Monday, December 17, 2007

Pertemanan

Saya nggak tahu, apa memang tidak mudah untuk dengan sengaja membuka diri agar tertular, atau memang sayanya yang rada-rada, ehm, belet. Waduh, belibet banget sih ngomongnya. Maksud saya gini, suka ada kesempatan yang datang menghampiri, tapi saya tidak bisa memanfaatkannya dengan baik. Bila melihat kesempatan yang ada, sebenarnya amat sangat terbuka untuk bisa memanfaatkannya. Jika anda pernah dengar ungkapan bila dekat penjual ikan jadi anyir, main dengan tukang minyak wangi jadi harum, bisa jadi ada benarnya. Ketika saya memiliki teman yang hebat menuangkan idenya dalam bentuk tulisan, sebenarnya saya punya peluang untuk jadi wangi atau anyir. Karena teman saya ini penulis, ya berarti ada kesempatan buat saya untuk jadi pinter nulis juga. Namun kenyataannya, kata-kata bijak itu masih hanya sebatas ungkapan karena saya merasa tidak maksimal dalam memanfaatkan kesempatan itu. Bukan, bukan dia yang salah. Kesalahan sepenuhnya ada di pundak saya. Saya tahu artinya pepatah bijak buruk muka cermin dipecah. Sudah pasti saya tidak akan menyalahkan orang lain karena ketidakbisaan saya. Hanya saja yang saya rasakan, bila kita punya teman yang hebat, bukan persoalan yang mudah untuk tertular menjadi seperti teman bermain kita itu.

Teman saya yang satu ini bukan kaliber biasa-biasa saja. Kalibernya sudah skala luar negeri. Dia sudah go internasional, karyanya sudah dikenal di luar negeri. Meskipun baru taraf Asia, prestasi itu sudah barang tentu lebih dari sekedar cukup untuk dibanggakan. Dan ini peluang yang amat sangat berharga buat saya untuk menghisap segala keahlian yang dia punyai. Sayangnya buah pisang buat sembelit, kayaknya gampang ternyata sulit cing. Cuma sebatas sulit memang, bukan artinya tidak mungkin. Dengan demikian masih terbuka kemungkinan untuk mengatasi kendala-kendala yang muncul. Sulit bukan berarti tidak ada peluang. Jika kita ketemu persoalan yang kata orang sulit, itu kan artinya tidak gampang saja toh? Bukannya artinya tidak mungkin. Bagaimanapun, segala sesuatu yang ada di dunia ini serba mungkin. Cuma ada satu hal yang tidak mungkin, yaitu makan kepala sendiri. Bercanda memang, tapi hal itu ada benarnya juga. Maksud saya begini. Memang sebenarnya bukan hanya makan kepala sendiri yang tidak mungkin, masih ada yang lain. Akan tetapi, kalau saya menyebutkan bahwa cuma itu yang tidak mungkin itu maksudnya adalah bahwa apapun yang kita hadapi, jika yang ada di kepala kita hanya kemungkinan untuk berhasil, maka segala kendala yang muncul akan menjadi mungkin untuk diatasi. Yakinlah itu.

Balik lagi ke teman saya itu, dia pernah saya singgung-singgung di blog ini tanggal 2 Juni lalu yang judulnya Semiotika. Dan saya yakin, kalau anda kuliah di Fakultas Sastra Unpak Bogor atau FIB UI, pasti kenal dia. Jika anda mengaku pecinta sastra, berani taruhan, pasti tahu penulis dan kritikus sastra yang bernama Maman S Mahayana. Jika tidak kenal maka sebaiknya anda jangan ngaku-ngaku pecinta sastra. Dia memang dahsyat. Jangan bandingin dengan Pramoedya Ananta Toer, bukan lawannya memang. Setidaknya untuk saat ini. Namun demikian, bukan hal yang mustahil kalau pak Maman, saya biasa memanggilnya seperti itu, suatu saat nanti namanya sebesar penulis yang pernah dicalonkan menerima hadiah nobel itu.

Memang tidak semudah membalikkan telapak tangan untuk bisa meniru dia. Buat saya, kadang-kadang untuk bisa meniru apa yang pak Maman lakukan menjadi masalah yang pabaliut atau bahasa Jawanya complicated. Bukannya saya sengaja tidak mau menyederhanakan, tetapi masalahnya adalah saya harus memperbanyak jam terbang. Kalau sekedar bisa nulis, itu kan memang simpel. Saya bisa menjaminnya karena saya tahu persis bahwa saya ini tidak buta huruf. Namun, bukan hanya itu doang kan.

Semangat untuk mau terus menulis juga menjadi syarat. Inilah bahan bakarnya untuk bisa jadi mahir. Itulah jam terbang yang saya perlukan, dan juga anda butuhkan jika anda juga ingin bisa menulis. Dan itu yang selalu dilakukan pak Maman terhadap saya. Setiap saya main ke rumahnya, pulangnya selalu dibawain oleh-oleh. Kadang buku-buku baru, kadang catatan-catatan, kadang teknik khusus atau ilmu anyar, yang intinya adalah, setelah beberapa hari saya harus setor tulisan yang berasal dari oleh-oleh yang dia berikan itu. Cara itu memang manjur buat saya. Mau nggak mau saya harus membuat tulisan. Dia sengaja memaksa saya untuk memperbanyak jam terbang.

Seandainya saja saya punya ilmu Thi-khi-i-beng (mencuri sukma memindahkan nyawa) semacam yang dimiliki Cia Keng Hong. Tau ilmu itu? Kenal tokoh itu? Mereka rekaan dari penulis Kho Ping Hoo atau Asmaraman S Kho Ping Hoo yang orang Solo itu dalam buku cerita silatnya yang berjudul Pedang Kayu Harum (Siang-bhok-kiam). Suatu ilmu yang sangat dahsyat. Cia Keng Hong dapat menyedot kesaktian yang dimiliki lawannya hanya dengan menempelkan telapak tangannya ke dada atau punggung lawannya. Akibatnya, dia makin tambah sakti dan lawannya jadi mati, minimal teler. Kalau saya punya ilmu itu, saya akan minta ijin dulu sama Kho Ping Hoo untuk memodifikasinya. Akan saya rubah ilmu itu bukan untuk menyedot tapi untuk memfotokopi kesaktian. Jadi, yang disedot tidak mati atau teler tapi masih seger buger. Kan win-win solution tuh namanya. Kesaktian saya nambah, kesaktian dia nggak ilang. Saya hepi dia juga hepi. Nggak boleh sirik lho. Anda juga boleh kok melakukan seperti apa yang saya lakukan.

Itulah cara yang paling gampang buat saya saat ini. Sebelum bisa yang benerannya, menghayal dulu. Bagaimanapun juga khayalan itu bisa menjadi pemicu untuk melakukan sesuatu. Banyak contohnya. Ketika kita berkhayal dan kemudian khayalan itu menjadi obsesi yang tak terbendung, tanpa disadari segala energi yang kita miliki akan diupayakan untuk mewujudkannya. Pernah mengalami seperti itu? Kita bisa belajar dari apa yang dilakukan Henry Ford. Karena obsesinya untuk menciptakan sebuah mobil yang modern, muncullah apa yang dikenal dengan mobil T. Kita bisa mencontoh om Mukibat, impiannya untuk mendapatkan hasil panen yang lebih besar mendorong dia untuk terus bereksperimen sehingga muncul jenis singkong yang dulu dikenal dengan ketela mukibat yang merupakan persilangan antara singkong dengan pohon karet.


Maman S Mahayana, Pramoedya Ananta Toer, Kho Ping Hoo, Henry Ford, dan Mukibat, semua itu manusia seperti kita. Meskipun ada yang makan roti campur keju dan ada juga yang makan singkong campur keju (kali), pada dasarnya mereka semua sama seperti anda, seperti saya, tapi bisa nggak kita ini menjadi seperti mereka? Cobalah.

No comments:

Post a Comment