Sudah baca serial terakhir dari tetralogi Laskar Pelangi tulisan Andrea Hirata? Banyak pujian atas tulisan orang Belitong ini. Begitu ramainya serial Laskar Pelangi disebut-sebut akhirnya saya jadi terpancing untuk tahu lebih banyak. Namun setelah membaca Maryamah Karpov, saya jadi kecewa. Apa yang saya harapkan tidak saya temukan dalam buku terakhir itu.
Awal ketergodaan saya dengan karya Andrea adalah ketika dia masuk acara Kick Andy! Memang acara tv yang satu ini manjur untuk mempengaruhi penontonnya. Buktinya bukan hanya saya saja yang terprovokasi, teman sekantor juga ada. Laskar Pelangi yang tadinya saya abaikan saat lewat di sebelahnya setiap kali ke toko buku, kemudian saya hampiri, saya lihat-lihat, meskipun tidak dibeli. Dan rupanya Kick Andy! tidak salah menampilkan penulisnya. Buku ini memang menarik. Tidak heran bila kemudian menjadi best seller dan difilmkan.
Atas kebaikan hati seorang teman yang menjaga perpustakaan di Universitas Pakuan, saya dipinjami tiga dari empat buku tetraloginya Andrea yaitu Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, dan Edensor. Semua menarik. Isinya ringan tetapi menginspirasi. Peristiwa masa kecil sampai kehidupan dewasa dari si penulis disajikan secara menarik. Oleh karena itu buku keempatnya saya tunggu-tunggu kehadirannya. Saya, apalagi penggemar berat Andrea, yakin buku terakhir itu pasti sangat memikat.
Buku terakhir itu akhirnya terbit juga setelah sekian lama ditunggu-tunggu. Dalam hitungan jam, buku yang dipanjang di toko-toko buku langsung habis. Saya yang datang di hari kedua sudah pasti tidak kebagian. Saya tidak heran hal itu terjadi. Dengan melambungnya tiga buku sebelumnya maka buku keempat ini tinggal menikmati kepopuleran yang sudah diperoleh. Itulah keuntungan dari buku serial. Sayangnya, seperti yang saya sebutkan di awal, buku keempat yang sudah terbit itu mengecewakan saya.
Memang, bahasa yang digunakan masih enteng namun menarik. Seperti tiga buku pendahulunya, kalimat-kalimat yang dibuat enak dibaca. Yang menarik adalah, Andrea ini jago dalam membuat metafora. Bisa dibilang metafora yang dia ciptakan cukup cerdas meskipun kadang agak aneh juga. Justru metafora yang agak berbeda itu dapat membuat pembacanya lebih memahami apa yang dimaksudkan oleh penulis. Salah satu contoh metafora misalnya wajah kecewa, sakit hati, dan sedih yang digambarkan seperti orang yang tidak diajak naik bahteranya Nabi Nuh. Selain mempermudah, metafora-metafora itu kadang-kadang juga membuat pembaca terpingkal-pingkal.
Bicara tentang metafora, anda mungkin akan ingat Mahbub Djunaidi. Dia merupakan penulis kesukaan saya. Metafora yang dia buat tidak beda jauh dengan apa yang diciptakan Andrea sekarang. Mahbub dikenal sebagai penulis dengan metafora yang sangat kuat. Kuat dalam memberikan gambaran, selain menarik, lucu, dan aneh. Pada waktu Mahbub dulu mengisi kolom yang ada di Kompas Minggu, saya tidak pernah melewatkan untuk membacanya. Anda kenal dengan Mahbub? Bila belum, coba anda cari dan baca tulisan-tulisannya. Jika sudah maka anda akan tahu gaya tulisan Andrea sama dengan gayanya Mahbub. Bisa jadi Andrea merupakan penggemarnya.
Hal lain yang saya suka dari Maryamah Karpov adalah penamaan tokoh-tokohnya. Nama panggilan yang sekaligus dijadikan nama olok-olok dibuat berdasarkan kebiasaan, ciri fisik, jabatan dan lain-lain yang dimiliki si pemilik nama. Meskipun sebagai olok-olok, nama-nama itu dapat diterima karena sudah menjadi hal yang lumrah. Saya suka dengan penamaan tokoh-tokoh itu karena saya merasa itu dunia saya. Kelompok sepermainan saya dulu juga saling memanggil dengan nama yang bukan nama asli. Kami tidak marah mendapat panggilan itu. Justru malah senang karena merasa menjadi unik. Nama yang dibuat itu bisa diciptakan siapa saja yang kemudian disepakati meskipun tidak keluar ucapan sepakat. Saya yakin anda juga melakukan hal itu, mungkin dulu, atau mungkin malah sekarang. Dan sama seperti saya, anda pasti memanggil atau menciptakan nama panggilan itu karena didasari persahabatan dan keakraban.
Mudah-mudahan anda sekarang tidak jadi makin penasaran dan geregetan dengan saya karena saya belum menyebut-nyebut apa yang menyebabkan saya kecewa. Kecewa bagaimana sih? Sudah sejauh ini, kok saya tidak menyinggung-nyinggung kekecewaan saya terhadap Maryamah Karpov? Anda yang pecinta berat Andrea Hirata jangan-jangan malah sudah mulai muncul dendam kepada saya. Maafkan saya bila demikian.
Baiklah, saya sampaikan saja apa yang membuat saya menjadi kecewa berat dengan sekuel terakhir dari Laskar Pelangi. Buat anda mungkin kekecewaan saya ini mengada-ada. Tetapi, suer, saya memang benar-benar kecewa begitu kalimat terakhir dari Maryamah Karpov selesai saya baca. “Lho, udah, gitu aja?” Itu kalimat yang langsung muncul di kepala saya. Anda pasti tahu, judul sebuah buku (novel) merupakan wakil dari isi yang ada di dalamnya. Terus informasi apa yang dapat diperoleh tentang Maryamah Karpov dari buku yang merupakan paling tebal dari seri-seri pendahulunya? Tidak ada! Tokoh Maryamah Karpov hanya disinggung sekali dalam buku tebal itu. Itupun hanya penyebutan nama doang. Anda yang belum baca dan ingin tahu banyak tentang perempuan Maryamah Karpov, bersiaplah untuk kecewa seperti saya.
Bila setelah baca kemudian menjadi kecewa, so what? Anda mungkin bertanya seperti itu kepada saya. Ya, no what what lah (tidak apa-apa). Itu jawaban saya. Hanya disayangkan saja, tiga buku sebelumnya yang begitu memikat ditutup dengan buku pamungkas yang mengecewakan. Saya tidak tahu apakah anda merasakan seperti yang saya rasakan. Hanya saja, teman saya ada juga yang kecewa meskipun agak berbeda bentuk kekecewaanya. Dia kecewa karena ending Maryamah Karpov tidak sesuai dengan yang dia harapkan.
Apa yang saya tulis ini hanyalah ungkapan dari seorang pembaca buku. Setiap pembaca umumnya memiliki harapan dari apa yang sedang dia baca. Begitu juga dengan saya. Saya berharap mendapat jawaban atau gambaran tentang sosok Maryamah Karpov. Sayang, harapan saya tidak mewujud. Maryamah Karpov hanyalah sekedar judul. Dia tidak hidup di dalam bukunya.
Bagaimanapun juga, Andrea Hirata merupakan penulis fenomenal. Karyanya berhasil memikat banyak pembaca dan pantas mendapat acungan jempol.
Friday, December 26, 2008
Campers
Barangkali anda suka berkemah di hutan, mendaki gunung, atau aktifitas lain yang berkaitan dengan alam. Bila demikian, anda satu komunitas dengan saya. Dan ternyata, sebutan orang-orang yang mencintai alam seperti kita ini bisa menjadi istilah untuk kumpulan-kumpulan manusia yang memiliki karakter tertentu. Anda ingin tahu ada di kelompok mana?
Paul G. Stoltz menggolongkan manusia menjadi tiga kelompok sesuai sebutan yang diberikan kepada para pecinta alam. Dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient dia mengelompokkan orang-orang berdasarkan semangat dan daya juang dengan nama quitters, campers, dan climbers. Lalu, apa yang dimaksud dengan ketiga istilah itu?
Dari namanya barangkali anda sudah memiliki gambaran apa yang dimaksudkan. Untuk campers dan climbers, mungkin itu yang paling gampang dikira-kira karena kita sudah terbiasa dengan istilah camping dan climbing. Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa campers dan climbers itu pasti pelaku dari camping dan climbing. Bagaimana dengan quitters? Pelaku apa dia? Mari kita urai saja satu per satu.
Rupanya istilah-istilah itu dipinjam oleh Stoltz karena ada unsur kesamaan yang dapat digunakan untuk menggambarkan semangat dan daya juang seseorang dalam sebuah pencapaian. Saya merasa apa yang disampaikan Stoltz tidak salah. Dalam kegiatan pecinta alam, mendaki gunung misalnya, ada yang lebih suka berkemah saja di lerengnya, mencapai puncaknya, atau malah anti dengan kegiatan itu.
Quitters. Ketika saya suatu saat akan melakukan pendakian, saya mengajak seorang teman. Barangkali dia tertarik dan mau ikut. Tujuan saya mengajak dia adalah untuk berbagi keindahan yang hanya dapat dijumpai selama perjalanan dan di puncak gunung. Namun rupanya dia tidak suka dengan kegiatan itu. Jelas terlihat dia tidak ingin dekat-dekat dengan aktifitas yang mungkin buat dia konyol sekaligus melelahkan. Saya pun tidak memaksanya ketika menjawab tidak. Orang seperti itulah yang dimaksudkan dengan quitter. Bukan, bukan orang yang tidak suka naik gunung yang disebut dengan quitter. Yang dikelompokkan ke dalam quitters adalah mereka yang tidak mau terlibat atau ambil bagian dalam sebuah kegiatan. Quitters adalah Mereka akan berada jauh-jauh dari kegiatan yang sedang berlangsung. Dianalogikan dalam sebuah pertandingan sepakbola, orang-orang ini hanya menjadi penonton.
Para quitter ini tidak pernah mencapai keberhasilan dari pencapaian sebuah prestasi karena memang dia tidak mau terlibat dalam kegiatan itu. Bagaimana seseorang bisa sampai ke puncak gunung bila dia tidak pernah mendaki gunung? Mana mungkin seseorang dapat mencetak gol bila dia hanya duduk di kursi penonton? Itulah quitter. Dia merupakan orang yang tidak mau terlibat. Orang yang berhenti ketika acara belum mulai. Mereka yang menghindari kewajiban. Mereka menghentikan pendakian dan kembali turun ketika ketemu dengan kesulitan.
Campers. Ini kelompok yang menarik. Terutama di usia remaja, banyak orang suka pergi berkemah. Dengan bekal sekedarnya pun kadang dilakoni. Saya pernah melakukannya. Berbekal uang pas-pasan, peralatan yang jauh dari memadai, saya berangkat camping dengan ”gang” saya. Makanya tidak heran bila harus menumpang mobil bak terbuka dan kedinginan di lereng gunung. Itulah semangat ber-camping. Itulah semangat dari campers. Ketika para camper mendaki lereng gunung untuk berkemah mereka bersemangat menapak jalan yang menuju ke arah puncak. Hanya menuju ke puncak, bukan akan ke puncak. Saat sebuah lokasi yang datar ditemukan atau camping ground telah dicapai, mereka akan berhenti, beristirahat, dan kemudian mendirikan tenda. Mereka cukup puas hanya berada di lereng gunung, bukan di puncaknya.
Campers adalah orang-orang yang cepat puas. Berada hanya di lereng sudah cukup buat mereka. Selama hidupnya campers hanya tinggal di tempat itu. Mereka tidak tertarik untuk mencapai yang lebih tinggi. Tempat yang lebih tinggi artinya juga resiko yang semakin berat. Mereka cukup puas dengan posisi yang ditempati sekarang, senang dengan prestasi yang diraih saat ini. Puncak yang penuh sejuta kemewahan dan kemegahan tidak menarik lagi buat mereka untuk diraih. Mereka tidak mau meninggalkan tendanya.
Climbers. Siapa yang akan menikmati puncak gunung dengan segala keindahannya? Yang pasti buka campers apalagi quitters. Mari kita lihat tiga kelompok yang melakukan pendakian ke Gunung Salak melalui wilayah yang bernama Pasir Reungit, Bogor. Bagi quitters, mereka hanya akan menemukan sebuah sungai berair jernih serta rimbun dan hijaunya hutan pinus yang ada di dekat pos pendaftaran. Mereka tidak akan memperoleh hangatnya air sungai yang mengalir di tengah Kawah Ratu. Untuk campers, mereka akan mendapatkan Kawah Ratu dengan sungai air panasnya dan pemandangan yang luar biasa. Mereka bisa mandi atau berendam di sungai yang membelah Kawah Ratu yang berada di punggung Gunung Salak. Apa yang menjadi imbalan untuk climbers? Luar biasa. Bunga Nephentes (kantong semar), bunga abadi Leontopodium alpinum (edelweis), Elang Jawa yang gagah, sunset dan sunrise, merupakan hadiah bagi para pemberani yang mencapai puncak. Kawah Ratupun bisa dilihat dari jalan yang menuju ke puncak.
Climbers tidak akan berhenti bila belum sampai di puncak. Mereka adalah orang-orang yang berusaha dengan segala daya dan upaya untuk meraih puncak tertinggi. Mereka tidak puas bila hanya berada di lokasi perkemahan yang datar dan nyaman. Climbers sadar ada iming-iming yang terdapat di posisi yang lebih tinggi. Mereka harus ke sana untuk mendapatkannya. Mereka tahu ada resiko yang akan dihadapi tetapi hal itu sudah diperhitungkan. Bagi seorang climber, prestasi yang biasa-biasa saja tidak akan memuaskan jiwanya. Bila belum sampai pada prestasi yang tertinggi, dia pantang berhenti.
Siapa menjadi apa -quitter, camper, atau climber- itu bukan takdir. Anda bisa memilih untuk menjadi salah satu dari ketiga pilihan itu. Tentu saja masing-masing pilihan ada imbalan dan resikonya. Apapun keputusan yang anda ambil, anda mestinya sudah siap dengan segala konsekuensinya. Anda cukup memilih dan menjalaninya. Take it or leave it.
Paul G. Stoltz menggolongkan manusia menjadi tiga kelompok sesuai sebutan yang diberikan kepada para pecinta alam. Dalam bukunya yang berjudul Adversity Quotient dia mengelompokkan orang-orang berdasarkan semangat dan daya juang dengan nama quitters, campers, dan climbers. Lalu, apa yang dimaksud dengan ketiga istilah itu?
Dari namanya barangkali anda sudah memiliki gambaran apa yang dimaksudkan. Untuk campers dan climbers, mungkin itu yang paling gampang dikira-kira karena kita sudah terbiasa dengan istilah camping dan climbing. Dengan demikian kita bisa simpulkan bahwa campers dan climbers itu pasti pelaku dari camping dan climbing. Bagaimana dengan quitters? Pelaku apa dia? Mari kita urai saja satu per satu.
Rupanya istilah-istilah itu dipinjam oleh Stoltz karena ada unsur kesamaan yang dapat digunakan untuk menggambarkan semangat dan daya juang seseorang dalam sebuah pencapaian. Saya merasa apa yang disampaikan Stoltz tidak salah. Dalam kegiatan pecinta alam, mendaki gunung misalnya, ada yang lebih suka berkemah saja di lerengnya, mencapai puncaknya, atau malah anti dengan kegiatan itu.
Quitters. Ketika saya suatu saat akan melakukan pendakian, saya mengajak seorang teman. Barangkali dia tertarik dan mau ikut. Tujuan saya mengajak dia adalah untuk berbagi keindahan yang hanya dapat dijumpai selama perjalanan dan di puncak gunung. Namun rupanya dia tidak suka dengan kegiatan itu. Jelas terlihat dia tidak ingin dekat-dekat dengan aktifitas yang mungkin buat dia konyol sekaligus melelahkan. Saya pun tidak memaksanya ketika menjawab tidak. Orang seperti itulah yang dimaksudkan dengan quitter. Bukan, bukan orang yang tidak suka naik gunung yang disebut dengan quitter. Yang dikelompokkan ke dalam quitters adalah mereka yang tidak mau terlibat atau ambil bagian dalam sebuah kegiatan. Quitters adalah Mereka akan berada jauh-jauh dari kegiatan yang sedang berlangsung. Dianalogikan dalam sebuah pertandingan sepakbola, orang-orang ini hanya menjadi penonton.
Para quitter ini tidak pernah mencapai keberhasilan dari pencapaian sebuah prestasi karena memang dia tidak mau terlibat dalam kegiatan itu. Bagaimana seseorang bisa sampai ke puncak gunung bila dia tidak pernah mendaki gunung? Mana mungkin seseorang dapat mencetak gol bila dia hanya duduk di kursi penonton? Itulah quitter. Dia merupakan orang yang tidak mau terlibat. Orang yang berhenti ketika acara belum mulai. Mereka yang menghindari kewajiban. Mereka menghentikan pendakian dan kembali turun ketika ketemu dengan kesulitan.
Campers. Ini kelompok yang menarik. Terutama di usia remaja, banyak orang suka pergi berkemah. Dengan bekal sekedarnya pun kadang dilakoni. Saya pernah melakukannya. Berbekal uang pas-pasan, peralatan yang jauh dari memadai, saya berangkat camping dengan ”gang” saya. Makanya tidak heran bila harus menumpang mobil bak terbuka dan kedinginan di lereng gunung. Itulah semangat ber-camping. Itulah semangat dari campers. Ketika para camper mendaki lereng gunung untuk berkemah mereka bersemangat menapak jalan yang menuju ke arah puncak. Hanya menuju ke puncak, bukan akan ke puncak. Saat sebuah lokasi yang datar ditemukan atau camping ground telah dicapai, mereka akan berhenti, beristirahat, dan kemudian mendirikan tenda. Mereka cukup puas hanya berada di lereng gunung, bukan di puncaknya.
Campers adalah orang-orang yang cepat puas. Berada hanya di lereng sudah cukup buat mereka. Selama hidupnya campers hanya tinggal di tempat itu. Mereka tidak tertarik untuk mencapai yang lebih tinggi. Tempat yang lebih tinggi artinya juga resiko yang semakin berat. Mereka cukup puas dengan posisi yang ditempati sekarang, senang dengan prestasi yang diraih saat ini. Puncak yang penuh sejuta kemewahan dan kemegahan tidak menarik lagi buat mereka untuk diraih. Mereka tidak mau meninggalkan tendanya.
Climbers. Siapa yang akan menikmati puncak gunung dengan segala keindahannya? Yang pasti buka campers apalagi quitters. Mari kita lihat tiga kelompok yang melakukan pendakian ke Gunung Salak melalui wilayah yang bernama Pasir Reungit, Bogor. Bagi quitters, mereka hanya akan menemukan sebuah sungai berair jernih serta rimbun dan hijaunya hutan pinus yang ada di dekat pos pendaftaran. Mereka tidak akan memperoleh hangatnya air sungai yang mengalir di tengah Kawah Ratu. Untuk campers, mereka akan mendapatkan Kawah Ratu dengan sungai air panasnya dan pemandangan yang luar biasa. Mereka bisa mandi atau berendam di sungai yang membelah Kawah Ratu yang berada di punggung Gunung Salak. Apa yang menjadi imbalan untuk climbers? Luar biasa. Bunga Nephentes (kantong semar), bunga abadi Leontopodium alpinum (edelweis), Elang Jawa yang gagah, sunset dan sunrise, merupakan hadiah bagi para pemberani yang mencapai puncak. Kawah Ratupun bisa dilihat dari jalan yang menuju ke puncak.
Climbers tidak akan berhenti bila belum sampai di puncak. Mereka adalah orang-orang yang berusaha dengan segala daya dan upaya untuk meraih puncak tertinggi. Mereka tidak puas bila hanya berada di lokasi perkemahan yang datar dan nyaman. Climbers sadar ada iming-iming yang terdapat di posisi yang lebih tinggi. Mereka harus ke sana untuk mendapatkannya. Mereka tahu ada resiko yang akan dihadapi tetapi hal itu sudah diperhitungkan. Bagi seorang climber, prestasi yang biasa-biasa saja tidak akan memuaskan jiwanya. Bila belum sampai pada prestasi yang tertinggi, dia pantang berhenti.
Siapa menjadi apa -quitter, camper, atau climber- itu bukan takdir. Anda bisa memilih untuk menjadi salah satu dari ketiga pilihan itu. Tentu saja masing-masing pilihan ada imbalan dan resikonya. Apapun keputusan yang anda ambil, anda mestinya sudah siap dengan segala konsekuensinya. Anda cukup memilih dan menjalaninya. Take it or leave it.
Thursday, December 11, 2008
Manusia Hutan
Mengapa hutan penting bagi manusia? Karena kita adalah keturunan monyet. Anda percaya? Mohon maaf bila tulisan ini agak serius... dan panjang. Jika bicara tentang hutan kita yang sudah acakadut ini, apa boleh buat, kita harus serius.
Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut hanyalah sebuah olok-olok. Dari dulu, manusia diturunkan oleh manusia juga. Sampai kapanpun, tidak mungkin monyet beranak manusia. Meskipun teori evolusi Charles Darwin mendukung dan membuktikan bahwa kita ini asal usulnya dari monyet, tetapi ternyata teori itu tidak benar. Ilmuwan dari Turki, Harun Yahya yang memiliki nama asli Adnan Oktar, memberikan bantahan dengan menyertakan bukti-bukti ilmiah atas teori Darwin tersebut dan menyatakan Darwin hanyalah seorang pembohong. Namun, masih ada dari kita yang mempercayai teori evolusi itu.
Bagi manusia, hutan memang penting. Amat sangat penting. Bukan karena manusia itu keturunan monyet, tetapi manusia sama dengan monyet. Artinya, keberadaan hutan sangat dibutuhkan oleh manusia sebagaimana monyet. Bukan hanya masyarakat yang hidup di dalam atau sekitar hutan, bahkan mereka yang berada di kota besar sekalipun. Itulah sebabnya mengapa manusia, di manapun tempat tinggalnya, harus melestarikan hutan. Sayangnya, yang dilakukan malah sebaliknya.
Banyak tindakan manusia yang secara langsung maupun tidak langsung menghancurkan hutan. Meskipun beberapa di antaranya disebabkan karena ketidaktahuan dan kesalahan turun temurun, misalnya pembalakan liar atau pembakaran hutan untuk bercocok tanam. Celakanya lagi, pemerintah yang harusnya menjadi pengayom justru membuat aturan yang semakin meluluhlantakkan kelestarian hutan. Anda tentu masih ingat keputusan pemerintah yang dikeluarkan 4 Februari tahun ini. Keputusan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2008 benar-benar mengobral hutan lindung kita.
PP ini berisi tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Pemerintah melalui PP ini memberi ijin pembukaan hutan atau pengalihfungsian hutan untuk kepentingan pembangunan dan investor dengan tarif Rp1.200.000 hingga Rp3.000.000 per hektar per tahun, atau Rp120 sampai dengan Rp300 per meter. Sebuah pisang gorengpun bahkan lebih mahal dibandingkan harga per meter hutan. Walhi memperkirakan PP ini secara pasti akan memuluskan pemusnahan hutan lindung Indonesia seluas 925 ribu hektar yang akan dilakukan 13 perusahaan.
Tindakan pemerintah terbaru yang menghancurkan hutan dilansir Kompas, 16 Oktober 2008. Program kelestarian lingkungan yang bertajuk Gerakan Penghijauan Nasional (Gerhan) pada prakteknya justru menghancurkan flora dan fauna serta merusak ekologi lingkungan. Hutan seluas 700 hektar di tiga desa di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT dibakar habis. Tujuan pembakaran ini katanya untuk merehabilitasi lahan yang nantinya akan ditanami dengan pohon kemiri, jati, mahoni, kayu merah, mangga, jeruk, nangka, dan cendana yang semuanya adalah tanaman bernilai ekonomis. Apakah memang demikian? Bagaimana mungkin hutan beserta flora dan fauna yang ada di dalamnya hancur terbakar disebut dengan rehabilitasi?
Program Gerhan itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Namun apa lacur, hutan seluas 700 hektar sudah musnah. Merehabilitasi hutan seharusnya tidak dengan membakar hutan tetapi dengan menanami lahan kritis yang di NTT luasnya mencapai 2 hektar. “Dengan membakar hutan artinya menghancurkan flora dan fauna yang ada di dalamnya serta akan mengubah ekologi lingkungan secara keseluruhan,” kata Antonius Krivo, Ketua Yayasan Aksi Kemanusiaan TTS. Gerhan dianggap hanya merusak hutan ketimbang merehabilitasi.
Fakta lain tentang pemusnahan hutan adalah konversi hutan alam maupun hutan lindung menjadi perkebunan. Hal itu masih berlangsung sampai sekarang. Di bulan September kemarin terjadi pengalihfungsian hutan lindung seluas 40 hektar di Kecamatan Konservasi Lindu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah menjadi lahan perkebunan kopi dan kakao. Sementara itu catatan Greenomics Indonesia menyebutkan praktik konversi hutan alam selama dua tahun yang terjadi antara 2003-2005 mencapai 1,48 juta hektar.
Alih fungsi hutan juga dilakukan oleh masyarakat. Di Desa Suren Gede, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, hutan negara yang ada oleh masyarakat telah dirubah menjadi lahan pertanian untuk tanaman kentang. Menurut data Dinas Pertanian Wonosobo, area hutan negara di kecamatan itu terus menurun. Tahun 2006 luas hutan masih 2.307 hektar, tetapi pada 2007 tinggal 156 hektar. (Kompas, 18/10/08)
Melihat kondisi yang ada sampai saat ini, kita ini seperti berada di dalam kapal di tengah lautan yang lambungnya dilubangi oleh penumpang. Di satu pihak sebagian kita berupaya untuk bisa selamat tetapi di pihak lain sebagian penumpang lainnya malah membuat celaka seluruh penumpang dengan merusak kapal. Bila pengrusakan dan pemusnahan hutan terus dibiarkan dan tidak segera diambil langkah-langkah pencegahan seluruh penduduk bumi ini akan menuai bencana.
Sederetan bencana telah, sedang, dan akan terjadi di depan mata kita. Bencana yang muncul akibat rusak dan hilangnya hutan itu adalah kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Data yang dikeluarkan Bakornas Penanggulangan Bencana tahun 2003 saja menunjukkan sejak 1998 hingga 2003 telah terjadi 647 bencana yang menelan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. 85% dari total bencana itu adalah banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Keanekaragaman hayati akan punah karena rusak dan musnahnya hutan. Di hutan Kalimantan Timur saja, menurut Walhi, diperkirakan 267 jenis Dipterocarpaceae, 3 ribu jenis pohon, 133 jenis mamalia, dan 141 jenis katak akan punah (Gatra.com, 3 Juli 2008). Begitu juga dengan musnahnya hutan, hilang pula sumber obat-obatan dan makanan masyarakat yang mengandalkan hutan.
Bagi masyarakat global, hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang menyerap karbon dan mensuplai oksigen. Dengan hancurnya hutan, bisa dipastikan semakin berkurang juga fungsi paru-paru hutan Indonesia untuk kehidupan dunia. Pengrusakan hutan yang terus dilakukan juga akan mempengaruhi fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah. Sebagai akibatnya akan sering terjadi kekeringan saat kemarau serta banjir dan tanah longsor di musim penghujan.
Dengan rusaknya hutan, konsentrasi gas rumah kaca yang di atmosfer berbentuk CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), dan N2O (nitrogen oksida) akan meningkat. Penumpukan gas rumah kaca di atmosfer ini, terutama CO2, akan mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Dampak lanjutannya, suhu permukaan bumi makin panas yang akan mencairkan es di kutub utara dan selatan. Hal ini akan meningkatkan permukaan laut dan mengubah pola iklim dunia. Bila ini terus terjadi maka bisa dipastikan akan semakin banyak pulau dan kawasan pantai yang tenggelam serta perubahan iklim sudah tidak bisa diperkirakan lagi. Sebagai contoh, Indonesia yang semula memiliki 17.504 pulau, kini tinggal 17.480 (Gatra Edisi Khusus, 22 November 2007).
Tindakan pencegahan memang sudah dilakukan, tetapi belum maksimal. Upaya yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat serta individu harus terus didukung dan ditingkatkan. Tindakan pemerintah untuk melakukan penghentian sementara penebangan kayu atau disebut moratorium harus serius dijalankan dan diterapkan di seluruh hutan di Indonesia. Banyak keuntungan yang akan diperoleh bila moratorium ini dijalankan. Di antaranya yaitu menyelamatkan hutan terutama yang sudah sangat kritis seperti hutan yang ada di Sumatera dan Sulawesi, meningkatkan hasil sumber daya hutan bukan kayu, dan memaksa industri pengolahan kayu meningkatkan efisiensi dalam menggunakan bahan baku. Selama pelaksanaan moratorium, industri pengolahan kayu masih tetap bisa beroperasi melalui impor kayu. Moratorium merupakan mekanisme yang sangat efektif dalam pencegahan kerusakan dan penghancuran paru-paru dunia yang dimiliki Indonesia.
Pemerintah juga dapat menerapkan teknologi mutakhir untuk menggantikan penggunaan kayu dalam industri kertas sehingga tidak perlu lagi menebang pohon. Teknologi yang digunakan oleh Korea Selatan dalam membuat kertas bisa dijadikan contoh. Negara ini merupakan satu-satunya negara yang memproduksi kertas dari bahan baku rumput laut. Rasanya langkah maju Korea Selatan itu bukan hal yang sulit untuk ditiru Indonesia, apalagi negara kita memiliki sekitar 760 jenis rumput laut. (Media Indonesia, 19 Oktober 2008).
Peran institusi juga diperlukan dalam mencegah kerusakan hutan yang terus meluas. Diharapkan mereka terus mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Sebagai contoh misalnya institusi yang bergerak dalam penyiaran seperti stasiun televisi dapat membuat acara yang mengarah ke situ atau lembaga swadaya masyarakat seperti YPHL mengajak masyarakat sadar hutan dengan mengadakan lomba penulisan seperti ini.
Institusi pendidikan seperti sekolah merancang kurikulum yang mengintegrasikan program kelestarian hutan sehingga akan menanamkan kecintaan hutan dalam diri setiap anak didik. Dengan demikian diharapkan mereka selanjutnya akan memasuki karier atau profesi di bidang kehutanan. Hal ini terjadi di Jerman. Pada dasawarsa tahun 70-an, hasil jajak pendapat suatu Institut Aliensbach di Republik Federasi Jerman melaporkan bahwa golongan angkatan kerja (muda) di negeri itu paling menggandrungi profesi/karier yang berkaitan dengan bidang kehutanan. Dari 900 responden pada waktu itu, ternyata angkatan muda cenderung memilih profesi insinyur teknik/industri (25%) dan teknisi/ahli kehutanan (21%) yang sekaligus menjadi karir favorit. Baru sesudah itu menyusul profesi arsitek (18%) dan pendidikan (16%), demikian menurut buku Deutch 2000 (1973). Karena kecintaan terhadap hutan, 30 tahun kemudian pascajajak pendapat berdiri suatu partai politik ‘Die Gruner’ atau partai hijau di Jerman. Orientasi dari misi partai ini adalah pembangunan berwawasan lingkungan (Sumber: on-line library WWF-Indonesia). Sayangnya di Indonesia belum ada partai hijau seperti di Jerman ini yang masuk ke dalam kabinet sehingga dapat lebih kuat dalam memperjuangkan misi khususnya keselamatan hutan dan alam lingkungan pada umumnya.
Bagaimana dengan individu? Secara perorangan pun bukannya tidak mungkin turut serta berupaya melestarikan hutan. Tindakan yang dilakukan oleh Pak Saekan dari Desa Pucang Sawit bisa dijadikan contoh. Seperti yang disiarkan dalam acara Kick Andy 3 Oktober 2008, Pak Saekan sejak tahun 1992 mulai melakukan penghijauan. Dimulai dari tempat tinggalnya, Desa Pucang Sawit, Pak Saekan yang akhirnya bisa menggerakkan anggota masyarakat lainnya berhasil menghutankan lereng Gunung Wilis. Atas keberhasilannya ini kemudian dia mendapat Kalpataru dari presiden SBY di tahun 2008 ini sebagai penyelamat lingkungan.
Tidak harus menjadi seperti Pak Saekan untuk menyelamatkan hutan. Anda bisa memulai dari diri dan lingkungan anda. Dengan menanam pohon di sekitar anda, anda sudah turut membantu menghijaukan lingkungan. Apabila setiap orang melakukan hal yang sama untuk lingkungannya, secara komulatif dan pasti, alam akan mengalami perbaikan. Lambat laun paru-paru dunia yang saat ini bolong-bolong akan menutup.
Hal tersebut akan terwujud apabila empat komponen yang memiliki peran menentukan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Mereka adalah, pertama, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang membuat regulasi dan sebagai pihak yang memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar dan juga penghargaan untuk mereka yang dianggap berjasa seperti Pak Saekan di atas. Kedua, institusi pendidikan yang memberikan edukasi kepada warga negara baik yang masih duduk di bangku sekolah/kuliah maupun tidak tentang pentingnya hutan, pelestariannya, dan akibat yang ditimbulkan bila hutan mengalami kerusakan. Ketiga, masyarakat yang menjadi pihak pengguna sekaligus pengawas pemanfaatan hutan dan pelaksanaan program pelestarian hutan. Terakhir atau yang keempat, setiap individu yang bukan hanya memanfaatkan hutan untuk kepentingan pribadi atau industri tetapi juga harus mengimbanginya dengan reboisasi (reforestation).
Dengan pulihnya hutan kita, maka hutan sebagai paru-paru juga akan kembali berfungsi dengan baik. Bila kita ini dikatakan sebagai manusia hutan, memang demikian adanya. Paru-paru manusia di manapun mereka berada pada dasarnya tergantung kepada keberadaan hutan yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Tentu saja jawaban dari pertanyaan tersebut hanyalah sebuah olok-olok. Dari dulu, manusia diturunkan oleh manusia juga. Sampai kapanpun, tidak mungkin monyet beranak manusia. Meskipun teori evolusi Charles Darwin mendukung dan membuktikan bahwa kita ini asal usulnya dari monyet, tetapi ternyata teori itu tidak benar. Ilmuwan dari Turki, Harun Yahya yang memiliki nama asli Adnan Oktar, memberikan bantahan dengan menyertakan bukti-bukti ilmiah atas teori Darwin tersebut dan menyatakan Darwin hanyalah seorang pembohong. Namun, masih ada dari kita yang mempercayai teori evolusi itu.
Bagi manusia, hutan memang penting. Amat sangat penting. Bukan karena manusia itu keturunan monyet, tetapi manusia sama dengan monyet. Artinya, keberadaan hutan sangat dibutuhkan oleh manusia sebagaimana monyet. Bukan hanya masyarakat yang hidup di dalam atau sekitar hutan, bahkan mereka yang berada di kota besar sekalipun. Itulah sebabnya mengapa manusia, di manapun tempat tinggalnya, harus melestarikan hutan. Sayangnya, yang dilakukan malah sebaliknya.
Banyak tindakan manusia yang secara langsung maupun tidak langsung menghancurkan hutan. Meskipun beberapa di antaranya disebabkan karena ketidaktahuan dan kesalahan turun temurun, misalnya pembalakan liar atau pembakaran hutan untuk bercocok tanam. Celakanya lagi, pemerintah yang harusnya menjadi pengayom justru membuat aturan yang semakin meluluhlantakkan kelestarian hutan. Anda tentu masih ingat keputusan pemerintah yang dikeluarkan 4 Februari tahun ini. Keputusan yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 2 tahun 2008 benar-benar mengobral hutan lindung kita.
PP ini berisi tentang jenis dan tarif atas jenis penerimaan negara bukan pajak yang berasal dari penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan di luar kegiatan kehutanan yang berlaku pada Departemen Kehutanan. Pemerintah melalui PP ini memberi ijin pembukaan hutan atau pengalihfungsian hutan untuk kepentingan pembangunan dan investor dengan tarif Rp1.200.000 hingga Rp3.000.000 per hektar per tahun, atau Rp120 sampai dengan Rp300 per meter. Sebuah pisang gorengpun bahkan lebih mahal dibandingkan harga per meter hutan. Walhi memperkirakan PP ini secara pasti akan memuluskan pemusnahan hutan lindung Indonesia seluas 925 ribu hektar yang akan dilakukan 13 perusahaan.
Tindakan pemerintah terbaru yang menghancurkan hutan dilansir Kompas, 16 Oktober 2008. Program kelestarian lingkungan yang bertajuk Gerakan Penghijauan Nasional (Gerhan) pada prakteknya justru menghancurkan flora dan fauna serta merusak ekologi lingkungan. Hutan seluas 700 hektar di tiga desa di wilayah Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT dibakar habis. Tujuan pembakaran ini katanya untuk merehabilitasi lahan yang nantinya akan ditanami dengan pohon kemiri, jati, mahoni, kayu merah, mangga, jeruk, nangka, dan cendana yang semuanya adalah tanaman bernilai ekonomis. Apakah memang demikian? Bagaimana mungkin hutan beserta flora dan fauna yang ada di dalamnya hancur terbakar disebut dengan rehabilitasi?
Program Gerhan itu mendapat tentangan dari banyak pihak. Namun apa lacur, hutan seluas 700 hektar sudah musnah. Merehabilitasi hutan seharusnya tidak dengan membakar hutan tetapi dengan menanami lahan kritis yang di NTT luasnya mencapai 2 hektar. “Dengan membakar hutan artinya menghancurkan flora dan fauna yang ada di dalamnya serta akan mengubah ekologi lingkungan secara keseluruhan,” kata Antonius Krivo, Ketua Yayasan Aksi Kemanusiaan TTS. Gerhan dianggap hanya merusak hutan ketimbang merehabilitasi.
Fakta lain tentang pemusnahan hutan adalah konversi hutan alam maupun hutan lindung menjadi perkebunan. Hal itu masih berlangsung sampai sekarang. Di bulan September kemarin terjadi pengalihfungsian hutan lindung seluas 40 hektar di Kecamatan Konservasi Lindu, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah menjadi lahan perkebunan kopi dan kakao. Sementara itu catatan Greenomics Indonesia menyebutkan praktik konversi hutan alam selama dua tahun yang terjadi antara 2003-2005 mencapai 1,48 juta hektar.
Alih fungsi hutan juga dilakukan oleh masyarakat. Di Desa Suren Gede, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, hutan negara yang ada oleh masyarakat telah dirubah menjadi lahan pertanian untuk tanaman kentang. Menurut data Dinas Pertanian Wonosobo, area hutan negara di kecamatan itu terus menurun. Tahun 2006 luas hutan masih 2.307 hektar, tetapi pada 2007 tinggal 156 hektar. (Kompas, 18/10/08)
Melihat kondisi yang ada sampai saat ini, kita ini seperti berada di dalam kapal di tengah lautan yang lambungnya dilubangi oleh penumpang. Di satu pihak sebagian kita berupaya untuk bisa selamat tetapi di pihak lain sebagian penumpang lainnya malah membuat celaka seluruh penumpang dengan merusak kapal. Bila pengrusakan dan pemusnahan hutan terus dibiarkan dan tidak segera diambil langkah-langkah pencegahan seluruh penduduk bumi ini akan menuai bencana.
Sederetan bencana telah, sedang, dan akan terjadi di depan mata kita. Bencana yang muncul akibat rusak dan hilangnya hutan itu adalah kekeringan, banjir, dan tanah longsor. Data yang dikeluarkan Bakornas Penanggulangan Bencana tahun 2003 saja menunjukkan sejak 1998 hingga 2003 telah terjadi 647 bencana yang menelan 2022 korban jiwa dan kerugian milyaran rupiah. 85% dari total bencana itu adalah banjir dan longsor yang diakibatkan kerusakan hutan.
Keanekaragaman hayati akan punah karena rusak dan musnahnya hutan. Di hutan Kalimantan Timur saja, menurut Walhi, diperkirakan 267 jenis Dipterocarpaceae, 3 ribu jenis pohon, 133 jenis mamalia, dan 141 jenis katak akan punah (Gatra.com, 3 Juli 2008). Begitu juga dengan musnahnya hutan, hilang pula sumber obat-obatan dan makanan masyarakat yang mengandalkan hutan.
Bagi masyarakat global, hutan Indonesia merupakan paru-paru dunia yang menyerap karbon dan mensuplai oksigen. Dengan hancurnya hutan, bisa dipastikan semakin berkurang juga fungsi paru-paru hutan Indonesia untuk kehidupan dunia. Pengrusakan hutan yang terus dilakukan juga akan mempengaruhi fungsi hutan sebagai penyimpan air tanah. Sebagai akibatnya akan sering terjadi kekeringan saat kemarau serta banjir dan tanah longsor di musim penghujan.
Dengan rusaknya hutan, konsentrasi gas rumah kaca yang di atmosfer berbentuk CO2 (karbon dioksida), CH4 (metana), dan N2O (nitrogen oksida) akan meningkat. Penumpukan gas rumah kaca di atmosfer ini, terutama CO2, akan mengakibatkan terjadinya pemanasan global. Dampak lanjutannya, suhu permukaan bumi makin panas yang akan mencairkan es di kutub utara dan selatan. Hal ini akan meningkatkan permukaan laut dan mengubah pola iklim dunia. Bila ini terus terjadi maka bisa dipastikan akan semakin banyak pulau dan kawasan pantai yang tenggelam serta perubahan iklim sudah tidak bisa diperkirakan lagi. Sebagai contoh, Indonesia yang semula memiliki 17.504 pulau, kini tinggal 17.480 (Gatra Edisi Khusus, 22 November 2007).
Tindakan pencegahan memang sudah dilakukan, tetapi belum maksimal. Upaya yang dilaksanakan baik oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat serta individu harus terus didukung dan ditingkatkan. Tindakan pemerintah untuk melakukan penghentian sementara penebangan kayu atau disebut moratorium harus serius dijalankan dan diterapkan di seluruh hutan di Indonesia. Banyak keuntungan yang akan diperoleh bila moratorium ini dijalankan. Di antaranya yaitu menyelamatkan hutan terutama yang sudah sangat kritis seperti hutan yang ada di Sumatera dan Sulawesi, meningkatkan hasil sumber daya hutan bukan kayu, dan memaksa industri pengolahan kayu meningkatkan efisiensi dalam menggunakan bahan baku. Selama pelaksanaan moratorium, industri pengolahan kayu masih tetap bisa beroperasi melalui impor kayu. Moratorium merupakan mekanisme yang sangat efektif dalam pencegahan kerusakan dan penghancuran paru-paru dunia yang dimiliki Indonesia.
Pemerintah juga dapat menerapkan teknologi mutakhir untuk menggantikan penggunaan kayu dalam industri kertas sehingga tidak perlu lagi menebang pohon. Teknologi yang digunakan oleh Korea Selatan dalam membuat kertas bisa dijadikan contoh. Negara ini merupakan satu-satunya negara yang memproduksi kertas dari bahan baku rumput laut. Rasanya langkah maju Korea Selatan itu bukan hal yang sulit untuk ditiru Indonesia, apalagi negara kita memiliki sekitar 760 jenis rumput laut. (Media Indonesia, 19 Oktober 2008).
Peran institusi juga diperlukan dalam mencegah kerusakan hutan yang terus meluas. Diharapkan mereka terus mengkampanyekan pentingnya menjaga kelestarian hutan. Sebagai contoh misalnya institusi yang bergerak dalam penyiaran seperti stasiun televisi dapat membuat acara yang mengarah ke situ atau lembaga swadaya masyarakat seperti YPHL mengajak masyarakat sadar hutan dengan mengadakan lomba penulisan seperti ini.
Institusi pendidikan seperti sekolah merancang kurikulum yang mengintegrasikan program kelestarian hutan sehingga akan menanamkan kecintaan hutan dalam diri setiap anak didik. Dengan demikian diharapkan mereka selanjutnya akan memasuki karier atau profesi di bidang kehutanan. Hal ini terjadi di Jerman. Pada dasawarsa tahun 70-an, hasil jajak pendapat suatu Institut Aliensbach di Republik Federasi Jerman melaporkan bahwa golongan angkatan kerja (muda) di negeri itu paling menggandrungi profesi/karier yang berkaitan dengan bidang kehutanan. Dari 900 responden pada waktu itu, ternyata angkatan muda cenderung memilih profesi insinyur teknik/industri (25%) dan teknisi/ahli kehutanan (21%) yang sekaligus menjadi karir favorit. Baru sesudah itu menyusul profesi arsitek (18%) dan pendidikan (16%), demikian menurut buku Deutch 2000 (1973). Karena kecintaan terhadap hutan, 30 tahun kemudian pascajajak pendapat berdiri suatu partai politik ‘Die Gruner’ atau partai hijau di Jerman. Orientasi dari misi partai ini adalah pembangunan berwawasan lingkungan (Sumber: on-line library WWF-Indonesia). Sayangnya di Indonesia belum ada partai hijau seperti di Jerman ini yang masuk ke dalam kabinet sehingga dapat lebih kuat dalam memperjuangkan misi khususnya keselamatan hutan dan alam lingkungan pada umumnya.
Bagaimana dengan individu? Secara perorangan pun bukannya tidak mungkin turut serta berupaya melestarikan hutan. Tindakan yang dilakukan oleh Pak Saekan dari Desa Pucang Sawit bisa dijadikan contoh. Seperti yang disiarkan dalam acara Kick Andy 3 Oktober 2008, Pak Saekan sejak tahun 1992 mulai melakukan penghijauan. Dimulai dari tempat tinggalnya, Desa Pucang Sawit, Pak Saekan yang akhirnya bisa menggerakkan anggota masyarakat lainnya berhasil menghutankan lereng Gunung Wilis. Atas keberhasilannya ini kemudian dia mendapat Kalpataru dari presiden SBY di tahun 2008 ini sebagai penyelamat lingkungan.
Tidak harus menjadi seperti Pak Saekan untuk menyelamatkan hutan. Anda bisa memulai dari diri dan lingkungan anda. Dengan menanam pohon di sekitar anda, anda sudah turut membantu menghijaukan lingkungan. Apabila setiap orang melakukan hal yang sama untuk lingkungannya, secara komulatif dan pasti, alam akan mengalami perbaikan. Lambat laun paru-paru dunia yang saat ini bolong-bolong akan menutup.
Hal tersebut akan terwujud apabila empat komponen yang memiliki peran menentukan dapat menjalankan fungsinya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Mereka adalah, pertama, pemerintah sebagai penyelenggara negara yang membuat regulasi dan sebagai pihak yang memberikan sanksi bagi siapapun yang melanggar dan juga penghargaan untuk mereka yang dianggap berjasa seperti Pak Saekan di atas. Kedua, institusi pendidikan yang memberikan edukasi kepada warga negara baik yang masih duduk di bangku sekolah/kuliah maupun tidak tentang pentingnya hutan, pelestariannya, dan akibat yang ditimbulkan bila hutan mengalami kerusakan. Ketiga, masyarakat yang menjadi pihak pengguna sekaligus pengawas pemanfaatan hutan dan pelaksanaan program pelestarian hutan. Terakhir atau yang keempat, setiap individu yang bukan hanya memanfaatkan hutan untuk kepentingan pribadi atau industri tetapi juga harus mengimbanginya dengan reboisasi (reforestation).
Dengan pulihnya hutan kita, maka hutan sebagai paru-paru juga akan kembali berfungsi dengan baik. Bila kita ini dikatakan sebagai manusia hutan, memang demikian adanya. Paru-paru manusia di manapun mereka berada pada dasarnya tergantung kepada keberadaan hutan yang tersebar di berbagai belahan dunia.
Tuesday, December 09, 2008
Haul 90 Tahun
Tahu artinya haul? Jika belum, maka saya perlu jelaskan dulu arti kata itu. Bukan saya hendak menggurui. Bila anda tidak tahu artinya, meskipun telah menebak mati-matian, kan bisa jadi nggak “konek” nantinya. Namun jika anda sudah sangat paham yang dimaksud dengan haul, ya mohon dimaafkan kebawelan saya ini.
Bila dilihat dalam KBBI (saya selalu menggunakan kamus besar ini sebagai acuan), haul artinya peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali. Selanjutnya barangkali akan muncul pertanyaan susulan di kepala anda. Terus, siapa yang diperingati saat kematiannya yang ke 90 tahun itu? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, saya ajukan lagi pertanyaan berikutnya. Bila anda rajin mengikuti tulisan saya, anda akan bisa melihat benang merahnya. Pertanyaan saya itu adalah, anda kenal yang namanya TAS atau Raden Mas Tirto Adhi Soerjo? Saya pernah menulis tentang dia dalam tulisan Medan Priyayi (Agustus 2008) dan RM Tirto Adhi Soerjo (September 2008).
Tulisan ini mengenai kegiatan yang digagas oleh para keturunan TAS dalam memperingati 90 tahun wafatnya yang diadakan di Sekolah Kedokteran Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (MKN). Dalam tulisan tentang peringatan meninggalnya bapak pers nasional ini, saya ingin mengungkapkan kebanggaan sekaligus kegembiraaan saya bisa menghadiri acara itu. Biar lebih teratur, berurutan, dan anda sendiri bisa memahami kenapa saya kok menjadi gembira dan juga bangga hanya gara-gara hadir dalam tahlilan-nya orang mati, saya mulai saja dari awal sebelum saya sampai di tempat itu.
Perihal TAS bagi saya sekarang ini sudah bukan orang asing lagi. Ketika keturunan TAS yang saya kenal menawarkan undangan menghadiri acara haul 90 tahun kakek buyutnya di Jakarta, tanpa berpikir dua kali saya langsung mengatakan mau. Apalagi oleh pihak panitia, peserta yang dari Bogor sudah disediakan satu bis sendiri, semakin mempermudah transportasi yang ikut. Bis itu akan menunggu di Universitas Pakuan (Unpak) Bogor dan jadwal berangkat jam 12.00 wib, Sabtu, 6 Desember 2008.
Jam 11.45 saya sudah ada di Unpak. Saya tidak ingin ketinggalan sehingga saya berusaha datang lebih awal. Keberangkatan jam 12 tepat yang sebelumnya panitia benar-benar mengingatkan rupanya tidak bisa dipenuhi. Bis baru berangkat jam 12.30. Kapasitas bis yang 54 tidak terisi penuh. Saya pun duduk sendirian di kursi untuk tiga orang di belakang sopir. Dan rupanya saya diandalkan menjadi penunjuk arah menuju lokasi karena kebetulan saya dulu pernah kost di dekat tempat itu.
Bis sampai di MKN yang menjadi tempat acara haul sekitar jam 14.30 wib. Acara rupanya belum dimulai. Meja penerima tamu yang ada di sebelah kiri dan kanan pintu masuk bahkan belum ada isinya. Panitia yang melihat kami datang tergopoh-gopoh menyiapkan penyambutan. Mereka tahu bahwa kami merupakan rombongan dari Unpak karena seluruh mahasiswa Unpak yang ikut mengenakan jas almamater.
Selesai mengisi buku tamu dan menerima souvenir kami kemudian masuk ke dalam MKN. Gedung yang dulunya merupakan sekolahnya TAS masih terpelihara dengan baik. Bangunan peninggalan jaman Belanda itu kelihatan kuno tetapi kokoh. Melihat tempat yang dulu pernah menjadi sekolah dokter itu membuat saya teringat cerita yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer tentang TAS dalam bukunya Bumi Manusia. Dikisahkan saat TAS yang dalam novel itu bernama Minke ditelanjangi oleh para seniornya sebagai salah satu bentuk perploncoan terhadap mahasiswa baru. Barangkali bila cerita itu benar-benar terjadi, mungkin saja tempatnya adalah di mana saat itu saya sedang berdiri.
Setelah berjalan sesaat sambil melihat gambar dan barang-barang yang dipajang di dalam museum, di depan saya ada seorang laki-laki yang cukup umur sedang duduk sambil ngobrol dengan seseorang. Rambut, baju, celana, dan sepatu yang dipakainya memiliki warna sama, putih. Saya segera mengenali laki-laki itu. Dia adalah Remy Sylado, seorang budayawan dan penulis banyak buku. Salah satu novelnya yang difilmkan dan saya punya filmnya adalah Ca-Bau-Kan. Anda pernah nonton film itu? Saya sempat bersalaman dengan dia. Sebenarnya bukan hanya sekedar salaman dan bertegur sapa, saya ingin ngobrol banyak tetapi saya merasa tidak memiliki bahan obrolan, speechless. Dari situlah kebanggaan sekaligus kegembiraan bisa hadir dalam haulnya TAS dimulai.
Selain Remy Sylado, saat resepsi penganugerahan Sang Pemula Award malam harinya, ternyata banyak pesohor negeri ini yang menghadiri acara itu. Mereka adalah Rosihan Anwar, putri Pramoedya Ananta Toer, putri Proklamator RI Bung Hatta yang sekarang menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Farida Hatta, serta Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Buyut TAS sendiri yang menjadi penyanyi, Dewi Yull, tidak ikut acara penganugerahan itu. Dia datang di sore hari pada saat seminar.
Itulah sebabnya, saya bangga datang di acara haulnya TAS karena orang-orang terkenal atau keturunannya juga ikut hadir. Saya gembira sebab bisa bertemu dengan orang-orang top, apalagi beberapa dari mereka adalah selebriti bagi saya seperti Remy Sylado, Rosihan Anwar, dan putrinya Pramoedya Ananta Toer. Dengan demikian, dalam seminggu ini dua kali kesempatan saya ketemu dengan kelompok manusia luar biasa, saat Wisata Sastra dan ketika menghadiri haulnya TAS.
Acara malam itu belum selesai ketika rombongan saya memutuskan untuk pulang. Saya keluar dari MKN jam 21.35. Saya tidak lagi memakai bis yang saya naiki saat berangkat tetapi menggunakan kendaraan dinas Fakultas Sastra Unpak. Dalam mobil dinas itu masih tersedia tempat duduk buat saya.
Hari itu, selain bisa ketemu dengan orang-orang terkenal di negeri ini, saya juga bernostalgia. Saya melewati tempat kost saya dulu yang berada di tikungan Jl. Abdul Rahman Saleh samping MKN atau Gedung Stovia. Saya juga makan siang di warung pinggir jalan di Jl. Kwitang dan membeli buku di toko buku Gunung Agung di mana saya dulu sering datang hanya sekedar untuk membaca. Di Gunung Agung Kwitang itu pula dulu saya pertama kali mengenal dan membeli yang namanya Root Beer Float Ice Cream kepunyaan AW alias American Warteg. Sssrruuuffff…. aahhhh….
Bila dilihat dalam KBBI (saya selalu menggunakan kamus besar ini sebagai acuan), haul artinya peringatan hari wafat seseorang yang diadakan setahun sekali. Selanjutnya barangkali akan muncul pertanyaan susulan di kepala anda. Terus, siapa yang diperingati saat kematiannya yang ke 90 tahun itu? Nah, untuk menjawab pertanyaan ini, saya ajukan lagi pertanyaan berikutnya. Bila anda rajin mengikuti tulisan saya, anda akan bisa melihat benang merahnya. Pertanyaan saya itu adalah, anda kenal yang namanya TAS atau Raden Mas Tirto Adhi Soerjo? Saya pernah menulis tentang dia dalam tulisan Medan Priyayi (Agustus 2008) dan RM Tirto Adhi Soerjo (September 2008).
Tulisan ini mengenai kegiatan yang digagas oleh para keturunan TAS dalam memperingati 90 tahun wafatnya yang diadakan di Sekolah Kedokteran Stovia yang sekarang menjadi Museum Kebangkitan Nasional (MKN). Dalam tulisan tentang peringatan meninggalnya bapak pers nasional ini, saya ingin mengungkapkan kebanggaan sekaligus kegembiraaan saya bisa menghadiri acara itu. Biar lebih teratur, berurutan, dan anda sendiri bisa memahami kenapa saya kok menjadi gembira dan juga bangga hanya gara-gara hadir dalam tahlilan-nya orang mati, saya mulai saja dari awal sebelum saya sampai di tempat itu.
Perihal TAS bagi saya sekarang ini sudah bukan orang asing lagi. Ketika keturunan TAS yang saya kenal menawarkan undangan menghadiri acara haul 90 tahun kakek buyutnya di Jakarta, tanpa berpikir dua kali saya langsung mengatakan mau. Apalagi oleh pihak panitia, peserta yang dari Bogor sudah disediakan satu bis sendiri, semakin mempermudah transportasi yang ikut. Bis itu akan menunggu di Universitas Pakuan (Unpak) Bogor dan jadwal berangkat jam 12.00 wib, Sabtu, 6 Desember 2008.
Jam 11.45 saya sudah ada di Unpak. Saya tidak ingin ketinggalan sehingga saya berusaha datang lebih awal. Keberangkatan jam 12 tepat yang sebelumnya panitia benar-benar mengingatkan rupanya tidak bisa dipenuhi. Bis baru berangkat jam 12.30. Kapasitas bis yang 54 tidak terisi penuh. Saya pun duduk sendirian di kursi untuk tiga orang di belakang sopir. Dan rupanya saya diandalkan menjadi penunjuk arah menuju lokasi karena kebetulan saya dulu pernah kost di dekat tempat itu.
Bis sampai di MKN yang menjadi tempat acara haul sekitar jam 14.30 wib. Acara rupanya belum dimulai. Meja penerima tamu yang ada di sebelah kiri dan kanan pintu masuk bahkan belum ada isinya. Panitia yang melihat kami datang tergopoh-gopoh menyiapkan penyambutan. Mereka tahu bahwa kami merupakan rombongan dari Unpak karena seluruh mahasiswa Unpak yang ikut mengenakan jas almamater.
Selesai mengisi buku tamu dan menerima souvenir kami kemudian masuk ke dalam MKN. Gedung yang dulunya merupakan sekolahnya TAS masih terpelihara dengan baik. Bangunan peninggalan jaman Belanda itu kelihatan kuno tetapi kokoh. Melihat tempat yang dulu pernah menjadi sekolah dokter itu membuat saya teringat cerita yang ditulis oleh Pramoedya Ananta Toer tentang TAS dalam bukunya Bumi Manusia. Dikisahkan saat TAS yang dalam novel itu bernama Minke ditelanjangi oleh para seniornya sebagai salah satu bentuk perploncoan terhadap mahasiswa baru. Barangkali bila cerita itu benar-benar terjadi, mungkin saja tempatnya adalah di mana saat itu saya sedang berdiri.
Setelah berjalan sesaat sambil melihat gambar dan barang-barang yang dipajang di dalam museum, di depan saya ada seorang laki-laki yang cukup umur sedang duduk sambil ngobrol dengan seseorang. Rambut, baju, celana, dan sepatu yang dipakainya memiliki warna sama, putih. Saya segera mengenali laki-laki itu. Dia adalah Remy Sylado, seorang budayawan dan penulis banyak buku. Salah satu novelnya yang difilmkan dan saya punya filmnya adalah Ca-Bau-Kan. Anda pernah nonton film itu? Saya sempat bersalaman dengan dia. Sebenarnya bukan hanya sekedar salaman dan bertegur sapa, saya ingin ngobrol banyak tetapi saya merasa tidak memiliki bahan obrolan, speechless. Dari situlah kebanggaan sekaligus kegembiraan bisa hadir dalam haulnya TAS dimulai.
Selain Remy Sylado, saat resepsi penganugerahan Sang Pemula Award malam harinya, ternyata banyak pesohor negeri ini yang menghadiri acara itu. Mereka adalah Rosihan Anwar, putri Pramoedya Ananta Toer, putri Proklamator RI Bung Hatta yang sekarang menjadi Menteri Pemberdayaan Perempuan, Meutia Farida Hatta, serta Menteri Pemuda dan Olahraga Adhyaksa Dault. Buyut TAS sendiri yang menjadi penyanyi, Dewi Yull, tidak ikut acara penganugerahan itu. Dia datang di sore hari pada saat seminar.
Itulah sebabnya, saya bangga datang di acara haulnya TAS karena orang-orang terkenal atau keturunannya juga ikut hadir. Saya gembira sebab bisa bertemu dengan orang-orang top, apalagi beberapa dari mereka adalah selebriti bagi saya seperti Remy Sylado, Rosihan Anwar, dan putrinya Pramoedya Ananta Toer. Dengan demikian, dalam seminggu ini dua kali kesempatan saya ketemu dengan kelompok manusia luar biasa, saat Wisata Sastra dan ketika menghadiri haulnya TAS.
Acara malam itu belum selesai ketika rombongan saya memutuskan untuk pulang. Saya keluar dari MKN jam 21.35. Saya tidak lagi memakai bis yang saya naiki saat berangkat tetapi menggunakan kendaraan dinas Fakultas Sastra Unpak. Dalam mobil dinas itu masih tersedia tempat duduk buat saya.
Hari itu, selain bisa ketemu dengan orang-orang terkenal di negeri ini, saya juga bernostalgia. Saya melewati tempat kost saya dulu yang berada di tikungan Jl. Abdul Rahman Saleh samping MKN atau Gedung Stovia. Saya juga makan siang di warung pinggir jalan di Jl. Kwitang dan membeli buku di toko buku Gunung Agung di mana saya dulu sering datang hanya sekedar untuk membaca. Di Gunung Agung Kwitang itu pula dulu saya pertama kali mengenal dan membeli yang namanya Root Beer Float Ice Cream kepunyaan AW alias American Warteg. Sssrruuuffff…. aahhhh….
Monday, December 01, 2008
Wisata Sastra
Sudah lama saya tidak ke Jakarta. Semenjak mengundurkan diri dari tempat kerja tahun 2001, sebulan sekalipun belum tentu saya ke sana. Kesempatan ke ibukota lagi datang secara kebetulan. Ketika saya menelepon teman saya yang penulis, dia mengajak pergi ke Jakarta. Karena ada kesempatan dan saya sendiri ingin ikut, saya iyakan ajakannya itu. Perjalanan ke Jakarta ini kemudian sudah muncul di kepala saya akan saya beri nama Wisata Sastra dan yang juga akan menjadi judul tulisan saya nanti (yaitu tulisan yang sedang anda baca sekarang). Dan ini merupakan pengalaman pertama saya terlibat dalam dunianya teman saya itu.
Mengapa saya beri nama Wisata Sastra? Karena memang kepergian saya ke Jakarta adalah untuk menghadiri kegiatan sastra. Teman saya yang penulis dan juga kritikus sastra itu diundang untuk menjadi pembicara dalam Peluncuran dan Diskusi Novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseno. Acara tersebut diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Perjalanan dimulai saat saya keluar dari rumah pukul 10.30 wib dengan motor kesayangan menuju Bojong Gede. Rencana berangkat dari Bojong Gede jam 12.00 karena acara di TIM dimulai pukul 13.00. Dengan naik KRL, diperkirakan dalam satu jam sudah sampai ke tempat tujuan. Ketika di atas motor saya hanya berdoa mudah-mudahan selamat di jalan dan tidak ada masalah dengan motor.
Doa saya terkabul. Saya sampai di Bojong Gede jam 11.15. Teman saya lagi ada di teras membaca koran bersama istri. Bukannya terus siap-siap, dia malah mengajak saya main catur. Kenapa tidak? Memang itu yang saya tunggu-tunggu. Selama ini saya tidak pernah menang dari dia. Saya berharap kali ini saya bisa mengalahkannya. Dan ternyata dari dua kali main, yang kedua berhasil saya menangkan.
Saat memainkan partai kedua, saya ingatkan ke teman saya bahwa dia harus sudah ada di TIM jam 13.00. Dijawabnya, “Kita berangkat setelah ini.” Padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam 12.00. Terserah apa mau dia. Saya ngikut saja. Selesai main catur, kami siap-siap berangkat. Sambil menunggu dia mandi saya kemudian sholat lohor dulu.
Akhirnya kami berangkat hampir jam 12.30. Dengan menggunakan motor saya, kami menuju Stasiun Bojong Gede. Tidak lebih dari sepuluh menit sampai di stasiun. Teman saya lari ke loket beli karcis, saya menaruh motor ke tempat penitipan. Nggak lama kemudian dia kembali dengan dua tiket Pakuan Ekspres. Dia meminta saya untuk buru-buru karena sebentar lagi kereta tiba. Saya ikut lari-lari di belakangnya khawatir kereta keburu datang. Begitu sampai di peron tidak lama kemudian kereta muncul. Untung saja kami dapat kereta yang tidak berhenti di setiap stasiun sehingga bisa cepat sampai di Jakarta.
Perjalanan dengan Pakuan Ekspres cukup nyaman. Karena saat itu hari Minggu, kereta yang biasanya penuh di hari kerja sekarang sepi. Di gerbong yang saya tempati hanya terisi beberapa orang. AC kereta masih bisa saya rasakan meskipun udara di luar begitu panas. Ngobrol pun jadi enak dalam gerbong yang lega dan berpendingin sehingga tanpa terasa kereta sudah masuk Jakarta.
Kami kemudian turun di Stasiun Gondangdia. Stasiun ini merupakan tempat yang sering saya datangi untuk naik KRL ke Bogor saat dulu saya masih kerja di Jakarta. Kondisi stasiun masih tetap sama. Tidak ada perubahan yang berarti. Dari stasiun itu kami kemudian naik bajaj menuju TIM. Kendaraan roda tiga yang kelakuan pengemudinya tidak beda jauh dengan tukang becak. Slonong sana slonong sini, nyerobot jalan sesukanya, ngelawan arus, belok seenaknya, adalah hal biasa yang sering dijumpai dari sebuah bajaj. Sampai-sampai andapun akan mengalami kesulitan bila harus menebak sebuah bajaj hendak berbelok ke mana. Pokoknya bajaj itu salah satu raja jalanan di Jakarta.
Dalam waktu beberapa menit bajaj kami akhirnya sampai di TIM meskipun sebelumnya hampir terjadi insiden. Saat meninggalkan Stasiun Gondangdia tadi, bajaj kami nyaris bertabrakan dengan bajaj yang lain. Dengan kecepatan tinggi plus sopir yang meleng, bajaj kami ngepot di tikungan yang ada di kolong rel. Bajaj kami banting ke kiri, begitu juga bajaj lawan. Beruntung dua-duanya tidak salah banting. Bila mereka berdua salah banting ke kanan, sudah pasti kamilah yang akan kebanting. Jika itu yang terjadi, bukan TIM lagi tujuannya, bisa-bisa malah RSCM.
Rupanya panitia memang menunggu kedatangan teman saya. Kegiatan yang dijadwalkan jam 13.00 jadi mundur 13.30. Acara segera dimulai begitu kami datang. Semua yang terlibat sudah hadir, penulis novel, dua pembicara, moderator, dan pembawa acara. Sambil mengikuti acara saya menikmati snak dan minuman yang saya ambil sebelumnya dari meja hidangan. Lumayan buat menggajal perut sebagai pengganti makan siang.
Selama acara, saya sempat keluar untuk melihat-lihat buku di toko buku bekas di dalam lingkungan TIM. Sayang buku yang saya cari tidak ada dan untungnya tidak ada, karena harganya terlalu mahal buat saya. Saya juga menyempatkan untuk sholat asar di Masjid Amir Hamzah walaupun mesti mencari-cari dulu letak masjid itu.
Acara berlangsung sampai sore. Ramai juga diskusi yang berlangsung. Ada tanya jawab yang sebagian saya tidak begitu paham. Mutiara Karam yang merupakan pemenang kedua sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 adalah novel sastra melayu yang ditulis oleh Tusiran Suseno seorang melayu Riau keturunan Jawa. Saya tidak begitu paham sastra melayu, tetapi saya senang bisa menghadiri diskusi tersebut. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang pandai menuangkan idenya dalam tulisan. Begitu acara diskusi selesai saya segera menemui sang penulis untuk meminta tanda tangan. Bangga rasanya bila memiliki buku yang di dalamnya ada tanda tangan penulisnya.
Selesai diskusi, kami semua pindah ke dalam ruang teater. Acara dilanjutkan dengan menyaksikan pembacaan beberapa bagian novel yang diselingi dengan lagu-lagu melayu. Benar-benar indah dan menawan, baik nyanyian maupun pembacaan novel. Saya sangat menikmati sekaligus terpukau, terutama saat bagian novel dibacakan. Begitu teatrikal cara membacanya.
Yang lebih membuat hati saya berbunga-bunga adalah setelah acara di TIM itu. Saya makan malam bareng dengan penulis Mutiara Karam yang rupanya kenal baik dengan teman saya. Bersama beberapa sastrawan lain, kami makan di restoran Warung Daun yang lokasi persis di depan TIM. Sambil menunggu dan ketika menyantap hidangan, kami ngobrolin apa saja, termasuk kain (jarik) yang digantung di atas kepala kami sebagai pajangan. Bagi orang melayu, duduk apalagi makan di bawah kain yang digantung adalah tabu. Orang Bogor (Sunda) bilang pamali. Bagi mereka, ada di bawah kain seperti ada di bawah selangkangan perempuan. Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya makan di bawah selangkangan, pasti horor.
Kami kemudian memanggil salah satu pelayan restoran. Teman saya bilang kepada pelayan itu supaya disampaikan kepada yang berkuasa di restoran tentang makna kain yang digantung di atas kepala bagi orang melayu. Rupanya pemilik restoran tidak paham dengan kultur melayu berkaitan dengan kain yang suka dipakai emak-emak kampung ke pasar atau none-none kota merayakan kartinian. Mudah-mudahan pesan itu betul-betul akan disampaikan kepada penguasa atau pemilik restoran sehingga kalaupun kain itu masih tetap dijadikan dekorasi, tidak digantung di atas meja tempat para pengunjung menikmati hidangan. Saya sendiri juga baru tahu makna kain yang digantung di atas kepala dalam budaya melayu malam itu.
Selesai makan malam, Saya dan teman saya kemudian menuju Hotel Alia yang letaknya berdekatan dengan Warung Daun, juga di seberang TIM. Di hotel itu sedang ada acara yang teman saya adalah salah satu jurinya. Di acara yang bertajuk Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan 2008 itu, saya ketemu banyak selebriti. Bukan selebriti dalam dunia hiburan seperti penyanyi atau pemain film, tetapi mereka adalah para penulis top. Mereka itulah sebenar-benarnya selebriti bagi saya. Merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bisa ketemu dengan Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, dan K. Usman. Mereka diperkenalkan sebagai juri-juri bidang fiksi dalam sayembara tahunan yang diadakan oleh Departemen P & K. Sebagai ketua dewan juri bidang fiksi yang totalnya berjumlah 27 orang yang malam itu tidak semuanya hadir adalah Ahmadun Yosi Herfanda yang juga berada di antara para juri.
Bila tidak karena mengejar kereta kami masih ingin lama-lama di acara itu. Keinginan saya untuk bisa foto bersama Hamsad Rangkuti hanya cukup digantikan dengan mengambil foto dia saat duduk bersama-sama juri yang lain. Kami meninggalkan hotel jam 20.20 untuk naik kopaja (bis kecil) menuju Stasiun Cikini. KRL terakhir menuju Bogor adalah jam 20.30. Kami beruntung tidak ketinggalan saat tiba di stasiun. Begitu sampai di peron, tidak lama kemudian kereta datang.
Singkat cerita, kami sampai di Stasiun Bojong Gede pukul 21.30. Motor yang tadi siang saya titipkan dekat stasiun masih ada tetapi sudah tidak pada tempatnya. Motor saya berpindah di sebelah tiang besi dari rel bekas dan dirantai. Begitu melihat kami datang, tukang parkir ngomel-ngomel. Dia merasa telah memberi tahu kami saat siang tadi bahwa waktu parkir hanya sampai jam 20.00. Dia bilang jika bukan karena kasihan, dia tidak akan menunggu kami. Motor akan ditinggalkan terantai di tiang begitu saja. Setahu saya, dia tidak pernah bilang bila parkir hanya sampai jam delapan malam. Meneketehe! Namun kami tidak mau ribut-ribut. Uang parkir Rp5000 yang diminta segera dikasih meskipun biasanya hanya Rp2000 atau Rp3000.
Seperti itulah bila kerja hanya berorientasi pada uang. Tidak ada keikhlasan dalam melayani. Motornya memang bagus dan kelihatan baru dan juga mungkin uangnya banyak, namun bisa jadi dia tidak pernah ke mana-mana. Hidupnya hanya di situ-situ saja. Hidup yang indah ini tidak begitu bisa dinikmati. Sayang sekali.
Saat tiba kembali di rumah teman saya, malam mulai larut. Dari stasiun tadi sempat mampir dulu untuk beli oleh-oleh sehingga sampai rumah hampir jam 22.30. Meskipun demikian, kami sempatkan main catur walau hanya satu set. Saya kembali menang, dan kemenangan yang saya peroleh benar-benar indah. Lawan main saya juga mengakui hal itu. Selesai main, saya siap-siap pulang.
Jam 23.30 saya baru pulang dari Bojong Gede. Jalan yang sepi dan gelapnya malam saya nikmati seutuhnya. Sang Pencipta mendukung saya menikmati perjalanan malam itu dengan tidak diturunkan hujan.
Mengapa saya beri nama Wisata Sastra? Karena memang kepergian saya ke Jakarta adalah untuk menghadiri kegiatan sastra. Teman saya yang penulis dan juga kritikus sastra itu diundang untuk menjadi pembicara dalam Peluncuran dan Diskusi Novel Mutiara Karam karya Tusiran Suseno. Acara tersebut diadakan di Taman Ismail Marzuki (TIM).
Perjalanan dimulai saat saya keluar dari rumah pukul 10.30 wib dengan motor kesayangan menuju Bojong Gede. Rencana berangkat dari Bojong Gede jam 12.00 karena acara di TIM dimulai pukul 13.00. Dengan naik KRL, diperkirakan dalam satu jam sudah sampai ke tempat tujuan. Ketika di atas motor saya hanya berdoa mudah-mudahan selamat di jalan dan tidak ada masalah dengan motor.
Doa saya terkabul. Saya sampai di Bojong Gede jam 11.15. Teman saya lagi ada di teras membaca koran bersama istri. Bukannya terus siap-siap, dia malah mengajak saya main catur. Kenapa tidak? Memang itu yang saya tunggu-tunggu. Selama ini saya tidak pernah menang dari dia. Saya berharap kali ini saya bisa mengalahkannya. Dan ternyata dari dua kali main, yang kedua berhasil saya menangkan.
Saat memainkan partai kedua, saya ingatkan ke teman saya bahwa dia harus sudah ada di TIM jam 13.00. Dijawabnya, “Kita berangkat setelah ini.” Padahal waktu sudah menunjukkan hampir jam 12.00. Terserah apa mau dia. Saya ngikut saja. Selesai main catur, kami siap-siap berangkat. Sambil menunggu dia mandi saya kemudian sholat lohor dulu.
Akhirnya kami berangkat hampir jam 12.30. Dengan menggunakan motor saya, kami menuju Stasiun Bojong Gede. Tidak lebih dari sepuluh menit sampai di stasiun. Teman saya lari ke loket beli karcis, saya menaruh motor ke tempat penitipan. Nggak lama kemudian dia kembali dengan dua tiket Pakuan Ekspres. Dia meminta saya untuk buru-buru karena sebentar lagi kereta tiba. Saya ikut lari-lari di belakangnya khawatir kereta keburu datang. Begitu sampai di peron tidak lama kemudian kereta muncul. Untung saja kami dapat kereta yang tidak berhenti di setiap stasiun sehingga bisa cepat sampai di Jakarta.
Perjalanan dengan Pakuan Ekspres cukup nyaman. Karena saat itu hari Minggu, kereta yang biasanya penuh di hari kerja sekarang sepi. Di gerbong yang saya tempati hanya terisi beberapa orang. AC kereta masih bisa saya rasakan meskipun udara di luar begitu panas. Ngobrol pun jadi enak dalam gerbong yang lega dan berpendingin sehingga tanpa terasa kereta sudah masuk Jakarta.
Kami kemudian turun di Stasiun Gondangdia. Stasiun ini merupakan tempat yang sering saya datangi untuk naik KRL ke Bogor saat dulu saya masih kerja di Jakarta. Kondisi stasiun masih tetap sama. Tidak ada perubahan yang berarti. Dari stasiun itu kami kemudian naik bajaj menuju TIM. Kendaraan roda tiga yang kelakuan pengemudinya tidak beda jauh dengan tukang becak. Slonong sana slonong sini, nyerobot jalan sesukanya, ngelawan arus, belok seenaknya, adalah hal biasa yang sering dijumpai dari sebuah bajaj. Sampai-sampai andapun akan mengalami kesulitan bila harus menebak sebuah bajaj hendak berbelok ke mana. Pokoknya bajaj itu salah satu raja jalanan di Jakarta.
Dalam waktu beberapa menit bajaj kami akhirnya sampai di TIM meskipun sebelumnya hampir terjadi insiden. Saat meninggalkan Stasiun Gondangdia tadi, bajaj kami nyaris bertabrakan dengan bajaj yang lain. Dengan kecepatan tinggi plus sopir yang meleng, bajaj kami ngepot di tikungan yang ada di kolong rel. Bajaj kami banting ke kiri, begitu juga bajaj lawan. Beruntung dua-duanya tidak salah banting. Bila mereka berdua salah banting ke kanan, sudah pasti kamilah yang akan kebanting. Jika itu yang terjadi, bukan TIM lagi tujuannya, bisa-bisa malah RSCM.
Rupanya panitia memang menunggu kedatangan teman saya. Kegiatan yang dijadwalkan jam 13.00 jadi mundur 13.30. Acara segera dimulai begitu kami datang. Semua yang terlibat sudah hadir, penulis novel, dua pembicara, moderator, dan pembawa acara. Sambil mengikuti acara saya menikmati snak dan minuman yang saya ambil sebelumnya dari meja hidangan. Lumayan buat menggajal perut sebagai pengganti makan siang.
Selama acara, saya sempat keluar untuk melihat-lihat buku di toko buku bekas di dalam lingkungan TIM. Sayang buku yang saya cari tidak ada dan untungnya tidak ada, karena harganya terlalu mahal buat saya. Saya juga menyempatkan untuk sholat asar di Masjid Amir Hamzah walaupun mesti mencari-cari dulu letak masjid itu.
Acara berlangsung sampai sore. Ramai juga diskusi yang berlangsung. Ada tanya jawab yang sebagian saya tidak begitu paham. Mutiara Karam yang merupakan pemenang kedua sayembara penulisan novel Dewan Kesenian Jakarta 2006 adalah novel sastra melayu yang ditulis oleh Tusiran Suseno seorang melayu Riau keturunan Jawa. Saya tidak begitu paham sastra melayu, tetapi saya senang bisa menghadiri diskusi tersebut. Saya selalu kagum dengan orang-orang yang pandai menuangkan idenya dalam tulisan. Begitu acara diskusi selesai saya segera menemui sang penulis untuk meminta tanda tangan. Bangga rasanya bila memiliki buku yang di dalamnya ada tanda tangan penulisnya.
Selesai diskusi, kami semua pindah ke dalam ruang teater. Acara dilanjutkan dengan menyaksikan pembacaan beberapa bagian novel yang diselingi dengan lagu-lagu melayu. Benar-benar indah dan menawan, baik nyanyian maupun pembacaan novel. Saya sangat menikmati sekaligus terpukau, terutama saat bagian novel dibacakan. Begitu teatrikal cara membacanya.
Yang lebih membuat hati saya berbunga-bunga adalah setelah acara di TIM itu. Saya makan malam bareng dengan penulis Mutiara Karam yang rupanya kenal baik dengan teman saya. Bersama beberapa sastrawan lain, kami makan di restoran Warung Daun yang lokasi persis di depan TIM. Sambil menunggu dan ketika menyantap hidangan, kami ngobrolin apa saja, termasuk kain (jarik) yang digantung di atas kepala kami sebagai pajangan. Bagi orang melayu, duduk apalagi makan di bawah kain yang digantung adalah tabu. Orang Bogor (Sunda) bilang pamali. Bagi mereka, ada di bawah kain seperti ada di bawah selangkangan perempuan. Bisa anda bayangkan bagaimana rasanya makan di bawah selangkangan, pasti horor.
Kami kemudian memanggil salah satu pelayan restoran. Teman saya bilang kepada pelayan itu supaya disampaikan kepada yang berkuasa di restoran tentang makna kain yang digantung di atas kepala bagi orang melayu. Rupanya pemilik restoran tidak paham dengan kultur melayu berkaitan dengan kain yang suka dipakai emak-emak kampung ke pasar atau none-none kota merayakan kartinian. Mudah-mudahan pesan itu betul-betul akan disampaikan kepada penguasa atau pemilik restoran sehingga kalaupun kain itu masih tetap dijadikan dekorasi, tidak digantung di atas meja tempat para pengunjung menikmati hidangan. Saya sendiri juga baru tahu makna kain yang digantung di atas kepala dalam budaya melayu malam itu.
Selesai makan malam, Saya dan teman saya kemudian menuju Hotel Alia yang letaknya berdekatan dengan Warung Daun, juga di seberang TIM. Di hotel itu sedang ada acara yang teman saya adalah salah satu jurinya. Di acara yang bertajuk Sayembara Penulisan Naskah Buku Pengayaan 2008 itu, saya ketemu banyak selebriti. Bukan selebriti dalam dunia hiburan seperti penyanyi atau pemain film, tetapi mereka adalah para penulis top. Mereka itulah sebenar-benarnya selebriti bagi saya. Merupakan pengalaman yang tidak terlupakan bisa ketemu dengan Hamsad Rangkuti, Pamusuk Eneste, dan K. Usman. Mereka diperkenalkan sebagai juri-juri bidang fiksi dalam sayembara tahunan yang diadakan oleh Departemen P & K. Sebagai ketua dewan juri bidang fiksi yang totalnya berjumlah 27 orang yang malam itu tidak semuanya hadir adalah Ahmadun Yosi Herfanda yang juga berada di antara para juri.
Bila tidak karena mengejar kereta kami masih ingin lama-lama di acara itu. Keinginan saya untuk bisa foto bersama Hamsad Rangkuti hanya cukup digantikan dengan mengambil foto dia saat duduk bersama-sama juri yang lain. Kami meninggalkan hotel jam 20.20 untuk naik kopaja (bis kecil) menuju Stasiun Cikini. KRL terakhir menuju Bogor adalah jam 20.30. Kami beruntung tidak ketinggalan saat tiba di stasiun. Begitu sampai di peron, tidak lama kemudian kereta datang.
Singkat cerita, kami sampai di Stasiun Bojong Gede pukul 21.30. Motor yang tadi siang saya titipkan dekat stasiun masih ada tetapi sudah tidak pada tempatnya. Motor saya berpindah di sebelah tiang besi dari rel bekas dan dirantai. Begitu melihat kami datang, tukang parkir ngomel-ngomel. Dia merasa telah memberi tahu kami saat siang tadi bahwa waktu parkir hanya sampai jam 20.00. Dia bilang jika bukan karena kasihan, dia tidak akan menunggu kami. Motor akan ditinggalkan terantai di tiang begitu saja. Setahu saya, dia tidak pernah bilang bila parkir hanya sampai jam delapan malam. Meneketehe! Namun kami tidak mau ribut-ribut. Uang parkir Rp5000 yang diminta segera dikasih meskipun biasanya hanya Rp2000 atau Rp3000.
Seperti itulah bila kerja hanya berorientasi pada uang. Tidak ada keikhlasan dalam melayani. Motornya memang bagus dan kelihatan baru dan juga mungkin uangnya banyak, namun bisa jadi dia tidak pernah ke mana-mana. Hidupnya hanya di situ-situ saja. Hidup yang indah ini tidak begitu bisa dinikmati. Sayang sekali.
Saat tiba kembali di rumah teman saya, malam mulai larut. Dari stasiun tadi sempat mampir dulu untuk beli oleh-oleh sehingga sampai rumah hampir jam 22.30. Meskipun demikian, kami sempatkan main catur walau hanya satu set. Saya kembali menang, dan kemenangan yang saya peroleh benar-benar indah. Lawan main saya juga mengakui hal itu. Selesai main, saya siap-siap pulang.
Jam 23.30 saya baru pulang dari Bojong Gede. Jalan yang sepi dan gelapnya malam saya nikmati seutuhnya. Sang Pencipta mendukung saya menikmati perjalanan malam itu dengan tidak diturunkan hujan.
Subscribe to:
Posts (Atom)