Tuesday, March 18, 2008

True Love


Peringatan:
Anda yang membaca tulisan ini harus berusia 17 ke atas, memiliki
ktp, sehat jasmani rohani, dan berakal sehat alias waras. Bila anda tidak
mematuhinya dan terjadi sesuatu dengan anda, saya tidak bertanggung jawab.
Tulisan ini mengandung apa yang disebut dengan adult material. Yaa… gitu
deeehhh….


Saya pernah nyinggung-nyinggung tentang profesor IPB yang memberi saya bunga kecombrang di blog ini bulan kemarin. Anda yang sudah baca tapi lupa atau anda memang belum pernah membacanya, bisa membacanya lagi dengan mengklik di sini. Karena profesor ini lah saya bela-belain berangkat dari Bogor jam 10 malam menuju Ciamis. Saya dapat undangan pernikahannya yang diadakan di desa Banjarsari, Ciamis.

Tepatnya jam 22.05 wib, 14 Maret, saya dan enam tetangga menggunakan apv berangkat ke Ciamis. Perkiraan lama perjalanan sekitar 7-8 jam. Dari ketujuh penumpang, ada tiga yang bisa nyopir. Sedangkan empat lainnya termasuk saya bisa dibilang tidak becus. Saya sendiri pernah bawa mobil, tapi sori aja, saya tidak berani pegang lagi sekarang. Apalagi perjalanan jauh seperti itu, dan sim saya sudah lama habis masa berlakunya. Nekat namanya jika tetap mau pegang kemudi. Dari tiga yang bisa nyopir, ada satu yang gila. Sialnya, justru yang gila ini yang menyopiri kami.

Anda tahulah, yang saya maksudkan gila di sini tentu saja bukan gila yang sebenarnya. Tapi anda pasti akan sport jantung bila anda naik mobil yang sopirnya lebih menganggap anda dan penumpang lainnya, sebagai kumpulan kambing. Jadi kita ini benar-benar dikambingkan. Nyawa kita dimain-mainkan oleh emosi liarnya. Orang seperti ini menurut saya tidak ada bedanya dengan Lewis Hamilton (Inggris) yang memenangi seri perdana F1 2008 GP Australia atau Valentino Rossi (Italia) yang beberapa kali menjuarai balapan sapi. Lho kok sapi? Ya, rally sapido motor.

Sopir saya yang gila dan para pembalap ini memiliki kesamaan, nyali mereka di atas rata-rata dalam mengendarai. Jika nyali (keberanian) dikombinasikan dengan ketrampilan dan otak kemudian digunakan di Sirkuit Albert Park, Melbourne, Australia atau arena balap di Sentul sana, okelah. Memang itu tempatnya. Jika dia mengkambingkan yang dia sopiri, lain bukan, hanya dirinya sendiri yang menjadi kambing. Nyawa orang lain tidak dipertaruhkan di sini. Celakanya jika otaknya ketinggalan di rumah saat mengemudi, dan mengemudinya bukan di arena balap tapi di jalan umum. Seperti yang saya alami hari Jum’at (14/3) dan Sabtu (15/3) kemarin.

Memang tetangga saya ini jago nyopirnya. Dia berani dan terampil. Namun jika hanya emosi yang dimiliki tanpa dibarengi nalar, ya yang terjadi adalah nekat dan egois. Saya rasa Lewis dan Valentino memiliki skill, pengalaman, dan keberanian sehingga bisa menang di arena balap. Namun bila emosi (nafsu) doang tanpa menggunakan otaknya, ya itu yang dinamakan nekat. Jika juga melibatkan orang lain, ya bisa dikatakan selain nekat sekaligus egois. Kebetulan sekali sopir jagoan tetangga saya itu punya hobi yang sama dengan Valentino, dia juga suka balapan sapi.

Sori agak banyakan nulisnya sopir gila. Yang merasa menjadi sopir gila dan membaca tulisan ini, bertaubatlah. Masih ada kesempatan. Lebih baik memanusiakan kambing, daripada mengkambingkan manusia. Hidup kambing! Saya hanya masih bingung, terkagum-kagum dan berterimakasih kepada Sang Pencipta, ternyata saya masih diberi kesempatan lebih lama berkumpul dengan keluarga juga tetangga dan teman-teman saya.

Memang repot menghadapi sopir gila. Yang bisa saya lakukan adalah hanya mengatakan kepadanya, “Jangan gila dooonggg….”

Setelah semalaman olah raga jantung dan beristirahat tiga kali selepas tol Cileunyi, di sebuah pasar di Ciamis, dan di depan deretan pertokoan di Banjar, saya sampai di desa Sindangjaya, kecamatan Mangunjaya, kabupaten Ciamis, Sabtu (15/3) jam 05.30. Desa ini berjarak 12 km dari Banjarsari yang sebelumnya telah dilewati yang menjadi tempat acara pernikahan profesor IPB. Hari masih belum terang benar. Matahari belum nongol dan sisa kabut semalam belum menghilang. Udara segar alam pedesaan tercium harum memenuhi paru-paru. Yang pasti, saya bisa bernafas lega untuk sesaat. Saya selamat sampai di rumah pak profesor. Selain mobil saya, tadi malam ada dua mobil lain yang berangkat sama-sama dari Bogor yang disopiri tetangga yang juga mengajak keluarganya.

Desa Sindangjaya merupakan desa yang makmur. Hampir di depan sebagian besar rumah terdapat gulungan anyaman bambu yang digunakan menjemur padi hasil panen. Rumah yang berderet di sepanjang jalan desa terlihat kokoh dan bagus-bagus. Meskipun desa, ada sarana tranportasi yang bernama angdes (angkutan desa) seperti angkot di Bogor yang mengantarkan penduduk desa bepergian. Jalannya pun bukan tanah atau bebatuan, tapi aspal, meskipun bukan hotmix. Untuk menuju desa itu dari Banjarsari, mobil saya mengikuti tanda panah yang menuju Lakbok. Saya nggak tahu di mana lokasi persisnya tempat yang namanya Lakbok. Mungkin dari desa Sindangjaya masih terus. Dengar namanya pun baru sekarang.

Mengingat Sindangjaya itu desa yang makmur, wajar saja bila penduduknya bisa menyekolahkan anak tinggi-tinggi. Siapa mengira, profesor yang berasal dari desa seperti itu bisa kuliah di IPB kemudian melanjutkan pendidikan tinggi s2 dan s3-nya di Minnesota Amrik sono. Selain otaknya yang brilian, dukungan ekonomi yang kuat juga berperan. Kami yang sebenarnya tetangga profesor di Bogor, oleh warga setempat dianggap sebagai orang-orang yang hebat seperti profesor yang merupakan penduduk desa itu. Sempat terdengar gumaman mereka ketika saya lewat di dekatnya, “Ini pasti para insinyur dan doktor.” Wuih, siapa berkawan dengan pedagang minyak wangi memang akan tertular bau harumnya.

Setelah sholat subuh dan ngobrol sebentar saya dan rombongan dipindahkan ke rumah lain yang lebih bagus untuk istirahat sejenak dan bersih-bersih badan. Saat istirahat sambil antri kamar mandi, sebuah kue yang disuguhkan menarik perhatian saya maupun yang lain. Bentuknya bagus, warnanya menarik, dan rasanya manis. Sayang saya tidak tahu namanya. Saat saya sudah sampai di rumah kembali dan cerita ke mantan pacar, katanya kue itu namanya noga yang terbuat dari beras. Hebat juga ya orang-orang itu bisa membentuk makanan seperti gelangnya gladiator. Karena tampilannya yang menarik, jadi sayang memakannya.

Kami sempat foto bersama sebelum berangkat ke rumah profesor dan kemudian menuju rumah mempelai perempuan yang menjadi acara akad nikah dan resepsi. Kelihatannya sih rapi-rapi semua. Yang terjadi sebenarnya, sebagian dari kami hanya mandi kucing. Dalam urusan esek-esek mandi kucing memang punya arti lain. Buat saya istilah itu maksudnya membasuh muka dan sebagian badan, jenis ilmu simpanan anak kos yang menjadi berguna untuk saat-saat seperti itu. Quick and simple. Masalah bau jangan tanya, kami punya trik menghilangkan bau yang sudah dipatenkan. Selain masalah waktu yang cuma sebentar karena kami harus sudah ngumpul di rumah profesor jam 07.30, juga begadang semalaman di perjalanan membuat badan tidak fit dan riskan bila harus mandi yang sebenar-benarnya.

Kami berangkat ke rumah profesor. Di rumah beliau, para pengiringnya sudah berkumpul. Begitu telepon dari pihak mempelai perempuan yang ditunggu telah datang, pengantin pria plus pengiringnya berkonvoi menuju kesana. Sopir gila menyopiri lagi mobil yang saya tumpangi. Namanya juga gila, semua orang desa yang ditemui di jalan disapanya. Sampai-sampai petani yang lagi nyangkul di tengah sawah menjulur-julurkan lehernya mencari tahu siapa sebenarnya laki-laki asing yang ada di mobil yang berteriak-teriak menyapanya. Kami yang ada di mobil tertawa terbahak-bahak. Kami semua malu.

Acara ijab kabul diadakan jam 09.00 di masjid Banjarsari, nggak tahu apa nama masjidnya, dekat rumah pengantin perempuan yang menjadi tempat resepsi. Setelah ijab kabul disambung acara resepsi. Selesai makan hidangan yang disajikan, jam 11.15 pamitan pulang. Udara sudah mulai panas. Saya segera masuk mobil. Dalam perjalanan pulang ke Bogor, kembali nasib saya diserahkan ke tangan sopir gila. Nasiiiibbb… nasib.

Tapi okelah. Setidaknya saya sudah punya pengalaman disopiri sopir gila jadi secara mental sudah tidak begitu shock-shock amat. Hanya berdoa yang bisa saya lakukan. Mudah-mudahan acara Fear Factor yang kedua ini bisa berjalan dengan mulus. Perjalanan siang hari rupanya kontras banget dengan malam. Saat jalan malam jalanan terlihat bersih, namun kelihatan kumuh dan berdebu di terang hari. Apapun keadaannya kami bertujuh rame ngobrol di dalam mobil sambil sekali-sekali mengingatkan sopir gila kami.

Fear Factor kedua mencapai puncaknya saat sampai di tanjakan Nagrek. Waktu saya melewati tadi malam, kepekatan malam dan jumlah kendaraan yang tidak terlalu banyak membuat kondisi tidak begitu mengkhawatirkan. Namun saat sekarang harus lewat situ lagi dan disopiri oleh orang yang sama dalam kondisi panas dan jalanan penuh dengan motor dan mobil, sekali lagi, saya hanya bisa berdoa dan pasrah. Informasi tentang tanjakan itu sudah sering saya dengar tetapi baru dua kali, siang itu dan malam sebelumnya, saya melewatinya. Sebenarnya sih sama saja dengan tanjakan-tanjakan yang ada di Puncak, tapi entah mengapa tanjakan itu terkesan lebih mengerikan. Cerita yang beredar selama ini mengkondisikan tanjakan Nagrek yang sebenarnya biasa menjadi menyeramkan. Apalagi sopirnya gila. Begitu tanjakan terlewati, legalah saya. Di ujung tanjakan, saya disambut deretan warung yang menjual oleh-oleh. Mobil saya berhenti di depan salah satu warung itu. Kami kemudian belanja sekedar untuk oleh-oleh yang di rumah. Saya sendiri membeli opak dan ubi cilembu.

Sesuai kesepakatan, setelah habis tanjakan Nagrek, sopirnya diganti. Lebih tenang rasanya naik kendaraan dengan sopir yang lebih hati-hati, tidak emosian, dan tidak egois. Saya dan penumpang lain bisa ngobrol lebih santai. Ngrumpi kemana-mana, termasuk tentu saja pesta pernikahan profesor yang barusan kami datangi. Dari segi usia memang jauh antara pengantin pria dan wanitanya. Selisihnya bisa separuh lebih. Tapi itulah yang namanya love, true love, atau cinta sejati. Mudah-mudahan saja benar-benar true atawa sejati, bukan fake atau artificial. Bagi profesor, ini merupakan pernikahan keduanya setelah sebelumnya divorced. Sedangkan buat pihak perempuan, merupakan perkawinan pertama. Semoga saja bukan hanya yang pertama tetapi yang terakhir. Bukan hanya true love tetapi juga endless love.

Obrolan dalam perjalanan pulang itu tak lepas juga dengan topik yang agak ngeres yang berbau 17 tahun ke atas. Barangkali anda akan penasaran jika tidak saya ceritakan di sini. Biar anda tidak senewen, bolehlah saya tulis juga. Asumsi saya, anda sudah 17 tahun ke atas dan bisa bertanggung jawab dengan apa yang sedang anda baca dan apa yang anda lakukan. Hanya saja saya tidak bertanggung jawab jika anda kemudian sakit perut atau malah menjadi sakit hati setelah membaca cerita di bawah ini.

Konon ada seorang yang bila dilihat usianya sudah tergolong kakek-kakek. Tetapi si kakek ini tidak mau kalah dengan yang muda. Dia beger juga. Kemana-mana naik motor Tiger, kedua lengannya bertato, suka pakai rompi doang meskipun badannya tidak kekar alias kerempeng. Dia suka main perempuan. Yang membuat tidak tahan, si kakek suka mengucapkan istilah-istilah asing yang dia sendiri sebenarnya tidak tahu maksud istilah itu sebenarnya, termasuk yang berkaitan dengan urusan sex.

Suatu hari si kakek dengan bangganya cerita kepada okem-okem muda yang sedang nongkrong di warung kopi. Dengan gagah dia katakan bahwa kemarin dia telah ngesek dengan tiga perempuan sekaligus sampai tiga jam. Anak-anak muda yang mendengarkan menjadi penasaran dan ingin tahu resepnya kakek yang tahan sampai berjam-jam itu. Mereka yang jauh lebih muda saja paling lama hanya setengah jam, itupun hanya dengan satu perempuan. Maka bertanyalah salah satu dari mereka, ”Rahasianya apa bang bisa lama begitu?” Memang meskipun sudah kepala tujuh, si kakek maunya dipanggil abang. ”Saya menggunakan gaya dogi stail (doggy style),” katanya. Yang mendengarkan makin heran. Bagi mereka justru gaya yang seperti itu lebih berat dan melelahkan. Apalagi untuk manusia seusia si abang ini. ”Bukannya itu gaya yang berat bang?” Tanya mereka lagi. ”Oh, tidak,” jawabnya. Kemudian ada yang bertanya lagi, ”Bagaimana sih dogi stail abang kok abang bisa begitu tahan lama?” Dengan bangga si kakek memamerkan dogi stailnya sambil berkata, ”Seperti ini lho. Saya endus-endus mereka.” Hanya karena segan saja mereka kemudian tidak mentertawakan kakek. Dalam hati mereka selanjutnya meneruskan, ”Hiya, setelah diendus-endus kemudian dikorek-korek. Bukan pakai kaki layaknya anjing, tapi menggunakan cotton bud.”

Dengan ngobrol ngalor-ngidul di antaranya seperti itu (penting nggak siihh.....?), tak terasa mobil sudah ada di wilayah Bogor. Rombongan menyempatkan diri mampir dulu makan soto lamongan di dekat Bogor Permai. Kata orang sih enak, buat saya biasa-biasa saja tuh. Tetapi lumayanlah, buat menghangatkan perut. Jam 22.15 mobil sampai di rumah kembali. Dengan demikian, bila dihitung sejak keberangkatan yang jam sepuluh malam juga sehari sebelumnya, maka persis 24 jam saya bisa dikatakan tidak tidur. Kalaupun di mobil merem, itu meremnya ayam (bukan tahi ayam loh), 24-hour awake.

No comments:

Post a Comment