Hari ini saya boyongan. Tahu boyongan? Kalau ada ayam membawa pindah anak-anaknya ke tempat lain, itu namanya boyongan. Kucing betina yang ngumpetin anak-anaknya di tempat tersembunyi agar tidak dimakan yang jantan, boyongan namanya. Bila ada keluarga ngangkutin barang-barangnya ke rumah yang lain, itu namanya boyongan. Anak kost yang mbawa tetek-bengeknya ke kamar temennya lalu tinggal disitu seterusnya, itu juga disebut boyongan. Hari ini saya mindahin buku dan lain-lainya ke meja di ruangan lain. Ngumpul dengan pak Dian dan pak Arifin. Three musketeers deh jadinya. Tiga jagoan gitu loh. Bener, soalnya jago semua, nggak ada babonnya. Babon itu artinya betina, digunakan untuk ayam, tapi kadang juga suka dipakai untuk manusia perempuan. Di Jawa sana, ayam jantan itu disebut jago, betinanya dipanggil babon.
Pak Dian ini belum lama telah lulus ujian skripsi. Tinggal nunggu wisudanya. Teman-temannya di kantor juga nunggu makan-makannya. Saya yakin pak Dian pasti akan tambah senang, setelah gembira karena telah lulus S1 nya, bila melihat teman-temannya pada sumringah karena kekenyangan makanan lezat. Bukan menuntut sih, tapi wajib. Itupun kalau yang bersangkutan merasa wajib juga. Bila enggak, ya berarti sunah. Kalau boleh kasih saran, bila pesan makanan saya punya rekomendasi untuk itu. Kabarnya di Ciomas Permai dekat danau ada ahli masak. Orang-orang menyebutnya mamah Izas. Siapa saja pasti yakin dengan keahliannya. Apalagi lulusan tata boga. Dan kalau cuman sekedar bikin buntil – apa? buntil? – keciiillllll……..
Selain boyongan, ada hal lain yang terjadi. Tangga yang menuju ruang 1 dan 2 makan korban lagi. Entah yang ke berapa. Yang ketimpa sial sekarang Fatimah. Mahasiswa angkatan 9. Gimana kejadiannya, tau-tau terdengar suara bergemuruh orang jatuh dari tangga. Berisik suaranya karena tangganya terbuat dari kayu. Orang-orang pada berlarian dan menemukan Fatimah sudah terkapar di kaki tangga dengan mengaduh-aduh sambil memegangi kepala. Rame-rame Fatimah digotong ke ruangan untuk ditidurkan. Kayaknya kakinya keseleo. Bisa jadi kepalanya juga benjol, cuman nggak keliatan karena pakai jilbab. Tangganya harus diapain ya. Masak cuman dua lantai mesti pakai lift.
Thursday, July 27, 2006
Tuesday, July 25, 2006
Surat Cinta
Tujuan sebenarnya saya memberi tugas para mahasiswa membuat surat adalah untuk membuktikan sebuah hipotesa. Bahwa kepribadian akan bisa terlihat dari surat yang dibuat.
Trimester ini saya memang mengajar mata kuliah BK alias Bimbingan Karir. Materi yang diberikan diantaranya tentang jenis kepribadian. Istilah Hippocrates yang dikutip Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus membagi kepribadian menjadi empat yang dia sebut dengan sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis. Masing-masing kepribadian mempunyai ciri. Seorang sanguinis suka bicara. Koleris tegas orangnya. Melankolis puitis. Phlegmatis orangnya tenang, tidak banyak bicara. Itu adalah salah satu dari banyak kekhasan yang dimiliki setiap kepribadian.
Dan…… hipotesa saya terbukti. Dari surat-surat yang masuk, yang paling banyak isinya adalah dari seorang sanguinis. Ada lima lembar kertas bergaris yang ukurannya hampir sebesar A4. Bahasa yang digunakan juga seperti kalau lagi ngomong, mengalir. Dari koleris, berisi kalimat-kalimat yang lugas, to the point. Kalaupun ada basa-basinya, terkesan kaku, garing. Melankolis menulis dengan kalimat yang hati-hati. Takut kalau yang membaca tersinggung. Sedangkan phlegmatis, satu lembar kertas kecilpun nggak penuh. Hanya separuh lebih. Isinya pun perihal ucapan terima kasih dan permintaan maaf. Sudah itu saja. Sebagaimana orangnya, tulisannya sedikit, tidak banyak omong. Memang sih, tidak semua seperti itu. Tetapi sebagian besar surat yang saya terima memperlihatkan kepribadian penulisnya.
Selain pembuktian hipotesa, ternyata, dari isi surat, banyak masukan yang saya terima. Ada juga yang malah curhat. Menyampaikan berbagai masalah. Beberapa minta supaya saya menjawab atau menanggapi. Jumlah surat yang masuk ada 47. Setiap yang mengirimkan surat sudah pasti akan merasa senang dan puas apabila dapat dijawab satu-satu. Tetapi, mengingat jumlahnya yang lumayan itu, saya lebih cocok kalau menjawabnya lewat blog ini. Mungkin tidak akan memuaskan. Saya minta maaf atas ketidakpuasan yang terjadi, tapi saya akan berusaha sebaik-baiknya. Saya juga mohon maaf karena tidak membalasnya lewat surat.
Balasan untuk surat-surat yang saya terima dapat dibaca di bawah ini. Mudah-mudahan saja bisa menjadi jawaban dari segala pertanyaan yang ada.
Buat teman-teman yang kebetulan juga menjadi mahasiswa saya, hidup memang sulit. Bagi mereka yang menganggapnya sulit. Akan menjadi mudah bila kita melihatnya sebagai anugerah. Meskipun faktanya susah, tapi kalau kita jalani dengan senang hati, menjadi tidak terasa kesusahan itu. Ingat apa yang dilakukan seorang winner. Dari setiap masalah, akan terlihat jawabannya. Selalu ada peluang dari setiap resiko yang ditemui. Jadilah seorang pemenang dalam kehidupan ini. Apapun kondisinya.
Setiap orang sudah pasti punya masalah. Anda akan bermasalah bila tidak punya masalah dalam hidup ini. Sebatang besi tidak akan pernah jadi samurai yang tajam apabila tidak dibakar dan ditempa dengan godam. Kalau perum pegadaian punya motto menyelesaikan masalah tanpa masalah, begitu juga seharusnya anda. Hadapi dan selesaikan problem yang ditemui. Karena akan terus membuntuti apabila tidak dituntaskan. Penyelesaian sanguinis bisa jadi beda dengan cara yang dilakukan oleh phlegmatis. Apapun kepribadian anda, yakinlah bahwa anda punya cara jitu sesuai kepribadian yang dimiliki.
Bila anda merasa ada sebagian orang yang pilih kasih, lihatlah sebagai sebuah peluang untuk lebih meningkatkan diri. Memang wajar kalau orang tertarik dengan mereka yang punya kelebihan. Mungkin kepintaran, kecantikan/ketampanan, ketrampilan, atau keunggulan yang lain. Selebriti banyak yang diidolakan. Namun demikian, untuk bisa menikmati hidup, kita toh tidak harus menjadi seorang selebriti. Kalau anda tahu pilih kasih membuat orang lain sakit hati, maka ada pelajaran yang bisa anda ambil. Sudah pasti anda tidak akan berbuat seperti itu karena tahu akan menyakiti orang lain. Justru mestinya anda berterima kasih kapada orang tersebut karena telah menjadi contoh yang tidak perlu anda ikuti.
Apapun kata teman-teman anda tentang persahabatan anda dengan orang yang kebetulan beda jenis kelamin, sikapilah dengan bijaksana. Memang beresiko memiliki sahabat yang beda kelaminnya. Jangankan beda, sama juga kadang dicurigai yang hombreng lah…. atau lesbi lah. Ih… amit-amit. Kalau teman-teman anda menganggap anda jadian dengan sahabat anda, kan yang tahu dengan pasti anda sendiri. Orang lain hanya berasumsi. Segala asumsi akan tetap seperti itu selama belum terbukti.
Lewat blog ini, saya ucapkan terima kasih karena anda telah mau menganggap saya sebagai teman. Meskipun saya jarang ngobrol dengan sebagian dari anda, percayalah, anda tetap sahabat saya. Pengen tahu ken…napa? (kaya iklan di TV) Karena, khan anda tahu sendiri, saya seorang phlegmatis. Kalau ketemu dengan orang phlegmatis juga, suka bingung mau ngomong apa untuk memulai percakapan. Sekali lagi yakinlah, hati saya tetap bicara kok, meskipun mulut tidak berucap. Dan berjanjilah untuk terus bersilaturahmi dengan saya, teman-teman anda sekarang, maupun yang akan anda temui nanti. Karena silaturahmi itu sehat, menambah panjang usia dan rejeki.
Saya cukupkan saja sampai disini dulu. Jadilah anda sebagaimana anda sendiri. Siapapun anda - sanguinis, koleris, melankolis, maupun phlegmatis – jadilah seorang winner. Sanguinis yang winner, koleris yang winner, melankolis yang winner, atau phlegmatis yang winner. Gunakan dan tingkatkan seluruh kekuatan dan kelebihan/keunggulan yang dimiliki. Kurangi dan bila perlu, hilangkan semua kelemahan.
Bravo angkatan 9.
Trimester ini saya memang mengajar mata kuliah BK alias Bimbingan Karir. Materi yang diberikan diantaranya tentang jenis kepribadian. Istilah Hippocrates yang dikutip Florence Littauer dalam bukunya Personality Plus membagi kepribadian menjadi empat yang dia sebut dengan sanguinis, koleris, melankolis, dan phlegmatis. Masing-masing kepribadian mempunyai ciri. Seorang sanguinis suka bicara. Koleris tegas orangnya. Melankolis puitis. Phlegmatis orangnya tenang, tidak banyak bicara. Itu adalah salah satu dari banyak kekhasan yang dimiliki setiap kepribadian.
Dan…… hipotesa saya terbukti. Dari surat-surat yang masuk, yang paling banyak isinya adalah dari seorang sanguinis. Ada lima lembar kertas bergaris yang ukurannya hampir sebesar A4. Bahasa yang digunakan juga seperti kalau lagi ngomong, mengalir. Dari koleris, berisi kalimat-kalimat yang lugas, to the point. Kalaupun ada basa-basinya, terkesan kaku, garing. Melankolis menulis dengan kalimat yang hati-hati. Takut kalau yang membaca tersinggung. Sedangkan phlegmatis, satu lembar kertas kecilpun nggak penuh. Hanya separuh lebih. Isinya pun perihal ucapan terima kasih dan permintaan maaf. Sudah itu saja. Sebagaimana orangnya, tulisannya sedikit, tidak banyak omong. Memang sih, tidak semua seperti itu. Tetapi sebagian besar surat yang saya terima memperlihatkan kepribadian penulisnya.
Selain pembuktian hipotesa, ternyata, dari isi surat, banyak masukan yang saya terima. Ada juga yang malah curhat. Menyampaikan berbagai masalah. Beberapa minta supaya saya menjawab atau menanggapi. Jumlah surat yang masuk ada 47. Setiap yang mengirimkan surat sudah pasti akan merasa senang dan puas apabila dapat dijawab satu-satu. Tetapi, mengingat jumlahnya yang lumayan itu, saya lebih cocok kalau menjawabnya lewat blog ini. Mungkin tidak akan memuaskan. Saya minta maaf atas ketidakpuasan yang terjadi, tapi saya akan berusaha sebaik-baiknya. Saya juga mohon maaf karena tidak membalasnya lewat surat.
Balasan untuk surat-surat yang saya terima dapat dibaca di bawah ini. Mudah-mudahan saja bisa menjadi jawaban dari segala pertanyaan yang ada.
Buat teman-teman yang kebetulan juga menjadi mahasiswa saya, hidup memang sulit. Bagi mereka yang menganggapnya sulit. Akan menjadi mudah bila kita melihatnya sebagai anugerah. Meskipun faktanya susah, tapi kalau kita jalani dengan senang hati, menjadi tidak terasa kesusahan itu. Ingat apa yang dilakukan seorang winner. Dari setiap masalah, akan terlihat jawabannya. Selalu ada peluang dari setiap resiko yang ditemui. Jadilah seorang pemenang dalam kehidupan ini. Apapun kondisinya.
Setiap orang sudah pasti punya masalah. Anda akan bermasalah bila tidak punya masalah dalam hidup ini. Sebatang besi tidak akan pernah jadi samurai yang tajam apabila tidak dibakar dan ditempa dengan godam. Kalau perum pegadaian punya motto menyelesaikan masalah tanpa masalah, begitu juga seharusnya anda. Hadapi dan selesaikan problem yang ditemui. Karena akan terus membuntuti apabila tidak dituntaskan. Penyelesaian sanguinis bisa jadi beda dengan cara yang dilakukan oleh phlegmatis. Apapun kepribadian anda, yakinlah bahwa anda punya cara jitu sesuai kepribadian yang dimiliki.
Bila anda merasa ada sebagian orang yang pilih kasih, lihatlah sebagai sebuah peluang untuk lebih meningkatkan diri. Memang wajar kalau orang tertarik dengan mereka yang punya kelebihan. Mungkin kepintaran, kecantikan/ketampanan, ketrampilan, atau keunggulan yang lain. Selebriti banyak yang diidolakan. Namun demikian, untuk bisa menikmati hidup, kita toh tidak harus menjadi seorang selebriti. Kalau anda tahu pilih kasih membuat orang lain sakit hati, maka ada pelajaran yang bisa anda ambil. Sudah pasti anda tidak akan berbuat seperti itu karena tahu akan menyakiti orang lain. Justru mestinya anda berterima kasih kapada orang tersebut karena telah menjadi contoh yang tidak perlu anda ikuti.
Apapun kata teman-teman anda tentang persahabatan anda dengan orang yang kebetulan beda jenis kelamin, sikapilah dengan bijaksana. Memang beresiko memiliki sahabat yang beda kelaminnya. Jangankan beda, sama juga kadang dicurigai yang hombreng lah…. atau lesbi lah. Ih… amit-amit. Kalau teman-teman anda menganggap anda jadian dengan sahabat anda, kan yang tahu dengan pasti anda sendiri. Orang lain hanya berasumsi. Segala asumsi akan tetap seperti itu selama belum terbukti.
Lewat blog ini, saya ucapkan terima kasih karena anda telah mau menganggap saya sebagai teman. Meskipun saya jarang ngobrol dengan sebagian dari anda, percayalah, anda tetap sahabat saya. Pengen tahu ken…napa? (kaya iklan di TV) Karena, khan anda tahu sendiri, saya seorang phlegmatis. Kalau ketemu dengan orang phlegmatis juga, suka bingung mau ngomong apa untuk memulai percakapan. Sekali lagi yakinlah, hati saya tetap bicara kok, meskipun mulut tidak berucap. Dan berjanjilah untuk terus bersilaturahmi dengan saya, teman-teman anda sekarang, maupun yang akan anda temui nanti. Karena silaturahmi itu sehat, menambah panjang usia dan rejeki.
Saya cukupkan saja sampai disini dulu. Jadilah anda sebagaimana anda sendiri. Siapapun anda - sanguinis, koleris, melankolis, maupun phlegmatis – jadilah seorang winner. Sanguinis yang winner, koleris yang winner, melankolis yang winner, atau phlegmatis yang winner. Gunakan dan tingkatkan seluruh kekuatan dan kelebihan/keunggulan yang dimiliki. Kurangi dan bila perlu, hilangkan semua kelemahan.
Bravo angkatan 9.
Wednesday, July 19, 2006
Jalan-jalan Lagi
Dua hari saya menikmati jalan-jalan. Menelusuri tempat-tempat di wilayah Bogor yang baru buat saya. Kali ini jalan-jalannya karena tugas dari kantor. Saya harus melakukan survei terhadap rumah para calon mahasiswa baru BEC. Karena program yang dimiliki BEC untuk kaum dhuafa, mereka yang kuliah di BEC sama sekali tidak dipungut biaya, maka perlu benar-benar diseleksi. Benar-benar dilihat apakah calon mahasiswa itu memang dari keluarga tidak mampu. Untuk itulah survei dilakukan. Melihat secara langsung kondisi keluarga dan rumah calon mahasiswa.
Hari pertama survei, kemarin, 18 Juli 2006, saya meluncur ke wilayah Jasinga. Pertama kalinya saya ke tempat ini, dan kesampaian juga keinginan saya untuk sampai di Jasinga. Ada empat calon mahasiswa di wilayah Jasinga. Semua tempat yang saya kunjungi membuat saya terkesan. Karena medannya, ada wilayah yang harus saya jangkau menggunakan ojeg. Dan ini yang paling berkesan buat saya. Nama tempat tersebut adalah kampung Sipak II, desa Sipak, kecamatan Jasinga. Lokasinya ada di tepian sungai Cidurian. Untuk menuju kampung tersebut, ojeg saya harus menyeberangi jembatan panjang yang melintasi sungai tersebut. Tampaknya, bila dilihat dari konstruksinya, bangunan tersebut dibangun sudah cukup lama. Seperti jembatan peninggalan Belanda. Pondasi-pondasinya yang terbuat dari batu kali menyangga lempengan baja sebagai jalannya. Terlihat cukup kokoh membentang di atas sungai Cidurian yang lebar tetapi tidak begitu banyak airnya. Barangkali karena musim kemarau. Saat saya lewat ada beberapa penduduk setempat yang sedang mandi dan mencuci di tengah sungai. Baik laki-laki maupun perempuan. Saya bisa bayangkan alangkah dahsyatnya sungai tersebut apabila banjir. Tetapi kata keluarga calon mahasiswa yang saya kunjungi, sungai itu tidak pernah meluap sampai ke perkampungan di sekitarnya saat banjir. Mudah-mudahan saja tidak akan pernah terjadi.
Saat pulang dari kampung Sipak, saya lihat banyak kitiran dari bambu di atas pepohonan. Ada berbagai macam ukuran, besar dan kecil. Saat tanya ke tukang ojeg yang saya naiki apa nama setempat dari baling-baling bambu tersebut, dijawabnya kolecer. Dan penduduk membuat kolecer hanya sekedar untuk bunyi-bunyian saja. Dari benda tersebut memang terdengar bunyi saat tertiup angin meskipun tidak terlalu keras. Sebuah permainan yang selaras dengan alam.
Dari Jasinga, saya menuju ke kampung Wates, desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung. Tempatnya searah dengan jalan menuju ke pertambangan emas Pongkor. Setelah turun dari angkot Leuwiliang-Nanggung, disambung dengan ojeg untuk menuju desa tersebut. Sebenarnya ada angkutan umum yang menuju lokasi tersebut tetapi tidak banyak. Ngeri dan penat ketika naik ojeg. Ngeri karena jalannya yang berkelok-kelok dan menanjak, meskipun jalannya sudah di-hotmix (diaspal halus). Penat karena perjalanannya lama. Pantat rasanya panas duduk di atas sadel ojeg. Namun demikian saya terhibur dengan pemandangan yang khas Indonesia di sepanjang jalan menuju lokasi.
Tujuan terakhir adalah desa Benteng di kecamatan Ciampea. Dan seperti biasa bila mencari alamat, saya kesasar lumayan jauh. Harusnya saya turun dari angkot tapi malah terus mencari-cari. Karena yakin bahwa saya tahu tempatnya, makanya saya tidak tanya ke sopir angkot. Seingat saya, ada tulisan Astana di gapura menuju kampung Astana, tapi ternyata tidak. Akhirnya, harus jalan kaki ke arah saya datang tadi di bawah terik matahari siang. Bayangin saja, jalan kaki jam 2 siang. Kepala rasanya empot-empotan. Tapi, buat saya, asyik juga.
Hari ini, 19 Juli 2006, hari kedua saya jalan-jalan untuk survei. Target pertama adalah kampung Cimanggu, desa Gunung Malang, kecamatan Tenjolaya, kabupaten Bogor. Sama seperti ke kampung Wates, jalannya nanjak. Kali ini saya nggak naik ojeg, tapi naik angkutan umum. Namun demikian tetap ngeri juga, meski tidak disertai penat. Karena duduk berimpitan dengan penumpang lain di sebelah supir, walaupun tidak penat tetapi akibatnya kaki saya kesemutan. Saat turun, kaki kiri rasanya kebas, nggak terasa nginjak tanah. Hampir saja mau jatuh. Di bawah ini saya sertakan pemandangan di desa Gunung Malang. Foto-foto ini saya ambil dari atas angkot yang sedang jalan.
Turun dari Gunung Malang langsung menuju wilayah Cibeureum. Ada tiga calon mahasiswa di tempat tersebut. Sempat saya keluar masuk pasar Dramaga untuk mencari alamat yang dituju. Sesuai petunjuk yang diberikan, saya harus turun di pasar untuk mencapai rumah para calon mahasiswa itu.
Buat saya, menyenangkan sekali kesasar-sasar saat melakukan survei. Aneh? Barangkali benar menurut anda. Bagi saya, kesasar bisa menjadi pengalaman yang menarik. Saya jadi tahu tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah saya datangi. Termasuk ketika saya melakukan survei tahun lalu di Carang Pulang. Sebuah nama yang menimbulkan pertanyaan dalam benak saya. Kenapa tempat tersebut dinamakan seperti itu mungkin karena penghuninya jarang pulang. Itu sih dugaan saya saja. Kebetulan gambar-gambar yang dulu pernah saya ambil ketika muter-muter di Carang Pulang masih ada. Meskipun kesasar, dan akhirnya ketemu juga alamat yang saya cari, saya menikmati pemandangannya. Sekali lagi, silahkan menikmati keindahan alam khas Carang Pulang (kabupaten Bogor).
Hari pertama survei, kemarin, 18 Juli 2006, saya meluncur ke wilayah Jasinga. Pertama kalinya saya ke tempat ini, dan kesampaian juga keinginan saya untuk sampai di Jasinga. Ada empat calon mahasiswa di wilayah Jasinga. Semua tempat yang saya kunjungi membuat saya terkesan. Karena medannya, ada wilayah yang harus saya jangkau menggunakan ojeg. Dan ini yang paling berkesan buat saya. Nama tempat tersebut adalah kampung Sipak II, desa Sipak, kecamatan Jasinga. Lokasinya ada di tepian sungai Cidurian. Untuk menuju kampung tersebut, ojeg saya harus menyeberangi jembatan panjang yang melintasi sungai tersebut. Tampaknya, bila dilihat dari konstruksinya, bangunan tersebut dibangun sudah cukup lama. Seperti jembatan peninggalan Belanda. Pondasi-pondasinya yang terbuat dari batu kali menyangga lempengan baja sebagai jalannya. Terlihat cukup kokoh membentang di atas sungai Cidurian yang lebar tetapi tidak begitu banyak airnya. Barangkali karena musim kemarau. Saat saya lewat ada beberapa penduduk setempat yang sedang mandi dan mencuci di tengah sungai. Baik laki-laki maupun perempuan. Saya bisa bayangkan alangkah dahsyatnya sungai tersebut apabila banjir. Tetapi kata keluarga calon mahasiswa yang saya kunjungi, sungai itu tidak pernah meluap sampai ke perkampungan di sekitarnya saat banjir. Mudah-mudahan saja tidak akan pernah terjadi.
Saat pulang dari kampung Sipak, saya lihat banyak kitiran dari bambu di atas pepohonan. Ada berbagai macam ukuran, besar dan kecil. Saat tanya ke tukang ojeg yang saya naiki apa nama setempat dari baling-baling bambu tersebut, dijawabnya kolecer. Dan penduduk membuat kolecer hanya sekedar untuk bunyi-bunyian saja. Dari benda tersebut memang terdengar bunyi saat tertiup angin meskipun tidak terlalu keras. Sebuah permainan yang selaras dengan alam.
Dari Jasinga, saya menuju ke kampung Wates, desa Bantar Karet, Kecamatan Nanggung. Tempatnya searah dengan jalan menuju ke pertambangan emas Pongkor. Setelah turun dari angkot Leuwiliang-Nanggung, disambung dengan ojeg untuk menuju desa tersebut. Sebenarnya ada angkutan umum yang menuju lokasi tersebut tetapi tidak banyak. Ngeri dan penat ketika naik ojeg. Ngeri karena jalannya yang berkelok-kelok dan menanjak, meskipun jalannya sudah di-hotmix (diaspal halus). Penat karena perjalanannya lama. Pantat rasanya panas duduk di atas sadel ojeg. Namun demikian saya terhibur dengan pemandangan yang khas Indonesia di sepanjang jalan menuju lokasi.
Tujuan terakhir adalah desa Benteng di kecamatan Ciampea. Dan seperti biasa bila mencari alamat, saya kesasar lumayan jauh. Harusnya saya turun dari angkot tapi malah terus mencari-cari. Karena yakin bahwa saya tahu tempatnya, makanya saya tidak tanya ke sopir angkot. Seingat saya, ada tulisan Astana di gapura menuju kampung Astana, tapi ternyata tidak. Akhirnya, harus jalan kaki ke arah saya datang tadi di bawah terik matahari siang. Bayangin saja, jalan kaki jam 2 siang. Kepala rasanya empot-empotan. Tapi, buat saya, asyik juga.
Hari ini, 19 Juli 2006, hari kedua saya jalan-jalan untuk survei. Target pertama adalah kampung Cimanggu, desa Gunung Malang, kecamatan Tenjolaya, kabupaten Bogor. Sama seperti ke kampung Wates, jalannya nanjak. Kali ini saya nggak naik ojeg, tapi naik angkutan umum. Namun demikian tetap ngeri juga, meski tidak disertai penat. Karena duduk berimpitan dengan penumpang lain di sebelah supir, walaupun tidak penat tetapi akibatnya kaki saya kesemutan. Saat turun, kaki kiri rasanya kebas, nggak terasa nginjak tanah. Hampir saja mau jatuh. Di bawah ini saya sertakan pemandangan di desa Gunung Malang. Foto-foto ini saya ambil dari atas angkot yang sedang jalan.
Turun dari Gunung Malang langsung menuju wilayah Cibeureum. Ada tiga calon mahasiswa di tempat tersebut. Sempat saya keluar masuk pasar Dramaga untuk mencari alamat yang dituju. Sesuai petunjuk yang diberikan, saya harus turun di pasar untuk mencapai rumah para calon mahasiswa itu.
Buat saya, menyenangkan sekali kesasar-sasar saat melakukan survei. Aneh? Barangkali benar menurut anda. Bagi saya, kesasar bisa menjadi pengalaman yang menarik. Saya jadi tahu tempat-tempat yang sebelumnya belum pernah saya datangi. Termasuk ketika saya melakukan survei tahun lalu di Carang Pulang. Sebuah nama yang menimbulkan pertanyaan dalam benak saya. Kenapa tempat tersebut dinamakan seperti itu mungkin karena penghuninya jarang pulang. Itu sih dugaan saya saja. Kebetulan gambar-gambar yang dulu pernah saya ambil ketika muter-muter di Carang Pulang masih ada. Meskipun kesasar, dan akhirnya ketemu juga alamat yang saya cari, saya menikmati pemandangannya. Sekali lagi, silahkan menikmati keindahan alam khas Carang Pulang (kabupaten Bogor).
Sunday, July 16, 2006
Bulan Ulang Tahun
Namanya Afrizal Labib Adinur. Biasa dipanggil Izal (dibaca Isal). Lahir 16 Juli 1995. Hari ini ulang tahunnya ke-11. Untuk merayakan hari kelahirannya, dia minta makan di Hoka Hoka Bento.
Adiknya, Reyhan Satria Adinur. Beda lagi mintanya saat ulang tahun. Reyhan ulang tahunnya 11 Juli kemarin. Dia lahir tahun 2000. Karena tahun kelahirannya, saya suka menyebut dia ‘manusia millennium’ saat cerita dengan orang lain. Untuk ulang tahunnya, dia lebih suka dibelikan kue ulang tahun.
Meskipun berasal dari pabrik yang sama, lahir di bulan yang sama, karakter keduanya jauh sekali bedanya. Kakaknya pendiam, tidak gampang bergaul. Padahal kecilnya mudah berteman dengan siapa saja. Dengan tukang bakso yang baru ketemu sekali saja sudah langsung dipeluk. Sedangkan adiknya, anaknya bawel. Bahkan kadang-kadang suka saya usir keluar kamar karena capek ndengerin ocehannya. Dia gampang bergaul dengan siapa saja. Kalau ketemu dengan orang lain, dewasa maupun anak-anak, dia suka mendekat dan pegang-pegang. Tujuannya tidak lain adalah untuk kenalan. Saat besar nanti, segede kakaknya sekarang, mudah-mudahan saja tidak berubah seperti dia. Tetap berkarakter seperti saat ini.
Adiknya, Reyhan Satria Adinur. Beda lagi mintanya saat ulang tahun. Reyhan ulang tahunnya 11 Juli kemarin. Dia lahir tahun 2000. Karena tahun kelahirannya, saya suka menyebut dia ‘manusia millennium’ saat cerita dengan orang lain. Untuk ulang tahunnya, dia lebih suka dibelikan kue ulang tahun.
Meskipun berasal dari pabrik yang sama, lahir di bulan yang sama, karakter keduanya jauh sekali bedanya. Kakaknya pendiam, tidak gampang bergaul. Padahal kecilnya mudah berteman dengan siapa saja. Dengan tukang bakso yang baru ketemu sekali saja sudah langsung dipeluk. Sedangkan adiknya, anaknya bawel. Bahkan kadang-kadang suka saya usir keluar kamar karena capek ndengerin ocehannya. Dia gampang bergaul dengan siapa saja. Kalau ketemu dengan orang lain, dewasa maupun anak-anak, dia suka mendekat dan pegang-pegang. Tujuannya tidak lain adalah untuk kenalan. Saat besar nanti, segede kakaknya sekarang, mudah-mudahan saja tidak berubah seperti dia. Tetap berkarakter seperti saat ini.
Wednesday, July 12, 2006
Obrolan Pos Ronda
Ada penumpang bis yang bibirnya sumbing akan turun. Halte tempat dia turun jaraknya sekitar satu kilometer sebelum pabrik semir sepatu merek Kiwi. Kepada kondektur yang berdiri agak jauh dari tempatnya, dia berteriak, “kiwi, kiwi, kiwi”. Mendengar teriakan itu, si kondektur bales menjawab, “kiwi masih depanan sana mas”. Penumpang tersebut mengulangi lagi, “kiwi mas, kiwi!!”, sambil agak melotot matanya. Karena merasa tidak dimengerti, kondektur bis berteriak mulai marah. “Kiwi belum nyampe! Masih sekilo lagi!” Si penumpang tersinggung karena kondektur tidak mengerti-mengerti juga apa yang dia maksud. Sambil menyatukan mulut atasnya yang sumbing menggunakan tangan, penumpang itu berteriak sekencang-kencangnya. “KIRI, GOBLOK!!”
Masih geli juga bila ingat cerita tersebut, yang saya dengar saat ronda malam minggu kemarin. Bukan punya maksud apa-apa saya menuliskan joke tersebut disini. Bila anda, maaf, punya bibir sumbing, saya mohon maaf. Cerita seperti itu hanya sekedar lelucon di pos ronda. Tetapi bisa saja pengalaman yang nggak enak itu terjadi. Kadang-kadang kita harus berbesar hati mendengarkan orang ngomongin kekurangan kita. Percayalah, orang yang sudah bisa mentertawakan dirinya sendiri, berarti termasuk dalam kelompok orang yang arif bijaksana.
Namanya juga lagi ronda, maka obrolan bisa sampe kemana-mana. Juga, karena bapak-bapak yang lagi ronda sudah punya anak istri semua, maka sampai juga ngomongin masalah seks.
Ada tiga jenis orang yang punya perilaku seks yang berbeda-beda. Pertama, orang yang tidak suka seks. Kedua, orang yang suka seks. Ketiga, ini adalah jenis yang - saya nggak tahu apakah anda termasuk kelompok yang ini - luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang punya prinsip, bermental baja, dan berstamina kuda. Karena, orang jenis ketiga ini punya semboyan, suka tidak suka pokoknya ngeseks.
Ketiga kelompok pelaku seks di atas sama dengan jenis orang yang punya anggapan tentang seks yang dikaitkan dengan malam Jum’at. Orang pertama menganggap malam Jum’at adalah sunnah. Artinya disunnahkan untuk melakukan hubungan seks dengan istrinya. Jenis kedua, beranggapan bahwa malam Jum’at adalah sunnah, malam yang lain wajib. Orang jenis kedua ini doyan juga ya. Sedangkan jenis ketiga berprinsip, malam Jum’at sunnah, malam lainnya wajib, siang harinya hobi. Walah!
Masih geli juga bila ingat cerita tersebut, yang saya dengar saat ronda malam minggu kemarin. Bukan punya maksud apa-apa saya menuliskan joke tersebut disini. Bila anda, maaf, punya bibir sumbing, saya mohon maaf. Cerita seperti itu hanya sekedar lelucon di pos ronda. Tetapi bisa saja pengalaman yang nggak enak itu terjadi. Kadang-kadang kita harus berbesar hati mendengarkan orang ngomongin kekurangan kita. Percayalah, orang yang sudah bisa mentertawakan dirinya sendiri, berarti termasuk dalam kelompok orang yang arif bijaksana.
Namanya juga lagi ronda, maka obrolan bisa sampe kemana-mana. Juga, karena bapak-bapak yang lagi ronda sudah punya anak istri semua, maka sampai juga ngomongin masalah seks.
Ada tiga jenis orang yang punya perilaku seks yang berbeda-beda. Pertama, orang yang tidak suka seks. Kedua, orang yang suka seks. Ketiga, ini adalah jenis yang - saya nggak tahu apakah anda termasuk kelompok yang ini - luar biasa. Mereka adalah orang-orang yang punya prinsip, bermental baja, dan berstamina kuda. Karena, orang jenis ketiga ini punya semboyan, suka tidak suka pokoknya ngeseks.
Ketiga kelompok pelaku seks di atas sama dengan jenis orang yang punya anggapan tentang seks yang dikaitkan dengan malam Jum’at. Orang pertama menganggap malam Jum’at adalah sunnah. Artinya disunnahkan untuk melakukan hubungan seks dengan istrinya. Jenis kedua, beranggapan bahwa malam Jum’at adalah sunnah, malam yang lain wajib. Orang jenis kedua ini doyan juga ya. Sedangkan jenis ketiga berprinsip, malam Jum’at sunnah, malam lainnya wajib, siang harinya hobi. Walah!
Monday, July 10, 2006
World Cup 2006
Pesta bola dunia di Jerman sudah kelar. Efeknya masih terasa buat saya sampai sekarang. Mata saya masih terasa berat, ngantuk, akibat semaleman begadang lihat final Italia lawan Perancis.
Skor terakhir 5-3. Hasil dari adu pinalti. Setelah sebelumnya memperoleh skor sama 1-1, bahkan setelah perpanjangan waktu dua kali 15 menit. Italia memang juara, dan Perancis pecundangnya. Tapi bukan murni menang bertanding menggiring bola di lapangan hijau. Buat saya, siapapun pemenangnya, nggak ngaruh. Saya tidak punya jagoan. Sebenarnya saya nonton juga gara-gara ketularan anak pertama saya yang begitu antusias menyambut pesta empat tahunan ini.
Ketika baru mulai saya nggak peduli. Malahan heran ketika melihat si Izal, anak pertama saya yang baru kelas 5 SD, tidak mau tidur. Dia pengen nonton bola yang jam 11 malam. Padahal biasanya jam delapan sudah tidur. Saya dan istri nggak tega juga melarang dia, apalagi kebetulan sekolahnya lagi libur. Lama-lama, jadi tertarik juga saya. Setelah dua minggu berjalan, justru saya yang selalu mengikuti setiap pertandingan. Sedangkan Izalnya sendiri lebih sering tidur di depan TV, meskipun awalnya niat mau nonton.
Terakhir saya mengikuti world cup adalah saat main di Meksiko. Entah tahun berapa. Mungkin 1986. Setelah itu, nggak pernah mengikuti. Malas rasanya. Apalagi mainnya selalu malem, jam dua.
Yang menyenangkan dari tontonan olah raga ini adalah adanya contoh-contoh yang bagus untuk ditiru. Kerja sama, sportifitas, kepatuhan terhadap wasit maupun peraturan, beda jauh dengan yang terjadi di negara ini. Justru saya ikut berkaca-kaca ketika melihat mereka menangis karena timnya kalah. Bergembira saat mereka berlarian setelah membuat gol di gawang lawan, berpelukan dengan teman tim. Dan hal lain, ternyata, menurut hasil penelitian terbaru dari Mental Health Foundation piala dunia membuat kaum pria menjadi makin mesra.
Tontonan yang sangat menghibur sebagian besar penduduk dunia ini sudah selesai. Acara yang sama akan digelar empat tahun lagi, 2010 di Afrika Selatan.
Indonesia kapan ya?
Skor terakhir 5-3. Hasil dari adu pinalti. Setelah sebelumnya memperoleh skor sama 1-1, bahkan setelah perpanjangan waktu dua kali 15 menit. Italia memang juara, dan Perancis pecundangnya. Tapi bukan murni menang bertanding menggiring bola di lapangan hijau. Buat saya, siapapun pemenangnya, nggak ngaruh. Saya tidak punya jagoan. Sebenarnya saya nonton juga gara-gara ketularan anak pertama saya yang begitu antusias menyambut pesta empat tahunan ini.
Ketika baru mulai saya nggak peduli. Malahan heran ketika melihat si Izal, anak pertama saya yang baru kelas 5 SD, tidak mau tidur. Dia pengen nonton bola yang jam 11 malam. Padahal biasanya jam delapan sudah tidur. Saya dan istri nggak tega juga melarang dia, apalagi kebetulan sekolahnya lagi libur. Lama-lama, jadi tertarik juga saya. Setelah dua minggu berjalan, justru saya yang selalu mengikuti setiap pertandingan. Sedangkan Izalnya sendiri lebih sering tidur di depan TV, meskipun awalnya niat mau nonton.
Terakhir saya mengikuti world cup adalah saat main di Meksiko. Entah tahun berapa. Mungkin 1986. Setelah itu, nggak pernah mengikuti. Malas rasanya. Apalagi mainnya selalu malem, jam dua.
Yang menyenangkan dari tontonan olah raga ini adalah adanya contoh-contoh yang bagus untuk ditiru. Kerja sama, sportifitas, kepatuhan terhadap wasit maupun peraturan, beda jauh dengan yang terjadi di negara ini. Justru saya ikut berkaca-kaca ketika melihat mereka menangis karena timnya kalah. Bergembira saat mereka berlarian setelah membuat gol di gawang lawan, berpelukan dengan teman tim. Dan hal lain, ternyata, menurut hasil penelitian terbaru dari Mental Health Foundation piala dunia membuat kaum pria menjadi makin mesra.
Tontonan yang sangat menghibur sebagian besar penduduk dunia ini sudah selesai. Acara yang sama akan digelar empat tahun lagi, 2010 di Afrika Selatan.
Indonesia kapan ya?
Thursday, July 06, 2006
Turis Lokal
Siapa sangka sudah tigabelas tahun tinggal di Bogor, baru sekarang tahu kalau ada jalan yang namanya Jl. Cincau.
Hari ini saya menjadi turis lokal. Dengan diantar salah satu mahasiswa saya, Mis Sutiawan (saya pasang fotonya disini), saya berangkat dari Panaragan Kidul sekitar jam 4.30 wib. Setelah pulang kuliah. Saya dengan Mis jalan kaki. Sengaja. Karena memang itu yang saya inginkan. Berjalan kaki menyusuri jalan raya dan perkampungan.
Awalnya saya punya ide untuk jalan kaki masuk keluar kampung ketika tahu kalau Mis suka jalan kaki saat berangkat dan pulang kuliah. Padahal rumahnya jauh, di Kampung Cipaku Skip Baru, dekat Perumahan Pakuan dan sentra tas di daerah Tajur. Sebelumnya dia naik sepeda. Karena as sepedanya jebol, maka jalan kakilah dia.
Sungguh menyenangkan bisa melihat tempat-tempat yang sebelumnya tidak saya ketahui. Setelah dari Panaragan Kidul, saya jalan melewati asrama polisi. Kemudian ketemu dengan sungai. Kami ikuti sungai itu melewati bahunya menuju ke arah yang berlawanan dengan arusnya. Sebelum sampai di pintu air, kami belok kanan masuk kembali ke perkampungan. Entah kampung apa namanya. Beberapa saat kemudian ketemu sungai lagi dan melewati jembatan yang membentang di atasnya. Sesampai di ujung jembatan, jalan menanjak. Ternyata jalan tersebut tembus ke Jalan Peledang. Kami terus melangkahkan kaki menyusuri jalan ke arah hotel Safira dan masuk sebentar ke dalam hotel tersebut untuk minta room rate yang baru. Sering saya melewati hotel baru tersebut, tetapi baru sekali ini masuk ke dalamnya.
Keluar dari hotel, kami terus jalan melewati bank BNI di ujung jalan. Dari situ belok kanan ke arah BTM (Bogor Trade Mall). Kemudian masuk pasar Lawang Seketeng. Jalan yang ada di tengah pasar itu ternyata panjang berkelok-kelok. Saat perjalanan sudah beberapa ratus meter, saya baca tulisan bahwa jalan yang saya lewati namanya Jl. Cincau. Saya jadi ingat pohon cincau yang di rumah. Dari jalan yang kalau dibikin es menyegarkan ini (maksudnya cincaunya) nyambung ke Jl. Gang Aut. Sering dengar namanya tapi baru kali ini saya melewatinya, jalan kaki lagi.
Jalan Gg. Aut ternyata panjang juga. Ada lapangan bola di sebelah kanan jalan ini. Namanya lapangan bola Gang Aut. Meskipun ada dua tim dengan seragam biru dan merah yang sedang bermain, tetapi lapangannya sendiri sama sekali tidak seperti lapangan sepakbola. Kering kerontang tidak ada rumputnya. Hanya lapangan dengan debunya yang berterbangan kemana-mana. Tetapi keadaan tersebut kayaknya tidak mengganggu keasyikan para pemain. Barangkali mereka sedang terbius dengan piala dunia. Saat ini memang sedang berlangsung kejuaraan sepakbola dunia, World Cup 2006, di Jerman.
Setelah berhenti sejenak di dekat lapangan, perjalanan dilanjutkan. Tidak lama kemudian, masih terusannya Jl. Gang Aut, di seberang jalan ada kandang dengan beberapa ekor sapi perah di dalamnya. Lumayan juga baunya. Sekitar dua ratus meter dari tempat itu, kami melewati tempat yang namanya Pangkalan Jengkol. Rupanya memang tempat tersebut digunakan untuk menumpuk jengkol sebelum didistribusikan lagi ke pasar-pasar di Bogor. Saat itu sudah ada beberapa karung jengkol yang ditaruh. Baunya kecium saat saya lewat di sebelahnya. Aromanya sedap juga, bila dibandingkan bau sapi.
Lepas dari Pangkalan Jengkol, jalan yang dilalui ketemu dengan jalan utama yang dilewati angkot 02 dari Sukasari. Setelah menyeberang jalan, masuk lagi ke jalan tembus yang melewati SMP-SMA Bhakti Insani. Jalan tersebut ternyata tembus ke Jl. Lawanggintung di depan SDN Lawanggintung 2. Setelah belok ke kanan, kami kemudian masuk ke Asrama Pusdikzi. Besar juga ternyata wilayahnya. Di dalam komplek asrama ini ada lapangan sepakbola. Orang sekitar tersebut, mungkin juga orang-orang Bogor umumnya, menyebut lapangan tersebut Lapangan Skip. Meskipun di pinggir lapangan tersebut ada tulisan besar yang bisa saya baca dari seberang lapangan, Gelora Benteng. Lapangan ini pantas kalau disebut dengan lapangan sepakbola. Lapangannya hijau dengan rerumputan. Tidak seperti lapangan yang di Gang Aut.
Dari lapangan itu kemudian melewati wilayah tempat para tentara latihan. Masih dalam komplek Asrama Pusdikzi. Keluar dari asrama, masuk ke perkampungan yang disebut Kampung Cipaku Skip Baru. Di kampung itulah Mis dan keluarganya tinggal. Sampai di rumah Mis pas adzan magrib terdengar. Jam di HP saya menunjukkan pukul 6. Berarti saya sudah jalan kaki selama satu setengah jam. Badan terasa segar dan enak. Tidak terasa capek, meskipun sedikit berkeringat.
Saya sempat sholat magrib dan ngobrol dengan keluarga Mis. Jam 7.05 saya pamit pulang. Mis mengantar saya sampai ke angkot 02 jurusan Bubulak. Dengan demikian berakhirlah perjalanan saya sebagai turis lokal. Terima kasih banyak Mis.
Hari ini saya menjadi turis lokal. Dengan diantar salah satu mahasiswa saya, Mis Sutiawan (saya pasang fotonya disini), saya berangkat dari Panaragan Kidul sekitar jam 4.30 wib. Setelah pulang kuliah. Saya dengan Mis jalan kaki. Sengaja. Karena memang itu yang saya inginkan. Berjalan kaki menyusuri jalan raya dan perkampungan.
Awalnya saya punya ide untuk jalan kaki masuk keluar kampung ketika tahu kalau Mis suka jalan kaki saat berangkat dan pulang kuliah. Padahal rumahnya jauh, di Kampung Cipaku Skip Baru, dekat Perumahan Pakuan dan sentra tas di daerah Tajur. Sebelumnya dia naik sepeda. Karena as sepedanya jebol, maka jalan kakilah dia.
Sungguh menyenangkan bisa melihat tempat-tempat yang sebelumnya tidak saya ketahui. Setelah dari Panaragan Kidul, saya jalan melewati asrama polisi. Kemudian ketemu dengan sungai. Kami ikuti sungai itu melewati bahunya menuju ke arah yang berlawanan dengan arusnya. Sebelum sampai di pintu air, kami belok kanan masuk kembali ke perkampungan. Entah kampung apa namanya. Beberapa saat kemudian ketemu sungai lagi dan melewati jembatan yang membentang di atasnya. Sesampai di ujung jembatan, jalan menanjak. Ternyata jalan tersebut tembus ke Jalan Peledang. Kami terus melangkahkan kaki menyusuri jalan ke arah hotel Safira dan masuk sebentar ke dalam hotel tersebut untuk minta room rate yang baru. Sering saya melewati hotel baru tersebut, tetapi baru sekali ini masuk ke dalamnya.
Keluar dari hotel, kami terus jalan melewati bank BNI di ujung jalan. Dari situ belok kanan ke arah BTM (Bogor Trade Mall). Kemudian masuk pasar Lawang Seketeng. Jalan yang ada di tengah pasar itu ternyata panjang berkelok-kelok. Saat perjalanan sudah beberapa ratus meter, saya baca tulisan bahwa jalan yang saya lewati namanya Jl. Cincau. Saya jadi ingat pohon cincau yang di rumah. Dari jalan yang kalau dibikin es menyegarkan ini (maksudnya cincaunya) nyambung ke Jl. Gang Aut. Sering dengar namanya tapi baru kali ini saya melewatinya, jalan kaki lagi.
Jalan Gg. Aut ternyata panjang juga. Ada lapangan bola di sebelah kanan jalan ini. Namanya lapangan bola Gang Aut. Meskipun ada dua tim dengan seragam biru dan merah yang sedang bermain, tetapi lapangannya sendiri sama sekali tidak seperti lapangan sepakbola. Kering kerontang tidak ada rumputnya. Hanya lapangan dengan debunya yang berterbangan kemana-mana. Tetapi keadaan tersebut kayaknya tidak mengganggu keasyikan para pemain. Barangkali mereka sedang terbius dengan piala dunia. Saat ini memang sedang berlangsung kejuaraan sepakbola dunia, World Cup 2006, di Jerman.
Setelah berhenti sejenak di dekat lapangan, perjalanan dilanjutkan. Tidak lama kemudian, masih terusannya Jl. Gang Aut, di seberang jalan ada kandang dengan beberapa ekor sapi perah di dalamnya. Lumayan juga baunya. Sekitar dua ratus meter dari tempat itu, kami melewati tempat yang namanya Pangkalan Jengkol. Rupanya memang tempat tersebut digunakan untuk menumpuk jengkol sebelum didistribusikan lagi ke pasar-pasar di Bogor. Saat itu sudah ada beberapa karung jengkol yang ditaruh. Baunya kecium saat saya lewat di sebelahnya. Aromanya sedap juga, bila dibandingkan bau sapi.
Lepas dari Pangkalan Jengkol, jalan yang dilalui ketemu dengan jalan utama yang dilewati angkot 02 dari Sukasari. Setelah menyeberang jalan, masuk lagi ke jalan tembus yang melewati SMP-SMA Bhakti Insani. Jalan tersebut ternyata tembus ke Jl. Lawanggintung di depan SDN Lawanggintung 2. Setelah belok ke kanan, kami kemudian masuk ke Asrama Pusdikzi. Besar juga ternyata wilayahnya. Di dalam komplek asrama ini ada lapangan sepakbola. Orang sekitar tersebut, mungkin juga orang-orang Bogor umumnya, menyebut lapangan tersebut Lapangan Skip. Meskipun di pinggir lapangan tersebut ada tulisan besar yang bisa saya baca dari seberang lapangan, Gelora Benteng. Lapangan ini pantas kalau disebut dengan lapangan sepakbola. Lapangannya hijau dengan rerumputan. Tidak seperti lapangan yang di Gang Aut.
Dari lapangan itu kemudian melewati wilayah tempat para tentara latihan. Masih dalam komplek Asrama Pusdikzi. Keluar dari asrama, masuk ke perkampungan yang disebut Kampung Cipaku Skip Baru. Di kampung itulah Mis dan keluarganya tinggal. Sampai di rumah Mis pas adzan magrib terdengar. Jam di HP saya menunjukkan pukul 6. Berarti saya sudah jalan kaki selama satu setengah jam. Badan terasa segar dan enak. Tidak terasa capek, meskipun sedikit berkeringat.
Saya sempat sholat magrib dan ngobrol dengan keluarga Mis. Jam 7.05 saya pamit pulang. Mis mengantar saya sampai ke angkot 02 jurusan Bubulak. Dengan demikian berakhirlah perjalanan saya sebagai turis lokal. Terima kasih banyak Mis.
Tuesday, July 04, 2006
Pak Hendro & Pak Aceng
Ada dua tetangga yang rumahnya berdekatan. Rumah mereka juga dekat dengan rumah saya. Keduanya sama-sama sudah sepuh. Masing-masing juga tinggal sendirian. Mereka adalah pak Hendro dan pak Aceng. Saya nggak tahu persis berapa umur mereka. Tetapi kalau dilihat penampilannya, usia mereka kayaknya tidak beda jauh. Dalam foto yang saya sertakan ini, pak Hendro orangnya pakai kacamata.
Pak Hendro ini rumahnya persis sebelah kanan rumah saya. Setengah tahun lalu, dia kena musibah. Saat mau menjemur baju di samping rumah, kakinya terpeleset disebabkan lantainya berlumut juga sendal jepit yang dipakai sudah tipis dan licin. Karena melindungi kaki kirinya yang sudah pernah patah dan dikasih pen, maka dia membanting tubuh ke kanan dengan bertumpu pada kaki kanan. Akibatnya malah fatal. Karena faktor usia, kaki yang buat nahan ternyata malah patah jadi tiga di dekat pangkal paha. Untungnya ada tukang yang sedang membangun rumah di depan rumahnya yang segera datang saat dia teriak-teriak minta tolong. Mereka segera membawanya ke rumah sakit. Saat sampai di RS Karya Bhakti, pak Hendro minta dikirim ke RS Pertamina Pusat Jakarta. Istri dan anaknya memang tinggal di Jakarta.
Tak terasa sudah setengah tahun sejak kejadian itu, ketika hari ini pak Hendro datang menengok rumahnya. Katanya dia mau menginap dua malam. Setelah itu balik lagi ke rumahnya di Jakarta. Entah kapan lagi tetangga saya yang baik ini, meskipun kadang childish walaupun sudah tua, nengok lagi rumahnya.
Sedangkan pak Aceng, yang di dalam foto tidak berkacamata, merupakan profesor di IPB. Katanya waktu muda terkenal galak. Informasi ini berasal dari bekas mahasiswanya yang sekarang tinggal di sebelah kanannya selisih dua rumah. Waktu muda, cara mengajarnya Amerika banget. Memang S2 dan S3 nya lulusan Amrik sono.
Sekarang dia tinggal sendirian di salah satu rumahnya. Sedangkan dua rumahnya yang lain, yaitu yang ada di sebelah kiri rumah yang dia tempati sekarang, dalam keadaan kosong. Dua rumah kosong itu keadaannya bagus. Belum lama selesai direnovasi. Entah mau dijual atau dikontrakkan.
Pak Aceng jarang keluar. Bila sempat ketemu dan saya sapa, katanya sekarang suka sakit-sakitan. Terutama perutnya. Makanya para tetangga juga suka saling bertanya-tanya antar mereka sendiri, apakah pak Aceng masih sehat atau tidak. Karena rumahnya jarang sekali dalam keadaan terbuka. Mudah-mudahan saja bila terjadi apa-apa, meninggal misalnya, dapat segera diketahui.
Pak Hendro ini rumahnya persis sebelah kanan rumah saya. Setengah tahun lalu, dia kena musibah. Saat mau menjemur baju di samping rumah, kakinya terpeleset disebabkan lantainya berlumut juga sendal jepit yang dipakai sudah tipis dan licin. Karena melindungi kaki kirinya yang sudah pernah patah dan dikasih pen, maka dia membanting tubuh ke kanan dengan bertumpu pada kaki kanan. Akibatnya malah fatal. Karena faktor usia, kaki yang buat nahan ternyata malah patah jadi tiga di dekat pangkal paha. Untungnya ada tukang yang sedang membangun rumah di depan rumahnya yang segera datang saat dia teriak-teriak minta tolong. Mereka segera membawanya ke rumah sakit. Saat sampai di RS Karya Bhakti, pak Hendro minta dikirim ke RS Pertamina Pusat Jakarta. Istri dan anaknya memang tinggal di Jakarta.
Tak terasa sudah setengah tahun sejak kejadian itu, ketika hari ini pak Hendro datang menengok rumahnya. Katanya dia mau menginap dua malam. Setelah itu balik lagi ke rumahnya di Jakarta. Entah kapan lagi tetangga saya yang baik ini, meskipun kadang childish walaupun sudah tua, nengok lagi rumahnya.
Sedangkan pak Aceng, yang di dalam foto tidak berkacamata, merupakan profesor di IPB. Katanya waktu muda terkenal galak. Informasi ini berasal dari bekas mahasiswanya yang sekarang tinggal di sebelah kanannya selisih dua rumah. Waktu muda, cara mengajarnya Amerika banget. Memang S2 dan S3 nya lulusan Amrik sono.
Sekarang dia tinggal sendirian di salah satu rumahnya. Sedangkan dua rumahnya yang lain, yaitu yang ada di sebelah kiri rumah yang dia tempati sekarang, dalam keadaan kosong. Dua rumah kosong itu keadaannya bagus. Belum lama selesai direnovasi. Entah mau dijual atau dikontrakkan.
Pak Aceng jarang keluar. Bila sempat ketemu dan saya sapa, katanya sekarang suka sakit-sakitan. Terutama perutnya. Makanya para tetangga juga suka saling bertanya-tanya antar mereka sendiri, apakah pak Aceng masih sehat atau tidak. Karena rumahnya jarang sekali dalam keadaan terbuka. Mudah-mudahan saja bila terjadi apa-apa, meninggal misalnya, dapat segera diketahui.
Surprising Gifts
Hubungan baik dengan dua native speaker yang jadi pembicara workshop berlanjut setelah acara tersebut selesai. Sebelum kembali ke Amerika di hari Selasa, 4 Juli, mereka berharap bisa bertemu dengan keluarga saya. Sabtu sore jam empat tanggal 1 Juli, Shirley dan Shelley mengundang saya, istri, dan anak-anak, untuk ketemu di hotel tempat mereka menginap. Mereka ingin ketemu dengan Izal dan Reyhan, anak-anak saya. Mereka juga sudah janjian dengan istri saya untuk tukar-menukar kado. Sayangnya, saat sampai di hotel, hanya Shelley yang bisa menemui. Shirley terbaring sakit di kamarnya, tetapi kadonya dititipkan ke Shelley. Rupanya sebelum memberi hadiah, mereka melakukan survei dulu. Meskipun melalui ngobrol-ngobrol dengan istri saya, nyatanya apa yang diberikan oleh dua teman baru ini memang yang saya inginkan.
Banyak kado yang kami terima. Yang menjadi kejutan buat saya adalah mereka memberi Scrabble yang memang sudah lama saya inginkan. Saya memang berencana untuk membeli yang baru, sebab Scrabble yang lama sudah tidak jelas huruf-hurufnya. Mereka juga memberi Reader's Digest edisi terbaru. Majalah yang saya suka baca setiap bulan. Selain itu, ada juga buku masak, buku manajemennya Peter Ferdinand Drucker, dan cerita anak-anak. Sebuah kenang-kenangan yang tak terduga.
Banyak kado yang kami terima. Yang menjadi kejutan buat saya adalah mereka memberi Scrabble yang memang sudah lama saya inginkan. Saya memang berencana untuk membeli yang baru, sebab Scrabble yang lama sudah tidak jelas huruf-hurufnya. Mereka juga memberi Reader's Digest edisi terbaru. Majalah yang saya suka baca setiap bulan. Selain itu, ada juga buku masak, buku manajemennya Peter Ferdinand Drucker, dan cerita anak-anak. Sebuah kenang-kenangan yang tak terduga.
Subscribe to:
Posts (Atom)