Jujur saja, saya menulis ini karena terinspirasi dengan pengalaman saat mencari rumah kontrakan. Rumah kontrakan? Ya. Meskipun saya sekarang sudah menempati rumah sendiri, saya kemudian memutuskan untuk pindah rumah. Pengen tahu kejadian apa yang sampai bisa mendorong saya membuat tulisan ini dan alasan kenapa saya pindah rumah? Baca saja terus. Itu saja kok.
Tiga minggu terakhir ini, hampir tiap hari saya menyempatkan diri keliling Bogota mencari rumah kontrakan. Pertimbangan saya ngontrak rumah meskipun sudah punya sederhana saja. Saya ingin tinggal dekat tempat kerja. Hal itu saya lakukan agar bisa hemat waktu, tenaga, dan - ini yang penting - uang. Bila saya menyebut Bogota, jangan terpesona dulu dan melihat saya ini high profile. Saya tetap orang biasa saja, orang kampung, dan ndeso. Meskipun saya bisa berkeliling di Bogota, bukan berarti saya tinggal di luar negeri. Jika anda mengira Bogota itu adalah ibukota negara Colombia yang dulu disebut dengan Santa Fe de Bogotá, anda salah. Saya masih tinggal di Bogor, dan Bogota yang saya ubek-ubek itu adalah Bogor Utara. That’s it.
Kenapa saya lebih memilih mengacak-acak Bogota dalam mencari rumah kontrakan? Karena di dekat wilayah itulah tempat saya mencari sesuap nasi dan sepiring emas berlian serta seperangkat kepribadian (rumah pribadi, mobil pribadi, yacht pribadi, twentiwan pribadi (home theatre maksudnya), dan pribadi-pribadi lainnya). Itulah sebabnya juga kenapa saya mau bercape-cape keliling-keliling hampir setiap hari.
Langkah pertama dalam mencari rumah kontrakan adalah dengan mendatangi lokasi yang paling dekat dan, menurut saya, paling representatif bagi manusia ndeso selevel saya ini. Dan pengalaman pertama itu jugalah yang menjadi pendorong saya membuat blog ini. Dalam pengalaman itu saya merasa sedang berhadapan dengan seorang yang tidak tahu diri. Jika anda menganggap blog ini sebagai bentuk gunjingan yang dituliskan, okelah. Saya terima saja. Kadang-kadang saya memang suka ngomongin orang, meskipun dalam bentuk tulisan dan suka juga dalam bentuk sindiran. Mudah-mudahan dosa saya ini membawa dampak positif bagi yang sedang dipergunjingkan. Emang bisa ya, dosa berdampak positif?
Jika tadi saya katakan saya merasa berhadapan dengan seorang yang tidak tahu diri, saya akan pertanggung jawabkan perasaan saya itu. Tentu saja saya tidak asal menuduh. Dan eit, perlu saya clear-kan, saya tidak punya dendam dan bermaksud mendiskreditkan orang itu. Lagian, mana anda akan tahu siapa orang yang saya maksudkan bila saya tidak memberitahu anda. Betul kan? Dan juga, saya berterima kasih dengan dia karena telah menjadi contoh yang baik sehingga saya tidak perlu menjadi orang yang seperti itu, orang yang tidak tahu diri!
Peristiwa itu dimulai dengan kunjungan saya ke sebuah komplek perumahan yang meskipun di pinggir Kota Bogor berbatasan dengan Kabupaten Bogor, harganya amit-amit dah. Mahal sekali untuk ukuran saya dan tidak masuk akal. Okelah, itu bukan masalah saya karena saya tidak berencana beli rumah. Setidaknya saat itu dan tidak dalam waktu sekarang ini. Saya hanya perlu mencari rumah kontrakan yang sederhana, terdiri dua kamar, tidak ada saluran teleponnya tidak apa-apa, yang penting ada listrik dan airnya tidak ada masalah. Berkelilinglah saya di komplek perumahan itu. Mata saya jelalatan seperti maling mencari korban. Setiap rumah saya amati, barangkali ada tulisan ‘dikontrakkan.”
Akhirnya saya temukan sebuah rumah di ujung jalan. Namun tulisan yang ditempel di jendela kacanya bukan ‘dikontrakkan’ tetapi ‘dijual.” Saya tidak langsung menghubungi nomor itu. Saya hanya mencatatnya. Setelah sampai di kantor lagi, baru saya kontak nomor itu. Sambutan yang saya terima cukup mencengangkan saya, memberi kesan sombong dan sok sibuk. Dia minta supaya saya kirim sms saja. Oke, saya lakukan itu. Saya menanyakan dalam sms itu apakah rumahnya bisa dikontrakkan atau memang hanya akan dijual seperti yang dia tulis dan berapa harga yang dia minta bila dikontrakkan. Dia menjawab sms saya tetapi pertanyaan saya tentang harga tidak dia jawab. Saya putuskan untuk ketemu saja esok harinya. Dia menyanggupi.
Esoknya saya ketemuan dengan dia di rumahnya sesuai waktu yang dijanjikan. Orangnya baik dan ramah. Beda dengan saat ditelepon. Sebagaimana biasanya, basa-basi dilakukan dahulu sebelum ke pokok permasalahan. Saat tiba waktunya saya tanyakan berapa harga yang dia minta bila dikontrak, dia minta bulanan tetapi bingung dengan harga yang harus diberikan. Rupanya dia tidak memiliki standar harga rumah kontrakan. Kemudian saya beritahukan bahwa saya punya teman yang mengontrak rumah tidak jauh dari komplek perumahan itu. Teman saya ini membayar uang kontrak sebesar 300 ribu per bulan untuk tipe rumah dengan satu kamar tidur, dan harga itu juga kadang-kadang berlaku juga untuk rumah dengan dua kamar, tergantung pintar-pintarnya menawar. Dan harga pasaran rumah kontrak di wilayah itu memang segitu. Pertemuan berakhir dengan janji saya akan diberi kabar bila sudah ada keputusan berapa harga yang akan dia berikan dalam waktu yang tidak lama.
Dua hari kemudian, karena belum ada jawaban, saya berinisiatif mengirim sms menanyakan apakah sudah ada keputusan untuk harga rumah yang saya ingin kontrak itu. Sungguh luar biasa jawaban yang diberikan. Fantastis, luar biasa. “Bila per bulan mau 1,5 (juta! tentu saja!), silakan dikontrak.” Waduh! Rupanya orang ini benar-benar luar biasa. Saya tidak tahu dari mana dia peroleh angka sefantastis itu. Sementara harga kontrak rumah di pasaran (sekitar wilayah itu) hanya 250 s/d 300 ribu per bulan untuk ukuran rumah standar seperti yang dia miliki, dia dengan gagah berani dan gegap gempita mengajukan tawaran yang yaaa… gitu deh!
Setelah terima sms itu saya jadi mbatin, benar-benar nggak tahu diri tuh orang. Boleh sih menawarkan harga sesuai keinginan, tetapi lihat-lihat dong. Dan ternyata dalam pengembaraan saya mencari rumah kontrakan idaman, di perkampungan belakang Universitas Pakuan saya ketemu lagi dengan orang yang mirip. Kali ini harga yang ditawarkan membuat saya langsung mengucapkan terima kasih dan sudah pasti tidak akan kembali lagi. Dengan harga 5 juta per tahun untuk rumah yang, maaf, bukan hanya butut tapi juga kecil meskipun dua lantai dan terkesan jorok di sebuah kampung tikus (sempit), harga yang ditawarkan itu benar-benar tidak masuk akal.
Yang lebih tidak saya mengerti, dari dua lantai rumah yang dia tawarkan itu saya boleh memilih untuk kontrak lantai atas yang memang kosong atau lantai bawah yang sekarang dia tempati bersama keluarganya. Bila saya memilih lantai bawah, dia akan pindah ke atas. Memang semudah itu? Apalagi saya lihat tidak ada meteran listrik di rumah yang berada dalam perkampungan super padat itu. Pantesan dia bilang listrik di rumah itu dayanya ribuan watt.
Pffff... rupanya cari rumah kontrakan sama sulitnya dengan mencari jarum di jerami. Coba kita seperti siput yang kemana-mana membawa rumahnya ya? Ah, saya ini, aya-aya wae!
No comments:
Post a Comment