Monday, May 26, 2008

Pangsiun

Kata pensiun bisa menjadi momok bagi sebagian kita yang mendengarnya. Seolah-olah merupakan monster yang mengerikan. Efeknya bisa berbentuk sindrom psikis yang dikenal dengan post power syndrome, penyakit karena hilangnya kekuasaan yang pernah dimiliki. Wujudnya dapat berupa perilaku yang melecehkan orang lain atau menganggap kita ini bawahan yang bisa disuruh-suruh seenak perutnya. Penderita post power syndrome bisa menjadi manusia asosial.

Saya tidak ngomongin tentang penyakit yang diderita oleh orang-orang yang tidak siap menghadapi pensiun tersebut. Itu bukan bidang saya. Dan kalaupun ngerti, mungkin hanya kulitnya saja. Ada bu dan pak psikolog yang lebih kompeten dalam hal ini untuk memberikan penjelasan. Kemudian bila anda tanya kenapa judul tulisan ini kok pangsiun, apa itu artinya? Sebenarnya maknanya sama dengan pensiun. Saya memberi judul itu karena saya ingat dengan orang-orang tua dulu yang suka mengistilahkan sudah tidak kerja lagi dengan pangsiun yang tentu saja maksudnya pensiun. No big deal, lah.

Bila judul ini dicocok-cocokkan dengan bahasa sunda, dari segi arti, ya ada benarnya juga. Meskipun sedikit maksain, tapi nggak apa-apalah orang namanya mencocok-cocokkan. Sebagaimana kerjaan orang meramal nomor togel kan seperti itu juga, maksain. Dalam bahasa sunda pang artinya sangat dan siun (benernya sih sieun) berarti takut. Nah jika pangsiun memiliki makna sangat takut, kan ada benarnya juga, ya toh? Buat sebagian orang, anda misalnya yang kebetulan terancam pensiun dini (phk) atau sesuai peraturan perusahaan dari segi usia memang sudah waktunya anda pensiun, berhenti atau diberhentikan dari pekerjaan bisa menjadi sesuatu yang sangat menakutkan. Tidak sampai gila memang, tapi bila kemudian jadi blo-on, ngangap tiap hari nggak peduli banyak lalat masuk, ya tidak heran.

Memang bukan pekerjaan mudah bila rutinitas yang sudah berjalan sekian lama tiba-tiba harus berhenti. Banyak hal yang menghantui pikiran ketika masa pensiun menjelang. Bagaimana nanti saya harus menghidupi keluarga, bagaimana dengan hutang-hutang yang belum lunas, bagaimana jika sakit nanti, bagaimana dengan kesenangan-kesenangan yang selama ini saya jalani, banyak, masih banyak lagi hal-hal yang kesemuanya itu bisa mendatangkan penyakit jika tidak dikelola dengan baik. Masalah ini terutama akan muncul pada orang-orang yang umurnya sudah tidak muda lagi. Akan menjadi lebih berat bila selain faktor usia juga minimnya pengetahuan dan keterampilan, ditambah lagi dengan banyaknya tanggungan yang menjadi beban tanggung jawabnya.

Dalam tulisan saya sebelum ini, yang mengisahkan tentang ekspedisi ke Gunung Pangrango dan Gunung Gede, saya membukanya dengan rencana pensiun jadi pendaki. Saya sengaja melempar gagasan pensiun dengan maksud untuk mengetahui seperti apa tanggapan yang akan saya terima. Keinginan pensiun itu ada dalam pikiran saya bukan tanpa pertimbangan dan bukan muncul begitu saja. Saya hanya merasakan perjalanan yang harus saya lakukan sudah sangat berbeda dengan petualangan-petualangan sebelumnya. Dari segi semangat masih tetap menggebu-gebu, cuma saya ini sekarang merasa sama seperti dalam ungkapan ’nafsu besar tenaga kurang.’ Fisik saya jelas berbeda dengan, katakanlah, ketika usia saya seumuran anak sma atau mahasiswa. Sudah pastilah itu. Tetapi ternyata, rencana yang belum merupakan final decision itu ditentang banyak orang. Keputusan itu baru berupa wacana. Saya sendiri saat itu berpikiran demikian karena merasa saya kok begitu gampang cape dan cepat kram, sehingga selalu berada di rombongan paling belakang.

Anda boleh menilai saya sebagai seorang loser karena terkesan begitu mudah menyerah, meskipun bisa jadi penyebab saya mudah cape dan kram adalah karena kurangnya persiapan fisik sebelum pendakian, bukan faktor U. Bagaimanapun juga, saya harus tahu dan sadar diri. Hukum alam tidak bisa dirubah. Yang namanya usia akan tetap berjalan apapun halangan yang ada di depannya. Jika ada program mencegah ketuaan, dari segi usia program itu omong kosong. Penampilan mungkin bisa dirombak, tetapi yang namanya stamina mengikuti usia. Memang bila dikelola dengan baik, melakukan olah raga teratur dan mengkonsumsi asupan yang dikontrol misalnya, hasilnya, stamina memang akan bisa menjadi lebih baik bila dibandingkan mereka yang tidak menjalankan program itu. Dari tampang dan bentuk tubuh memang kelihatan awet muda, tetapi tetap tua dari segi usia.

Secara kebetulan, beberapa hari setelah rencana pensiun itu saya lontarkan, saya menonton acara televisi yang menampilkan pendaki tertua Indonesia yang masuk MuRI (Museum Rekor Indonesia). Di usianya yang kepala tujuh, orang tua ini telah mencapai puncak gunung yang memiliki ketinggian di atas 3.000 mdpl seperti Gunung Slamet dan Gunung Rinjani. Dalam tayangan itu juga dia katakan akan mendaki Gunung Kerinci di usia 72 tahun. Luar biasa. Kok bisa kebetulan seperti itu? Saya yang punya rencana pensiun jadi pendaki (meskipun itu istilah saya saja karena mana ada orang yang pensiun menjalankan hobinya) jadi malu sendiri. Apakah saya serius akan pensiun? Atau acara itu sengaja muncul secara kebetulan dan secara kebetulan juga saya menontonnya untuk sekedar mengolok-olok rencana saya yang ridiculous ini? Saya belum setua dia tentu saja, tapi saya jadi tersindir sekaligus termotivasi dengan rekor yang dia capai. Jangan salah sangka, saya tidak bermaksud mencetak rekor seperti yang dia lakukan. Saya hanya ingin menikmati kesenangan di lingkungan alam. Itu saja.

Bila anda penasaran ingin tahu apakah saya serius akan benar-benar berhenti dari naik gunung, tinggal anda tunggu dan lihat saja. Jika saya naik lagi, ya... itu artinya saya belum niat pangsiun. Dan mungkin anda ingin tahu, sebenarnya masih ada keinginan di hati saya untuk ada di puncak Gunung Ciremai. Terserah anda menafsirkan keinginan saya itu, apakah artinya saya sebenarnya tidak ingin pensiun atau keinginan itu sebetulnya hanya sekedar angan-angan saja. Terlepas dari itu, frankly speaking, saya malu dengan anak-anak remaja yang lagi semangat-semangatnya mendaki gunung. Seandainya saya tetap naik, kok kesannya nggak tahu diri gitu. Cuma yang disayangkan dari para remaja itu, sering mereka ceroboh dan tidak mempersiapkan secara matang sebelum pendakian, hanya bermodal semangat yang cenderung nekat.

Mengenai usia, saat pendakian ke Pangrango dan Gede kemarin, saya sempat ketemu kelompok pendaki yang, bila dilihat dari penampilan, seumuran dengan saya. Bahkan ada bapak-bapak lain yang saya yakin lebih tua dari saya, mungkin jauh lebih tua. Jadi serba salah saya. Jika melihat para remaja, saya merasa kok tidak sadar diri bahwa, kata teman-teman pendakian ke Pangrango dan Gede minggu kemarin, saya sudah manula. Bila ketemu yang lebih tua, baik saat di gunung maupun seperti yang ada dalam acara televisi, saya jadi malu kalau mundur hanya lantaran usia. Jadi bagaimana dong?

Sudahlah, tidak usah dipusingkan. Biar nanti saya urus sendiri. Yang penting sekarang kita jalani saja kehidupan ini seiring berlalunya waktu dengan hal-hal yang positif, menyenangkan, dan bermanfaat. Saya hanya pesan terutama buat anda yang akan pensiun, rencanakanlah kegiatan yang akan anda lakukan saat pensiun nanti. Jangan sampai saat pensiun tiba, anda malah bingung mau ngapain, malah merasa jadi orang yang tidak produktif dan tidak bermanfaat. Ujung-ujungnya anda jadi depresi. Dan itu yang berbahaya. Meskipun dampak depresi mungkin tidak merugikan orang lain secara langsung, namun bila tidak ditangani dengan baik, akibat yang merugikan diri sendiri itu akhirnya berimbas ke orang-orang terdekat anda terutama keluarga.

Sekali lagi, saya memang ada keinginan bahwa Ekspedisi Panggede kemarin merupakan pendakian terakhir saya. Itu berarti saya pensiun jadi pendaki. Namun perlu anda catat bahwa apakah itu sebuah keputusan, saya tidak akan menjawabnya di sini. Saya hanya akan memberi tahu anda bahwa saya sudah memutuskan sekarang. Memutuskan untuk tidak memutuskan. Keputusan untuk tidak memutuskan adalah juga sebuah keputusan. Tul kan?

No comments:

Post a Comment