Ke mana anda tahun baru kemarin? Baik tahun baru 1 Muharram 1430 H maupun 1 Januari 2009. Apakah anda merayakannya dengan sebuah pesta, berkumpul atau justru tidak peduli? Bila yang anda lakukan adalah yang terakhir, berarti anda sama dengan saya. Tapi ada hal sebelum tahun baru yang sangat mengesankan juga membuat saya terheran-heran, yaitu ketika saya menemukan jenis masakan asli Indonesia. Hidangan itu bagi saya merupakan sebuah surprising haute cuisine. Apa itu?
Saya asli Indonesia. Makanan yang saya konsumsi sampai saat ini juga hidangan Indonesia meskipun kadang-kadang makanan asing saya santap pula. Anehnya, selalu ada saja kuliner Indonesia yang baru bagi saya dan membuat saya terpukau. Apakah anda pernah seperti itu? Saya yakin anda pasti pernah mengalaminya. Apalagi bila anda tipe orang yang pantatnya “lancip”, alias suka melancong wal khususon suka wisata kuliner. Dalam kesempatan ini saya akan cerita tentang dua jenis makanan yang mungkin buat anda, apalagi yang sehari-harinya ketemu dengan makanan itu, bukan merupakan santapan istimewa. Saya akan kisahkan bagaimana saya bisa bertemu dengan makanan yang, kalau dalam dunia mode ada istilah adibusana, bolehlah santapan ini saya sebut adiboga atau orang “sono” bilang haute cuisine. Setuju?
Beberapa waktu yang lalu saya ada kesempatan ke Jawa. Saya kadang heran dengan sebutan ini. Propinsi Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, DKI Jakarta, semua berada di Pulau Jawa. Namun bila orang dari Jakarta atau Jawa Barat pergi ke Jawa Tengah atau Jawa Timur mereka mengatakan pergi ke Jawa. Karena kebiasaan yang sudah lama berlangsung ini maka saya juga mengistilahkan perjalanan saya beberapa waktu yang lalu dengan pergi ke Jawa. Kepada beberapa teman saya katakan juga saat pamitan bahwa saya hendak ke Jawa. Inilah yang dikatakan salah kaprah oleh orang Jawa.
Tujuan saya adalah ke Wonosobo yang ada di kaki gunung Sumbing. Di sebuah desa bernama Talunombo yang masuk Kecamatan Sampuran Kabupaten Wonosobo, hajatan pernikahan salah seorang teman diadakan. Saya pernah ke Wonosobo, tetapi puluhan tahun yang lalu. Dan ini adalah perjalanan kedua saya ke tempat tersebut. Sekaligus sebagai pembangkit kenangan saya ketika dulu pertama mendaki gunung. Gunung itu adalah Sumbing.
Saya berangkat dari Bogor 26 Desember 2008. Bersama-sama rombongan dari Unpak dan menggunakan bis milik universitas itu, kami berangkat pukul 19.35 wib. Yang saya tidak sukai dari perjalanan malam adalah tidak bisa melihat pemandangan di sepanjang perjalanan. Untungnya teman saya membawa papan catur. Pemandangan sepanjang jalan yang hilang tergantikan dengan beberapa set permainan catur. Meskipun akhirnya permainan itu membuat saya pusing dan muntah-muntah.
Pagi hari rombongan sudah sampai di Ajibarang. Kemudian diputuskan untuk mencari sarapan dulu. Anggota rombongan kemudian menyebar mencari sarapan sesuai selera masing-masing. Sebuah rumah makan soto ayam dengan bangunannya yang kuno menarik perhatian saya. Bagi saya, sarapan soto ayam pasti nikmat setelah melakukan perjalanan jauh. Soto ayam memang salah satu makanan favorit saya. Harap anda ingat ya, bila ingin mentraktir saya, ajak saja saya makan soto ayam.
Saya masuk ke rumah makan itu. Penjualnya sedang menata puluhan mangkuk berderet-deret. Di dalamnya diisi dengan potongan ketupat, bihun, suwiran ayam, irisan telur, dan campuran yang lain. Ketika melihat isi dari mangkok, sempat timbul pertanyaan, “Soto ayam apa ini? Kok ada irisan ketupat segala.” Dengan memendam rasa penasaran, saya memesan masakan berkuah itu. Karena isinya sudah dipersiapkan sebelumnya, maka soto bisa cepat disajikan. Saya lihat penjualnya menuangkan kuah dan cairan kecoklatan ke dalam mangkok.
Saat semangkok soto ayam itu dihidangkan, keheranan saya semakin bertambah. Saya amati, selain ada kerupuk-kerupuk kecil berbentuk bintang dan pinggirnya warna-warni, ada saus kacang yang dituangkan di atas soto itu. Soto ayam plus saus kacang? Ini baru pertama buat saya. Saya ingin segera mencoba rasanya. Soto kemudian saya aduk. Dengan adanya saus kacang warna kuah soto menjadi coklat pekat dan terlihat seperti semangkok kolak. Seruputan pertama membuat saya menyimpulkan, soto ini lezat, tetapi bukan untuk saya. Kuahnya yang bercampur saus kacang menjadikan saya cepat eneg. Satu lagi dari keanekaragaman kuliner negeri sendiri yang saya temukan. Katanya, soto yang saya makan itu namanya Soto Sokaraja. Kenapa Soto Sokaraja ada di Ajibarang ya? Ah, sebuah pertanyaan bodoh. Soto Lamongan nyatanya ada di Bogor. Apalagi Soto Padang, dia ada di mana-mana, kecuali di bulan.
Selain Soto Sokaraja, ternyata saya menemukan hidangan penuh kejutan lainnya. Adiboga itu saya dapatkan di Desa Talunombo. Bila orang Padang menemukan masakan ini, pasti dia akan merasa bahwa itu santapannya. Masakan itu adalah sayur cabe. Benar, cabe yang dibuat oseng-oseng. Hebatnya lagi, oseng-oseng itu dicabein juga. Pedasnya? Ruaarrrrr biasa! Karena penasaran, saya sempatkan mencomot hidangan itu. Saya tidak berani mengambil banyak-banyak. Rasanya perut ini pasti akan protes bila saya isi terlalu banyak. Seperti yang sudah bisa diduga, rasanya bukan cuma pedas lagi. Kesimpulan saya, hanya orang-orang berperut tangguh sajalah yang cocok untuk hidangan itu. Dengan demikian, orang-orang Desa Talunombo pasti bukan orang sembarangan. Rupanya orang awak (Padang) punya saingan dari Pulau Jawa dalam hal mengkonsumsi cabe.
Secara kebetulan, teman yang asli desa itu kok ya mendapatkan suami yang keturunan Padang. Jadi cocoklah dalam hal mengkonsumsi sayur cabe yang dicabein itu. Mengenai nama dari sayur cabe itu, entah apa namanya. Saya sendiri saking terpukaunya tidak sempat menanyakan kepada teman saya itu atau penduduk asli lainnya.
Dua adiboga sudah mengejutkan saya, bahkan sayur cabe dari Desa Talunombo berhasil menguji nyali saya untuk mencoba. Saya yakin suatu saat pasti akan menemukan lagi masakan atau kudapan asli Indonesia yang di mata dan lidah saya masuk kategori surprising haute cuisine alias adiboga penuh kejutan. Bila anda siap terkejut dan berani menghadapi tantangan, jangan hindari makanan-makanan aneh yang anda temukan. Bila anda yakin masakan itu halal, embat saja. Toh paling-paling perutnya protes bila tidak cocok, atau nyengir-nyengir, atau mungkin mata jadi melotot. Saya pernah mengalami seperti itu ketika mencoba bunga Kecombrang.
No comments:
Post a Comment