Kadang-kadang saya merasa sebagai salah satu tokoh yang ada dalam buku Why Bad Things Happen to Good People yang kalau nggak salah karangan Brent L. Top. Mengapa justru hal-hal buruk terjadi pada mereka yang termasuk orang baik-baik? Orang-orang baik ini dalam hidupnya tidak pernah macam-macam, pantang neko-neko, dan sadar untuk tidak melakukan yang mboten-mboten. Namun nyatanya, justru orang jahatlah yang jarang tertimpa kesialan, musibah, kecelakaan, dan kayaknya nasib sial justru lebih sering menghampiri mereka yang hidupnya lurus-lurus saja. Anda sendiri kadang merasa nggak, seperti apa yang saya rasakan? Sial yang seolah-olah selalu membuntuti kita kemanapun kita pergi.
Barangkali perasaan ini berkesan menghakimi yang Maha Kuasa, memberi justifikasi bahwa kitalah yang benar, tidak seharusnya kesialan itu menimpa kita. Memang kadang-kadang manusia lupa jika itulah salah satu bentuk uji ketangkasan yang diberikan oleh Sang Pencipta. Ketangkasan mengarungi hidup bak jalur roller coaster. Seperti saya ini, kadang muncul pertanyaan di hati, kenapa orang-orang baik yang saya kenal begitu cepat menghilang. Berlalu dari kehidupan saya karena pindah ke tempat lain atau pindah ke akhirat alias meninggal.
Di sekitar rumah saya, ada berbagai macam orang. Mereka ada yang baik ada yang buruk perilakunya, di mata saya tentu saja. Buat saya mereka itu saya anggap sebagai bagian dari dunia saya. Apa yang mereka lakukan, memang seperti itulah yang seharusnya mereka kerjakan. Orang baik akan berbuat kebaikan, orang jahat bertindak jahat. Namun, saat orang-orang yang tidak baik itu berperilaku jahat terhadap saya, kadang saya bertanya dalam hati “Kenapa saya yang harus mengalaminya?” Begitu juga ketika orang-orang baik pindah rumah, mengapa kok orang-orang ini yang pergi dari lingkungan saya, kok bukan mereka yang jahat. Kok justru orang-orang jahat ini malah betah tinggal di sekeliling saya.
Tidak gampang memang menghadapi keadaan saat hal itu terjadi. Namun bila dipikir-pikir, hidup ini kan berputar. Bahasa klisenya ibarat roda. Roda apa aja deh, mau pedati boleh, mobil juga nggak masalah. Artinya, klise lagi (tapi emang benar), kadang di atas kadang di bawah, kadang enak kadang sengsara. Ada masanya kita ketimpa kesialan, ada saatnya juga kita mendapatkan keberuntungan. Nah, orang-orang yang tough dalam menghadapi dan akhirnya berhasil melewati masa sulit inilah yang nantinya akan menjadi orang-orang yang tangguh. Mungkin kita perlu ingat bahwa obat yang pahit itu ada manfaat yang menyertainya. Kemalangan yang menimpa kita akan memberikan hikmah yang bisa kita petik manfaatnya. Itu kalau kita berpikir positif. Bagaimana kalau yang ada hanya pikiran negatif? Tentu saja yang akan muncul adalah sumpah serapah, umpatan, mencari kambing hitam, atau bukan nggak mungkin akan ada piring terbang di dalam rumah. Hiya, piring terbang. Bukan piring terbangnya alien atau yang di amrik sono disebut dengan UFO, tapi piring beneran yang terbang kemana-mana dilempar orang yang tidak bisa mengendalikan emosinya ketika tertimpa musibah. Makanya, hati-hati dengan piring terbang yang satu ini. Kena jidat? Sudah pasti bocor lah.
Ada pelajaran menarik yang bisa kita peroleh saat menghadapi musibah, sial, bencana, dipermalukan, atau apapun lah istilahnya. Bahwa, musibah apapun yang kita hadapi saat ini cobalah untuk membayangkannya kita akan melihatnya di masa datang, sepuluh atau dua puluh tahun kemudian misalnya. Barangkali musibah yang menimpa kita yang pada saat kejadian kayaknya luar biasa, membuat kita merasa seolah-olah dunia mau kiamat, merasa sepertinya kitalah manusia tersial di dunia, dapat menjadi hal yang sederhana dan sepele di masa datang. Don’t Sweat the Small Stuff, itu kata Richard Carlson dalam bukunya yang berjudul sama. Bisa jadi kita akan geli sendiri, bila melihat reaksi yang kita berikan terhadap peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Ih norak ih, konyol banget, kok sampai segitunya saya pada saat itu, mungkin itu yang terlontar dari mulut anda. Dulu yang kayaknya mengerikan, ternyata sekarang bila dirasa-rasa lagi kayaknya biasa saja. Dulu, bagi laki-laki, disunat itu sangat mengerikan, ternyata sekarang nggak ada apa-apanya.
Pernah saat masih duduk di bangku smp dulu, ada kejadian yang mengerikan buat saya, saat itu tentu saja. Dan sekarang, bila mengingat hal itu lagi, kok jadi tersenyum sendiri. Geli dengan kondisi saya pada saat itu yang merasa bahwa awak ini jadi orang yang paling sengsara dan merana di muka bumi ini. Rasanya, kemalangan yang dialami orang lain tidak sedahsyat musibah yang menimpa saya. Kesengsaraan mereka belum ada apa-apanya bila dibandingkan dengan saya.
Peristiwa yang terjadi sih sebenarnya sederhana saja. Saya bisa bilang sederhana sekarang, tapi saya merasakan kejadian itu jadi complicated, ruwet, pada waktu itu. Saat pelajaran olah raga, saya beserta teman-teman disuruh membentuk barisan. Kami menjalankan perintah itu, sementara guru olahraga meninggalkan kami sebentar untuk sebuah keperluan. Ketika kami dalam posisi berbaris, lewatlah seorang guru, kalau nggak salah pak Yono namanya, agak jauh di depan kami. Karena teman-teman berisik dan saya lihat ada guru yang lewat, saya menyuruh teman-teman untuk diam dengan bilang “ssttt... ssttt... ssttt.” Rupanya guru tersebut mendengar dan jadi salah terima. Kemudian beliau meminta siapa yang bilang ‘ssttt’ tadi untuk datang ke kantor menghadapnya. Bila tidak ada yang mengaku, pak Yono mengancam tidak akan mau mengajar kelas kami lagi. Selesai pelajaran olahraga, dengan ketakukan saya masuk ruang guru menghadap pak Yono. Diomelin habis-habisan lah saya. Dengan bilang ‘ssttt’ pak Yono merasa dianggap seperti anjing yang sedang lewat. Aduh bapak, saya benar-benar minta maaf. Swear! Saya sama sekali tidak punya niat, terpikirkan pun tidak, untuk menyamakan bapak dengan anjing. Kalau bapak punya anjing piaraan, itu sih bukan urusan saya. Karena saya dianggap menganjingkan beliau, pak Yono menghukum saya dengan meminta tanda tangan dari tiga orang guru lainnya dengan sebelumnya mengisahkan kronologis kenapa saya perlu tanda tangan beliau-beliau ini. PET! Dunia jadi gelap saat itu. Matilah saya. Kiamat lokal terjadi dalam dunia kehidupan saya. Rasanya saya satu-satunya orang yang menderita di dunia ini. Was-was, degdegan, gemetar, keringat dingin, linglung, cengok, perut mules, semua campur aduk jadi satu. Rasanya pengen mati saja daripada harus menjalani hukuman yang memalukan sekaligus mengerikan ini. Apalagi setelah tahu salah satu guru yang harus saya mintai tanda tangan itu terkenal ganas (saking mengerikannya di mata saya). Saya merasa orangtua saya sendiri pun tidak sanggup menolong anaknya yang malang ini.
Bagaimana akhirnya? Sekarang saya bisa jawab dengan gagah, hukuman itu secara sukses saya jalankan dengan gemilang (bahasanya agak nggak beres ya?). Kalau tidak suskes, pasti saya tidak bisa cerita sekarang. Tiga tanda tangan keramat itu akhirnya berhasil saya peroleh dengan cucuran darah dan keringat di sepanjang jalan dan berhasil saya serahkan dengan tetap masih deg-degan, karena takut diberi bonus hukuman tambahan, kepada pak Yono. Peristiwa horor itu menghantui kehidupan saya selama satu minggu sesuai dengan batas waktu yang diberikan beliau untuk berburu tanda tangan penuh darah itu. Dahsyat banget ngepeknya terhadap kehidupan saya, kalau makan nggak bisa tidur, bila tidur nggak bisa dan nggak ingin makan.
Kengerian yang ditimbulkan oleh kejadian itu masih menguat walaupun peristiwanya sudah lewat. Seiring berjalannya waktu, kengerian itu lambat laun menghilang, sekarang berubah menjadi sebuah senyuman bila mengingatnya kembali, namun peristiwanya sendiri masih terpatri dalam-dalam dalam dalamnya hati secara mendalam dan dalam kedalaman memori yang paling dalam. Wuih! Bahasanya rek, kul habis.
Sengaja tulisan ini saya buat sebagai rasa simpati terhadap orang-orang yang terkena musibah dan mereka yang merasa dirinya paling sial karena musibah itu. Tabahlah, badai pasti berlalu. Merapi, Kelud dan konco-konconya yang laharnya dapat membunuh manusia akan meninggalkan tanah yang subur setelah letusan. Kesialan yang menimpa pasti ada hikmahnya. Menjadi orang yang sabar, tabah, dan tahan banting adalah contoh produk manusia yang dihasilkan dari kesialan.
Siapa contoh orang-orang yang tertimpa kesialan itu? Ya seperti saya inilah. Seluruh data saya yang tersimpan dalam hardisk musnah (sampai tulisan ini saya buat saya masih menganggapnya seperti itu) karena hardisk tersebut tidak terdeteksi atau tidak bisa dikenali. Saya sudah coba minta tolong jagoan komputer yang juga teman sekerja, pak Dian, ke reparasi komputer, ke jagoan komputer yang juga dosen IPB dan tetangga saya, pak Solah, mereka angkat tangan. Terpaksa saya beli hardisk baru dengan sengsara (karena harus ngutang sana-sini). Sebenarnya yang membuat saya sengsara adalah data-data saya itu. Masihkah bisa diselamatkan seluruh data berharga saya itu?
Begitu hardisk sudah diganti baru, e lha kok muncul kesialan baru. Ketika saya ngeset password di BIOS, rupanya ada tombol yang saya nggak sadar telah kepencet, sehingga begitu komputer dimatiin dan saya nyalain lagi password yang saya masukkan ditolak. Hasilnya, dengan sukses, komputer tidak bisa dibuka. Sampai sekarang! Rasanya komputer itu ingin saya tendang, saya kruwes-kruwes, saya banting, sampai hancur berantakan. Kalau komputernya hancur, malah jadi nggak punya komputer dong? Terus gimana coba?
Kalau saya diijinkan menyombongkan diri sebagai orang yang baik, maka saya akan tanya why bad things happen to good people (like me)?
No comments:
Post a Comment