas yang berada di ketinggian 2.100 mdpl itu bisa kami capai dari pertigaan Panyangcangan dalam waktu 2 jam 40 menit. Tidak begitu jauh dari yang diperkirakan.
Air panas ini merupakan obyek menarik terakhir yang bisa ditemui dalam perjalanan menuju puncak Gede maupun Pangrango. Para pendaki yang berangkat dari Cibodas akan melewati lokasi ini dan biasanya akan menyempatkan diri untuk berhenti dan bermain air yang di sebagian tempat tidak terlalu panas serta tentu saja mengambil beberapa foto untuk mereka yang membawa kamera. Kamipun melakukan hal yang sama. Medannya yang cukup berbahaya menjadi tantangan tersendiri. Bebatuan yang licin berlumut bisa menyebabkan tergelincir bila tidak hati-hati. Untungnya tersedia tali sepanjang tepian jalan yang berada di bawah air panas yang mengocor dari atas sehingga bisa dijadikan pegangan agar tidak jatuh ke dalam jurang yang berada di sebelah luar tali.
Setelah air panas terlewati, di sebelahnya terdapat pos peristirahatan Kandang Batu. Setelah tempat istirahat ini, pos selanjutnya yang akan dicapai adalah Kandang Badak. Jaraknya adalah 2,3 km dari Kandang Batu. Kandang Badak merupakan tempat yang biasanya digunakan untuk beristirahat. Di dekat pos Kandang Badak terdapat camping ground yang digunakan oleh para pendaki mendirikan tenda sebelum mereka melanjutkan pendakian baik ke Gunung Gede atau Gunung Pangrango. Kandang Badak merupakan pos persimpangan untuk mencapai kedua gunung yang sangat populer terutama bagi warga Jabodetabek dan satu-satunya eh dua-duanya gunung di Indonesia yang memerlukan ijin khusus untuk mendakinya.
Waktu sudah menunjukkan pukul 16.40 wib ketika kami meninggalkan air panas dan Kandang Batunya. Satu lagi tujuan yang harus kami capai untuk bisa mendirikan tenda dan beristirahat mengumpulkan tenaga, yaitu Kandang Badak. Esok hari kami akan melanjutkan perjalanan yang membutuhkan stamina prima. Hari masih benderang ketika kami menyusuri rerimbunan pepohonan di depan kami. Perlahan tapi pasti jejak langkah kami membawa ke tujuan. Saya tidak bisa berjalan dengan sempurna karena kaki yang mengalami shock akibat sebelumnya tidak pernah melakukan peregangan dan persiapan pendakian. Hasilnya, setiap ada tanjakan yang terlalu tinggi kaki mengalami kram dan harus segera istirahat untuk memulihkan kembali. Dan anda tahu sendiri, yang namanya naik gunung mana mungkin tidak menanjak. Dengan demikian, saya harus mengatur langkah kaki agar bisa berjalan sampai tujuan. Slow but sure.
Pendakian menuju Kandang Badak terus berlangsung. Kaki yang lek-lok dan kadang-kadang kram tidak menjadi kendala. Hanya saja saya harus beristirahat bila terasa kaki mau kram. Itu pula yang menyebabkan perjalanan tidak bisa cepat. Cahaya matahari yang terpancar di langit mulai memudar. Hutan menjadi remang-remang. Namun kami belum perlu mengeluarkan senter karena track yang harus dilewati masih bisa terlihat. Baru menjelang Kandang Badak senter-senter yang ada dikeluarkan karena pandangan sudah tidak begitu jelas lagi. Akhirnya kami sampai di camping ground Kandang Badak jam 18.30 wib. Rahmat, Idan, dan Mefhta yang berjalan di depan sudah sampai duluan di tempat itu satu jam sebelumnya. Mereka malahan sempat menggelar ponco untuk alas tidur. Kami semua kelelahan tetapi kami segera mencari lokasi yang bisa dipakai untuk mendirikan tenda agar bisa segera istirahat. Sebagian mendirikan tiga buah tenda doom, yang lain menyiapkan makan malam.
Camping ground di Kandang Badak sudah seperti pasar malam. Lokasi di tengah hutan di ketinggian lereng itu begitu ramai. Puluhan tenda berdiri berhimpit-himpitan. Mereka semua beristirahat sebelum melanjutkan pendakian ke Gunung Gede, Gunung Pangrango, atau turun ke Cibodas. Rombongan pendaki masih terus berdatangan sehingga area Kandang Badak semakin crowded. Bahkan sampai jam 4 pagi pun masih ada yang datang. Setelah makan malam, sholat, dan ngrumpi sambil berdiang di dekat api unggun yang kami buat, kami beristirahat untuk persiapan pendakian Gunung Pangrango besok. Jumlah jam pendakian hari ini yang sudah kami jalani mulai dari pos pelaporan di Cibodas sampai Kandang Badak yang berada di ketinggian 2.400 mdpl adalah 7,5 jam yaitu dari jam 11.00 wib s/d 18.30 wib. Tiga setengah jam lebih lambat dari yang seharusnya.
Minggu, 18 Mei 2008
Esok hari di Kandang Badak begitu dingin. Jam 4 pagi saya sempat keluar dari tenda tetapi kemudian saya putuskan masuk lagi dan kembali ke sleeping bag saya yang hangat. Udara di luar membuat seluruh badan menggigil. Muka yang tidak terlindung terasa seperti ditampar-tampar oleh dinginnya udara pagi, sakit dan kaku. Dengan berada di dalam tenda dan juga sleeping bag, saya terlindung dari terpaan udara dingin membekukan. Lereng Gunung Gede-Pangrango memang lebih dingin bila dibandingkan dengan lereng Gunung Salak.
Jam 07.00 wib kami mulai packing setelah sarapan. Tenda mulai dibongkar, segala peralatan dikumpulkan dan dirapikan, carrier diberesi masing-masing pemiliknya. Pagi ini kami akan mendaki Gunung Pangrango. Itu merupakan tujuan dan target utama ekspedisi ini. Setelah dari Pangrango, bila memungkinkan, kami akan lanjutkan ke Gede. Kalaupun tidak berhasil, setidaknya Puncak Pangrango sudah kami raih.
Jam 08.05 wib semua sudah rapi. Akhirnya kami berangkat menuju Pangrango. Sebelumnya saya hanya khawatir saja dengan kondisi Teguh yang semalam batuk-batuk dan saat pendakian kemarin berjalan lamban dan terlihat kelelahan. Beberapa bulan yang lalu dia sempat diopname karena kena demam berdarah. Ketika tadi pagi saya tanya apakah yakin sanggup naik Pangrango dan dia jawab siap maka saya putuskan pendakian tetap dilanjutkan. Dari Kandang Badak kami harus mencapai pertigaan dulu baru belok ke kanan untuk menuju Puncak Pangrango. Pertigaan yang bila belok ke kiri menuju Puncak Gede itu ternyata hanya dibutuhkan waktu lima menit untuk mencapainya. Setelah pertigaan itu, kami mendapat bonus meskipun tidak banyak, jalan yang mendatar.
Sepanjang jalan kami menikmati pemandangan khas hutan tropis dengan pohon-pohonnya. Seperti biasa dalam setiap pendakian, selalu ada yang dijadikan bahan ledekan. Kali ini Teguh, Hudri, dan Faisal yang jadi korbannya. Mereka dicengin sebagai hombreng karena suka pegang-pegangan dan peluk-pelukan. Kami tahu kesepuluh anggota tim adalah pejantan dan normal semua. Sudah pasti gurauan yang dilontarkan hanya sekedar hiburan dan sebagai suplemen agar tetap kompak dan semangat. Tidak ada yang marah atau tersinggung, yang ada hanya ketawa-ketiwi.
Bila seorang pecinta alam ingin menghangatkan sleeping bag, yang dilakukan biasanya merebus air kemudian dimasukkan ke dalam sebuah botol (atau tempat lain). Botol yang sudah terisi air panas itu selanjutnya dimasukkan ke dalam sleeping bag dan dibiarkan beberapa saat, sepuluh menitanlah. Jika ingin cepat menjadi hangat, jangan satu tapi lima botol besar sekaligus. Yang lebih gila lagi, bukan hanya lima botol, tapi sleeping bag diisi penuh dengan botol air panas sampai pemiliknya tidak bisa masuk. Dia menunggu sampai kantong tidurnya menjadi hangat dengan tidur-tiduran di sebelahnya. Dan yang terjadi adalah di ketiduran sampai pagi. Tentu saja kejadian ini hanya sekedar bercandaan kami di jalan. Namun bila benar-benar terjadi, alangkah o-onnya.
Uangkapan ’sepuluh menitanlah’ juga menjadi bahan bercandaan. Penyebabnya adalah ketika kami papasan dengan rombongan pendaki lain dan menanyakan kira-kira berapa lama lagi Puncak Pangrango dan kemudian dijawab sepuluh menitanlah. Kenyataannya, sudah setengah jam puncak yang dituju belum sampai-sampai juga. Setelah itu, setiap di antara kami ada yang tanya berapa lama lagi teman yang lain selalu menjawab dengan, ”sepuluh menitanlah.” Bahkan uangkapan itu terus diucapkan ketika kami sudah berada di atas bis menuju Bogor.
Karena semalam sempat istirahat dan tidak begadang, sekarang stamina lumayan baik. Kaki sudah tidak kebas lagi dan mulai terbiasa dengan kondisi medan yang terjal, curam, dan menaik. Di tempat yang agak terbuka dan datar, kami sempatkan istirahat. Saya minum bekal air yang saya bawa. Nikmat sekali. Tapi saya tidak berani minum banyak-banyak. Saya harus berhemat karena belum tahu pasti berapa lama lagi puncak agak tergapai. Tidak ada yang bisa memperkirakan sebab tidak ada satupun dari kami yang pernah mendaki Puncak Pangrango. Di tempat istrihat itu ternyata ada sebatang pohon edelweis (Leontopodium alpinum) yang kami temukan. Pohon idaman setiap pendaki. Sayangnya bunga abadinya belum keluar. Namun demikian, dengan adanya pohon itu, setidaknya kami bisa memperkirakan puncak gunungnya tidak lama lagi. ”Sepuluh menitanlah!”
Perjalanan diteruskan. Kami tidak memperhatikan waktu lagi. Bila terasa penat, kami beristirahat. Melangkah lagi. Istirahat lagi. Begitu terus. Hingga akhirnya, Puncak Pangrango yang kami rindukan ada di depan mata. Saya sempatkan melihat arloji. Jam menunjukkan pukul 12.20 wib. Saat itulah kami mencapai tempat tertinggi dari Gunung Pangrango. Kami berada di ketinggian 3.019 mdpl yang menjadi puncaknya. Jus apel yang sudah saya persiapkan buat menyambut keberhasilan segera saya keluarkan. Setelah berjalan dengan diselingi istirahat selama 4 jam 15 menit, akhirnya kami bisa menikmati jus kemenangan di Puncak Pangrango. Tidak percaya rasanya, Puncak Pangrango yang tadi pagi kami lihat dari camping ground Kandang Badang sekarang ada di bawah telapak kaki. Kami sedang mengangkanginya sekarang. Pangrango, akhirnya tlah kutaklukkan dirimu.
Setelah merayakan kemenangan, sudah pasti kami berfoto ria. Berbagai pose diambil. Tugu penanda puncak yang berwarna hijau bukan hanya disandari, dipantati, bahkan dinaiki dan ditunggangi rame-rame. Alangkah malang nasibnya. Entah sudah berapa ratus ribu pasang tangan yang menjamahnya. Tetangga saya saja yang sudah tua pernah memperlihatkan fotonya saat masih muda sedang berdiri di sebelah tugu tersebut. Itulah resiko yang harus diterima bila datang pendaki-pendaki yang kalap karena bisa mencapai tempat tersebut. Untungnya saja hanya sebuah tugu, kalau manusia, waduh, nggak kebayang deh hasilnya.
Dari puncak itu, ada jalan menurun menuju lapangan di mana terdapat ratusan pohon edelweis. Nama lapangan itu, katanya, Widya Mandala. Bisa ditempuh dalam waktu lima menit dari tugu penanda puncak. Lebarnya tidak seluas Alun-alun Suryakencana di Gunung Gede. Namun bagus juga lokasinya untuk dijadikan tempat mengambil foto. Di tengahnya terdapat cekungan memanjang seperti selokan yang di beberapa bagiannya terdapat genangan air. Kami memanfaatkan air tersebut untuk memasak mi instan dan membersihkan peralatan masak dan makan sesudahnya. Selain itu air itu juga digunakan untuk berwudlu. Bila anda berniat berkemah di lapangan ini, saya sarankan anda membawa perbekalan air dari Kandang Badak. Meskipun terdapat air di lapangan itu tetapi tidak memadai. Dan juga, jaga-jaga bila air yang tidak seberapa itu mengering.
Kami benar-benar beruntung saat itu. Ketika sampai di lapangan Widya Mandala, bunga edelweis sedang bermekaran. Kami dikelilingi kuntum-kuntum edelweis. Alangkah indahnya. Pohon edelweis yang jumlahnya tidak sebanyak di Alun-alun Suryakencana ini saja begitu menakjubkan, apalagi di Alun-alun Suryakencana, pasti luar biasa. Ada ribuan pohon edelweis di sana. Bila semua sedang berbunga seperti di lapangan Widya Mandala, merupakan bonus tambahan bagi para pendaki yang sampai di tempat itu.
Selesai berpuas-puas menikmati indahnya pemandangan dan bunga edelweis, tak lupa juga sholat dan makan siang, jam 14.25 wib kami turun. Kali ini kami bisa jalan lebih cepat dan istirahatnya tidak sebanyak ketika mendaki. Saking semangatnya, kewaspadaan saya berkurang. Akibatnya tulang kering bagian atas saya menghajar tonggak pohon yang agak tertutup belukar. Saya langsung mengaduh-aduh dan terpincang-pincang. Kulit di bawah lutut saya mengelupas. Untungnya saya masih bisa jalan meskipun tertatih-tatih. Jam 16.20 wib kami sudah tiba kembali di pertigaan 5-menit-jalan-kaki-di-atas-Kandang-Badak yang ada plang penunjuk arah menuju Puncak Gede dan Puncak Pangrango. Bila saat naik yang dimulai dari persimpangan itu tadi kami memerlukan waktu 4 jam 10 menit, sekarang turunnya hanya membutuhkan waktu 1 jam 55 menit. Luar biasa! Sementara yang lain istirahat, Idan dan Fajar turun ke Kandang Bandang untuk mengisi botol dan jirigen air untuk bekal mendaki ke Puncak Gede. Kami memutuskan melanjutkan perjalanan menuju Puncak Gede.
Setelah Idan dan Fajar kembali dari mengisi air dan istirahat, 15 menit kemudian kami berangkat menuju Puncak Gede. Jam 16.35 wib kami mulai jalan. Karena dari pagi kami sudah berjalan naik dan turun Gunung Pangrango, kami tidak bisa berjalan cepat. Apalagi sekarang dalam posisi mendaki. Kembali kami harus mengatur kaki dan langkah. Bila dari Kandang Badak, Puncak Gede umumnya bisa dicapai dalam waktu satu jam. Saya yakin bisa dua kali lipat atau lebih untuk bisa sampai di tempat itu. Biarin sajalah, alon-alon waton kelakon, yang penting nyampe.
Mayoritas pendaki tahu bahwa ada penghalang yang, bukan berat tapi cukup menantang, berada di antara Kandang Badak dan Puncak Gede yaitu yang disebut dengan Tanjakan Setan. Tanjakan ini sangat populer karena medannya yang aduhai. Tebing paling curam dalam pendakian Gunung Gede. Anda harus hati-hati dan tidak boleh meleng untuk melewatinya. Bila tidak, bisa jadi nyawa taruhannya. Kami sampai di tempat itu jam 17.30 wib. Lembayung langit sore menggantung di atas kami, namun hari masih terang. Dan ini menguntungkan kami. Dengan demikian kami bisa melewati Tanjakan Setan dengan lebih mudah karena bisa memilih di bagian mana kaki kami harus berpijak di batu cadas itu. Hal lain yang membantu adalah adanya dua jenis tali, baja dan plastik, yang digunakan sebagai pegangan. Namun bila tidak waspada, tali bajanya bisa mencederai. Beberapa bagian dari tali baja serabut kawatnya mencuat keluar sehingga dapat melukai tangan, terutama yang tidak memakai sarung tangan. Selain itu pakaian dan tas juga bisa sobek bila tersangkut.
Dari namanya, Tanjakan Setan memang mengerikan sekaligus menimbulkan penasaran bila mendengarnya. Meskipun demikian, ada bonus yang akan didapat bila sampai di tempat itu asalkan hari masih terang. Kita bisa memandangi Gunung Pangrango yang luar biasa indah dan gagah sepuasnya yang terlihat jelas dari Tanjakan Setan. Tidak rugi rasanya bersusah-payah memanjat tebing terjal dengan taruhan tangan sobek oleh tali baja dan mungkin saja kematian bila terjatuh.
Perjalanan terus dilanjutkan setelah rintangan yang paling berat terlewati. Tanjakan Setan telah kami tinggalkan. Hari mulai gelap. Setelah mata sudah tidak bisa diandalkan lagi untuk melihat jalan, segera senter yang ada dikeluarkan. Rasanya Puncak Gede sudah dekat. Namun kok gak sampai-sampai ya? Jalan yang saya lewati semakin terjal dan berat. Hal ini mungkin dikarenakan kelelahan. Bayangin saja, kami mulai jalan jam 08.05 tadi pagi. Kurang lebih sudah sepuluh jam kami berjalan. Dengan badan begitu penat, medan yang semakin terjal dan gelapnya malam, perjalanan tidak bisa cepat. Setiap sepuluh menit jalan, selalu berhenti dulu untuk istirahat. Berkat kegigihan serta keinginan untuk segera dapat menginjakkan kaki di Puncak Gede sajalah yang terus memompa semangat kami terus melangkah.
Jam 19.00 wib akhirnya kami mencapai puncak. Namun ini puncak yang paling ujung. Kami harus berjalan menuju Puncak Gede tertinggi yang ada menaranya. Dari situlah keindahan kawah dan kaldera Gunung Gede bisa disaksikan. Sayangnya kami berada di Puncak Gede pada malam hari. Masih untung bulan purnama di atas kepala kami memberi penerangan meskipun remang-remang sehingga kami bisa melihat kawah dan kalderanya Gunung Gede yang berada di sebelah kiri. Sementara itu di sisi kanan bawah, terlihat kerlap-kerlip lampu yang berasal dari tenda-tenda yang berada di Alun-alun Suryakencana. Bahkan suara mereka yang berada di perkemahan itu bisa kedengaran meskipun sayup-sayup. Alun-alun itu memang bisa dilihat dari atas Puncak Gede.
Meskipun sudah berada di puncak, rupanya untuk mencapai puncak tertinggi dari Gunung Gede tidak begitu mudah. Meskipun dari jauh kami bisa melihat menaranya, rasanya tidak sampai-sampai. Lokasi yang terbuka dan berada di tempat tinggi menjadikan perjalanan semakin berat. Udara dingin dan berangin membekukan kami. Kami jadi cepat cape dan harus sering istirahat. Dengan carrier masih melekat di punggung kami duduk beristirahat begitu saja di tengah jalan. Carrier yang ada di punggung kami dijadikan sandaran. Rasanya mata ini mudah sekali mengantuk. Beberapa dari kami malah sempat tertidur, mendengkur lagi, sebelum dibangunkan untuk melanjutkan perjalanan. 50 menit kemudian, tepatnya jam 19.50 wib, kami sampai di puncak tertinggi Gunung Gede. Kami beristirahat sebentar sambil melihat pemandangan yang, meskipun hanya diteringi sinar bulan, masih tetap indah bahkan terasa mistis.
Setelah 25 menit berada di Puncak Gede, jam 20.15 wib kami turun menuju Alun-alun Suryakencana. Perlahan tapi pasti kami menuruni jalan setapak yang berada dekat menara yang terdapat plang tanda tetapi sudah tidak ada tulisan apa-apa. Barangkali plang itu dulu merupakan penunjuk arah menuju Alun-alun Suryakencana. Rupanya jalan menuju alun-alun lebih parah terjalnya. Batu berbongkah-bongkah dan mudah lepas harus kami lewati di tengah malam gulita. Hanya mengandalkan sinar senter yang menjadi penuntun langkah kaki kami.
Jam 21.30 wib kami mulai masuk area Alun-alun Suryakencana. Dari tempat itu kami harus berjalan dulu melintasi alun-alun menuju ke lokasi yang akan kami gunakan sebagai tempat mendirikan tenda. Lokasi itu ada di ujung jalur turun menuju Desa Gunung Putri. Sengaja saya memilih tempat itu agar besok ketika turun bisa langsung masuk ke jalur turun. Disamping dekat dengan jalur turun, tempat itu juga tidak jauh dari sumber air sebagaimana yang saya alami tahun kemarin. Rupanya perkiraan saya tentang dekatnya tempat berkemah dengan sumber air salah. Mungkin karena sudah lama tidak turun hujan, sumber air yang tahun kemarin saya gunakan sudah mengering semua. Yang ada hanya selokan-selokan berlumut. Terpaksa Idan dan Rahmat kembali ke tempat kami datang tadi dengan membawa jirigen serta botol-botol aqua kosong untuk diisi air. Sementara kami melanjutkan perjalanan menuju lokasi berkemah untuk mendirikan tenda.
Pukul 22.30 wib kami baru sampai di tempat tujuan. Segera tenda-tenda didirikan. Air yang masih tersisa direbus untuk membuat kopi atau teh untuk menghangatkan badan yang kedinginan terterpa angin malam yang menusuk tulang. Meskipun tangan kami beku tetapi tidak begitu kesakitan dan masih bisa memasang tenda secara perlahan-lahan. Begitu tenda saya berdiri, saya segera masuk untuk ganti semua baju yang saya pakai karena baunya sudah menuntut untuk diganti. Mata rasanya sudah berat, begitu juga badan saya. Sementara nafsu makan saya sudah terbang. Saya sudah tidak peduli lagi dengan orang-orang yang berada di luar menyiapkan makan malam. Yang saya inginkan hanya masuk sleeping bag dan memberi kesempatan tubuh yang teramat cape ini beristirahat. Hari ini saya sudah jalan kaki hampir 14,5 jam.
Senin, 19 Mei 2008
Jam 05.30 wib, ada dua anak yang datang ke tenda saya hendak menumpang masuk tenda. Mereka berasal dari rombongan SMA 13 Tanjung Priok yang ketinggalan teman-temannya tadi malam. Karena ketinggalan itulah mereka tidur di luar. Salah satunya hanya bercelana selutut dan menggunakan sarung. Akibatnya, ketika pagi itu datang ke tenda saya, anak itu mengginggil luar biasa. Gerakannya sudah tidak terkontrol lagi dan saya yakin bila tidak segera ditolong maka akan terserang hypothermia. Buru-buru saya keluar dari sleeping bag dan menyuruhnya masuk ke dalamnya sebagai pertolongan pertama. Kemudian saya merebus air untuk dimasukkan ke dalam botol kaca bekas minuman vitamin C yang sengaja saya beli sebelum berangkat. Ketika akan saya berikan ke anak tersebut, saya sempat punya pikiran buruk saat melihat dia diam saja melingkar di dalam sleeping bag. ”Jangan-jangan dia sudah bablas,” begitu saya membatin. Untungnya waktu badannya saya goyang-goyang, dia bangun dan menerima botol air panas yang saya sodorkan. Setelah itu saya hanya berdoa mudah-mudahan kondisinya kembali normal dan bisa kembali bergabung dengan rombongannya.
Matahari pagi sudah keluar dan panas cahayanya terasa di kulit. Tidak membuang-buang kesempatan, saya berjemur diri untuk menghangatkan badan. Dari kejauhan terlihat sebaris kabut putih melatari empat orang yang berjalan menuju ke arah saya. Mereka merupakan pedagang nasi uduk yang hendak menjajakan dagangannya ke para pendaki sebagai menu sarapan. Dulu saat pertama kali ketemu, saya sempat surprised juga. Kok di atas gunung ada orang jualan nasi uduk. Mereka penduduk lokal, entah dari desa di sekitar Cibodas atau dari desa Gunung Putri, dan saya juga tidak tahu di mana tidurnya dan kapan berangkat dari rumah.
Hari ini kami akan pulang, turun ke arah Desa Gunung Putri. Jam sembilanan saya bangunkan dua pendaki yang menumpang di tenda saya. Saya katakan matahari sudah keluar dan bisa digunakan untuk menghangatkan badan. Mereka bangun dan yang hampir terkena hypothermia sudah terlihat pulih. Segera mereka keluar tenda sambil mengucapkan terima kasih. Selamat jalan kawan, mudah-mudahan bisa pulang kembali ke rumah dengan selamat.
Sementara Mefhta dan Hudri mencari air untuk bekal turun nanti, yang lain membongkar tenda dan mengepak serta merapikan barang-barang yang ada. Kami sekarang tinggal berenam. Jam enam tadi Fajar, Ujang, Faisal, dan Ridwan pulang duluan, rencananya mau masuk kerja. Rencana sebenarnya tadi malam sih setelah turun dari Puncak Gede tidak akan camping di alun-alun tetapi langsung turun ke Desa Gunung Putri dan berkemah di camping ground yang ada di seberang pos jaga Gunung Putri. Dengan demikian, kami bisa pulang ke Bogor menggunakan angkot pertama dari Desa Gunung Putri dan diharapkan bisa masuk kerja sesuai waktunya. Namun rencana tinggal rencana, karena kecapean semua, akhirnya diputuskan bermalam di Alun-alun Suryakencana.
Setelah sarapan dan semua sudah dipak dan rapi, pukul 10.10 kami turun menuju Desa Gunung Putri. Kami berjalan bersahaja karena tidak ada yang dikejar. Jam 14.00 kami sudah sampai di pos jaga Gunung Putri. Setelah melapor dan menyerahkan surat ijin pendakian kami langsung turun menuju masjid Desa Gunung Putri untuk sholat dan bebenah. Dari masjid kemudian mengisi perut di warung Nona Mini. Sayang nona mini yang mungil dan cantik yang tahun lalu melayani kami tidak kelihatan lagi. Entah di mana dia berada.
Di warung ini saya sempat tanyakan berapa ongkos angkutan (warna kuning) ke Cipanas. Oleh pemilik warung dijawab Rp.3.000. Itulah sebabnya saat mau naik dan, sekali lagi saya ketemu orang konyol alias calo, dikatakan ongkosnya Rp.4.000 kami yang tadinya sudah ada di dalam mobil langsung turun. Saya tanya kenapa harus jadi Rp.4.000 bila ongkosnya biasanya Rp.3.000 dan dia memberi jawaban yang aneh, ”kalau mau nyarter bayarnya Rp.4.000.” Kebetulan memang ada empat orang rombongan pendaki yang mau membayar Rp.40.000 untuk mencarter mobil itu. Bila kami yang enam orang ini bergabung, maka jumlahnya menjadi sepuluh orang. Dengan demikian masing-masing akan membayar Rp.4.000. Tapi saya tidak mau nyarter. Tidak masalah bila harus digabungkan dengan penumpang yang lain. Namanya juga angkutan umum.
Kami bertahan tidak mau naik dan duduk-duduk saja sambil menunggu angkutan lain. Saya tahu posisi tawar saya lemah. Tidak ada pilihan angkutan lain di situ. Saya yakin ujung-ujungnya kami yang akan mengalah untuk membayar Rp.4.000 bila mereka juga tidak mau mengalah. Akhirnya sopir angkutan yang berikutnya yang sebelumnya sudah ngetem di situ memanggil saya untuk naik. Awalnya dia juga meminta kami membayar Rp.4.000. Saya kembali menanyakan kenapa harus membayar Rp.4.000 bila biasanya Rp.3.000. Kali ini sopirnya diam saja. Dia tidak bisa menjawab. Barangkali bingung harus menjawab apa. Saya rasa dia, baik sopir maupun calo, menggunakan aji mumpung. Kemudian sopir menyuruh kami dan lima orang dari rombongan lain masuk mobilnya. Sopir bersedia menerima bayaran sesuai tarif normal.
Jam 15.45 wib kami turun dari Desa Gunung Putri dan sampai di Cipanas16.04 wib atau 19 menit kemudian. Kami menunggu bis tujuan Bandung-Bogor di trotoar depan kantor pos Sindanglaya. Pukul 16.50 wib baru ada bis ke arah Bogor dengan tiket Rp.7.000. Bis kami memasuki Terminal Baranangsiang jam 19.00 wib. Dari terminal kota Bogor itu kemudian disambung dengan angkot menuju ke rumah masing-masing.
Ekspedisi telah sukses dijalankan. Dua puncak gunung telah ditaklukkan. Dalam ekspedisi kali ini banyak hal yang mendukung keberhasilan. Di antaranya adalah jumlah peserta yang tidak terlalu banyak, hanya sepuluh orang. Kesemuanya laki-laki (ladies, sori, bukan meremehkan kemampuan kalian). Cuacanya mendukung. Hanya gerimis sebentar saat berada di lapangan Widya Mandala. Namun sayangnya, Titi, Imeh, dan Fitri yang dulu ikut menaklukan Puncak Salak I sekarang tidak bisa bergabung. Terus terang saja kami butuh kalian. Rasanya hampa dengan ketidakhadiran kalian karena... tidak ada yang dicengin.
Tuesday, May 13, 2008
Kawah Candradimuka
Ini reportase. Saya buat agar anda semua tahu, di sebuah desa di Kabupaten Bogor yang masih asri dan ndeso, ada sebuah kawah yang akan menghasilkan generasi muda terdidik, terampil, dan berakhlak terpuji. Pada saat soft opening kawah itu tanggal 5 Mei 2008, saya berada di sana.
Dalam dunia wayang, ada sebuah tempat yang menjadi lokasi penggemblengan para kesatria. Mereka dididik menjadi orang-orang yang gagah berani, jujur, dan berhati mulia. Salah satu alumninya adalah Gatotkaca atau Tetuka, putra dari Bima atau Werkodara dan Arimbi atau Hidimbi, yang melegenda sebagai kesatria berotot kawat bertulang baja. Tempat tersebut bernama Kawah Candradimuka.
Saya masih ingat dengan janji saya meskipun sambil main-main untuk menulis sebuah bangunan tiga lantai milik sebuah lembaga pendidikan bernama BEC dalam blog saya yang berjudul Sukabumi. Biar tidak bingung, saya akan awali dengan menjelaskan apa itu BEC meskipun sebenarnya nama ini pernah saya singgung-singgung dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya seperti tulisan yang berjudul Bakso 2007. Tapi okelah, saya tulis lagi saja.
BEC yang kepanjangannya Bogor EduCARE merupakan lembaga pendidikan yang benar-benar diperuntukkan rakyat jelata dan miskin. Bagaimana tidak? Anda tidak perlu membayar uang kuliah, uang sks, uang gedung, uang sidang dan uang-uang lainnya kecuali kebutuhan pribadi seperti biaya transpor dari rumah ke kampus p.p., fotokopi, buku dan alat tulis lain yang anda perlukan selama kuliah, uang kost, dan makan. Pendidikan yang disediakan semua diberikan secara gratis untuk anda. Tentu saja ada tapinya, yaitu anda harus memenuhi persyaratan yang ditentukan seperti harus lulus tes seleksi, tidak boleh berhenti selama masa pendidikan (satu tahun) kecuali di-d.o., lulusan sma atau yang sederajat, dari keluarga dhuafa dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, dan aturan-aturan lain yang ditetapkan. Jika anda kaya, jangan sekali-sekali anda mencoba mendaftar di BEC. Saya jamin anda tidak akan diterima meskipun berotak encer. Anda bisa mengakses situs BEC di http://www.bogoreducare.org/ untuk informasi lainnya.
Sebagaimana disampaikan oleh pendirinya dalam soft opening, latar belakang didirikannya BEC adalah rasa keprihatinan dan kekhawatiran ketika terjadi krisis moneter tahun 1998. Pak Achmad Kalla yang saat itu (sampai sekarang) adalah Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama (BTU) merasa prihatin dengan masa depan dari anak-anak yang orangtuanya terkena phk. Bagaimana mereka akan melanjutkan sekolah bila tidak memiliki dana untuk membayar biaya pendidikan yang tidak murah. Jangankan untuk pendidikan untuk makan saja tidak cukup. Mereka harus dibantu untuk survive, terutama kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Anak-anak mereka, terutama dari keluarga miskin, harus dibekali pengetahuan dan ketrampilan. Dengan demikian mereka akan siap memasuki dunia kerja dan, yang menurut pak Achmad dianggap penting, kepercayaan diri meningkat. Untuk mewujudkan keinginan itu, dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Peduli Pendidikan Mandiri (YPPM). Lewat yayasan ini kemudian dibentuk sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Bogor EduCARE. Lembaga ini didirikan bukan untuk kepentingan perusahaan yang menginginkan karyawan yang terampil dan terdidik tetapi semata-mata untuk mengangkat derajat kehidupan keluarga miskin yang membutuhkan pertolongan. BEC didirikan tiada lain hanya semata-mata sebagai ladang amal jariah.
BEC yang awalnya berada di tengah kota Bogor dan menggunakan rumah kontrakan sebagai tempat beraktifitas dianggap sudah tidak memadai. Anda juga bisa membaca tentang hal itu di tulisan berjudul Siapa yang Miskin?. YPPM kemudian membeli sebidang tanah seluas 3000 m2 di Desa Sukaraja. Di atas lahan itu dibangun gedung BEC tiga lantai. Dalam sambutannya ketika soft opening, pak Imron Zubaidy selaku pimpinan proyek menyatakan pembangunan dimulai sehari setelah Idul Fitri (September 2007). Bila bangunan ini selesai nanti akan memiliki fasilitas:
- 18 ruang kelas,
- 2 laboratorium komputer,
- laboratorium bahasa,
- perpustakaan,
- ruang pengajar,
- ruang administrasi,
- rental komputer & warnet,
- mushola,
- lapangan sepakbola/futsal,
- taman.
Bangunan yang baru selesai satu lantai ini terlihat mewah meskipun sebagian material yang digunakan merupakan barang bekas atau sisa. Seperti yang dikatakan pimpinan proyek, jendela-jendela besar yang ada di lantai satu merupakan sisa bongkaran dari lantai dua PT BTU. Jalusi (ventilasi) dibuat dari sisa aluminium yang diambil dari PT Cidas Supra Metalindo, begitu juga gorong-gorong yang dipasang di depan pintu masuk BEC. Rancangan bangunannya sendiri tidak dibuat khusus melainkan diilhami desain gedung sekolah dasar yang ada di Jatibening demi kepraktisan dan agar cepat. Walaupun demikian bangunan yang direncanakan selesai September 2008 dan diperkirakan menghabiskan dana sekitar 6 milyar itu terlihat bagus dan kokoh.
Mendengar penjelasan dari pimpinan proyek, tahapan proses pembangunnya benar-benar mengesankan dan pantas diacungi jempol. Merapikan bangunan mushola milik penduduk desa yang pas ada di depan proyek dan melengkapinya dengan kamar kecil serta tempat wudlu lengkap dengan pompa airnya sebelum pengerjaan proyek merupakan strategi jitu untuk mendapatkan kesan baik dan penerimaan dari masyarakat. Adanya orang lokal, Sukatma atau biasa dipanggil pak Engkat, sebagai juru bicara proyek ketika menghadapi penduduk setempat juga bisa melancarkan komunikasi. Ditambah lagi pak Dani yang juga penduduk desa itu yang rumahnya di sebelah proyek ikut dilibatkan dalam pembuatan taman diharapkan makin dapat meningkatkan kerjasama masyarakat.
Dengan berdirinya kampus BEC otomatis membuka peluang menambah penghasilan bagi masyarakat. Jumlah mahasiswa yang ratusan merupakan pasar potensial untuk tempat kost, warung makan, jasa fotokopi, dan bisnis sektor riil lainnya. Kepala desa H. Hasan Basri yang turut diundang dalam soft opening juga berharap dengan adanya kampus baru ini akan bisa menaikkan taraf hidup masyarakat yang ada di sekitar kampus. Keberadaan BEC juga melengkapi tingkat pendidikan yang sekarang sudah ada di Desa Sukaraja. Dengan demikian, di wilayah Sukaraja sekarang sudah tersedia sarana pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi.
Pak Achmad Kalla selaku Ketua YPPM berkeinginan gedung BEC yang masih dalam proses penyelesaian ini nanti bukan hanya mewah dan megah tetapi juga dapat menjadi lembaga pendidikan terbaik di Bogor dengan dilengkapi sarana prasarana super canggih dan modern. Dengan adanya keinginan dari ketua sekaligus pemilik seperti itu, sudah seharusnya orang-orang pelaksana di lapangan juga mendukung itikad yang mulia itu. Jangan sampai memberi kesan justru menghalang-halangi dengan menyampaikan alasan dan argumen yang jelas terdengar dibuat-buat.
Bila bangunan itu dibuat semewah mungkin boleh-boleh saja. Tetapi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana perawatannya. Bangsa kita ini kan sudah terkenal dengan kepintarannya membuat bangunan tetapi juga sekaligus kebodohannya dalam merawat setelah bangunan itu jadi. Bisa dipastikan akan muncul benturan budaya dalam perawatannya nanti karena sikap mental yang belum siap. Contoh gampang saja, masih sering orang membuang tisu di kloset meskipun ada tempat sampah di sebelahnya. Di bibir kloset duduk, terdapat bekas telapak sepatu. Ini kan mengherankan. Masak monyet pakai sepatu?
Dalam dunia wayang, ada sebuah tempat yang menjadi lokasi penggemblengan para kesatria. Mereka dididik menjadi orang-orang yang gagah berani, jujur, dan berhati mulia. Salah satu alumninya adalah Gatotkaca atau Tetuka, putra dari Bima atau Werkodara dan Arimbi atau Hidimbi, yang melegenda sebagai kesatria berotot kawat bertulang baja. Tempat tersebut bernama Kawah Candradimuka.
Saya masih ingat dengan janji saya meskipun sambil main-main untuk menulis sebuah bangunan tiga lantai milik sebuah lembaga pendidikan bernama BEC dalam blog saya yang berjudul Sukabumi. Biar tidak bingung, saya akan awali dengan menjelaskan apa itu BEC meskipun sebenarnya nama ini pernah saya singgung-singgung dalam tulisan-tulisan saya sebelumnya seperti tulisan yang berjudul Bakso 2007. Tapi okelah, saya tulis lagi saja.
BEC yang kepanjangannya Bogor EduCARE merupakan lembaga pendidikan yang benar-benar diperuntukkan rakyat jelata dan miskin. Bagaimana tidak? Anda tidak perlu membayar uang kuliah, uang sks, uang gedung, uang sidang dan uang-uang lainnya kecuali kebutuhan pribadi seperti biaya transpor dari rumah ke kampus p.p., fotokopi, buku dan alat tulis lain yang anda perlukan selama kuliah, uang kost, dan makan. Pendidikan yang disediakan semua diberikan secara gratis untuk anda. Tentu saja ada tapinya, yaitu anda harus memenuhi persyaratan yang ditentukan seperti harus lulus tes seleksi, tidak boleh berhenti selama masa pendidikan (satu tahun) kecuali di-d.o., lulusan sma atau yang sederajat, dari keluarga dhuafa dibuktikan dengan surat keterangan tidak mampu dari kelurahan, dan aturan-aturan lain yang ditetapkan. Jika anda kaya, jangan sekali-sekali anda mencoba mendaftar di BEC. Saya jamin anda tidak akan diterima meskipun berotak encer. Anda bisa mengakses situs BEC di http://www.bogoreducare.org/ untuk informasi lainnya.
Sebagaimana disampaikan oleh pendirinya dalam soft opening, latar belakang didirikannya BEC adalah rasa keprihatinan dan kekhawatiran ketika terjadi krisis moneter tahun 1998. Pak Achmad Kalla yang saat itu (sampai sekarang) adalah Direktur Utama PT Bukaka Teknik Utama (BTU) merasa prihatin dengan masa depan dari anak-anak yang orangtuanya terkena phk. Bagaimana mereka akan melanjutkan sekolah bila tidak memiliki dana untuk membayar biaya pendidikan yang tidak murah. Jangankan untuk pendidikan untuk makan saja tidak cukup. Mereka harus dibantu untuk survive, terutama kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Anak-anak mereka, terutama dari keluarga miskin, harus dibekali pengetahuan dan ketrampilan. Dengan demikian mereka akan siap memasuki dunia kerja dan, yang menurut pak Achmad dianggap penting, kepercayaan diri meningkat. Untuk mewujudkan keinginan itu, dibentuklah sebuah yayasan dengan nama Yayasan Peduli Pendidikan Mandiri (YPPM). Lewat yayasan ini kemudian dibentuk sebuah lembaga pendidikan yang diberi nama Bogor EduCARE. Lembaga ini didirikan bukan untuk kepentingan perusahaan yang menginginkan karyawan yang terampil dan terdidik tetapi semata-mata untuk mengangkat derajat kehidupan keluarga miskin yang membutuhkan pertolongan. BEC didirikan tiada lain hanya semata-mata sebagai ladang amal jariah.
BEC yang awalnya berada di tengah kota Bogor dan menggunakan rumah kontrakan sebagai tempat beraktifitas dianggap sudah tidak memadai. Anda juga bisa membaca tentang hal itu di tulisan berjudul Siapa yang Miskin?. YPPM kemudian membeli sebidang tanah seluas 3000 m2 di Desa Sukaraja. Di atas lahan itu dibangun gedung BEC tiga lantai. Dalam sambutannya ketika soft opening, pak Imron Zubaidy selaku pimpinan proyek menyatakan pembangunan dimulai sehari setelah Idul Fitri (September 2007). Bila bangunan ini selesai nanti akan memiliki fasilitas:
- 18 ruang kelas,
- 2 laboratorium komputer,
- laboratorium bahasa,
- perpustakaan,
- ruang pengajar,
- ruang administrasi,
- rental komputer & warnet,
- mushola,
- lapangan sepakbola/futsal,
- taman.
Bangunan yang baru selesai satu lantai ini terlihat mewah meskipun sebagian material yang digunakan merupakan barang bekas atau sisa. Seperti yang dikatakan pimpinan proyek, jendela-jendela besar yang ada di lantai satu merupakan sisa bongkaran dari lantai dua PT BTU. Jalusi (ventilasi) dibuat dari sisa aluminium yang diambil dari PT Cidas Supra Metalindo, begitu juga gorong-gorong yang dipasang di depan pintu masuk BEC. Rancangan bangunannya sendiri tidak dibuat khusus melainkan diilhami desain gedung sekolah dasar yang ada di Jatibening demi kepraktisan dan agar cepat. Walaupun demikian bangunan yang direncanakan selesai September 2008 dan diperkirakan menghabiskan dana sekitar 6 milyar itu terlihat bagus dan kokoh.
Mendengar penjelasan dari pimpinan proyek, tahapan proses pembangunnya benar-benar mengesankan dan pantas diacungi jempol. Merapikan bangunan mushola milik penduduk desa yang pas ada di depan proyek dan melengkapinya dengan kamar kecil serta tempat wudlu lengkap dengan pompa airnya sebelum pengerjaan proyek merupakan strategi jitu untuk mendapatkan kesan baik dan penerimaan dari masyarakat. Adanya orang lokal, Sukatma atau biasa dipanggil pak Engkat, sebagai juru bicara proyek ketika menghadapi penduduk setempat juga bisa melancarkan komunikasi. Ditambah lagi pak Dani yang juga penduduk desa itu yang rumahnya di sebelah proyek ikut dilibatkan dalam pembuatan taman diharapkan makin dapat meningkatkan kerjasama masyarakat.
Dengan berdirinya kampus BEC otomatis membuka peluang menambah penghasilan bagi masyarakat. Jumlah mahasiswa yang ratusan merupakan pasar potensial untuk tempat kost, warung makan, jasa fotokopi, dan bisnis sektor riil lainnya. Kepala desa H. Hasan Basri yang turut diundang dalam soft opening juga berharap dengan adanya kampus baru ini akan bisa menaikkan taraf hidup masyarakat yang ada di sekitar kampus. Keberadaan BEC juga melengkapi tingkat pendidikan yang sekarang sudah ada di Desa Sukaraja. Dengan demikian, di wilayah Sukaraja sekarang sudah tersedia sarana pendidikan mulai dari tingkat taman kanak-kanak sampai pendidikan tinggi.
Pak Achmad Kalla selaku Ketua YPPM berkeinginan gedung BEC yang masih dalam proses penyelesaian ini nanti bukan hanya mewah dan megah tetapi juga dapat menjadi lembaga pendidikan terbaik di Bogor dengan dilengkapi sarana prasarana super canggih dan modern. Dengan adanya keinginan dari ketua sekaligus pemilik seperti itu, sudah seharusnya orang-orang pelaksana di lapangan juga mendukung itikad yang mulia itu. Jangan sampai memberi kesan justru menghalang-halangi dengan menyampaikan alasan dan argumen yang jelas terdengar dibuat-buat.
Bila bangunan itu dibuat semewah mungkin boleh-boleh saja. Tetapi yang perlu dipikirkan adalah bagaimana perawatannya. Bangsa kita ini kan sudah terkenal dengan kepintarannya membuat bangunan tetapi juga sekaligus kebodohannya dalam merawat setelah bangunan itu jadi. Bisa dipastikan akan muncul benturan budaya dalam perawatannya nanti karena sikap mental yang belum siap. Contoh gampang saja, masih sering orang membuang tisu di kloset meskipun ada tempat sampah di sebelahnya. Di bibir kloset duduk, terdapat bekas telapak sepatu. Ini kan mengherankan. Masak monyet pakai sepatu?
Tuesday, May 06, 2008
Siapa yang Miskin?
“Selama saya masih makan singkong, malu rasanya untuk beli ac.” Itu yang saya katakan ketika petugas keamanan di kampung saya menawarkan mesin pendingin itu.
Tentu saja saya hanya bercanda. Saya tetap akan makan singkong meskipun seluruh ruangan di rumah saya dipasangi ac. Jika saya menolak, masalahnya bukan karena singkong. Ya betul tebakan anda, karena saya tidak punya uanglah sehingga tidak membeli ac. Bila kemampuan saya masih tidak jauh dari singkong, itu kan artinya daya beli saya masih rendah. Dengan demikian, bagaimana mungkin saya bisa beli ac? Orang jika habis makan saja dessert saya singkong goreng, sementara orang lain makanan penutupnya ice cream, buah-buahan, dan puding.
Oleh sebagian masyarakat kita, singkong itu kan dianggap simbol kemiskinan. Untuk orang-orang kaya, baik yang dari lahirnya sudah kaya atau termasuk okb (orang kaya baru), atau orang yang sok kaya, malu rasanya makan makanan kampung itu. Mereka takut disebut miskin. Mereka nggak rela dikatakan kampungan. Makanya mereka berusaha menghindar jauh-jauh dari roti sumbu yang menjadi makanan favorit komunitas kere tersebut. Padahal kalau anda tahu, singkong juga ada di daftar menu restoran Thailand yang dianggap bukan untuk rakyat biasa.
Di antara orang kaya itu kan ada yang suka menunjukkan statusnya. Salah satunya dengan cara makan di rumah makan mahal. Buat orang Indonesia, restoran Thailand termasuk mahal. Untuk bisa makan di tempat itu perlu uang banyak. Nah, salah satu makanan penutup yang disuguhkan di restoran itu adalah makanan yang terbuat dari singkong. Sayang saya lupa namanya. Saya pengen tahu apakah orang-orang kaya ini mau menyantapnya. Atau karena ada di restoran mahal maka dianggap bukan makanan kampungan meskipun bahan bakunya dari singkong?
Hal lain yang mengherankan, mereka yang kaya, kelakuannya justru lebih miskin dari orang miskin. Setiap ada bantuan, tiba-tiba saja mereka menjadi miskin. Rupanya urat malu mereka sudah putus dan sudah tidak memiliki nurani lagi. Masih ingat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT)? Trenyuh rasanya melihat mereka yang benar-benar miskin berjuang untuk mendapatkan haknya. Di antaranya tidak sedikit yang pingsan saat antri, bahkan sampai ada yang meninggal. Sementara itu ada kelompok tengil yang datang menggunakan motor atau menunjukkan kemewahan saat mengambil bantuan yang seharusnya menjadi milik orang miskin. Yang menyakitkan lagi, uang yang diterima itu ada yang digunakan untuk foya-foya.
Memang nurani ini tidak selalu ada di hati orang-orang mampu. Minggu kemarin ada bidan desa yang datang ke rumah. Dia datang untuk mendata keluarga miskin yang memiliki balita. Dari obrolan yang dilakukan terucap cerita yang bila memang benar, sungguh memprihatinkan dan memalukan. Kata dia, di wilayah tempat presiden tinggal, di dalam daftar keluarga miskin terdapat keluarganya presiden. Bagaimana ini? Mencolok banget cara menjilat petugas yang mendata bila keluarga itu memang benar-benar tidak tahu. Namun jika keluarga presiden itu tahu daftar tersebut tetapi diam saja, betul-betul keluarga yang tidak punya nurani. Entah apa yang ada dalam benak mereka.
Validitas informasi dari bidan desa itu tentu saja perlu dipertanyakan. Apakah dia tahu sendiri atau dengar dari temannya yang tahu dari temannya yang dengar dari temannya yang lain dan begitu seterusnya. Namun bukan itu yang penting. Benar tidaknya berita itu, kita bisa cocokkan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Mungkin, dan mudah-mudahan saja, kasus keluarga presiden itu tidak benar. Bisa saja penyebaran berita itu merupakan provokasi dari lawan politik presiden yang sekarang untuk mem-blow up isu negative menjelang pemilihan presiden baru nanti.
Kadang mengherankan dan tidak bisa dimengerti dengan orang-orang miskin yang muncul dari kelompok orang-orang kaya. Barangkali orang-orang seperti ini bisa kita sebut sebagai penyakit sosial. Anggap saja mereka itu penyakit yang nempel di tubuh masyarakat yang perlu disembuhkan. Kita tidak salah juga bila menyebutnya sebagai sampah masyarakat. Sampah ini berbeda dengan sampah masyarakat umumnya yang biasanya berasal dari golongan miskin. Namun, namanya sampah tetap sampah, harus dibersihkan.
Belum lama, ada juga informasi tentang raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dulu pernah melibatkan orang-orang kaya (pejabat) yang miskin nurani. Dibandingkan dulu, raskin sekarang masih mending. Bukan kualitas berasnya, tetapi penanganannya. Saat ini distribusi raskin bisa dikatakan sudah benar-benar kena sasaran. Raskin itu disalurkan melalui pengurus rt untuk diteruskan ke kaum dhuafa. Di kampung saya, hal itu sudah berjalan. Mudah-mudahan di kampung yang lain juga sama dengan di tempat saya.
Mengenai riwayat raskin sebelumnya, betul-betul memprihatinkan. Biasa, muncul orang-orang yang bermental kere. Pernah saat itu, ada berita di media kepala desa dan aparatnya yang diserahi tanggung jawab malah menimbun raskin di dalam sumur kering di belakang rumahnya. Malahan belum lama ini muncul lagi berita di layar kaca tindakan memalukan yang dilakukan aparat desa. Mereka tertangkap telah menjual raskin. Dan berita lain, ada ibu-ibu yang mengambil raskin tetapi di pergelangan tangannya berendeng gelang emas. Miskinkah dia? Misalnya ditanya, tidak heran bila alasan mereka mengutil haknya orang miskin itu adalah karena kekurangan. Sebenarnya yang kurang itu bukan hartanya tetapi hati nuraninyalah yang miskin. Memang banyak kan yang seperti itu?
Saya pernah punya pengalaman menarik untuk dijadikan pelajaran. Sudah beberapa tahun ini saya mendapat tugas dari tempat kerja untuk mendatangi rumah beberapa keluarga. Tujuannya adalah untuk mensurvei apakah mereka benar-benar dhuafa sebagaimana dinyatakan dalam surat keterangan dari kepala desa yang mereka serahkan. Salah satu dari keluarga itu ternyata kondisinya membuat saya jadi heran. Kok tidak malu menyerahkan surat keterangan tidak mampu untuk keadaannya yang bisa dikatakan bukan hanya cukup tetapi, kaya. Rumahnya besar, dua lantai, ruangan-ruangan yang terlihat oleh saya semua berkeramik, televisi besar, kulkas, sofa dan perabot lainnya ada. Pemiliknya sendiri bukan pengangguran. Dia kerja di deplu Jakarta, meskipun menurut pengakuannya sebagai pegawai biasa. Ketika saya minta untuk datang melakukan interview, dengan arogan dia menjawab, “Oh tidak bisa. Saya harus berangkat kerja.” Saat itu juga di lembar penilaian yang saya bawa saya tulis: DROP, alias tidak masuk kualifikasi. Saya tersinggung dengan sikapnya yang arogan dan tak tahu malu.
Bila anda termasuk orang kaya yang kebetulan membaca ini, jadilah orang yang bukan hanya kaya harta tetapi juga hati. Biarkan mereka yang miskin memperoleh dan menikmati haknya. Dengan berbuat demikian, anda sudah membantu.
Tentu saja saya hanya bercanda. Saya tetap akan makan singkong meskipun seluruh ruangan di rumah saya dipasangi ac. Jika saya menolak, masalahnya bukan karena singkong. Ya betul tebakan anda, karena saya tidak punya uanglah sehingga tidak membeli ac. Bila kemampuan saya masih tidak jauh dari singkong, itu kan artinya daya beli saya masih rendah. Dengan demikian, bagaimana mungkin saya bisa beli ac? Orang jika habis makan saja dessert saya singkong goreng, sementara orang lain makanan penutupnya ice cream, buah-buahan, dan puding.
Oleh sebagian masyarakat kita, singkong itu kan dianggap simbol kemiskinan. Untuk orang-orang kaya, baik yang dari lahirnya sudah kaya atau termasuk okb (orang kaya baru), atau orang yang sok kaya, malu rasanya makan makanan kampung itu. Mereka takut disebut miskin. Mereka nggak rela dikatakan kampungan. Makanya mereka berusaha menghindar jauh-jauh dari roti sumbu yang menjadi makanan favorit komunitas kere tersebut. Padahal kalau anda tahu, singkong juga ada di daftar menu restoran Thailand yang dianggap bukan untuk rakyat biasa.
Di antara orang kaya itu kan ada yang suka menunjukkan statusnya. Salah satunya dengan cara makan di rumah makan mahal. Buat orang Indonesia, restoran Thailand termasuk mahal. Untuk bisa makan di tempat itu perlu uang banyak. Nah, salah satu makanan penutup yang disuguhkan di restoran itu adalah makanan yang terbuat dari singkong. Sayang saya lupa namanya. Saya pengen tahu apakah orang-orang kaya ini mau menyantapnya. Atau karena ada di restoran mahal maka dianggap bukan makanan kampungan meskipun bahan bakunya dari singkong?
Hal lain yang mengherankan, mereka yang kaya, kelakuannya justru lebih miskin dari orang miskin. Setiap ada bantuan, tiba-tiba saja mereka menjadi miskin. Rupanya urat malu mereka sudah putus dan sudah tidak memiliki nurani lagi. Masih ingat program Jaring Pengaman Sosial (JPS) atau Bantuan Langsung Tunai (BLT)? Trenyuh rasanya melihat mereka yang benar-benar miskin berjuang untuk mendapatkan haknya. Di antaranya tidak sedikit yang pingsan saat antri, bahkan sampai ada yang meninggal. Sementara itu ada kelompok tengil yang datang menggunakan motor atau menunjukkan kemewahan saat mengambil bantuan yang seharusnya menjadi milik orang miskin. Yang menyakitkan lagi, uang yang diterima itu ada yang digunakan untuk foya-foya.
Memang nurani ini tidak selalu ada di hati orang-orang mampu. Minggu kemarin ada bidan desa yang datang ke rumah. Dia datang untuk mendata keluarga miskin yang memiliki balita. Dari obrolan yang dilakukan terucap cerita yang bila memang benar, sungguh memprihatinkan dan memalukan. Kata dia, di wilayah tempat presiden tinggal, di dalam daftar keluarga miskin terdapat keluarganya presiden. Bagaimana ini? Mencolok banget cara menjilat petugas yang mendata bila keluarga itu memang benar-benar tidak tahu. Namun jika keluarga presiden itu tahu daftar tersebut tetapi diam saja, betul-betul keluarga yang tidak punya nurani. Entah apa yang ada dalam benak mereka.
Validitas informasi dari bidan desa itu tentu saja perlu dipertanyakan. Apakah dia tahu sendiri atau dengar dari temannya yang tahu dari temannya yang dengar dari temannya yang lain dan begitu seterusnya. Namun bukan itu yang penting. Benar tidaknya berita itu, kita bisa cocokkan dengan kenyataan yang ada di lapangan. Mungkin, dan mudah-mudahan saja, kasus keluarga presiden itu tidak benar. Bisa saja penyebaran berita itu merupakan provokasi dari lawan politik presiden yang sekarang untuk mem-blow up isu negative menjelang pemilihan presiden baru nanti.
Kadang mengherankan dan tidak bisa dimengerti dengan orang-orang miskin yang muncul dari kelompok orang-orang kaya. Barangkali orang-orang seperti ini bisa kita sebut sebagai penyakit sosial. Anggap saja mereka itu penyakit yang nempel di tubuh masyarakat yang perlu disembuhkan. Kita tidak salah juga bila menyebutnya sebagai sampah masyarakat. Sampah ini berbeda dengan sampah masyarakat umumnya yang biasanya berasal dari golongan miskin. Namun, namanya sampah tetap sampah, harus dibersihkan.
Belum lama, ada juga informasi tentang raskin (beras untuk rakyat miskin) yang dulu pernah melibatkan orang-orang kaya (pejabat) yang miskin nurani. Dibandingkan dulu, raskin sekarang masih mending. Bukan kualitas berasnya, tetapi penanganannya. Saat ini distribusi raskin bisa dikatakan sudah benar-benar kena sasaran. Raskin itu disalurkan melalui pengurus rt untuk diteruskan ke kaum dhuafa. Di kampung saya, hal itu sudah berjalan. Mudah-mudahan di kampung yang lain juga sama dengan di tempat saya.
Mengenai riwayat raskin sebelumnya, betul-betul memprihatinkan. Biasa, muncul orang-orang yang bermental kere. Pernah saat itu, ada berita di media kepala desa dan aparatnya yang diserahi tanggung jawab malah menimbun raskin di dalam sumur kering di belakang rumahnya. Malahan belum lama ini muncul lagi berita di layar kaca tindakan memalukan yang dilakukan aparat desa. Mereka tertangkap telah menjual raskin. Dan berita lain, ada ibu-ibu yang mengambil raskin tetapi di pergelangan tangannya berendeng gelang emas. Miskinkah dia? Misalnya ditanya, tidak heran bila alasan mereka mengutil haknya orang miskin itu adalah karena kekurangan. Sebenarnya yang kurang itu bukan hartanya tetapi hati nuraninyalah yang miskin. Memang banyak kan yang seperti itu?
Saya pernah punya pengalaman menarik untuk dijadikan pelajaran. Sudah beberapa tahun ini saya mendapat tugas dari tempat kerja untuk mendatangi rumah beberapa keluarga. Tujuannya adalah untuk mensurvei apakah mereka benar-benar dhuafa sebagaimana dinyatakan dalam surat keterangan dari kepala desa yang mereka serahkan. Salah satu dari keluarga itu ternyata kondisinya membuat saya jadi heran. Kok tidak malu menyerahkan surat keterangan tidak mampu untuk keadaannya yang bisa dikatakan bukan hanya cukup tetapi, kaya. Rumahnya besar, dua lantai, ruangan-ruangan yang terlihat oleh saya semua berkeramik, televisi besar, kulkas, sofa dan perabot lainnya ada. Pemiliknya sendiri bukan pengangguran. Dia kerja di deplu Jakarta, meskipun menurut pengakuannya sebagai pegawai biasa. Ketika saya minta untuk datang melakukan interview, dengan arogan dia menjawab, “Oh tidak bisa. Saya harus berangkat kerja.” Saat itu juga di lembar penilaian yang saya bawa saya tulis: DROP, alias tidak masuk kualifikasi. Saya tersinggung dengan sikapnya yang arogan dan tak tahu malu.
Bila anda termasuk orang kaya yang kebetulan membaca ini, jadilah orang yang bukan hanya kaya harta tetapi juga hati. Biarkan mereka yang miskin memperoleh dan menikmati haknya. Dengan berbuat demikian, anda sudah membantu.
Friday, May 02, 2008
Metamorfosis
Berangkat: ojek 3 menit, idle 1 menit, angkot 22 menit, idle 3 menit, angkot 35 menit, idle 2 menit, angkot 13 menit, total 79 menit. Pulang: angkot 21 menit, idle 1 menit, angkot 27 menit, idle 3 menit, angkot 28 menit, idle 0 menit, ojek 2 menit, total 82 menit. Apa ini?
Jangan bingung dulu. Itu hanya hitung-hitungan waktu yang saya coba catat. Saya melakukan itu untuk mengetahui seberapa lama waktu yang saya butuhkan dalam perjalanan dari rumah ke kantor baru dan sebaliknya. Jika anda ingin tahu, kantor saya pindah lokasi, efektif per 1 Mei 2008. Meskipun baru lantai satu yang bisa ditempati.
Sebelum menempati gedung sendiri yang rencananya dibangun tiga lantai ini, yang dipakai sebagai kantor adalah rumah besar dua lantai yang dikontrak. Dengan demikian setiap tahun harus diperpanjang kontraknya bila ingin tetap di situ. Rumah itu sudah dikontrak sejak 2001. Jadi sudah tujuh tahun sebelum pindah ke tempat yang sekarang.
Dulu saya memerlukan waktu setengah jam lebih cepat untuk mencapai kantor yang di tengah kota dibandingkan kantor baru. Bila anda lihat total waktu yang saya butuhkan untuk berangkat 79 menit, pulangnya 82 menit, itu karena hari Jum’at. Bisa jadi hari Senin besuk perlu waktu ekstra setengah sampai satu jam. Di Bogor ini, baik yang kabupaten atau kota, terutama setiap Senin di mana-mana selalu terjadi kemacetan.
Sekarang kantor saya ada di Kabupaten Bogor. Saya sendiri juga tinggal di Kabupaten Bogor, tapi di ujung yang lain. Jadi setiap ngantor, saya melakukan perjalanan lintas kota dari Kabupaten Bogor, masuk Kota Bogor, kemudian keluar lagi menuju Kabupaten Bogor di ujung yang lain. Dari ujung ke ujung gitulah.
Itulah salah satu contoh proses yang harus dilewati manusia. Kebetulan saya orangnya. Anda juga nanti akan, atau malah sudah atau sekarang sedang menjalani tahapan hidup itu. Mungkin bentuknya berbeda dengan yang saya alami sekarang. Namun kita semua, siapapun kita, akan mengalami satu proses pindahan yang sama. Suka tidak suka, kita nanti akan pindah kehidupan dari alam fana ke alam baka. Yang beda barangkali waktunya. Bisa saya duluan bisa anda yang lebih awal. Tetapi sebaiknya anda dulu deh. Saya ikhlas kok.
Pernah memperhatikan proses metamorfosis seekor kupu-kupu, perubahan dari ulat yang jelek menjijikkan menjadi seekor kupu-kupu cantik menarik sampai-sampai semua orang ingin memegangnya? Sebuah hukum alam yang menghasilkan perubahan menuju perbaikan. Kita ini harusnya mencontoh kupu-kupu itu. Jika sekarang anda menjadi orang jahat, okelah, sampai di sini saja. Ke sananya, kenapa anda tidak belajar bermetamorfosis? Kan bagus tuh menjadi seorang mantan penjahat daripada mantan ustad. Siapa tahu gelar anda nanti haji, bukan hajingan.
Hidup ini memang dinamis dan seharusnya seperti itu. Dari segi apapun akan ada perubahan. Jika tinggi anda sekarang 175 cm, itu karena ada perubahan. Sebelumnya mungkin anda tidak yakin anda bisa setinggi itu. Seandainya berat anda 55 kg, bisa jadi berat itu setelah susut 10 kg dari bulan kemarin. Dalam hal perilaku seharusnya anda juga mengalami perubahan. Tentu saja ke arah yang baik. Itu yang namanya hidup. Jika anda sekarang bernafas, secara lahiriah anda hidup. Namun bila anda hidup tetapi tidak ada perbaikan dalam amal perbuatan, apalagi malah makin parah maksiatnya, mendingan lebih menguntungkan buat anda untuk mati saja. Saya tidak mengolok-olok anda, saya serius, justru itu yang akan lebih mendatangkan kebaikan buat anda. Betul. Jika anda sedang dalam puncak-puncaknya kemaksiatan, kemudian mati, kan otomatis anda akan berhenti melakukannya lagi. Yaaah… resiko jeleknya sih mungkin orang akan mensyukuri kematian anda. Namun sebenarnya buat anda pribadi kan ada baiknya juga atas kematian anda itu meskipun orang lain bersuka ria. Hitung-hitung juga, anda membantu pemerintah mengurangi kepadatan penduduk. Bagaimana, mau?
Pada saat hari pertama (Jum’at, 2/5/08) di kantor baru, sebenarnya sih hari kedua karena hari pertama (Kamis) pas pindahan saya tidak ikut, saya sempat sholat Jum’at. Sholat Jum’at perdana saya di tempat baru, di masjid dekat kantor. Sebelumnya ketika saya datang, saya sempatkan survei mencari masjid untuk sholat Jum’at. Ada dua masjid di sekitar kantor yang bisa dipakai jum’atan. Salah satunya adalah masjid besar, yang katanya masjid agungnya masyarakat desa tersebut yang bernama masjid Quba. Entah apa artinya. Lokasinya persis di pinggir jalan raya. Bangunannya lebih besar dibandingkan masjid satunya yang berada di dalam perkampungan belakang kantor yang jaraknya sebenarnya lebih dekat.
Dari hasil survei saya tahu jika di belakang masjid Quba ada jalan tembus. Makanya ketika berangkat jum’atan, saya melewati jalan pintas itu. Yang menarik dan akan selalu mengingatkan kita akan arti hidup, jalan itu membelah komplek pemakaman. Bila dilihat luasnya, rasanya tempat itu merupakan kuburan umum desa. Dan dari penampilannya, mungkin usia komplek itu lebih tua dari saya. Tebak berapa usia saya? Yang pasti lebih muda dari bapak saya. Tempatnya teduh karena banyak pohon. Jika nanti setiap Jum’at saya sholat di masjid itu dan selalu melewati komplek pemakaman di belakangnya saat berangkat dan pulangnya, berarti seminggu dua kali saya diingatkan tentang makna kehidupan. Saya sarankan kepada anda, tidak ada salahnya sekali-sekali mengunjungi atau melewati pekuburan. Bukan untuk mencari wangsit atau nomor togel, apalagi minta berkah dari yang mati, tetapi sebagai pengingat apa yang selama ini telah anda lakukan dalam kehidupan fana anda. Itu kan fungsi ziarah yang sebenarnya?
Dengan kepindahan kantor saya ke lokasi yang baru, kemudian saya tuangkan dalam bentuk tulisan ini, mudah-mudahan menjadi prasasti pengingat kita semua bahwa manusia itu selalu berubah dan berkembang. Kehidupan ini tidak akan berhenti meskipun mobil dan motor tidak dapat berjalan karena macet. Meskipun ek-ok anda nggak lancar alias sembelit, hidup anda nggak bakal berhenti. Walaupun anda macet melunasi hutang anda, hidup anda akan tetap berlangsung. Yang Membuat Semesta Ini Hidup akan menjaga kelangsungannya meskipun anda dan yang lain mati, sampai Dia memutuskan untuk menghentikan kehidupan ini. Bila itu yang terjadi, itulah yang dinamakan the end of the world alias kiamat.
Bermetamorfosislah my friend.
Jangan bingung dulu. Itu hanya hitung-hitungan waktu yang saya coba catat. Saya melakukan itu untuk mengetahui seberapa lama waktu yang saya butuhkan dalam perjalanan dari rumah ke kantor baru dan sebaliknya. Jika anda ingin tahu, kantor saya pindah lokasi, efektif per 1 Mei 2008. Meskipun baru lantai satu yang bisa ditempati.
Sebelum menempati gedung sendiri yang rencananya dibangun tiga lantai ini, yang dipakai sebagai kantor adalah rumah besar dua lantai yang dikontrak. Dengan demikian setiap tahun harus diperpanjang kontraknya bila ingin tetap di situ. Rumah itu sudah dikontrak sejak 2001. Jadi sudah tujuh tahun sebelum pindah ke tempat yang sekarang.
Dulu saya memerlukan waktu setengah jam lebih cepat untuk mencapai kantor yang di tengah kota dibandingkan kantor baru. Bila anda lihat total waktu yang saya butuhkan untuk berangkat 79 menit, pulangnya 82 menit, itu karena hari Jum’at. Bisa jadi hari Senin besuk perlu waktu ekstra setengah sampai satu jam. Di Bogor ini, baik yang kabupaten atau kota, terutama setiap Senin di mana-mana selalu terjadi kemacetan.
Sekarang kantor saya ada di Kabupaten Bogor. Saya sendiri juga tinggal di Kabupaten Bogor, tapi di ujung yang lain. Jadi setiap ngantor, saya melakukan perjalanan lintas kota dari Kabupaten Bogor, masuk Kota Bogor, kemudian keluar lagi menuju Kabupaten Bogor di ujung yang lain. Dari ujung ke ujung gitulah.
Itulah salah satu contoh proses yang harus dilewati manusia. Kebetulan saya orangnya. Anda juga nanti akan, atau malah sudah atau sekarang sedang menjalani tahapan hidup itu. Mungkin bentuknya berbeda dengan yang saya alami sekarang. Namun kita semua, siapapun kita, akan mengalami satu proses pindahan yang sama. Suka tidak suka, kita nanti akan pindah kehidupan dari alam fana ke alam baka. Yang beda barangkali waktunya. Bisa saya duluan bisa anda yang lebih awal. Tetapi sebaiknya anda dulu deh. Saya ikhlas kok.
Pernah memperhatikan proses metamorfosis seekor kupu-kupu, perubahan dari ulat yang jelek menjijikkan menjadi seekor kupu-kupu cantik menarik sampai-sampai semua orang ingin memegangnya? Sebuah hukum alam yang menghasilkan perubahan menuju perbaikan. Kita ini harusnya mencontoh kupu-kupu itu. Jika sekarang anda menjadi orang jahat, okelah, sampai di sini saja. Ke sananya, kenapa anda tidak belajar bermetamorfosis? Kan bagus tuh menjadi seorang mantan penjahat daripada mantan ustad. Siapa tahu gelar anda nanti haji, bukan hajingan.
Hidup ini memang dinamis dan seharusnya seperti itu. Dari segi apapun akan ada perubahan. Jika tinggi anda sekarang 175 cm, itu karena ada perubahan. Sebelumnya mungkin anda tidak yakin anda bisa setinggi itu. Seandainya berat anda 55 kg, bisa jadi berat itu setelah susut 10 kg dari bulan kemarin. Dalam hal perilaku seharusnya anda juga mengalami perubahan. Tentu saja ke arah yang baik. Itu yang namanya hidup. Jika anda sekarang bernafas, secara lahiriah anda hidup. Namun bila anda hidup tetapi tidak ada perbaikan dalam amal perbuatan, apalagi malah makin parah maksiatnya, mendingan lebih menguntungkan buat anda untuk mati saja. Saya tidak mengolok-olok anda, saya serius, justru itu yang akan lebih mendatangkan kebaikan buat anda. Betul. Jika anda sedang dalam puncak-puncaknya kemaksiatan, kemudian mati, kan otomatis anda akan berhenti melakukannya lagi. Yaaah… resiko jeleknya sih mungkin orang akan mensyukuri kematian anda. Namun sebenarnya buat anda pribadi kan ada baiknya juga atas kematian anda itu meskipun orang lain bersuka ria. Hitung-hitung juga, anda membantu pemerintah mengurangi kepadatan penduduk. Bagaimana, mau?
Pada saat hari pertama (Jum’at, 2/5/08) di kantor baru, sebenarnya sih hari kedua karena hari pertama (Kamis) pas pindahan saya tidak ikut, saya sempat sholat Jum’at. Sholat Jum’at perdana saya di tempat baru, di masjid dekat kantor. Sebelumnya ketika saya datang, saya sempatkan survei mencari masjid untuk sholat Jum’at. Ada dua masjid di sekitar kantor yang bisa dipakai jum’atan. Salah satunya adalah masjid besar, yang katanya masjid agungnya masyarakat desa tersebut yang bernama masjid Quba. Entah apa artinya. Lokasinya persis di pinggir jalan raya. Bangunannya lebih besar dibandingkan masjid satunya yang berada di dalam perkampungan belakang kantor yang jaraknya sebenarnya lebih dekat.
Dari hasil survei saya tahu jika di belakang masjid Quba ada jalan tembus. Makanya ketika berangkat jum’atan, saya melewati jalan pintas itu. Yang menarik dan akan selalu mengingatkan kita akan arti hidup, jalan itu membelah komplek pemakaman. Bila dilihat luasnya, rasanya tempat itu merupakan kuburan umum desa. Dan dari penampilannya, mungkin usia komplek itu lebih tua dari saya. Tebak berapa usia saya? Yang pasti lebih muda dari bapak saya. Tempatnya teduh karena banyak pohon. Jika nanti setiap Jum’at saya sholat di masjid itu dan selalu melewati komplek pemakaman di belakangnya saat berangkat dan pulangnya, berarti seminggu dua kali saya diingatkan tentang makna kehidupan. Saya sarankan kepada anda, tidak ada salahnya sekali-sekali mengunjungi atau melewati pekuburan. Bukan untuk mencari wangsit atau nomor togel, apalagi minta berkah dari yang mati, tetapi sebagai pengingat apa yang selama ini telah anda lakukan dalam kehidupan fana anda. Itu kan fungsi ziarah yang sebenarnya?
Dengan kepindahan kantor saya ke lokasi yang baru, kemudian saya tuangkan dalam bentuk tulisan ini, mudah-mudahan menjadi prasasti pengingat kita semua bahwa manusia itu selalu berubah dan berkembang. Kehidupan ini tidak akan berhenti meskipun mobil dan motor tidak dapat berjalan karena macet. Meskipun ek-ok anda nggak lancar alias sembelit, hidup anda nggak bakal berhenti. Walaupun anda macet melunasi hutang anda, hidup anda akan tetap berlangsung. Yang Membuat Semesta Ini Hidup akan menjaga kelangsungannya meskipun anda dan yang lain mati, sampai Dia memutuskan untuk menghentikan kehidupan ini. Bila itu yang terjadi, itulah yang dinamakan the end of the world alias kiamat.
Bermetamorfosislah my friend.
Subscribe to:
Posts (Atom)