Manusia hidup di dunia hanya sekedar mampir. Ada yang menyebutnya sekedar mampir untuk minum sebelum melanjutkan perjalanan. Perjalanan menuju tempat keabadian, yaitu alam akhirat. Namun, meskipun tahu seperti itu, masih kaget juga ketika teman, tetangga, atau saudara dekat kita meninggal. Lebih-lebih bila kita merasa usianya masih terlalu muda.
Saya mengalami hal seperti itu, saat istri tetangga belakang rumah meninggal empat hari yang lalu, Rabu 21 Juni 2006. Walaupun dia memang sudah lama sakit-sakitan dan beberapa kali (saya tahunya dua kali) dirawat di rumah sakit paru Cisarua, tetapi ketika malam-malam mendapat berita bahwa dia meninggal, tersentak juga saya. Begitu cepatnya Allah memanggilnya. Saya sadar bahwa dengan penyakit paru-parunya yang kronis, dengan tubuhnya yang akhirnya hanya tinggal tulang terbalut kulit, tidak aneh bila kematian bisa menjemputnya kapan saja. Bahkan dia sendiri merasakan hal tersebut. Sampai-sampai dia bilang bahwa tubuhnya ini hanya tinggal nyawa saja untuk menggambarkan keadaan tubuhnya yang begitu kurus.
Yang membuat saya begitu tersentuh adalah saat datang ke rumah duka. Melihat suaminya duduk bersandar di dinding dekat pintu sambil bengong dengan tatapan kosong di matanya. Air mata mengalir di pipinya tanpa terdengar suara tangisan. Tampak terlihat sedih dan begitu kehilangan. Barangkali dia bingung, bagaimana mengasuh keempat anaknya nanti tanpa istri yang mendampingi. Anaknya yang paling kecil sepantaran dengan Reyhan, anak saya yang kedua. Sedangkan anak pertamanya baru duduk di pesantren yang setara dengan SMP. Di sekelilingnya duduk para tetangganya. Pak Dhani, pak Sabar, pak Iwan. Mereka hanya bisa menghibur dan menenangkan. Bahkan kadang-kadang hanya diam tanpa kata.
Almarhumah ini bagaikan datang ke rumahnya hanya untuk mengantar kematian. Sebelumnya, semenjak pulang dari rumah sakit dia tinggal di rumah orang tuanya di daerah Gunung Bundar. Saat anaknya yang paling besar libur sekolah dan pulang, dia juga ingin pulang ke rumahnya sendiri di Darmaga Pratama. Nyatanya hanya sehari dia bisa menikmati tinggal di rumah sendiri. Hari kedua, Allah telah memanggil dia untuk tinggal di rumahNya. Dan rasanya begitu cepat sang Khalik mencabut nyawanya. Ketika malaikat pencabut nyawa mendatanginya jam 10 malam, dua jam sebelumnya dia masih mengajari anaknya mengaji. Pak Yulius, suaminya, bilang sambil menunjuk lantai dimana sebelumnya istrinya pernah duduk, “Padahal tadi, jam delapan, dia masih mengajari anak saya mengaji. Bilang bahwa nanti biar pintar mengaji.”
Para tetangga, termasuk saya, hanya bisa berdoa untuk keluarganya, terutama suaminya, semoga tetap tabah menghadapi cobaan hidup ini. Selamat jalan bu Yulius.
No comments:
Post a Comment