Doyan stmj? Itu tuh minuman yang terbuat dari susu telur madu dan jahe. Kalau suka, itu wajar, karena minuman yang bagus untuk kesehatan tersebut memang manis dan menyegarkan. Rasanya mirip dengan bansus, atau bandrek susu. Apalagi kalau diminum saat suhu udara dingin, terasa hangat di badan.
Akan tetapi, hati-hati dengan stmj yang satu ini. Barang yang satu ini bukan bangsanya minuman, tapi sebuah perilaku yang sering kita jumpai dalam kehidupan. Bisa jadi perilaku stmj ini dijalani oleh orang terdekat kita, bisa teman, tetangga, atau anggota keluarga kita. Atau mungkin malahan kita sendiri yang melakukannya.
Waktunya sholat, pergi ke masjid. Saat Ramadhan, puasa. Punya rejeki lebih, berinfaq. Pergi haji ketika mampu, serta menjalankan bentuk ibadah lainnya.
Namun demikian, selain menjalankan itu semua, juga melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan atau yang dilarang agama. Temennya pada mabuk minuman, ikut mabuk. Ada dangdutan, ikut nyawer. Di tv lagi rame bola, nggak ketinggalan ikut taruhan. Lihat pohon buah tetangga lagi berbuah, ikut menikmati tanpa ijin. Dan masih banyak perbuatan sejenis yang dilakoni.
Janganlah kita memiliki perilaku tersebut. Dua-duanya dijalani. Dua dunia yang bertolak belakang. Sayang kan kalau niat suci kita untuk beribadah jadi ternoda. Amal soleh yang kita jalani tidak ada nilainya. Ibarat orang mengambil air dengan saringan santan. Upaya sia-sia yang tidak menghasilkan apa-apa.
Bila anda berperilaku seperti hal tersebut, itulah yang dinamakan dengan stmj. Bukan susu telur madu jahe, tapi ‘sholat tetep, maksiat jalan terus’. Mau? Jangan dong.
Sunday, September 30, 2007
Wednesday, September 26, 2007
Biar Miskin Asal Sombong
Hebat bener prinsip yang jadi judul di atas. Kalo anda punya prinsip seperti itu juga, ati-ati, there’s something wrong inside (in you). Meskipun aneh, menggelikan, nggak masuk akal, mau-maunya, gebleg (pake ‘g’ bukan ‘k’ krena saking mantebnya), kira-kira sebutan apa lagi ya pas untuk prinsip itu menurut anda?, nyatanya ada juga orang yang berprinsip ajaib seperti itu. Nggak tau kenapa bisa terjadi. Barangkali karena otaknya sudah tidak berfungsi lagi, ato bahasa Arabnya mengalami disorder wal disfunction. Wawahua’lambisowab.
Di bulan puasa ini, nggak ada salah dan ruginya ngomongin tentang sombong. Ini bukan ghibah lho. Tapi kalo anda menuduh saya seperti itu, ya... whatever you say lah. Cuman, cuman nih, jangan salahin saya kalo akibatnya anda nggak mau mbaca tulisan ini, terus jadi nggak ngerti (sok amat ya yang nulis ini) apa itu sombong and-so-on-and-so-on. Bahasa sopirnya, resiko ditanggung penumpang. Dalam hatinya, sopir bilang, “Emang enak jadi penumpang”.
Sombong ini merupakan salah satu penyakit hati yang amat merugikan. Banyak efek negatif yang dapat ditimbulkan olehnya. Dari yang sekedar dijauhin orang sampe dipukulin massa. Lha gimana tidak dijauhin kalo setiap tampil selalu menyombongkan segala yang dia miliki. Pun gimana masyarakat nggak sebel sampai ujung-ujungnya menjadi muntab (marah banget) dan akhirnya nggebukin si sombong kalo setiap ada hanya kecongkakan saja yang ditampilkan, baik omongan maupun tindakan. Kalo itu yang terjadi, ya bisa jadi banyak orang akan bersyukur. Nyukurin atas nasibnya. Sokor lu, sokor lu, rasain lu... be-gi-tu-lah bunyinya.
Emang, banyak hal yang dapat memicu munculnya penyakit hati ini. Dari segala yang kita miliki, kalo tidak waspada, bisa saja akan menjadikan kita orang yang sombong. Pengen contoh? Gampang. Banda misalnya. Eh, banda itu bahasa Indonesia bukan sih? Maksud saya dengan banda di sini ni kekayaan. Percaya nggak kalo kaya itu bisa bikin sombong? So pasti lah. Orang kaya monyet aja bisa sombong. Buktinya, ada sinetron yang tokohnya mirip monyet, dan dia bangga main sinetron (ya iya lah, bukan karena kaya monyet yang dibanggakan, tapi bangga karena menjadi pemain sinetron. Jaka sembung main palu, nggak nyambung deh lu). Tapi emang bener, percayalah sama saya. Kalo kekayaan yang kita miliki tidak kita gunakan dengan sebenar-benarnya, ya kesombonganlah yang akan muncul. Apalagi kalo anda terlanjur terlahir dari orang yang dari sononya sudah terlanjur kaya dan susah miskin, makin rentan menjadi sombong karena harta yang dimiliki itu. Anda jadi makin susah bisa merasakan susahnya jadi orang susah yang serba susah yang mau ngapa-ngapain susah. Bener-bener susah.
Kepandaian juga bisa menjadi contoh lain yang menjadi penyebab munculnya sifat sombong. Banyak, eh ada, orang pandai yang seperti minyak dengan air kalo berhadapan dengan orang awam. Alergi kalo harus berinteraksi dengan masyarakat yang di mata dia bukan levelnya karena kebodohannya. Akibat kesombongannya, sori-sori aja kalo harus berhubungan dengan orang-orang bodoh itu, gitu katanya. Bagi yang bukan orang pinter, apa nggak menyakitkan kelakuan kayak gitu? Makanya, kalo anda pinter, jadilah seperti padi. Ilmu padi itu ilmunya orang-orang cerdik pandai yang arif bijaksana. Makin berisi, makin menunduklah itu padi. Makin pinter, makin merendahlah diri orang pinter itu. Dia tidak mau menyombongkan dengan pengetahuan yang dimiliki meskipun, misalnya, hanya dia pemilik satu-satunya di dunia ini. Tuh, apa nggak hebat.
Keturunan (ningrat misalnya), anak, jabatan, negara asal, dan masih banyak lagi, silakan didaftar sendiri, adalah contoh-contoh lain yang bisa menjadi bensin bagi api kesombongan yang ada dalam hati ini. Jadi, be careful guys. Gara-gara sombong juga, iblis diusir dari surga. Merasa lebih baik karena diciptakan dari api dibandingkan Adam a.s. yang dari tanah, iblis menjadi sombong dan tidak sudi bersujud di hadapan nabi utusan Allah ini. Karena kesombongannya, iblis membangkang Sang Penciptanya. Dan, terusirlah dia dari surga dan segala kenikmatannya. Alangkah hinanya. Kalo anda Islam, ato pengen tau tentang nasib iblis itu, coba deh buka Al Qur’an surat ash-Shad ayat 75-78. Nggak usahlah terusir dari surga, diusir dari rumah saja bisa terasa seperti masuk neraka. Betul?
Mumpung masih Ramadhan. Mumpung masih masuk bulan diskon, dimana segala ibadah yang dilakukan akan berlipat-lipat pahalanya, segeralah buang jauh-jauh segala sifat sombol baik yang baru berupa kecambah maupun (apalagi) yang sudah berbentuk pohon kesombongan yang sudah berakar kuat dalam hati kita. Saat ini, puasa sudah masuk ke sepertiga yang kedua. Apa artinya? Berarti kita masuk periode magfirah atau pengampunan setelah melewati periode 10 hari pertama yang penuh rahmat. Mohonlah ampun kepada sang Khaliq atas segala unsur sombong yang ada dalam hati. Dengan demikian, hati ini jadi fitri lagi, jadi bersih kembali. Sehingga, 10 hari yang ketiga atau periode pembebasan dari neraka benar-benar bisa kita masuki dengan sukses.
So what? Ya kembalilah ke jalan yang benar. Jadilah orang yang rendah hati. Nggak ada gunanya bersifat dan bersikap sombong. Masih mending sombong kalo ada dan emang pantas untuk disombongkan meskipun nggak baik juga menyombongkan yang baik-baik. Namanya juga sombong, sekalipun yang disombongkan itu sesuatu yang baik, ya tetep nggak baik juga.
Boleh-boleh saja berbangga dengan segala yang kita miliki. Asal tidak berlebihan. Sebab, tipis sekali batas antara bangga dengan sombong. Kalo tidak hati-hati, porsi bangga itu bisa melewati garis dan masuk ke dalam sebuah kesombongan. Semakin tinggi ilmu dan iman seseorang, semakin halus dan tersembunyi rasa sombongnya. Lain halnya dengan orang awam yang sombong, lebih mudah terdeteksi karena kesombongan mereka biasa diucapkan secara lahir.
Begitu juga, bolehlah kita membanggakan harta yang kita miliki. Kita bangga punya kekayaan sehingga lebih banyak kesempatan (dalam harta) untuk beramal dibandingkan orang-orang kere yang ada di sekeliling kita. Cukup. Cukup sampai sebatas itu saja. Tapi kalo anda miskin seperti saya ini, ya harap tau dirilah. Jangan sampai kita dengar perkataan orang mengenai diri kita, “Hla ini? Sudah miskin, sombong lagi. T-e-r-l-a-l-u”. Dan, jangan pernah, berkeinginan pun jangan, punya prinsip ‘biar miskin asal sombong’. Kalo anda nekad, berarti anda, T-E-R-L-A-L-U.
Di bulan puasa ini, nggak ada salah dan ruginya ngomongin tentang sombong. Ini bukan ghibah lho. Tapi kalo anda menuduh saya seperti itu, ya... whatever you say lah. Cuman, cuman nih, jangan salahin saya kalo akibatnya anda nggak mau mbaca tulisan ini, terus jadi nggak ngerti (sok amat ya yang nulis ini) apa itu sombong and-so-on-and-so-on. Bahasa sopirnya, resiko ditanggung penumpang. Dalam hatinya, sopir bilang, “Emang enak jadi penumpang”.
Sombong ini merupakan salah satu penyakit hati yang amat merugikan. Banyak efek negatif yang dapat ditimbulkan olehnya. Dari yang sekedar dijauhin orang sampe dipukulin massa. Lha gimana tidak dijauhin kalo setiap tampil selalu menyombongkan segala yang dia miliki. Pun gimana masyarakat nggak sebel sampai ujung-ujungnya menjadi muntab (marah banget) dan akhirnya nggebukin si sombong kalo setiap ada hanya kecongkakan saja yang ditampilkan, baik omongan maupun tindakan. Kalo itu yang terjadi, ya bisa jadi banyak orang akan bersyukur. Nyukurin atas nasibnya. Sokor lu, sokor lu, rasain lu... be-gi-tu-lah bunyinya.
Emang, banyak hal yang dapat memicu munculnya penyakit hati ini. Dari segala yang kita miliki, kalo tidak waspada, bisa saja akan menjadikan kita orang yang sombong. Pengen contoh? Gampang. Banda misalnya. Eh, banda itu bahasa Indonesia bukan sih? Maksud saya dengan banda di sini ni kekayaan. Percaya nggak kalo kaya itu bisa bikin sombong? So pasti lah. Orang kaya monyet aja bisa sombong. Buktinya, ada sinetron yang tokohnya mirip monyet, dan dia bangga main sinetron (ya iya lah, bukan karena kaya monyet yang dibanggakan, tapi bangga karena menjadi pemain sinetron. Jaka sembung main palu, nggak nyambung deh lu). Tapi emang bener, percayalah sama saya. Kalo kekayaan yang kita miliki tidak kita gunakan dengan sebenar-benarnya, ya kesombonganlah yang akan muncul. Apalagi kalo anda terlanjur terlahir dari orang yang dari sononya sudah terlanjur kaya dan susah miskin, makin rentan menjadi sombong karena harta yang dimiliki itu. Anda jadi makin susah bisa merasakan susahnya jadi orang susah yang serba susah yang mau ngapa-ngapain susah. Bener-bener susah.
Kepandaian juga bisa menjadi contoh lain yang menjadi penyebab munculnya sifat sombong. Banyak, eh ada, orang pandai yang seperti minyak dengan air kalo berhadapan dengan orang awam. Alergi kalo harus berinteraksi dengan masyarakat yang di mata dia bukan levelnya karena kebodohannya. Akibat kesombongannya, sori-sori aja kalo harus berhubungan dengan orang-orang bodoh itu, gitu katanya. Bagi yang bukan orang pinter, apa nggak menyakitkan kelakuan kayak gitu? Makanya, kalo anda pinter, jadilah seperti padi. Ilmu padi itu ilmunya orang-orang cerdik pandai yang arif bijaksana. Makin berisi, makin menunduklah itu padi. Makin pinter, makin merendahlah diri orang pinter itu. Dia tidak mau menyombongkan dengan pengetahuan yang dimiliki meskipun, misalnya, hanya dia pemilik satu-satunya di dunia ini. Tuh, apa nggak hebat.
Keturunan (ningrat misalnya), anak, jabatan, negara asal, dan masih banyak lagi, silakan didaftar sendiri, adalah contoh-contoh lain yang bisa menjadi bensin bagi api kesombongan yang ada dalam hati ini. Jadi, be careful guys. Gara-gara sombong juga, iblis diusir dari surga. Merasa lebih baik karena diciptakan dari api dibandingkan Adam a.s. yang dari tanah, iblis menjadi sombong dan tidak sudi bersujud di hadapan nabi utusan Allah ini. Karena kesombongannya, iblis membangkang Sang Penciptanya. Dan, terusirlah dia dari surga dan segala kenikmatannya. Alangkah hinanya. Kalo anda Islam, ato pengen tau tentang nasib iblis itu, coba deh buka Al Qur’an surat ash-Shad ayat 75-78. Nggak usahlah terusir dari surga, diusir dari rumah saja bisa terasa seperti masuk neraka. Betul?
Mumpung masih Ramadhan. Mumpung masih masuk bulan diskon, dimana segala ibadah yang dilakukan akan berlipat-lipat pahalanya, segeralah buang jauh-jauh segala sifat sombol baik yang baru berupa kecambah maupun (apalagi) yang sudah berbentuk pohon kesombongan yang sudah berakar kuat dalam hati kita. Saat ini, puasa sudah masuk ke sepertiga yang kedua. Apa artinya? Berarti kita masuk periode magfirah atau pengampunan setelah melewati periode 10 hari pertama yang penuh rahmat. Mohonlah ampun kepada sang Khaliq atas segala unsur sombong yang ada dalam hati. Dengan demikian, hati ini jadi fitri lagi, jadi bersih kembali. Sehingga, 10 hari yang ketiga atau periode pembebasan dari neraka benar-benar bisa kita masuki dengan sukses.
So what? Ya kembalilah ke jalan yang benar. Jadilah orang yang rendah hati. Nggak ada gunanya bersifat dan bersikap sombong. Masih mending sombong kalo ada dan emang pantas untuk disombongkan meskipun nggak baik juga menyombongkan yang baik-baik. Namanya juga sombong, sekalipun yang disombongkan itu sesuatu yang baik, ya tetep nggak baik juga.
Boleh-boleh saja berbangga dengan segala yang kita miliki. Asal tidak berlebihan. Sebab, tipis sekali batas antara bangga dengan sombong. Kalo tidak hati-hati, porsi bangga itu bisa melewati garis dan masuk ke dalam sebuah kesombongan. Semakin tinggi ilmu dan iman seseorang, semakin halus dan tersembunyi rasa sombongnya. Lain halnya dengan orang awam yang sombong, lebih mudah terdeteksi karena kesombongan mereka biasa diucapkan secara lahir.
Begitu juga, bolehlah kita membanggakan harta yang kita miliki. Kita bangga punya kekayaan sehingga lebih banyak kesempatan (dalam harta) untuk beramal dibandingkan orang-orang kere yang ada di sekeliling kita. Cukup. Cukup sampai sebatas itu saja. Tapi kalo anda miskin seperti saya ini, ya harap tau dirilah. Jangan sampai kita dengar perkataan orang mengenai diri kita, “Hla ini? Sudah miskin, sombong lagi. T-e-r-l-a-l-u”. Dan, jangan pernah, berkeinginan pun jangan, punya prinsip ‘biar miskin asal sombong’. Kalo anda nekad, berarti anda, T-E-R-L-A-L-U.
Thursday, September 20, 2007
Pondok kok Halimun
Buat yang nunggu-nunggu cerita ini, sori, baru sekarang diterbitkan. Maklum, pengen memberi kesan terlihat sibuk (sok banget ya). Meskipun terjadinya Agustus kemarin, saya rasa masih hot juga. Apalagi untuk mereka yang suka jalan-jalan dan terutama yang terlibat langsung dalam kisah ini. Bener nggak? Kalo nggak awas, saya tunggu di perempatan!
Kenapa obyek tersebut dinamakan Pondok Halimun (PH)? Pondok kok halimun. Apa pondoknya terbuat dari halimun? Apa halimunnya suka mondok? Ato pondoknya mirip halimun? Mungkin ada pondok yang selalu diselimuti halimun? Barangkali pondoknya punya halaman penuh limun? Idih belibet banget ya? (nggak juga!) Tapi yang pasti, emang itulah yang membuat saya penasaran dan pengen nyambangin tempat itu. Dan akhirnya keinginan itu bisa terlaksana pada 4-5 Agustus 2007 kemarin.
Perjalanannya sendiri dimulai 3 Agustus. Sesuai rencana, yang pengen ikut kumpul di BEC. Kali ini sengaja berangkat sore karena mau nginep dulu di rumah Junot (Sukabumi). Jam 16.35 wib akhirnya kami berangkat. Peserta yang ikut saya, Danang, Junot, Viena serta dua temennya Ardi dan Ray.
Setelah turun dari angkot 03 di depan Hero, kami menunggu Idan dulu sebelum cabut naik angkutan setan (meskipun kami bukan gerombolan setan). Angkutan setan ato sering disingkat angset ini adalah kendaraan umum jenis Colt L300 yang pengemudinya suka ngebut gila-gilaan mirip setan, seolah semua pedal yang ada di bawah kakinya pedal gas semua. Emang setan suka ngebut ya? Tak tau lah. Begitu Idan yang tidak edan ini nyampe dari Jakarta, kami langsung naik angset ke Sukabumi. Saat itu jam 17.45 wib.
Saya lebih banyak bengong dan ndengerin obrolan mereka di angkot sambil menikmati perjalanan malam. Keuntungan jalan malam selain tidak semacet kalo siang, juga tidak panas. Jam 19.50 angset saya melewati pasar Cisaat. Ternyata dari pertigaan pasar itu, dekat kantor polisi, arah menuju Situgunung. Oo... di situ toh tempatnya Situgunung. Kata penumpang lain yang ada di angset, dari pertigaan itu ke Situgunung angkotnya hanya Rp. 2000. Cukup murah. Saya sering (nggak banget) dengar nama Situgunung tapi nggak tau di mana tempatnya. Sekarang sudah tahu, dan, tunggu kedatanganku Situgunung. I’ll visit you someday cieee...
Nggak lama kemudian angset masuk kota Sukabumi. Cisaat emang pinggiran kotanya penggemar fanatik saya Desy Ratnasari ini (bo’ong ding). Kami turun di depan gedung perkantoran bertingkat (tauk lupa namanya). Dari situ masih harus berjalan lagi melewati mesjid agung kemudian alun-alun untuk menuju depan superkampret Yogya yang dekat apotik Kimia Farma. Saya lihat jam tangan saya menunjukkan pukul 20.10 wib sebelum naik angkot Selabintana ke rumah Junot. Rumah dia memang arah ke obyek wisata itu. Dan kebun teh Selabintana merupakan salah satu jalur masuk menuju Pondok Halimun. Hah? Pondok Halimun? (*megangin kedua pipi, mulut ngangap, mata melotot, muka mupeng*). Hanya memerlukan waktu limabelas menit dan ongkos Rp. 2000 untuk sampe ke rumah Junot. Jam 20.25 wib sudah nyampe ke rumah dia. Jarak Sukabumi sampai ke Selabintana sendiri 7 km, dari Selabintana ke PH 2 km.
Kedatangan kami disambut keluarga besar Junot, teh manis panas, makanan kecil dan makan besar. Baik bener ya. Nggak ada cerita mandi, paling cuci muka doang. Sapa yang mo mandi malam-malam di daerah yang dingin. Situ mau? Rumah Junot ada di desa Selawi Tiga ato kadang disebut Kerawang. Saya nggak mau tau kenapa kok namanya bisa dua gitu (lagian sapa yang nanyain?). Setelah ngembat segala yang disuguhkan, sholat, dan ngobrol bentar, saya berangkat tidur. Badan harus fit untuk persiapan perjalanan panjang esok hari.
Paginya, kejutan menarik telah menanti. Sepiring kue tradisional dihidangkan untuk menemani hangatnya teh nasgithel. Tau nggak artinya nasgithel? Saya nggak nanya situ yang orang Eropa eh Jawa! Nasgithel itu artinya panas, manis dan kental. Sebenarnya sih teh yang disuguhkan tidak kental-kental amat. Sengaja, agar lebih mendramatisir, saya sebut aja nasgithel. Balik ke kue tradisional. Waktu saya tanya apa nama kue tersebut, ternyata eksotik bener (sebenarnya apa sih arti eksotik?) terdengar di telinga saya, d-o-d-o-n-g-k-a-l. Tampilannya juga seksi banget, putih mulus dengan semburat coklat tua (yang ternyata gula jawa) dimana-mana, ditambah dengan taburan kelapa parut yang sudah dikupas kulitnya. Hmmm... delisies maaannn. Rasanya sendiri mirip-mirip kue putu. Tapi, karena tampilannya yang menarik, kue ini poinnya setingkat lebih tinggi dan rasanya, mak nyuus.
Perut kami semua full setelah ngembat habis dodongkal (yang di kepala saya kok kemudian muncul kata dongok dan dongkol) dan dilanjutkan dengan main course sarapan yang sebenar-benarnya. Nasi dan segala lauk pauknya. Acara dilanjutkan dengan merapikan segala perbekalan, bersiap-siap berangkat ke PH.
4 Agustus 2007, jam 8.35 wib, berangkat dari rumah Junot menuju Selabintana dengan angkot. Cuma perlu lima menit untuk sampe tujuan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak bebatuan masuk ke kebun teh. Sebagaimana kebun teh yang lain, hamparan pepohonan teh menghijau yang ada di setiap ujung pandangan sungguh menyejukkan. Teriknya sinar matahari pagi tidak begitu terasa karenanya. Meskipun jalannya berkelok dan bercabang-cabang, saya nggak khawatir tersesat. Ada orang lokal yang menjadi guide saya. Ya si Junot itu. Untung ada dia. Kalo nggak, bisa jadi saya dan temen-temen yang lain akan muter-muter sampe celeng di kebun teh yang maha luas itu. Makasih Junot. Meskipun kayaknya kamu jarang mandi, tapi kamu baik hati.
Berkat pengalaman sang guide juga, perjalanan menyusuri kebun dapat diselesaikan dengan sukses. Kami sempat beberapa kali istirahat setelah jalan beberapa saat. Menikmati hijaunya pemandangan, menghirup segarnya udara pegunungan, dan mengambil gambar adalah kegiatan yang kami lakukan saat istirahat. Kapan lagi bisa memanjakan mata dengan warna hijau menyegarkan, menjejali paru-paru sepuas-puasnya dengan membuka hidung selebar-lebarnya saat menghirup oksigen yang jauh dari polusi knalpot, dan jadi selebriti dadakan meniru pose artis idola saat difoto. Di tengah kebun teh yang habis dipangkas, dan duduk di atas pohon teh yang rantingnya tajam-tajam sehingga membuat kami meringis menahan sakit. Puas dah.
Pukul 10.30 wib, berarti setelah kira-kira selama 1 jam 50 menit menyusuri kebun teh, akhirnya kami sampai di bibir hutan. Sebelum masuk ke dalamnya, kami sempatkan istirahat sambil merapikan bawaan. Perjalanan masuk hutan lebih menyenangkan lagi. Beda saat jalan di tengah kebun teh tadi, kali ini kepala kami dipayungi rimbunnya pepohonan yang menjulang. Adem rasanya. Apalagi jalannya berupa batu yang disusun rata dan rapi. Namun demikian, saya lebih senang kalo jalannya berupa tanah liat, pake becek dan bekas dikorek-korek babi hutan juga boleh.
Duapuluh lima menit kemudian sampailah di pertigaan yang ada pos penjagaan. Dari pertigaan itu kalo ke kiri menuju camping ground, yang belok kanan ke curug Cibeureum. Seperti biasa, mumpung ketemu tempat buat nge-break (istirahat), beban yang nempel terus di punggung kayak pacet segera saya turunkan. Punggung yang mulai bengkok segera saya luruskan lagi. Lumayan juga bawa-bawa carrier yang beratnya ada 15 kiloan. Setelah acara lapor dan bayar tiket masuk, kesempatan ini saya gunakan mengorek informasi dari petugas jaga. Rupanya, penyedia yang juga pengurus bumi perkemahan di PH lebih dari satu. Mereka yang ngapling-ngapling gunungnya rakyat Indonesia adalah:
1. Taman Nasional Gn. Gede-Pangrango sendiri,
2. Cipelang yang milik Perum Perhutani,
3. Kabayan yang dikelola penduduk setempat,
4. Goal Para, juga dikelola orang lokal,
5. Elang Jawa, lokal juga,
6. Bumi Perkemahan Diparda (kalo nggak salah Dinas Pariwisata Daerah deh).
Sekarang tinggal pilih mau yang mana. Cuma jangan heran kalo bingung nentuin bates-batesnya. Kami sendiri sempat diusir. Katanya tempat yang tadinya mau kami pake buat ngecamp masuk wilayah mereka. Untungnya tenda belum sempat kami bongkar dan dirikan.
Ongkos yang harus dibayar di pos jaga ada biaya berkemah Rp. 3500 /malam/orang, Rp. 3000 untuk ke curug Cibeureum, dan Rp. 4500 untuk paket combo (camping semalem dan ke curug). Karena kami ingin camping dan lihat curug juga, maka paket combo itulah yang kami bayar. Setelah uang dibayarkan, baru saya mikir kenapa mesti milih combo ya. Emang ketahuan apa kalo misalnya hanya bayar untuk tiket curug saja tanpa bayar yang untuk berkemah? Untungnya bisikan setan itu tidak saya layani, sebab ternyata paginya setan eh petugasnya lewat dekat tempat kami berkemah.
Di pos itu kami bertemu juga dengan rombongan lain dari Jakarta. Nggak tau Jakarta mana. Dan kami foto bareng-bareng di depan pos buat kenangan. Lumayan, nambah kenalan. Sapa tahu nanti pas perlu nyari utangan, sudah ada calon yang bisa dijadiin korban. Setelah jepret sana jepret sini, cari pose yang pas, acara kemudian dilanjutkan dengan jalan ke curug Cibeureum. Agar tidak terlalu berat, semua barang kecuali kamera dan tas pinggang isi uang yang tidak seberapa dititipkan di pos. Berangkat ke curug tepat jam 10.55 wib.
Jalanan ke curug sama seperti tadi saat menuju ke pos, bebatuan disusun rapi, berkelok, dan naik turun. Cukuplah buat ngeluarin keringat. Masih mending beban berat sudah ditinggal di pos sehingga langkah kaki ini agak cepat tapi santai. Jam 11.25 wib curug sudah di depan mata. Curug itu terlihat menjulang. Ketinggiannya mencapai 15 meter. Tempat di sekitar jatuhnya air diselimuti uap air yang terbentuk dari air curug yang terhembus angin. Akibatnya, udara jadi terasa dingin. Pengunjung yang datang pada mandi, termasuk rombongan mahasiswa IPDN, seolah-olah tidak merasakan dinginnya air. Rupanya, kecuali saya dan Viena, yang lain juga tergoda untuk masuk ke air mencoba kesaktian dengan menyerahkan kepala dan punggungnya kejatuhan air terjun. Saya sendiri lebih memilih menikmati cilok (aci dicolok) isi daging ayam dan ikan, makanan mirip baso, yang hangat dan baunya sangat merangsang. Ada penjualnya di dekat situ yang sabar tapi pasti menunggu calon pembeli. Biarin aja yang lain berdingin-dingin dengan main air, saya berhangat-hangat dengan menyantap cilok yang baru diangkat dari panci.
Pulang dari curug, nggak lupa kami berfoto-fotoan sepanjang jalan. Harap maklum saja, sebagian (ato semua?) dari kami termasuk golongan narsis. Sebagai orang yang peduli lingkungan, kami juga coba memunguti sampah-sampah yang dibuang sembarangan dan dikumpulkan di tong sampah dekat pos penjagaan. Saat mengumpulkan sampah itu, saya nemu buah yang sudah kering sebesar buah rambutan dan bentuknya juga mirip. Bedanya adalah rambutnya keras dan tajam banget. Karena penasaran, saya bawa buah duri landak itu. Saat sampe di pos saya tanyakan ke petugas dan namanya ternyata buah saninten. Konon buah itu yang dikonsumsi sebagai pengganti beras oleh orang-orang Indonesia yang lari ke dalam hutan saat penjajahan Jepang. Katanya sih isinya mirip sagu. Sayangnya buah saninten yang saya bawa sudah kering dan tidak ada isinya.
Sampai di pos lagi jam 13.00 wib. Barang-barang yang tadinya dititipkan, kami ambil kembali. Selesai beres-beres dan setelah istirahat sebentar, juga tidak lupa mengucapkan terima kasih, kami jalan lagi menuju camping ground. Sekarang, jalur yang ke arah kiri yang diambil. Melalui pemilahan dan pemilihan tempat, dua puluh menit kemudian kami putuskan mendirikan tenda di pinggir sungai dekat camping ground III. Sebenarnya yang terjadi kenapa akhirnya kami memilih tempat itu adalah karena di tempat sebelumnya kami mendirikan tenda ketemu dengan teman lama. Pacet. Meskipun cuma dua ekor yang kelihatan, tapi itu sudah cukup untuk memutuskan pindah tempat. Saya nggak rela dan nggak ikhlas harus donor darah di tengah hutan. Bukan masalah takut terhadap pacet, tapi geli ato ada ungkapan yang pas dalam bahasa Sunda, geuleuh, itu lho. Udah kulitnya basah mengkilat, berlendir, bisa memanjang-memendek, ngisep darah lagi.
Pembagian tugas dimulai. Sebagian nyari kayu bakar. Satu-satunya cewek, Viena, nyiapin makan. Sebagian yang lain, termasuk saya, masang tenda. Menjelang petang, semua sudah siap. Kayu bakar untuk api unggun nanti malam sudah tersedia. Mi instan pengganjal perut sudah siap. Dua tenda juga sudah berdiri semua. Tinggal apa lagi? Kami main kartu untuk membunuh waktu. Malam yang senyap kami habiskan dengan bersenang-senang. Badan yang jadi bau sangit karena ngangkangin api unggun nggak kami pedulikan. Kunang-kunang juga nggak peduli tampaknya. Mereka berterbangan di sekeliling tenda. Jika langit di atas kami dihiasi dengan taburan bintang, pekatnya malam di sekeliling tenda juga penuh dengan kerlap-kerlip bintang berujud kunang-kunang. Alunan musik dari gemericik air sungai di samping tenda menjadi latar indahnya malam bertabur bintang dan kunang-kunang.
5 Agustus 2007 pagi menjelang. Jam baru menunjukkan pukul 4.30 wib. Udara masih dingin. Saya keluar tenda dan berkeliling di sekitarnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Bara sisa api unggun semalam masih ada. Untuk menjadikannya api, saya perlu kayu bakar lagi. Rupanya hangatnya api menarik orang-orang yang masih tidur pada bangun dan mendekat mengelilingi api unggun. Dengan mata yang sipit kurang tidur dan muka kucel, kami mengadakan upacara menghangatkan badan.
Sarapan pagi sudah tersaji. Biasa, menu wajib saat camping, mi instan. Kalo sekedar ngganjal perut, cukuplah dengan sepiring mi, sekerat roti, dan secangkir teh nasgithel. Hari ini kami mau pulang. Sudah puas semaleman ngeringkuk dalam sleeping bag yang hangat dan meskipun tanpa mimpi indah. Tenda dan segala macemnya diberesin. Semuanya masuk ke dalam tempatnya masing-masing. Backpack dan carrier sudah gendut lagi terisi barang-barang yang harus dibawa pulang. Kami, kayaknya sudah menjadi ritual, foto-fotoan dulu sebelum meninggalkan lokasi.
Jam 10.20 wib kami berangkat pulang. Kami tidak balik lagi ke jalan yang kemarin dilewati. Sekarang ke arah pintu gerbang PH. Dua puluh lima menit kemudian kami sudah sampai di pintu gerbang. Dari situ mesti jalan lagi sekitar dua/tiga menit untuk sampai ke lapangan parkir. Banyak anak-anak smp bergerombol menunggu mobil jemputan. Rupanya semalem mereka mengadakan persami (perkemahan Sabtu malam Minggu) dan sekarang waktunya pulang. Banyak angkot warna merah tapi mereka sudah dipesan oleh anak-anak smp itu. Daripada nunggu yang nggak pasti, kami putuskan untuk jalan. Kembali kami jalan di tengah kebun teh, namun sekarang jalannya sudah diaspal. Jalur itu emang untuk kendaraan yang mau ke PH. Kami istirahat di dekat pos jaga yang menyetop kendaraan yang mau masuk PH, setelah jalan selama satu jam.
Nggak lama kemudian ada mobil bak terbuka yang menurunkan orang-orang kampung yang akan main sepak bola. Entah dimana lapangannya. Junot melobi sopirnya dan, dia mau nganterin kami sampai ke pertigaan jalan yang dilewati angkot Selabintana-Sukabumi, yang dikenal dengan pertigaan Warnasari, Nyang Kokot (mungkin nama orang di dekat pertigaan itu), atau belokan Warnasari. Kami saweran seribuan untuk diberikan pak sopir sebagai bentuk terima kasih karena telah bersedia kami tumpangi (mobilnya maksudnya). Dari situ kemudian nyambung angkot jurusan Sukabumi. Junot turun dekat rumahnya dan kami bablas ke Sukabumi kota yang selanjutnya disambung dengan angset menuju Bogor. Tapi tunggu bentar, sebelum pulang ke Bogor, kami melampiaskan dendam dulu di restoran Padang dekat alun-alun dan sholat lohor di masjid agung.
Jam 13.00 wib kami naik angset, jam 15.10 wib tiba dengan selamat di terminal Baranangsiang. Bogoooorrrrrrrrrr.... wie hom.
Kenapa obyek tersebut dinamakan Pondok Halimun (PH)? Pondok kok halimun. Apa pondoknya terbuat dari halimun? Apa halimunnya suka mondok? Ato pondoknya mirip halimun? Mungkin ada pondok yang selalu diselimuti halimun? Barangkali pondoknya punya halaman penuh limun? Idih belibet banget ya? (nggak juga!) Tapi yang pasti, emang itulah yang membuat saya penasaran dan pengen nyambangin tempat itu. Dan akhirnya keinginan itu bisa terlaksana pada 4-5 Agustus 2007 kemarin.
Perjalanannya sendiri dimulai 3 Agustus. Sesuai rencana, yang pengen ikut kumpul di BEC. Kali ini sengaja berangkat sore karena mau nginep dulu di rumah Junot (Sukabumi). Jam 16.35 wib akhirnya kami berangkat. Peserta yang ikut saya, Danang, Junot, Viena serta dua temennya Ardi dan Ray.
Setelah turun dari angkot 03 di depan Hero, kami menunggu Idan dulu sebelum cabut naik angkutan setan (meskipun kami bukan gerombolan setan). Angkutan setan ato sering disingkat angset ini adalah kendaraan umum jenis Colt L300 yang pengemudinya suka ngebut gila-gilaan mirip setan, seolah semua pedal yang ada di bawah kakinya pedal gas semua. Emang setan suka ngebut ya? Tak tau lah. Begitu Idan yang tidak edan ini nyampe dari Jakarta, kami langsung naik angset ke Sukabumi. Saat itu jam 17.45 wib.
Saya lebih banyak bengong dan ndengerin obrolan mereka di angkot sambil menikmati perjalanan malam. Keuntungan jalan malam selain tidak semacet kalo siang, juga tidak panas. Jam 19.50 angset saya melewati pasar Cisaat. Ternyata dari pertigaan pasar itu, dekat kantor polisi, arah menuju Situgunung. Oo... di situ toh tempatnya Situgunung. Kata penumpang lain yang ada di angset, dari pertigaan itu ke Situgunung angkotnya hanya Rp. 2000. Cukup murah. Saya sering (nggak banget) dengar nama Situgunung tapi nggak tau di mana tempatnya. Sekarang sudah tahu, dan, tunggu kedatanganku Situgunung. I’ll visit you someday cieee...
Nggak lama kemudian angset masuk kota Sukabumi. Cisaat emang pinggiran kotanya penggemar fanatik saya Desy Ratnasari ini (bo’ong ding). Kami turun di depan gedung perkantoran bertingkat (tauk lupa namanya). Dari situ masih harus berjalan lagi melewati mesjid agung kemudian alun-alun untuk menuju depan superkampret Yogya yang dekat apotik Kimia Farma. Saya lihat jam tangan saya menunjukkan pukul 20.10 wib sebelum naik angkot Selabintana ke rumah Junot. Rumah dia memang arah ke obyek wisata itu. Dan kebun teh Selabintana merupakan salah satu jalur masuk menuju Pondok Halimun. Hah? Pondok Halimun? (*megangin kedua pipi, mulut ngangap, mata melotot, muka mupeng*). Hanya memerlukan waktu limabelas menit dan ongkos Rp. 2000 untuk sampe ke rumah Junot. Jam 20.25 wib sudah nyampe ke rumah dia. Jarak Sukabumi sampai ke Selabintana sendiri 7 km, dari Selabintana ke PH 2 km.
Kedatangan kami disambut keluarga besar Junot, teh manis panas, makanan kecil dan makan besar. Baik bener ya. Nggak ada cerita mandi, paling cuci muka doang. Sapa yang mo mandi malam-malam di daerah yang dingin. Situ mau? Rumah Junot ada di desa Selawi Tiga ato kadang disebut Kerawang. Saya nggak mau tau kenapa kok namanya bisa dua gitu (lagian sapa yang nanyain?). Setelah ngembat segala yang disuguhkan, sholat, dan ngobrol bentar, saya berangkat tidur. Badan harus fit untuk persiapan perjalanan panjang esok hari.
Paginya, kejutan menarik telah menanti. Sepiring kue tradisional dihidangkan untuk menemani hangatnya teh nasgithel. Tau nggak artinya nasgithel? Saya nggak nanya situ yang orang Eropa eh Jawa! Nasgithel itu artinya panas, manis dan kental. Sebenarnya sih teh yang disuguhkan tidak kental-kental amat. Sengaja, agar lebih mendramatisir, saya sebut aja nasgithel. Balik ke kue tradisional. Waktu saya tanya apa nama kue tersebut, ternyata eksotik bener (sebenarnya apa sih arti eksotik?) terdengar di telinga saya, d-o-d-o-n-g-k-a-l. Tampilannya juga seksi banget, putih mulus dengan semburat coklat tua (yang ternyata gula jawa) dimana-mana, ditambah dengan taburan kelapa parut yang sudah dikupas kulitnya. Hmmm... delisies maaannn. Rasanya sendiri mirip-mirip kue putu. Tapi, karena tampilannya yang menarik, kue ini poinnya setingkat lebih tinggi dan rasanya, mak nyuus.
Perut kami semua full setelah ngembat habis dodongkal (yang di kepala saya kok kemudian muncul kata dongok dan dongkol) dan dilanjutkan dengan main course sarapan yang sebenar-benarnya. Nasi dan segala lauk pauknya. Acara dilanjutkan dengan merapikan segala perbekalan, bersiap-siap berangkat ke PH.
4 Agustus 2007, jam 8.35 wib, berangkat dari rumah Junot menuju Selabintana dengan angkot. Cuma perlu lima menit untuk sampe tujuan. Perjalanan kemudian dilanjutkan dengan menyusuri jalan setapak bebatuan masuk ke kebun teh. Sebagaimana kebun teh yang lain, hamparan pepohonan teh menghijau yang ada di setiap ujung pandangan sungguh menyejukkan. Teriknya sinar matahari pagi tidak begitu terasa karenanya. Meskipun jalannya berkelok dan bercabang-cabang, saya nggak khawatir tersesat. Ada orang lokal yang menjadi guide saya. Ya si Junot itu. Untung ada dia. Kalo nggak, bisa jadi saya dan temen-temen yang lain akan muter-muter sampe celeng di kebun teh yang maha luas itu. Makasih Junot. Meskipun kayaknya kamu jarang mandi, tapi kamu baik hati.
Berkat pengalaman sang guide juga, perjalanan menyusuri kebun dapat diselesaikan dengan sukses. Kami sempat beberapa kali istirahat setelah jalan beberapa saat. Menikmati hijaunya pemandangan, menghirup segarnya udara pegunungan, dan mengambil gambar adalah kegiatan yang kami lakukan saat istirahat. Kapan lagi bisa memanjakan mata dengan warna hijau menyegarkan, menjejali paru-paru sepuas-puasnya dengan membuka hidung selebar-lebarnya saat menghirup oksigen yang jauh dari polusi knalpot, dan jadi selebriti dadakan meniru pose artis idola saat difoto. Di tengah kebun teh yang habis dipangkas, dan duduk di atas pohon teh yang rantingnya tajam-tajam sehingga membuat kami meringis menahan sakit. Puas dah.
Pukul 10.30 wib, berarti setelah kira-kira selama 1 jam 50 menit menyusuri kebun teh, akhirnya kami sampai di bibir hutan. Sebelum masuk ke dalamnya, kami sempatkan istirahat sambil merapikan bawaan. Perjalanan masuk hutan lebih menyenangkan lagi. Beda saat jalan di tengah kebun teh tadi, kali ini kepala kami dipayungi rimbunnya pepohonan yang menjulang. Adem rasanya. Apalagi jalannya berupa batu yang disusun rata dan rapi. Namun demikian, saya lebih senang kalo jalannya berupa tanah liat, pake becek dan bekas dikorek-korek babi hutan juga boleh.
Duapuluh lima menit kemudian sampailah di pertigaan yang ada pos penjagaan. Dari pertigaan itu kalo ke kiri menuju camping ground, yang belok kanan ke curug Cibeureum. Seperti biasa, mumpung ketemu tempat buat nge-break (istirahat), beban yang nempel terus di punggung kayak pacet segera saya turunkan. Punggung yang mulai bengkok segera saya luruskan lagi. Lumayan juga bawa-bawa carrier yang beratnya ada 15 kiloan. Setelah acara lapor dan bayar tiket masuk, kesempatan ini saya gunakan mengorek informasi dari petugas jaga. Rupanya, penyedia yang juga pengurus bumi perkemahan di PH lebih dari satu. Mereka yang ngapling-ngapling gunungnya rakyat Indonesia adalah:
1. Taman Nasional Gn. Gede-Pangrango sendiri,
2. Cipelang yang milik Perum Perhutani,
3. Kabayan yang dikelola penduduk setempat,
4. Goal Para, juga dikelola orang lokal,
5. Elang Jawa, lokal juga,
6. Bumi Perkemahan Diparda (kalo nggak salah Dinas Pariwisata Daerah deh).
Sekarang tinggal pilih mau yang mana. Cuma jangan heran kalo bingung nentuin bates-batesnya. Kami sendiri sempat diusir. Katanya tempat yang tadinya mau kami pake buat ngecamp masuk wilayah mereka. Untungnya tenda belum sempat kami bongkar dan dirikan.
Ongkos yang harus dibayar di pos jaga ada biaya berkemah Rp. 3500 /malam/orang, Rp. 3000 untuk ke curug Cibeureum, dan Rp. 4500 untuk paket combo (camping semalem dan ke curug). Karena kami ingin camping dan lihat curug juga, maka paket combo itulah yang kami bayar. Setelah uang dibayarkan, baru saya mikir kenapa mesti milih combo ya. Emang ketahuan apa kalo misalnya hanya bayar untuk tiket curug saja tanpa bayar yang untuk berkemah? Untungnya bisikan setan itu tidak saya layani, sebab ternyata paginya setan eh petugasnya lewat dekat tempat kami berkemah.
Di pos itu kami bertemu juga dengan rombongan lain dari Jakarta. Nggak tau Jakarta mana. Dan kami foto bareng-bareng di depan pos buat kenangan. Lumayan, nambah kenalan. Sapa tahu nanti pas perlu nyari utangan, sudah ada calon yang bisa dijadiin korban. Setelah jepret sana jepret sini, cari pose yang pas, acara kemudian dilanjutkan dengan jalan ke curug Cibeureum. Agar tidak terlalu berat, semua barang kecuali kamera dan tas pinggang isi uang yang tidak seberapa dititipkan di pos. Berangkat ke curug tepat jam 10.55 wib.
Jalanan ke curug sama seperti tadi saat menuju ke pos, bebatuan disusun rapi, berkelok, dan naik turun. Cukuplah buat ngeluarin keringat. Masih mending beban berat sudah ditinggal di pos sehingga langkah kaki ini agak cepat tapi santai. Jam 11.25 wib curug sudah di depan mata. Curug itu terlihat menjulang. Ketinggiannya mencapai 15 meter. Tempat di sekitar jatuhnya air diselimuti uap air yang terbentuk dari air curug yang terhembus angin. Akibatnya, udara jadi terasa dingin. Pengunjung yang datang pada mandi, termasuk rombongan mahasiswa IPDN, seolah-olah tidak merasakan dinginnya air. Rupanya, kecuali saya dan Viena, yang lain juga tergoda untuk masuk ke air mencoba kesaktian dengan menyerahkan kepala dan punggungnya kejatuhan air terjun. Saya sendiri lebih memilih menikmati cilok (aci dicolok) isi daging ayam dan ikan, makanan mirip baso, yang hangat dan baunya sangat merangsang. Ada penjualnya di dekat situ yang sabar tapi pasti menunggu calon pembeli. Biarin aja yang lain berdingin-dingin dengan main air, saya berhangat-hangat dengan menyantap cilok yang baru diangkat dari panci.
Pulang dari curug, nggak lupa kami berfoto-fotoan sepanjang jalan. Harap maklum saja, sebagian (ato semua?) dari kami termasuk golongan narsis. Sebagai orang yang peduli lingkungan, kami juga coba memunguti sampah-sampah yang dibuang sembarangan dan dikumpulkan di tong sampah dekat pos penjagaan. Saat mengumpulkan sampah itu, saya nemu buah yang sudah kering sebesar buah rambutan dan bentuknya juga mirip. Bedanya adalah rambutnya keras dan tajam banget. Karena penasaran, saya bawa buah duri landak itu. Saat sampe di pos saya tanyakan ke petugas dan namanya ternyata buah saninten. Konon buah itu yang dikonsumsi sebagai pengganti beras oleh orang-orang Indonesia yang lari ke dalam hutan saat penjajahan Jepang. Katanya sih isinya mirip sagu. Sayangnya buah saninten yang saya bawa sudah kering dan tidak ada isinya.
Sampai di pos lagi jam 13.00 wib. Barang-barang yang tadinya dititipkan, kami ambil kembali. Selesai beres-beres dan setelah istirahat sebentar, juga tidak lupa mengucapkan terima kasih, kami jalan lagi menuju camping ground. Sekarang, jalur yang ke arah kiri yang diambil. Melalui pemilahan dan pemilihan tempat, dua puluh menit kemudian kami putuskan mendirikan tenda di pinggir sungai dekat camping ground III. Sebenarnya yang terjadi kenapa akhirnya kami memilih tempat itu adalah karena di tempat sebelumnya kami mendirikan tenda ketemu dengan teman lama. Pacet. Meskipun cuma dua ekor yang kelihatan, tapi itu sudah cukup untuk memutuskan pindah tempat. Saya nggak rela dan nggak ikhlas harus donor darah di tengah hutan. Bukan masalah takut terhadap pacet, tapi geli ato ada ungkapan yang pas dalam bahasa Sunda, geuleuh, itu lho. Udah kulitnya basah mengkilat, berlendir, bisa memanjang-memendek, ngisep darah lagi.
Pembagian tugas dimulai. Sebagian nyari kayu bakar. Satu-satunya cewek, Viena, nyiapin makan. Sebagian yang lain, termasuk saya, masang tenda. Menjelang petang, semua sudah siap. Kayu bakar untuk api unggun nanti malam sudah tersedia. Mi instan pengganjal perut sudah siap. Dua tenda juga sudah berdiri semua. Tinggal apa lagi? Kami main kartu untuk membunuh waktu. Malam yang senyap kami habiskan dengan bersenang-senang. Badan yang jadi bau sangit karena ngangkangin api unggun nggak kami pedulikan. Kunang-kunang juga nggak peduli tampaknya. Mereka berterbangan di sekeliling tenda. Jika langit di atas kami dihiasi dengan taburan bintang, pekatnya malam di sekeliling tenda juga penuh dengan kerlap-kerlip bintang berujud kunang-kunang. Alunan musik dari gemericik air sungai di samping tenda menjadi latar indahnya malam bertabur bintang dan kunang-kunang.
5 Agustus 2007 pagi menjelang. Jam baru menunjukkan pukul 4.30 wib. Udara masih dingin. Saya keluar tenda dan berkeliling di sekitarnya untuk mengumpulkan kayu bakar. Bara sisa api unggun semalam masih ada. Untuk menjadikannya api, saya perlu kayu bakar lagi. Rupanya hangatnya api menarik orang-orang yang masih tidur pada bangun dan mendekat mengelilingi api unggun. Dengan mata yang sipit kurang tidur dan muka kucel, kami mengadakan upacara menghangatkan badan.
Sarapan pagi sudah tersaji. Biasa, menu wajib saat camping, mi instan. Kalo sekedar ngganjal perut, cukuplah dengan sepiring mi, sekerat roti, dan secangkir teh nasgithel. Hari ini kami mau pulang. Sudah puas semaleman ngeringkuk dalam sleeping bag yang hangat dan meskipun tanpa mimpi indah. Tenda dan segala macemnya diberesin. Semuanya masuk ke dalam tempatnya masing-masing. Backpack dan carrier sudah gendut lagi terisi barang-barang yang harus dibawa pulang. Kami, kayaknya sudah menjadi ritual, foto-fotoan dulu sebelum meninggalkan lokasi.
Jam 10.20 wib kami berangkat pulang. Kami tidak balik lagi ke jalan yang kemarin dilewati. Sekarang ke arah pintu gerbang PH. Dua puluh lima menit kemudian kami sudah sampai di pintu gerbang. Dari situ mesti jalan lagi sekitar dua/tiga menit untuk sampai ke lapangan parkir. Banyak anak-anak smp bergerombol menunggu mobil jemputan. Rupanya semalem mereka mengadakan persami (perkemahan Sabtu malam Minggu) dan sekarang waktunya pulang. Banyak angkot warna merah tapi mereka sudah dipesan oleh anak-anak smp itu. Daripada nunggu yang nggak pasti, kami putuskan untuk jalan. Kembali kami jalan di tengah kebun teh, namun sekarang jalannya sudah diaspal. Jalur itu emang untuk kendaraan yang mau ke PH. Kami istirahat di dekat pos jaga yang menyetop kendaraan yang mau masuk PH, setelah jalan selama satu jam.
Nggak lama kemudian ada mobil bak terbuka yang menurunkan orang-orang kampung yang akan main sepak bola. Entah dimana lapangannya. Junot melobi sopirnya dan, dia mau nganterin kami sampai ke pertigaan jalan yang dilewati angkot Selabintana-Sukabumi, yang dikenal dengan pertigaan Warnasari, Nyang Kokot (mungkin nama orang di dekat pertigaan itu), atau belokan Warnasari. Kami saweran seribuan untuk diberikan pak sopir sebagai bentuk terima kasih karena telah bersedia kami tumpangi (mobilnya maksudnya). Dari situ kemudian nyambung angkot jurusan Sukabumi. Junot turun dekat rumahnya dan kami bablas ke Sukabumi kota yang selanjutnya disambung dengan angset menuju Bogor. Tapi tunggu bentar, sebelum pulang ke Bogor, kami melampiaskan dendam dulu di restoran Padang dekat alun-alun dan sholat lohor di masjid agung.
Jam 13.00 wib kami naik angset, jam 15.10 wib tiba dengan selamat di terminal Baranangsiang. Bogoooorrrrrrrrrr.... wie hom.
Saturday, September 15, 2007
Camping Nyasar
Pernah mengalami camping nyasar nggak? Saya pernah. Dan itu terjadi belum lama. Kenapa saya katakan camping nyasar, karena tidak sesuai dengan tujuan awal sebelumnya.
Awalnya saya mau mengajak camping anak-anak dan maknya di Curug Cilember. Mumpung mereka pada libur sekolah. Saya bahkan melakukan survei untuk memastikan pada saat nanti acara bisa berjalan dengan baik. Tapi yang terjadi benar-benar di luar perhitungan. Dikatakan seneng ya seneng, dibilang menjengkelkan ya bisa saja kalau mau dibuat jengkel. Namun buat saya, apapun yang terjadi, itu merupakan pengalaman yang tidak terlupakan.
Sebelum berangkat camping benerannya, yang dilakukan tanggal 7 Juli, saya sama Danang berangkat camping survei ke Curug Cilember pada 30 Juni. Sesuai janji saya datang ke BEC untuk njemput Danang. Dasar orang nggak jelas, e lha kok dianya malah main ke lapangan Sempur ketika saya datang. Saya telepon Danang. Dengan santainya dia menjawab, “Kirain siang pak.” Sontoloyo! Nggak, saya nggak marah. Cuma heran saja, kok ada ya orang pelupa seperti itu. (Saya sendiri termasuk pelupa nggak ya? Kayaknya hiya deh.)
Akhirnya Danang datang. Ternyata dia main sama Teguh. Katanya habis nyobain panjat tebing. Panjat tebing kok dicobain. Emang biskuit? Setelah dia selesai melakukan persiapan kilat (karena hanya memasukkan baju ganti ke dalam backpacknya) kami berangkat naik angkot 02 jurusan Sukasari. Kebetulan pak Biyo yang rumahnya Cisarua mau pulang jadi sekalian bareng naik angkot yang sama. Tapi ternyata dia turun di BIP mau nemuin anaknya dulu. Sementara saya dan Danang baru turun di depan kantor pos dekat kampus Triguna. Dari situ nyambung angkot jurusan Cisarua.
Sempat bingung juga mau turun mana, gapura oranye yang ada tulisannya Desa Cilember atau pertigaan dekat sate Kadir. Untungnya ada bapak-bapak yang ngasih tahu supaya turun di dekat sate Kadir saja karena disitu lebih dekat. Tinggal nyambung ojek Rp 5000 untuk ke Curug Cilember. Angkotnya sendiri dari Sukasari Rp 4000 dan perlu waktu 50 menit untuk sampai di pertigaan sate Kadir.
Kalau bukan karena belum pernah, saya lebih memilih jalan kaki daripada naik ojek. Sayang sekali panorama yang indah sepanjang jalan menuju curug saya lewatkan begitu saja. Makanya saya ngomong sama Danang saat pulangnya nanti supaya jalan kaki. Saya ingin menikmati hijaunya sawah dan pepohonan lainnya. Selain badan jadi sehat, kan ngirit juga. Lumayan kan.
Naik ojek ternyata mengerikan juga. Tanjakan yang begitu curam benar-benar menguji nyali. Bagi mereka para tukang ojek tentu menganggapnya biasa saja, tapi bagi saya, bikin deg-degan. Telat dikit saja ganti kopling, nggelondor deh. Buktinya saat jalan pulang esok harinya, ada motor yang merosot turun. Untungnya sempat ditahan.
Sepuluh menit kemudian sampai di loket pembayaran. Di situ tertulis tarif yang harus dibayar: lokal Rp 5000, turis Rp 20.000, camping Rp 9500, hiking Rp 10.000. Kadang saya heran, kenapa turis asing harus membayar lebih mahal. Kenapa bukannya justru dimurahin saja biar lebih banyak yang datang, atau setidaknya dibikin sama sajalah. Nggak ngerti saya kebijakan pengelola obyek pariwisata di sini.
Saya dan Danang masuk ke lokasi wisata Curug Cilember. Ternyata di dalam ada doom yang dijadikan taman kupu-kupu dengan tiket masuk, lagi-lagi dibedakan, lokal Rp 4000 turis Rp 6000. Di lokasi berkemah dekat curug 7 ada permainan flying fox yang harus bayar Rp 10.000 untuk mencobanya. Saya beranikan diri mencoba esok harinya saat mau pulang. Deg-degan juga, terutama ketika sudah mau sampai. Meluncurnya jadi makin kenceng.
Di obyek wisata ini sih katanya ada tujuh curug. Tapi sayang tidak ada tulisan atau tanda yang menunjukkan air terjun yang dikunjungi itu curug yang ke berapa. Cuma ada satu tanda di dekat curug yang pertama kali saya temui dengan tulisan curug 7. Itupun sebagian orang ada yang menyebutnya curug 1 bukan 7. Mana yang benar coba?
Di dekat curug 7 memang ada tempat untuk mendirikan tenda, tapi anehnya sebagian sudah diisi dengan tenda-tenda yang disewakan. Saya sempat tanyakan biaya sewanya. Ukuran 4x6m Rp 200.000 (sehari)/Rp 100.000 (1/2 hari), 3x4m Rp 150.000/Rp 50.000, 2x3m Rp 80.000/Rp 35.000. Barangkali akan membantu bagi pengunjung yang ingin berkemah tapi nggak bawa tenda. Buat saya, jadi menyebalkan.
Saya naik terus melihat semua air terjun yang ada. saya nggak tahu curug yang saya datangi itu curug apa atau yang keberapa. Bingung bingung deh. Akhirnya diputuskan mendirikan tenda di dekat sungai yang berasal dari curug yang paling akhir ditemui. Di lokasi tersebut cuma ada dua kapling untuk mendirikan tenda. Yang menarik dari tempat tersebut adalah adanya pohon-pohon pinus. Saya paling senang camping di rerimbunan hutan pinus. Namun, ternyata saya dan Danang masuk perangkap. Lho, kok?
Daun-daun kering pohon pinus yang sudah busuk berwarna coklat kehitaman. Bentuknya panjang seperti daun cemara. Warna dan bentuknya itulah yang ternyata menyamarkan keberadaan gerombolan pacet yang warna dan bentuknya mirip. Oh my god, ternyata saya ada dalam kerajaan pacet. Saya dan Danang harus waspada. Mata mesti jelalatan untuk mengamati keberadaan pacet jahanam. Meskipun sudah waspada dan mata mau copot, kami tetap saja menjadi korban kebiadaban gerombolan pacet. Saya dan Danang memiliki skor yang sama. Total pacet yang nempel termasuk di leher saya ada 10 ekor. Danang juga sama, ada 10 pacet. Dia juga ketempelan di lehernya.
Sayang saya nggak doyan pacet, kalo iya, saya makan tuh pacet-pacet. Yang membuat saya gondok adalah pacet yang nggigit di sela jari kaki saya. Itu memang yang saya khawatirkan. Ee.. lha kok digigit beneran. Dendam banget deh. Padahal saya sudah super waspada dalam beberapa menit mengamati jari-jari kaki. Emang sudah nasib kali. Untung tidak dapat diraih, sial tidak dapat ditolak. Datang tidak diundang, pulang tidak diantar. Emang jalangkung?
Setelah semalaman merenungi nasib dikerubutin pacet, paginya beres-beres tenda dan segala peralatan. Hari itu, Minggu 1 Juli 2007, siap pulang. Jalan yang saya ambil jalan yang kemarin siang saya liat. Setapak, menurun, terlihat gampang. Awalnya sih emang iya, gampang. Lama-kelamaan, ternyata menurun dan becek sekali. Semalem emang agak gerimis, dan pasti beberapa hari belakangan hujan terus. Dari rimbunnya pepohonan di sepanjang jalan, ketahuan kalo jalur itu jarang dilalui. Dan, ini yang jadi horor, saya harus sering memelototkan mata mengawasi serangan pacet. Mereka ada di balik dedaunan siap menyerbu. Kaos lengan panjang yang saya pakai tidak bisa menjamin keamanan. Nyatanya lengan saya kena pacet juga. Meski pakai sepatu dan kaos kaki serta celana panjang, tetep aja ada pacet naik ke kaki. Buru-buru aja pacet sialan itu saya buang dan segera celana bagian bawah saya masukkan ke kaos kaki, persis kayak tentara kompeni.
Akhirnya, dengan selamat kami keluar dari kerajaan pacet dan sampai di pintu gerbang jam 10.38 wib. Sesuai rencana kemarin, saya dan Danang jalan kaki menuju jalan raya Cisarua. Saya mau menikmati indahnya pemandangan di kiri kanan jalan. Saat sampe di persawahan yang menghijau, saya sempatkan berfoto-foto. Nggak terasa pertigaan sate Kadir sudah di depan mata. Jam 11.20 saya sampai di tempat itu, nama desanya ternyata Jogjogan. Sebelum naik angkot ke arah Bogor, saya dan Danang ngamuk dulu di restoran Padang yang ada di pinggir jalan dekat pertigaan itu.
Seminggu kemudian (7/7/o7), saya datangi lagi kerajaan pacet itu. Kali ini bersama keluarga saya. Mantan pacar dan dua jagoan ganteng saya. Saya sudah janjian dengan bu Endang dan konco-konconya ketemu di lokasi perkemahan yang ada di dekat curug 7. Saat turun angkot di pertigaan sate Kadir, saya nyambung ojeg menuju lokasi wisata curug Cilember. Mengulangi minggu kemarin, saya sport jantung lagi bersama tukang ojeg mendaki tanjakan gila. Begitu sampe di pintu gerbang Cilember ternyata bu Endang sudah nunggu. Segera dia mengajak saya untuk pindak lokasi. Empat tenda yang sudah dia dirikan diminta untuk dibongkar sama orang yang mengaku telah membooking tempat itu. Nggak tahu gimana urusannya, bu Endang bilang kalo petugas loket telah memberikan ijin dan mengatakan kalo tempat tersebut bisa dipakai. Karena nggak ingin rame, tempat tersebut dikembalikan dan sebagian uang tiket diminta lagi.
Setelah pembongkaran empat tenda beres, kami berangkat. Dengan menggunakan empat mobil rombongan menuju desa Citeko. Ternyata yang dituju adalah sebuah vila dua lantai milik adik temennya bu Endang. Vila tersebut memiliki lapangan rumput luas yang bisa digunakan untuk camping. Lima tenda didirikan. Kami semua camping dengan fasilitas kolam renang, tiga kamar mandi (yang dua mewah), tv kabel Indovision, makanan mewah yang melimpah-limpah, dua satpam, seorang juru masak. Sebuah kemewahan yang saya dan istri tidak bisa nikmati. Bukan itu yang kami cari. Melainkan liarnya alam, gelapnya langit yang dihiasi bintang-bintang, hijaunya hutan, dan segarnya air sungai.
Sebelum pulang esoknya, kami sempatkan mampir dulu ke Cilember untuk main flying fox. Gara-gara nyemutnya orang-orang yang ingin berkemah karena memang lagi libur sekolah, saya jadi nyasar camping di depan sebuah vila mewah. Pufff...
Awalnya saya mau mengajak camping anak-anak dan maknya di Curug Cilember. Mumpung mereka pada libur sekolah. Saya bahkan melakukan survei untuk memastikan pada saat nanti acara bisa berjalan dengan baik. Tapi yang terjadi benar-benar di luar perhitungan. Dikatakan seneng ya seneng, dibilang menjengkelkan ya bisa saja kalau mau dibuat jengkel. Namun buat saya, apapun yang terjadi, itu merupakan pengalaman yang tidak terlupakan.
Sebelum berangkat camping benerannya, yang dilakukan tanggal 7 Juli, saya sama Danang berangkat camping survei ke Curug Cilember pada 30 Juni. Sesuai janji saya datang ke BEC untuk njemput Danang. Dasar orang nggak jelas, e lha kok dianya malah main ke lapangan Sempur ketika saya datang. Saya telepon Danang. Dengan santainya dia menjawab, “Kirain siang pak.” Sontoloyo! Nggak, saya nggak marah. Cuma heran saja, kok ada ya orang pelupa seperti itu. (Saya sendiri termasuk pelupa nggak ya? Kayaknya hiya deh.)
Akhirnya Danang datang. Ternyata dia main sama Teguh. Katanya habis nyobain panjat tebing. Panjat tebing kok dicobain. Emang biskuit? Setelah dia selesai melakukan persiapan kilat (karena hanya memasukkan baju ganti ke dalam backpacknya) kami berangkat naik angkot 02 jurusan Sukasari. Kebetulan pak Biyo yang rumahnya Cisarua mau pulang jadi sekalian bareng naik angkot yang sama. Tapi ternyata dia turun di BIP mau nemuin anaknya dulu. Sementara saya dan Danang baru turun di depan kantor pos dekat kampus Triguna. Dari situ nyambung angkot jurusan Cisarua.
Sempat bingung juga mau turun mana, gapura oranye yang ada tulisannya Desa Cilember atau pertigaan dekat sate Kadir. Untungnya ada bapak-bapak yang ngasih tahu supaya turun di dekat sate Kadir saja karena disitu lebih dekat. Tinggal nyambung ojek Rp 5000 untuk ke Curug Cilember. Angkotnya sendiri dari Sukasari Rp 4000 dan perlu waktu 50 menit untuk sampai di pertigaan sate Kadir.
Kalau bukan karena belum pernah, saya lebih memilih jalan kaki daripada naik ojek. Sayang sekali panorama yang indah sepanjang jalan menuju curug saya lewatkan begitu saja. Makanya saya ngomong sama Danang saat pulangnya nanti supaya jalan kaki. Saya ingin menikmati hijaunya sawah dan pepohonan lainnya. Selain badan jadi sehat, kan ngirit juga. Lumayan kan.
Naik ojek ternyata mengerikan juga. Tanjakan yang begitu curam benar-benar menguji nyali. Bagi mereka para tukang ojek tentu menganggapnya biasa saja, tapi bagi saya, bikin deg-degan. Telat dikit saja ganti kopling, nggelondor deh. Buktinya saat jalan pulang esok harinya, ada motor yang merosot turun. Untungnya sempat ditahan.
Sepuluh menit kemudian sampai di loket pembayaran. Di situ tertulis tarif yang harus dibayar: lokal Rp 5000, turis Rp 20.000, camping Rp 9500, hiking Rp 10.000. Kadang saya heran, kenapa turis asing harus membayar lebih mahal. Kenapa bukannya justru dimurahin saja biar lebih banyak yang datang, atau setidaknya dibikin sama sajalah. Nggak ngerti saya kebijakan pengelola obyek pariwisata di sini.
Saya dan Danang masuk ke lokasi wisata Curug Cilember. Ternyata di dalam ada doom yang dijadikan taman kupu-kupu dengan tiket masuk, lagi-lagi dibedakan, lokal Rp 4000 turis Rp 6000. Di lokasi berkemah dekat curug 7 ada permainan flying fox yang harus bayar Rp 10.000 untuk mencobanya. Saya beranikan diri mencoba esok harinya saat mau pulang. Deg-degan juga, terutama ketika sudah mau sampai. Meluncurnya jadi makin kenceng.
Di obyek wisata ini sih katanya ada tujuh curug. Tapi sayang tidak ada tulisan atau tanda yang menunjukkan air terjun yang dikunjungi itu curug yang ke berapa. Cuma ada satu tanda di dekat curug yang pertama kali saya temui dengan tulisan curug 7. Itupun sebagian orang ada yang menyebutnya curug 1 bukan 7. Mana yang benar coba?
Di dekat curug 7 memang ada tempat untuk mendirikan tenda, tapi anehnya sebagian sudah diisi dengan tenda-tenda yang disewakan. Saya sempat tanyakan biaya sewanya. Ukuran 4x6m Rp 200.000 (sehari)/Rp 100.000 (1/2 hari), 3x4m Rp 150.000/Rp 50.000, 2x3m Rp 80.000/Rp 35.000. Barangkali akan membantu bagi pengunjung yang ingin berkemah tapi nggak bawa tenda. Buat saya, jadi menyebalkan.
Saya naik terus melihat semua air terjun yang ada. saya nggak tahu curug yang saya datangi itu curug apa atau yang keberapa. Bingung bingung deh. Akhirnya diputuskan mendirikan tenda di dekat sungai yang berasal dari curug yang paling akhir ditemui. Di lokasi tersebut cuma ada dua kapling untuk mendirikan tenda. Yang menarik dari tempat tersebut adalah adanya pohon-pohon pinus. Saya paling senang camping di rerimbunan hutan pinus. Namun, ternyata saya dan Danang masuk perangkap. Lho, kok?
Daun-daun kering pohon pinus yang sudah busuk berwarna coklat kehitaman. Bentuknya panjang seperti daun cemara. Warna dan bentuknya itulah yang ternyata menyamarkan keberadaan gerombolan pacet yang warna dan bentuknya mirip. Oh my god, ternyata saya ada dalam kerajaan pacet. Saya dan Danang harus waspada. Mata mesti jelalatan untuk mengamati keberadaan pacet jahanam. Meskipun sudah waspada dan mata mau copot, kami tetap saja menjadi korban kebiadaban gerombolan pacet. Saya dan Danang memiliki skor yang sama. Total pacet yang nempel termasuk di leher saya ada 10 ekor. Danang juga sama, ada 10 pacet. Dia juga ketempelan di lehernya.
Sayang saya nggak doyan pacet, kalo iya, saya makan tuh pacet-pacet. Yang membuat saya gondok adalah pacet yang nggigit di sela jari kaki saya. Itu memang yang saya khawatirkan. Ee.. lha kok digigit beneran. Dendam banget deh. Padahal saya sudah super waspada dalam beberapa menit mengamati jari-jari kaki. Emang sudah nasib kali. Untung tidak dapat diraih, sial tidak dapat ditolak. Datang tidak diundang, pulang tidak diantar. Emang jalangkung?
Setelah semalaman merenungi nasib dikerubutin pacet, paginya beres-beres tenda dan segala peralatan. Hari itu, Minggu 1 Juli 2007, siap pulang. Jalan yang saya ambil jalan yang kemarin siang saya liat. Setapak, menurun, terlihat gampang. Awalnya sih emang iya, gampang. Lama-kelamaan, ternyata menurun dan becek sekali. Semalem emang agak gerimis, dan pasti beberapa hari belakangan hujan terus. Dari rimbunnya pepohonan di sepanjang jalan, ketahuan kalo jalur itu jarang dilalui. Dan, ini yang jadi horor, saya harus sering memelototkan mata mengawasi serangan pacet. Mereka ada di balik dedaunan siap menyerbu. Kaos lengan panjang yang saya pakai tidak bisa menjamin keamanan. Nyatanya lengan saya kena pacet juga. Meski pakai sepatu dan kaos kaki serta celana panjang, tetep aja ada pacet naik ke kaki. Buru-buru aja pacet sialan itu saya buang dan segera celana bagian bawah saya masukkan ke kaos kaki, persis kayak tentara kompeni.
Akhirnya, dengan selamat kami keluar dari kerajaan pacet dan sampai di pintu gerbang jam 10.38 wib. Sesuai rencana kemarin, saya dan Danang jalan kaki menuju jalan raya Cisarua. Saya mau menikmati indahnya pemandangan di kiri kanan jalan. Saat sampe di persawahan yang menghijau, saya sempatkan berfoto-foto. Nggak terasa pertigaan sate Kadir sudah di depan mata. Jam 11.20 saya sampai di tempat itu, nama desanya ternyata Jogjogan. Sebelum naik angkot ke arah Bogor, saya dan Danang ngamuk dulu di restoran Padang yang ada di pinggir jalan dekat pertigaan itu.
Seminggu kemudian (7/7/o7), saya datangi lagi kerajaan pacet itu. Kali ini bersama keluarga saya. Mantan pacar dan dua jagoan ganteng saya. Saya sudah janjian dengan bu Endang dan konco-konconya ketemu di lokasi perkemahan yang ada di dekat curug 7. Saat turun angkot di pertigaan sate Kadir, saya nyambung ojeg menuju lokasi wisata curug Cilember. Mengulangi minggu kemarin, saya sport jantung lagi bersama tukang ojeg mendaki tanjakan gila. Begitu sampe di pintu gerbang Cilember ternyata bu Endang sudah nunggu. Segera dia mengajak saya untuk pindak lokasi. Empat tenda yang sudah dia dirikan diminta untuk dibongkar sama orang yang mengaku telah membooking tempat itu. Nggak tahu gimana urusannya, bu Endang bilang kalo petugas loket telah memberikan ijin dan mengatakan kalo tempat tersebut bisa dipakai. Karena nggak ingin rame, tempat tersebut dikembalikan dan sebagian uang tiket diminta lagi.
Setelah pembongkaran empat tenda beres, kami berangkat. Dengan menggunakan empat mobil rombongan menuju desa Citeko. Ternyata yang dituju adalah sebuah vila dua lantai milik adik temennya bu Endang. Vila tersebut memiliki lapangan rumput luas yang bisa digunakan untuk camping. Lima tenda didirikan. Kami semua camping dengan fasilitas kolam renang, tiga kamar mandi (yang dua mewah), tv kabel Indovision, makanan mewah yang melimpah-limpah, dua satpam, seorang juru masak. Sebuah kemewahan yang saya dan istri tidak bisa nikmati. Bukan itu yang kami cari. Melainkan liarnya alam, gelapnya langit yang dihiasi bintang-bintang, hijaunya hutan, dan segarnya air sungai.
Sebelum pulang esoknya, kami sempatkan mampir dulu ke Cilember untuk main flying fox. Gara-gara nyemutnya orang-orang yang ingin berkemah karena memang lagi libur sekolah, saya jadi nyasar camping di depan sebuah vila mewah. Pufff...
Friday, September 14, 2007
Makan Memakan
Marhaban ya Ramadhan. Nggak terasa ya, kita sudah masuk bulan puasa lagi. Rasanya baru kemarin kita menjalankan ibadah puasa Ramadhan 1427 H, kok tiba-tiba sekarang sudah datang lagi Ramadhan 1428 H. Bagi yang menjalankan ibadah puasa, selamat deh. Mudah-mudahan tidak mendapat haus dan laparnya doang, tapi juga berkah yang ada di dalam bulan suci ini. Amin.
Bagaimanapun juga urusan puasa ada kaitannya dengan urusan makan. Sebelum tanggal 13 September kemarin, yang namanya makan dihalalkan. Mau pagi, siang, sore, nggak masalah. Begitu masuk bulan Ramadhan, jangan coba-coba. Haram hukumnya kalo nekad makan, meskipun tadinya dihalalkan (udah tauk). Jangan pernah berpikiran nggak akan ada yang tau kalo kita tidak puasa. Emang orang bisa aja percaya begitu kita bilang puasa. Siapa yang nggak percaya kalo misalnya kita ngomongnya sambil terlihat lemes tidak bergairah. Namun, Allah maha tahu. Sejago-jagonya kita bohong, pasti ketahuan. Allah kok dilawan. Wo... o... kamu ketahuaaannn...
Ibadah puasa itu kan ibadah yang spesial, karena hanya yang njalanin dan Allah yang tahu. Orang lain hanya bisa mengandalkan kejujuran yang mengatakan puasa. Ramadhan juga menjadi bulan yang istimewa. Kalo diibaratkan dagang, bulan ini adalah bulan diskon. Gimana tidak, kalo ibadah yang dijalani di bulan ini akan mendapat pahala berlipat-lipat bila dibandingkan di bulan-bulan biasa. Namun perlu diingat, jangan sampe ibadah yang dijalankan terus diitung-itung kaya ngerjain soal matematika. Maksudnya, tau kalo banyak diskon, lalu ibadahnya hanya di bulan Ramadhan. Tidak bisa seperti itu. Meskipun anda jago matematika, ibadah itu bukan matematika. Jadi, hentikan aja niat untuk pamer matematikanya. Yang penting sekarang kita jalani ibadah yang sifatnya personal ini dengan sebaik-baiknya. Mumpung masih diberi kesempatan.
Dalam urusan makan di bulan puasa ini, saya juga ingin ngomongin tentang kegiatan makan yang tidak baik dan dianjurkan untuk dihindari. Baik di bulan biasa, apalagi di bulan puasa. Kegiatan tersebut yaitu makan memakan yang dilakukan terhadap teman sendiri. Artinya, kita mengkhianati, menikam punggung teman sendiri. Baik teman dalam bergaul, belajar, maupun bekerja. Jangan. Kalo main catur sih nggak papa. Malah diharuskan makan kalo pengen menang. Asal tidak dimakan beneran. Kecuali kalo memang anda ada turunan rayap. Ya silahkan dimakan, bila perlu sepapan-papannya.
Meskipun (bukan makan papan catur) tidak baik, tapi pada kenyataannya, ada aja orang-orang yang melakukan perbuatan tercela itu. Mereka tidak peduli dengan orang lain. Yang paling penting buat dia adalah perutnya sendiri. Nggak ada rasa kepedulian terhadap orang lain. Bodo amat orang lain menderita. Walaupun orang lain itu ternyata sodara, temen, tetangga sendiri. Amit-amit deh. Mudah-mudahan kita nggak keseret melakukan tindakan itu. Nggak akan ada cukupnya kalo yang kita turutin itu nafsu. Seberapapun banyaknya, tetap nggak akan puas. There is no ‘ enough’ for greedy people. Jangan sampe kita gelap mata. Banyak-banyaklah kita nyebut. Bukan nyebutnya tukang tape saat mau mati. Kalo nyebutnya ala tukang tape, yang keluar nanti ya, “tapeeeeeeeeee....”
Bila anda ketemu temen yang hobi makan temen, coba dikasih inget tuh. Sadarkan. Bukakan matanya. Tunjukkan kalo yang dilakukan itu nggak bener. Kalo pengen makan, mending makan lalap. Meskipun kayak kambing, tapi sehat, terhindar dari sembelit, murah lagi. Daripada makan temen, meskipun tidak bikin sembelit, tapi menyakitkan. Bikin sakit bagi siapa saja. Terutama yang jadi korban dan keluarganya. Tanyakan ke dia, kira-kira gimana rasanya kalo dianya sendiri yang jadi korban. Nggak gampang emang, namun nggak ada salahnya dicoba. Kalopun percobaan yang dilakukan itu gagal, setidak-tidaknya kita pernah mencoba. Dan bila perlu, setelah gagal mencoba yang pertama, kita coba terus. Masih ada percobaan yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya yang menunggu untuk dilakukan. Berani mencoba?
Itu bisa menjadi ladang amal. Kesempatan yang belum tentu bisa ditemui setiap orang. Dalam menggarap ladang yang di depan mata itu pun juga tidak perlu biaya mahal. Bisa jadi malah gratis dan justru kita yang dapat banyak uang. Gimana bisa? Siapa tahu orangnya jadi sadar kemudian kasih kita uang sekarung, kan kita jadi kebanjiran duit. Siapa yang nggak mau, coba? Kalopun misalnya malah harus mengeluarkan banyak duit karena yang dikasih tahu tidak terima kemudian nggebukin kita sehingga kita masuk rumah sakit, ya anggap aja itu juga ladang amal yang masih memerlukan tenaga ekstra untuk menggarapnya. Jadi intinya, apapun hasilnya jadi kaya ato masuk rumah sakit, dia tetap sebuah ladang amal yang menjanjikan. Tinggal kita tagih kan? Mudah-mudahan aja nggak ingkar janji. Jaka Sembung main kucing. Nggak nyambung cing.
Terserah anda sekarang. Mumpung sekarang bulan Ramadhan. Sekali lagi, ini bulan diskon. Beramal lah sebanyak-banyaknya. Asal jangan uang colongan yang dipake buat amal. Jangan karena ingin mensucikan uang hasil korupsi, kemudian uang itu dipake buat pergi haji dan menyantuni yatim piatu. Dengan harapan agar bersih lagi. Itu ibarat nyuci baju pake aer comberan. Bukan jadi bersih tapi malah mangkak dan bau busuk. Nggak lucu kan, haji kok bau comberan.
Dan pesan saya buat yang baca tulisan ini dan juga suka makan memakan teman sendiri, beralihlah menjadi vegetarian. Dengan menjadi vegetarian maka daging temen sendiri akan pait rasanya. Sekaligus akan ijo matanya kalo liat ijo-ijoan alias daun-daunan. Seandainya daun pintu dan jendela yang kebetulan dicat ijo juga menarik, ya silakan dimakan sekalian. Kalo begitu anda berarti bisa bersatu dengan pemain catur yang saya sebutkan di atas. Sebab sama-sama punya darah rayap. Keuntungan lain jadi vegetarian adalah, ada ratusan jenis lalapan yang bisa dipilih. Semua menyehatkan, murah, dan aman. Sehat karena banyak mengandung serat. Kalo pengen yang kandungan seratnya dahsyat, makan aja kabel dan tali jemuran (ini saran yang menyesatkan tentu saja, tapi bila tetep diturutin ya terserah, resiko ditanggung sendiri). Murah karena kita bisa ambil dedaunan yang ngrambat di pager orang (itu kan nyolong namanya?). Aman karena tidak mengandung kolesterol, sehingga anti gemuk bagi siapa saja yang memakannya. Perkecualian kalo memang anda sudah gendut dari sononya. Jangan ngomel-ngomel dan nyalahin orang lain kalo kemudian anda berharap jadi langsing tapi nggak bisa-bisa. Terima aja jadi orang gendut. Tiga bulan lagi kan idul adha, pasti kepake. Maksudnya mbantuin megangin sapi yang mau dipotong.
Bagaimanapun juga urusan puasa ada kaitannya dengan urusan makan. Sebelum tanggal 13 September kemarin, yang namanya makan dihalalkan. Mau pagi, siang, sore, nggak masalah. Begitu masuk bulan Ramadhan, jangan coba-coba. Haram hukumnya kalo nekad makan, meskipun tadinya dihalalkan (udah tauk). Jangan pernah berpikiran nggak akan ada yang tau kalo kita tidak puasa. Emang orang bisa aja percaya begitu kita bilang puasa. Siapa yang nggak percaya kalo misalnya kita ngomongnya sambil terlihat lemes tidak bergairah. Namun, Allah maha tahu. Sejago-jagonya kita bohong, pasti ketahuan. Allah kok dilawan. Wo... o... kamu ketahuaaannn...
Ibadah puasa itu kan ibadah yang spesial, karena hanya yang njalanin dan Allah yang tahu. Orang lain hanya bisa mengandalkan kejujuran yang mengatakan puasa. Ramadhan juga menjadi bulan yang istimewa. Kalo diibaratkan dagang, bulan ini adalah bulan diskon. Gimana tidak, kalo ibadah yang dijalani di bulan ini akan mendapat pahala berlipat-lipat bila dibandingkan di bulan-bulan biasa. Namun perlu diingat, jangan sampe ibadah yang dijalankan terus diitung-itung kaya ngerjain soal matematika. Maksudnya, tau kalo banyak diskon, lalu ibadahnya hanya di bulan Ramadhan. Tidak bisa seperti itu. Meskipun anda jago matematika, ibadah itu bukan matematika. Jadi, hentikan aja niat untuk pamer matematikanya. Yang penting sekarang kita jalani ibadah yang sifatnya personal ini dengan sebaik-baiknya. Mumpung masih diberi kesempatan.
Dalam urusan makan di bulan puasa ini, saya juga ingin ngomongin tentang kegiatan makan yang tidak baik dan dianjurkan untuk dihindari. Baik di bulan biasa, apalagi di bulan puasa. Kegiatan tersebut yaitu makan memakan yang dilakukan terhadap teman sendiri. Artinya, kita mengkhianati, menikam punggung teman sendiri. Baik teman dalam bergaul, belajar, maupun bekerja. Jangan. Kalo main catur sih nggak papa. Malah diharuskan makan kalo pengen menang. Asal tidak dimakan beneran. Kecuali kalo memang anda ada turunan rayap. Ya silahkan dimakan, bila perlu sepapan-papannya.
Meskipun (bukan makan papan catur) tidak baik, tapi pada kenyataannya, ada aja orang-orang yang melakukan perbuatan tercela itu. Mereka tidak peduli dengan orang lain. Yang paling penting buat dia adalah perutnya sendiri. Nggak ada rasa kepedulian terhadap orang lain. Bodo amat orang lain menderita. Walaupun orang lain itu ternyata sodara, temen, tetangga sendiri. Amit-amit deh. Mudah-mudahan kita nggak keseret melakukan tindakan itu. Nggak akan ada cukupnya kalo yang kita turutin itu nafsu. Seberapapun banyaknya, tetap nggak akan puas. There is no ‘ enough’ for greedy people. Jangan sampe kita gelap mata. Banyak-banyaklah kita nyebut. Bukan nyebutnya tukang tape saat mau mati. Kalo nyebutnya ala tukang tape, yang keluar nanti ya, “tapeeeeeeeeee....”
Bila anda ketemu temen yang hobi makan temen, coba dikasih inget tuh. Sadarkan. Bukakan matanya. Tunjukkan kalo yang dilakukan itu nggak bener. Kalo pengen makan, mending makan lalap. Meskipun kayak kambing, tapi sehat, terhindar dari sembelit, murah lagi. Daripada makan temen, meskipun tidak bikin sembelit, tapi menyakitkan. Bikin sakit bagi siapa saja. Terutama yang jadi korban dan keluarganya. Tanyakan ke dia, kira-kira gimana rasanya kalo dianya sendiri yang jadi korban. Nggak gampang emang, namun nggak ada salahnya dicoba. Kalopun percobaan yang dilakukan itu gagal, setidak-tidaknya kita pernah mencoba. Dan bila perlu, setelah gagal mencoba yang pertama, kita coba terus. Masih ada percobaan yang kedua, ketiga, keempat dan seterusnya yang menunggu untuk dilakukan. Berani mencoba?
Itu bisa menjadi ladang amal. Kesempatan yang belum tentu bisa ditemui setiap orang. Dalam menggarap ladang yang di depan mata itu pun juga tidak perlu biaya mahal. Bisa jadi malah gratis dan justru kita yang dapat banyak uang. Gimana bisa? Siapa tahu orangnya jadi sadar kemudian kasih kita uang sekarung, kan kita jadi kebanjiran duit. Siapa yang nggak mau, coba? Kalopun misalnya malah harus mengeluarkan banyak duit karena yang dikasih tahu tidak terima kemudian nggebukin kita sehingga kita masuk rumah sakit, ya anggap aja itu juga ladang amal yang masih memerlukan tenaga ekstra untuk menggarapnya. Jadi intinya, apapun hasilnya jadi kaya ato masuk rumah sakit, dia tetap sebuah ladang amal yang menjanjikan. Tinggal kita tagih kan? Mudah-mudahan aja nggak ingkar janji. Jaka Sembung main kucing. Nggak nyambung cing.
Terserah anda sekarang. Mumpung sekarang bulan Ramadhan. Sekali lagi, ini bulan diskon. Beramal lah sebanyak-banyaknya. Asal jangan uang colongan yang dipake buat amal. Jangan karena ingin mensucikan uang hasil korupsi, kemudian uang itu dipake buat pergi haji dan menyantuni yatim piatu. Dengan harapan agar bersih lagi. Itu ibarat nyuci baju pake aer comberan. Bukan jadi bersih tapi malah mangkak dan bau busuk. Nggak lucu kan, haji kok bau comberan.
Dan pesan saya buat yang baca tulisan ini dan juga suka makan memakan teman sendiri, beralihlah menjadi vegetarian. Dengan menjadi vegetarian maka daging temen sendiri akan pait rasanya. Sekaligus akan ijo matanya kalo liat ijo-ijoan alias daun-daunan. Seandainya daun pintu dan jendela yang kebetulan dicat ijo juga menarik, ya silakan dimakan sekalian. Kalo begitu anda berarti bisa bersatu dengan pemain catur yang saya sebutkan di atas. Sebab sama-sama punya darah rayap. Keuntungan lain jadi vegetarian adalah, ada ratusan jenis lalapan yang bisa dipilih. Semua menyehatkan, murah, dan aman. Sehat karena banyak mengandung serat. Kalo pengen yang kandungan seratnya dahsyat, makan aja kabel dan tali jemuran (ini saran yang menyesatkan tentu saja, tapi bila tetep diturutin ya terserah, resiko ditanggung sendiri). Murah karena kita bisa ambil dedaunan yang ngrambat di pager orang (itu kan nyolong namanya?). Aman karena tidak mengandung kolesterol, sehingga anti gemuk bagi siapa saja yang memakannya. Perkecualian kalo memang anda sudah gendut dari sononya. Jangan ngomel-ngomel dan nyalahin orang lain kalo kemudian anda berharap jadi langsing tapi nggak bisa-bisa. Terima aja jadi orang gendut. Tiga bulan lagi kan idul adha, pasti kepake. Maksudnya mbantuin megangin sapi yang mau dipotong.
Jayus
Jika anda nyari arti kata di atas dalam KBBI (kamus besar bahasa indonesia) sekalipun, sampe lebaran monyet juga nggak bakal ketemu. Apalagi dalam kamus mimpi alias primbon. Selamat bermimpi aja kalo gitu. Orang memang kata itu bukan berasal dari situ. Trus dimana dong kita mesti nyari? Saran saya, cari aja di kamus berjalan. Lho, apa tu kamus berjalan? Ya mereka yang menciptakan ato golongan yang suka nggunain kata itu. Trus, sapa dong mereka itu? Hih, nanya mulu! Mereka itu ya yang sekarang suka disebut dengan abg. Mo nanya lagi apa tuh abg? Kebangetan deh kalo gitu.
Sama seperti kata jayus, kata lain yang bisa jadi kembarannya, adiknya, ato kakaknya karena lahirnya bareng, duluan, ato belakangan, adalah kata garing, mupeng, tajir, jutek, dugem, abcdefg dan lain-lain. Bisa jadi ada banyak lagi yang lain (egp?). Mau nggak mau, kalo pengen tau artinya dari kata-kata aneh itu, ya mesti rajin-rajin tanya. Bisa juga dengan kelayapan, kalo nggak ke kuburan, ke tempat-tempat yang banyak abgnya. Kalo malu, karena merasa sudah bukan generasinya misalnya, baca sebanyak-banyaknya. Buku, koran, majalah, buletin, jurnal, manual, resep, bungkus kacang, primbon. Hlah? Buntutnya kok primbon juga? Ya nggak papa lah. Gimana agar bisa banyak baca tapi ngirit? Rutin ke toko buku coy. Paling-paling entar ditangkap karena dikira maling. Becanda. Jangan diambil ati. Tapi jangan diambil beneran ya, entar bener-bener dicap maling (kalimat kok muter-muter gini, huh, menyebalkan). Tapi emang bener. Maksudnya, emang harus mau rajin-rajin dateng ke toko buku untuk lihat perkembangan. Perkembangan apapun. Termasuk perkembangan bahasa. Sebab, dengan begitu, kita tidak ketinggalan kereta. Juga bis, angkot, ojeg dan lain-lain (dasar mental makelar).
Saya sempat dibikin bingung juga ketika ngobrol kemudian melontarkan sebuah joke, tiba-tiba saya dibilang jayus. Perasaaan, saya ini laki-laki, jadi, aneh kalo saya dianggap mirip Renny Jayusman. Kalo si jayus yang renny ini sih memang kelaki-lakian alias macho. Dia rocker, yang setiap show mirip Tesi, pendagel srimulat yang seluruh jari tangannya ada cincin batu akik. Di leher dan tangannya bergelantungan kalung dan gelang yang beraneka macam layaknya pedagang asesoris. Kalo dia disamakan dengan saya, bolehlah. Tapi kalo saya yang dipadankan dengan dia yang artis, sori aja. Itu bukan level saya. Tolong dicatat itu dik Pendi.
Jika jayus itu jenis minuman, emang itu favorit saya. Saya demen banget jayus buah-buahan. Buah apa saja. Apokat, mangga, nanas, apapun. Termasuk tomat. Orange jayus juga minuman favorit saya. Stop, stop, stop. Kayaknya ada yang salah deh. Kalo itu yang dimaksud, bukan jayus, tapi jus (dodol!). Asalnya dari nama orang sunda, ice juice, yang dibacanya sama dengan tulisannya. Titik. Eh, ngomong-ngomong, emang dodol bisa dibikin jus? (capek aku mas)
Usut punya usut, jayus ternyata artinya tidak terlalu jauh dengan garing. Garing? Bukan garing yang artinya crispy ( renyah) lho, yang kayak krupuk tea. Setelah dengan sukses nanya orang yang ngatain saya jayus, baru tau kalo jayus itu artinya nglucu tapi nggak lucu. Ya, crispy eh garing gitulah. Untungnya saya sempat dan mau nanya, jadi tidak melakukan jayus lagi. Ngomong-ngomong, mau nunggu? Saya pengen minum jayus dulu. Kebetulan ada segelas jayus apokat segar. Bentar ya.
Trus, kira-kira kenapa ya bisa muncul kata-kata aneh seperti itu? Saya rasa sih salah satunya untuk menunjukkan eksistensinya. Ini lho saya. Gitu kira-kira. Yah, kayak kucinglah. Maksudnya? Pernah liat kucing kan? Dia itu kan suka pipis sembarangan. Ketemu pohon pipis, ketemu tiang listrik pipis, ketemu mobil yang lagi parkir, pipis. Ketemu muka orangpun akan dipipisin. Makanya ati-ati. Juga, pipisnya khas banget. Salah satu kaki belakangnya diangkat kalo jantan, pantatnya ditunggingin kalo betina (heran bisa sampe segitu detilnya ya?). Apa yang dilakukan para kucing juga sama dengan para kreator kata-kata aneh itu yaitu bekas tempat pipisnya itu untuk menunjukkan kalo dia pernah ada di situ. Jadi gampang aja kalo pengen tau pernah ada kucing lewat ato kagak. Tinggal diendus-endus pohon, tiang listrik (telpon juga boleh), dan tempat-tempat yang terlihat mencurigakan. Siap? Kerjakan!
Jika dikaji lebih lanjut, ada berbagai cara untuk membuat kata-kata yang bisa dikategorikan slang itu, ato yang suka dibilang bahasa gaul. Ada yang bentuknya singkatan seperti abcdefg (aduh bo cape deh eike fusing gila), abg (anak baru gede), egp (emang gue pikirin), omg pda (oh my god plizz dong ah). Ada yang berupa akronim seperti mupeng (muka pengen), dugem (dunia gemerlap), tajir (harta membajir), jorki (jorok sekali). ada yang kombinasi akronim dengan singkatan seperti titi dj (ati-ati di jalan). Ada yang berbentuk clip ato potongan kayak au ah lap (tau ah gelap), seleb (selebriti/artis), dan yang berbentuk kata atau frase utuh seperti garing (joke yang nggak lucu), jayus (joke/kelakuan yang nggak lucu), cape deh, gitu loooh, digrepe-grepe (dipegang-pegang) dan lain-lain (sisanya cari sendiri ah! ngrepotin aja! lhah? sapa suruh? weeekkk).
Kapan dibikinnya dan oleh siapa, nggak jelas. Yang pasti istilah itu muncul begitu saja dari salah satu di antara mereka. Kemudian digunakan oleh temen-temennya dan selanjutnya menyebar kemana aja, kayak kurap. Kata itu menjadi semakin populer setelah digunakan oleh seleb yang tampil di tv dan juga ditulis dalam media cetak seperti koran, majalah, dan tabloid. Seleb di tv ditonton dan media cetaknya dibaca banyak abg. Mereka kemudian nggunain sendiri serta nularin ke temen-temennya. Begitu seterusnya. Jadi akhirnya sulit untuk menemukan siapa yang bikin dan kapan dibuatnya.
Namanya juga bahasa. Umurnya sama dengan umat manusia yang menggunakan bahasa itu. Dia akan terus berkembang selama manusianya masih ada. Apalagi seperti sekarang ini, dengan adanya teknologi seperti internet, makin memperparah penyebarluasan kata-kata baru yang terus bermunculan. Pokoknya dahsyat deh. Jadi kesimpulannya, jangan paksa saya untuk ngubeg-ubeg nyari siapa biangnya pembuat keonaran eh kata-kata yang aneh-aneh itu yach. Enjoy aja. Nikmati yang ada. Sambil maksi* boleh, nobra eh nobar* juga boleh. Asal jangan kelamaan. Nanti McD*. Santi utomo* dan, EGPTL*.
*
maksi: makan siang
nobar: nonton bareng
McD: makin cuapee deh
santi utomo: sampe nanti see you tomorrow
EGPTL: emang gua pikirin gitu loh
Sama seperti kata jayus, kata lain yang bisa jadi kembarannya, adiknya, ato kakaknya karena lahirnya bareng, duluan, ato belakangan, adalah kata garing, mupeng, tajir, jutek, dugem, abcdefg dan lain-lain. Bisa jadi ada banyak lagi yang lain (egp?). Mau nggak mau, kalo pengen tau artinya dari kata-kata aneh itu, ya mesti rajin-rajin tanya. Bisa juga dengan kelayapan, kalo nggak ke kuburan, ke tempat-tempat yang banyak abgnya. Kalo malu, karena merasa sudah bukan generasinya misalnya, baca sebanyak-banyaknya. Buku, koran, majalah, buletin, jurnal, manual, resep, bungkus kacang, primbon. Hlah? Buntutnya kok primbon juga? Ya nggak papa lah. Gimana agar bisa banyak baca tapi ngirit? Rutin ke toko buku coy. Paling-paling entar ditangkap karena dikira maling. Becanda. Jangan diambil ati. Tapi jangan diambil beneran ya, entar bener-bener dicap maling (kalimat kok muter-muter gini, huh, menyebalkan). Tapi emang bener. Maksudnya, emang harus mau rajin-rajin dateng ke toko buku untuk lihat perkembangan. Perkembangan apapun. Termasuk perkembangan bahasa. Sebab, dengan begitu, kita tidak ketinggalan kereta. Juga bis, angkot, ojeg dan lain-lain (dasar mental makelar).
Saya sempat dibikin bingung juga ketika ngobrol kemudian melontarkan sebuah joke, tiba-tiba saya dibilang jayus. Perasaaan, saya ini laki-laki, jadi, aneh kalo saya dianggap mirip Renny Jayusman. Kalo si jayus yang renny ini sih memang kelaki-lakian alias macho. Dia rocker, yang setiap show mirip Tesi, pendagel srimulat yang seluruh jari tangannya ada cincin batu akik. Di leher dan tangannya bergelantungan kalung dan gelang yang beraneka macam layaknya pedagang asesoris. Kalo dia disamakan dengan saya, bolehlah. Tapi kalo saya yang dipadankan dengan dia yang artis, sori aja. Itu bukan level saya. Tolong dicatat itu dik Pendi.
Jika jayus itu jenis minuman, emang itu favorit saya. Saya demen banget jayus buah-buahan. Buah apa saja. Apokat, mangga, nanas, apapun. Termasuk tomat. Orange jayus juga minuman favorit saya. Stop, stop, stop. Kayaknya ada yang salah deh. Kalo itu yang dimaksud, bukan jayus, tapi jus (dodol!). Asalnya dari nama orang sunda, ice juice, yang dibacanya sama dengan tulisannya. Titik. Eh, ngomong-ngomong, emang dodol bisa dibikin jus? (capek aku mas)
Usut punya usut, jayus ternyata artinya tidak terlalu jauh dengan garing. Garing? Bukan garing yang artinya crispy ( renyah) lho, yang kayak krupuk tea. Setelah dengan sukses nanya orang yang ngatain saya jayus, baru tau kalo jayus itu artinya nglucu tapi nggak lucu. Ya, crispy eh garing gitulah. Untungnya saya sempat dan mau nanya, jadi tidak melakukan jayus lagi. Ngomong-ngomong, mau nunggu? Saya pengen minum jayus dulu. Kebetulan ada segelas jayus apokat segar. Bentar ya.
Trus, kira-kira kenapa ya bisa muncul kata-kata aneh seperti itu? Saya rasa sih salah satunya untuk menunjukkan eksistensinya. Ini lho saya. Gitu kira-kira. Yah, kayak kucinglah. Maksudnya? Pernah liat kucing kan? Dia itu kan suka pipis sembarangan. Ketemu pohon pipis, ketemu tiang listrik pipis, ketemu mobil yang lagi parkir, pipis. Ketemu muka orangpun akan dipipisin. Makanya ati-ati. Juga, pipisnya khas banget. Salah satu kaki belakangnya diangkat kalo jantan, pantatnya ditunggingin kalo betina (heran bisa sampe segitu detilnya ya?). Apa yang dilakukan para kucing juga sama dengan para kreator kata-kata aneh itu yaitu bekas tempat pipisnya itu untuk menunjukkan kalo dia pernah ada di situ. Jadi gampang aja kalo pengen tau pernah ada kucing lewat ato kagak. Tinggal diendus-endus pohon, tiang listrik (telpon juga boleh), dan tempat-tempat yang terlihat mencurigakan. Siap? Kerjakan!
Jika dikaji lebih lanjut, ada berbagai cara untuk membuat kata-kata yang bisa dikategorikan slang itu, ato yang suka dibilang bahasa gaul. Ada yang bentuknya singkatan seperti abcdefg (aduh bo cape deh eike fusing gila), abg (anak baru gede), egp (emang gue pikirin), omg pda (oh my god plizz dong ah). Ada yang berupa akronim seperti mupeng (muka pengen), dugem (dunia gemerlap), tajir (harta membajir), jorki (jorok sekali). ada yang kombinasi akronim dengan singkatan seperti titi dj (ati-ati di jalan). Ada yang berbentuk clip ato potongan kayak au ah lap (tau ah gelap), seleb (selebriti/artis), dan yang berbentuk kata atau frase utuh seperti garing (joke yang nggak lucu), jayus (joke/kelakuan yang nggak lucu), cape deh, gitu loooh, digrepe-grepe (dipegang-pegang) dan lain-lain (sisanya cari sendiri ah! ngrepotin aja! lhah? sapa suruh? weeekkk).
Kapan dibikinnya dan oleh siapa, nggak jelas. Yang pasti istilah itu muncul begitu saja dari salah satu di antara mereka. Kemudian digunakan oleh temen-temennya dan selanjutnya menyebar kemana aja, kayak kurap. Kata itu menjadi semakin populer setelah digunakan oleh seleb yang tampil di tv dan juga ditulis dalam media cetak seperti koran, majalah, dan tabloid. Seleb di tv ditonton dan media cetaknya dibaca banyak abg. Mereka kemudian nggunain sendiri serta nularin ke temen-temennya. Begitu seterusnya. Jadi akhirnya sulit untuk menemukan siapa yang bikin dan kapan dibuatnya.
Namanya juga bahasa. Umurnya sama dengan umat manusia yang menggunakan bahasa itu. Dia akan terus berkembang selama manusianya masih ada. Apalagi seperti sekarang ini, dengan adanya teknologi seperti internet, makin memperparah penyebarluasan kata-kata baru yang terus bermunculan. Pokoknya dahsyat deh. Jadi kesimpulannya, jangan paksa saya untuk ngubeg-ubeg nyari siapa biangnya pembuat keonaran eh kata-kata yang aneh-aneh itu yach. Enjoy aja. Nikmati yang ada. Sambil maksi* boleh, nobra eh nobar* juga boleh. Asal jangan kelamaan. Nanti McD*. Santi utomo* dan, EGPTL*.
*
maksi: makan siang
nobar: nonton bareng
McD: makin cuapee deh
santi utomo: sampe nanti see you tomorrow
EGPTL: emang gua pikirin gitu loh
Wednesday, September 12, 2007
Wrong Man Right Place
Orang yang bersalah ditempatkan di sebelah kanan. Itulah kira-kira makna ngawur dari judul di atas. Kata yang benar dan biasanya dipakai sih the right man on the right place. Istilah ini digunakan untuk mengacu kepada kebijakan bagian personalia atau mereka yang mengatur sumber daya manusia yang ada dalam sebuah perusahaan atau kantor. Orang-orang yang memiliki kemampuan tertentu akan dipekerjakan atau ditempatkan di posisi yang memang sesuai dengan dia.
Pernah nggak ketemu dengan, misalnya, seorang pegawai customer service (cuser) yang jutek, jayus, garing, ngomongnya nylekit, dan memuakkan? Kalo iya, itulah contoh the wrong man on the right place. Nggak peduli bila misalnya si customer service itu seorang perempuan. Karena kata man disini maksudnya bukan mengacu kepada jenis kelamin laki-laki, meskipun man itu untuk pria, tapi lebih berarti untuk seseorang. Bisa laki bisa perempuan. Jadi, si cuser itu merupakan orang yang salah untuk posisi tersebut. Bisa jadi hal itu terjadi karena kesalahan yang berasal dari bagian yang mengatur penempatan orang-orang dari perusahaan tersebut. Namanya juga pekerja, bisa saja si cuser ini mandah saja menerima tugas yang diberikan. Karena emang pada dasarnya orangnya nggak enaken, ya begitulah hasil akhirnya. Jutek, garing, tidak bersahabat, nylekit dan lain-lain.
Barangkali bukan sekali dua kita ketemu dengan orang-orang yang wrong ini. Orang yang berkemampuan minimal melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan maksimal. Manusia yang berkarakter minus diposisikan di tempat yang memerlukan perilaku plus. Akibatnya, sering kita jumpai masalah. Masalah yang muncul karena ketidakcocokan manusia dan pekerjaannya ini.
Yang merepotkan sekaligus menjengkelkan, kalo akibat salah naroh orang ini kita yang kena getahnya. Karena kebijakan yang salah bagi orang lain, menyengsarakan orang lainnya lagi. Pusing dah. Masih mending kalo kitanya bisa urun rembug untuk masalah tersebut. Kalo nggak, ya terpaksa kita nikmati penderitaan itu bila masih tetep bercokol di situ. Mau? (kayak iklan operator selular aja)
Anda sendiri merasa nggak, jadi orang yang right di tempat yang right? Cirinya gampang kalo kita ini merasa cocok di tempat yang sesuai. Diantaranya yang bisa disebutkan, apa yang dikerjakan oke-oke aja, lingkungan kerja kondusif, tidak gampang sembelit (apa ini? stres kali?) – hiya, tidak gampang stres.
Bener kalo apa yang dikerjakan itu pasti fine-fine aja. Gimana nggak? Orang emang kita punya kualitas, punya kemampuan dan ketrampilan untuk melaksanakan tanggung jawab itu. Jadi, ya nggak masalah. Apapun yang dikerjakan, hasilnya pasti ekselen, sip, perfekto.
Lingkungan kerja kondusif bisa saja terbentuk bukan semata-mata karena the right man on the right place. Tetapi, bila orang-orang yang ada dalam lingkungan sama memiliki kapabilitas yang tidak diragukan lagi, memiliki karakter berkualitas unggul, saling tolong-menolong, bantu-membantu, bau-membau sambil mengangkat ketek masing-masing (nggak ding), saling mengormati, dijamin, pasti lingkungan akan jadi kondusif. Nah, dengan adanya orang-orang yang right, bukan hanya right di segi kemampuan tapi juga attitude, sudah pasti lingkungan kondusif akan terbentuk.
Lalu apa urusannya sembelit dengan right man right place? Coba anda bayangkan deh. Di tempat dimana anda bekerja, ada orang yang poorly qualified. Ngerjain ini nggak bisa, melakukan itu memble, nyelesein yang ono nggak mampu. Apa nggak pusing sendiri. Apalagi bila kita ini jadi temen seruangannya misalnya, yang tiap hari pasti dimintain tolong. So pasti akan jadi stres. Kalo udah begitu, tinggal tunggu aja efeknya. Eh, jangan nuduh dulu ya kalo kita ini tidak mau dimintain tolong. Bukannya begitu. Jika tiap hari harus ngerjain pekerjaan orang mulu (lha iyalah, masak monyet), lama-lama kan neg juga. Ya kan? Apa akibatnya kalo stres terus-terusan? Lama-lama ya sembelit juga jadinya. Makanya kalo anda sembelit, jangan-jangan bukan masalah tidak sering mengkonsumsi makanan berserat seperti kabel misalnya tetapi bisa jadi karena dijejelin makanan bersetres (maksudnya sering stres). Jadi, waspadalah, waspadalah, waspadalah.
Nah, sekarang, udah jelas kan hubungan antara sembelit dengan stres? Mereka selama ini baik-baik saja kok. Setiap ketemu saling bertegur sapa. Suka saling kirim makanan kalo lagi masak enak. Sering nonton bareng saat tanggal gajian datang. Akan berusaha membesarkan hati, bila yang satu lagi kena musibah. Dan lain-lain. Waduh, sebenarnya ini ngomongin apaan sih? Just kidding, don’t think of it seriously.
Di sisi konsumen, juga akan sangat menyenangkan bila ketemu orang yang sesuai dengan pekerjaannya. Bagi kita, sungguh membantu dan melegakan ketika saat butuh informasi kita dihadapi oleh seorang cuser yang bukan sekedar ramah tapi juga kompeten. Dia sigap dalam menolong. Mudah dimengerti penjelasan-penjelasannya. Cantik dan wangi lagi. Beruntunglah kalo kita ketemu orang-orang seperti itu.
Kalo anda sedang ada di Bogor dan perlu informasi dimana bisa mendapatkan uang, anda dapat datang ke Taman Topi dekat stasiun. Di situ ada the right man on the right place. Di taman yang sebagian besar bangunannya berbentuk topi, itulah sebabnya dinamakan Taman Topi, berdiri dengan gagahnya sebuah patuh pahlawan nasional asli orang Bogor yang bernama Kapten Muslihat. Dia itulah the right man. Tanyalah dia kemana harus pergi untuk mendapatkan uang. Dengan gagahnya dan penuh kepastian, tangan Kapten Muslihat menunjuk ke sebuah bangunan. Gedung itu adalah Bank Jabar. Disitulah uang bisa diperoleh. Jadi, Kapten Muslihat ini bisa disebut the right man on the right place karena posisi dia berdiri sudah right (benar) sehingga tangannya right (benar) menunjuk persis ke bank milik pemerintah daerah. Setuju? Betul? Ato ngaco?
Pernah nggak ketemu dengan, misalnya, seorang pegawai customer service (cuser) yang jutek, jayus, garing, ngomongnya nylekit, dan memuakkan? Kalo iya, itulah contoh the wrong man on the right place. Nggak peduli bila misalnya si customer service itu seorang perempuan. Karena kata man disini maksudnya bukan mengacu kepada jenis kelamin laki-laki, meskipun man itu untuk pria, tapi lebih berarti untuk seseorang. Bisa laki bisa perempuan. Jadi, si cuser itu merupakan orang yang salah untuk posisi tersebut. Bisa jadi hal itu terjadi karena kesalahan yang berasal dari bagian yang mengatur penempatan orang-orang dari perusahaan tersebut. Namanya juga pekerja, bisa saja si cuser ini mandah saja menerima tugas yang diberikan. Karena emang pada dasarnya orangnya nggak enaken, ya begitulah hasil akhirnya. Jutek, garing, tidak bersahabat, nylekit dan lain-lain.
Barangkali bukan sekali dua kita ketemu dengan orang-orang yang wrong ini. Orang yang berkemampuan minimal melakukan pekerjaan yang membutuhkan kemampuan maksimal. Manusia yang berkarakter minus diposisikan di tempat yang memerlukan perilaku plus. Akibatnya, sering kita jumpai masalah. Masalah yang muncul karena ketidakcocokan manusia dan pekerjaannya ini.
Yang merepotkan sekaligus menjengkelkan, kalo akibat salah naroh orang ini kita yang kena getahnya. Karena kebijakan yang salah bagi orang lain, menyengsarakan orang lainnya lagi. Pusing dah. Masih mending kalo kitanya bisa urun rembug untuk masalah tersebut. Kalo nggak, ya terpaksa kita nikmati penderitaan itu bila masih tetep bercokol di situ. Mau? (kayak iklan operator selular aja)
Anda sendiri merasa nggak, jadi orang yang right di tempat yang right? Cirinya gampang kalo kita ini merasa cocok di tempat yang sesuai. Diantaranya yang bisa disebutkan, apa yang dikerjakan oke-oke aja, lingkungan kerja kondusif, tidak gampang sembelit (apa ini? stres kali?) – hiya, tidak gampang stres.
Bener kalo apa yang dikerjakan itu pasti fine-fine aja. Gimana nggak? Orang emang kita punya kualitas, punya kemampuan dan ketrampilan untuk melaksanakan tanggung jawab itu. Jadi, ya nggak masalah. Apapun yang dikerjakan, hasilnya pasti ekselen, sip, perfekto.
Lingkungan kerja kondusif bisa saja terbentuk bukan semata-mata karena the right man on the right place. Tetapi, bila orang-orang yang ada dalam lingkungan sama memiliki kapabilitas yang tidak diragukan lagi, memiliki karakter berkualitas unggul, saling tolong-menolong, bantu-membantu, bau-membau sambil mengangkat ketek masing-masing (nggak ding), saling mengormati, dijamin, pasti lingkungan akan jadi kondusif. Nah, dengan adanya orang-orang yang right, bukan hanya right di segi kemampuan tapi juga attitude, sudah pasti lingkungan kondusif akan terbentuk.
Lalu apa urusannya sembelit dengan right man right place? Coba anda bayangkan deh. Di tempat dimana anda bekerja, ada orang yang poorly qualified. Ngerjain ini nggak bisa, melakukan itu memble, nyelesein yang ono nggak mampu. Apa nggak pusing sendiri. Apalagi bila kita ini jadi temen seruangannya misalnya, yang tiap hari pasti dimintain tolong. So pasti akan jadi stres. Kalo udah begitu, tinggal tunggu aja efeknya. Eh, jangan nuduh dulu ya kalo kita ini tidak mau dimintain tolong. Bukannya begitu. Jika tiap hari harus ngerjain pekerjaan orang mulu (lha iyalah, masak monyet), lama-lama kan neg juga. Ya kan? Apa akibatnya kalo stres terus-terusan? Lama-lama ya sembelit juga jadinya. Makanya kalo anda sembelit, jangan-jangan bukan masalah tidak sering mengkonsumsi makanan berserat seperti kabel misalnya tetapi bisa jadi karena dijejelin makanan bersetres (maksudnya sering stres). Jadi, waspadalah, waspadalah, waspadalah.
Nah, sekarang, udah jelas kan hubungan antara sembelit dengan stres? Mereka selama ini baik-baik saja kok. Setiap ketemu saling bertegur sapa. Suka saling kirim makanan kalo lagi masak enak. Sering nonton bareng saat tanggal gajian datang. Akan berusaha membesarkan hati, bila yang satu lagi kena musibah. Dan lain-lain. Waduh, sebenarnya ini ngomongin apaan sih? Just kidding, don’t think of it seriously.
Di sisi konsumen, juga akan sangat menyenangkan bila ketemu orang yang sesuai dengan pekerjaannya. Bagi kita, sungguh membantu dan melegakan ketika saat butuh informasi kita dihadapi oleh seorang cuser yang bukan sekedar ramah tapi juga kompeten. Dia sigap dalam menolong. Mudah dimengerti penjelasan-penjelasannya. Cantik dan wangi lagi. Beruntunglah kalo kita ketemu orang-orang seperti itu.
Kalo anda sedang ada di Bogor dan perlu informasi dimana bisa mendapatkan uang, anda dapat datang ke Taman Topi dekat stasiun. Di situ ada the right man on the right place. Di taman yang sebagian besar bangunannya berbentuk topi, itulah sebabnya dinamakan Taman Topi, berdiri dengan gagahnya sebuah patuh pahlawan nasional asli orang Bogor yang bernama Kapten Muslihat. Dia itulah the right man. Tanyalah dia kemana harus pergi untuk mendapatkan uang. Dengan gagahnya dan penuh kepastian, tangan Kapten Muslihat menunjuk ke sebuah bangunan. Gedung itu adalah Bank Jabar. Disitulah uang bisa diperoleh. Jadi, Kapten Muslihat ini bisa disebut the right man on the right place karena posisi dia berdiri sudah right (benar) sehingga tangannya right (benar) menunjuk persis ke bank milik pemerintah daerah. Setuju? Betul? Ato ngaco?
Monday, September 10, 2007
Si Lidah Panjang
Ingin belajar bahasa Inggris? Gampang. Coba ucapkan kata-kata di bawah ini dengan cepat dan keras. Kalo perlu sambil merem matanya. Biar memberi kesan benar-benar menghayati. Kan hebat gitu.
“Wolf wolf roof roof woof woof roof wolf roof roof woof.”
Hasil tes: Good Dog!
Eit, jangan marah dulu. It’s just kidding, not insulting, apalagi menganggap anda disgusting. Kalo nggak ngerti, mending cicing, kayak kucing, lagi bunting. Bener, saya nggak punya maksud apa-apa. Sama sekali tidak punya pikiran menganggap situ ini kayak puppy, apalagi anjing biang. Dan jangan tuduh saya memperlakukan situ sebagai anjing. Tapi apa boleh buat kalo ente memang merasa seperti itu, ya, gimana ya, orang situ sendiri yang ngerasa seperti itu. Saya sih akur aja.
Kenapa saya bawa-bawa binatang najis ini? Saya hanya ingin menunjukkan kalo lidah anjing itu panjang. So what? Nggak. Nggak ada maksud apa-apa. Kira-kira panjangan mana lidah anda dengan lidah anjing? Lhah? Kalo ini mah so what lagi. Udahan ah. Ntar bisa diboikot saya. Orang baru ngonsep tulisan ini aja sudah ada yang ngancem. Oke, oke, sori deh. Tos dulu dong kalo gitu? (*nyodorin telapak tangan*)
Jadi pertanyaan yang ingin saya ajukan kira-kira gini. Kenapa anjing lidahnya panjang? Karena dia suka menjilat. Nyambung nggak? Kayaknya nggak ya? Tapi okelah, dipaksain aja. Karena anjing suka njilatin, maka tuannya banyak yang suka. Kegelian. Jadi gelisah gitu. Alias geli-geli basah. Apalagi anjingnya suka ngiler. Makin tambah basah deh.
Dalam dunia manusia, orang juga suka njilatin. Seperti saya contohnya. Saya suka banget njilatin es krim. Lebih-lebih kalo es krim hasil dikasih alias dapet gratis. Wuah, nikmat banget. Situ suka njilatin juga nggak? Pesen saya, jangan njilatin buburnya ayam ya (inget, pake ‘nya’ di belakang kata bubur), kasian orang tuamu. Punya anak kok hobinya aneh. Ihhhhhh geuleuh... Tapi, karena kebiasaan njilat itu alamiah dan naluriah, maka nggak usah malu lah kalo punya kebiasaan itu. Asalkan yang dijilat yang bener-bener aja. Trus, gimana kalo nggak bener?
Saya punya contoh untuk njilat yang nggak bener. Bukan tentang apa yang dijilat seperti yang disebutkan di atas, tapi tujuan dia menjilat. Kalo menjilat yang dilakukan untuk kepentingan pribadi, itu nggak bener. Saya kira, untuk kepentingan kelompok tertentu juga nggak bener. Njilat untuk carmuk juga salah. Pokoknya menjilat itu pekerjaan yang nggak bener, nggak sopan, kampungan. Dan juga, istilah menjilat itu memang memiliki konotasi negatif. Kalo orang menjilat orang lain, pasti ada sesuatu yang dia harapkan. Apalagi disertai dengan tampang mupeng. Pasti deh, bisa ditebak.
Emang, menjilat itu banyak ruginya. Pertama, kalo yang dijilat api, lidah jadi kebakar (ini mah kerjaannya orang gendeng). Kedua, njilat bisa bikin jadi bau, kalo yang dijilat tai kotok (ini kerjaannya si jorki). Ketiga, ini serius, njilat selain menciptakan banyak musuh juga bisa menunjukkan kalo si penjilat ini tidak memiliki kualitas, tidak loyal, dan tidak memiliki integritas. Bisa jadi, suatu saat akan kena batunya, seperti cerita di bawah ini. Coba simak dan camkan baik-baik ya.
Seorang guru tk akan pindah ke luar kota. Pihak sekolah kemudian mengadakan acara perpisahan. Masing-masing anak di kelas yang diajar bu guru ini (biasanya guru tk kan perempuan) membawakan kenang-kenangan. Satu persatu para murid maju ke depan untuk menyerahkan kado yang dibawanya untuk bu guru tercinta.
“Bu guru, Kimpul bawa kado buat bu guru,” katanya. Kimpul ini anaknya pedagang boneka.
Bu guru itu sambil mengucapkan terima kasih lalu menggoyang-goyang kado yang dia terima. Kemudian menebak barang yang ada di dalamnya. “Pasti isinya boneka?”
“Betul bu,” kata Kimpul.
Kemudian Tari, yang bapaknya juragan tas, menyerahkan kado.
“Terima kasih Tari. Bu guru tebak isinya ya?”
“Boleh bu,” jawab Tari.
Setelah mengocok-ngocok sebentar, bu guru kemudian menebak kalo isinya sebuah tas. Tari mengiyakan jawaban bu guru. Memang hebat bu guru kita ini.
Selanjutnya, Klepon, bocah gendut anak pedagang es krim membawa bungkusan yang lumayan besar. Dengan agak susah jalannya, dia datangi guru kesayangannya. Disodorkannya kotak kardus yang dia bawa. Bu guru menerima dengan sukacita dan mengucapkan terima kasih. Dirasakan oleh tangannya bagian bawah kardus basah. Seperti dilakukan sebelumnya, dia kemudian menebak apa isi kardus itu. Karena tau orang tua Klepon punya toko es krim maka dia berpikiran pasti isinya es krim. Bagian bawah kardus yang basah menguatkan perkiraannya. Jari tangannya yang basah kena bagian bawah kardus dia jilat. Tidak ada rasanya. Dia bingung. Tapi agar Klepon senang, dia sampaikan tebakannya.
“Pasti isinya es krim rasa stroberi?,” kata bu guru.
Klepon geleng kepala.
“Rasa nanas?” Bu guru belum nyerah.
Klepon geleng lagi. Bu guru ngangguk-angguk.
“Rasa melon ya?”
Klepon hanya senyum sambil menggelengkan kepala.
“Pisang? Kalo ini masih salah, bu guru nyerah deh.”
Kepala Klepon godek. “Isinya bukan es krim bu,” katanya.
“Lalu?”
“Anak anjing.”
Nah tuh. Makanya jangan celamitan ya.
“Wolf wolf roof roof woof woof roof wolf roof roof woof.”
Hasil tes: Good Dog!
Eit, jangan marah dulu. It’s just kidding, not insulting, apalagi menganggap anda disgusting. Kalo nggak ngerti, mending cicing, kayak kucing, lagi bunting. Bener, saya nggak punya maksud apa-apa. Sama sekali tidak punya pikiran menganggap situ ini kayak puppy, apalagi anjing biang. Dan jangan tuduh saya memperlakukan situ sebagai anjing. Tapi apa boleh buat kalo ente memang merasa seperti itu, ya, gimana ya, orang situ sendiri yang ngerasa seperti itu. Saya sih akur aja.
Kenapa saya bawa-bawa binatang najis ini? Saya hanya ingin menunjukkan kalo lidah anjing itu panjang. So what? Nggak. Nggak ada maksud apa-apa. Kira-kira panjangan mana lidah anda dengan lidah anjing? Lhah? Kalo ini mah so what lagi. Udahan ah. Ntar bisa diboikot saya. Orang baru ngonsep tulisan ini aja sudah ada yang ngancem. Oke, oke, sori deh. Tos dulu dong kalo gitu? (*nyodorin telapak tangan*)
Jadi pertanyaan yang ingin saya ajukan kira-kira gini. Kenapa anjing lidahnya panjang? Karena dia suka menjilat. Nyambung nggak? Kayaknya nggak ya? Tapi okelah, dipaksain aja. Karena anjing suka njilatin, maka tuannya banyak yang suka. Kegelian. Jadi gelisah gitu. Alias geli-geli basah. Apalagi anjingnya suka ngiler. Makin tambah basah deh.
Dalam dunia manusia, orang juga suka njilatin. Seperti saya contohnya. Saya suka banget njilatin es krim. Lebih-lebih kalo es krim hasil dikasih alias dapet gratis. Wuah, nikmat banget. Situ suka njilatin juga nggak? Pesen saya, jangan njilatin buburnya ayam ya (inget, pake ‘nya’ di belakang kata bubur), kasian orang tuamu. Punya anak kok hobinya aneh. Ihhhhhh geuleuh... Tapi, karena kebiasaan njilat itu alamiah dan naluriah, maka nggak usah malu lah kalo punya kebiasaan itu. Asalkan yang dijilat yang bener-bener aja. Trus, gimana kalo nggak bener?
Saya punya contoh untuk njilat yang nggak bener. Bukan tentang apa yang dijilat seperti yang disebutkan di atas, tapi tujuan dia menjilat. Kalo menjilat yang dilakukan untuk kepentingan pribadi, itu nggak bener. Saya kira, untuk kepentingan kelompok tertentu juga nggak bener. Njilat untuk carmuk juga salah. Pokoknya menjilat itu pekerjaan yang nggak bener, nggak sopan, kampungan. Dan juga, istilah menjilat itu memang memiliki konotasi negatif. Kalo orang menjilat orang lain, pasti ada sesuatu yang dia harapkan. Apalagi disertai dengan tampang mupeng. Pasti deh, bisa ditebak.
Emang, menjilat itu banyak ruginya. Pertama, kalo yang dijilat api, lidah jadi kebakar (ini mah kerjaannya orang gendeng). Kedua, njilat bisa bikin jadi bau, kalo yang dijilat tai kotok (ini kerjaannya si jorki). Ketiga, ini serius, njilat selain menciptakan banyak musuh juga bisa menunjukkan kalo si penjilat ini tidak memiliki kualitas, tidak loyal, dan tidak memiliki integritas. Bisa jadi, suatu saat akan kena batunya, seperti cerita di bawah ini. Coba simak dan camkan baik-baik ya.
Seorang guru tk akan pindah ke luar kota. Pihak sekolah kemudian mengadakan acara perpisahan. Masing-masing anak di kelas yang diajar bu guru ini (biasanya guru tk kan perempuan) membawakan kenang-kenangan. Satu persatu para murid maju ke depan untuk menyerahkan kado yang dibawanya untuk bu guru tercinta.
“Bu guru, Kimpul bawa kado buat bu guru,” katanya. Kimpul ini anaknya pedagang boneka.
Bu guru itu sambil mengucapkan terima kasih lalu menggoyang-goyang kado yang dia terima. Kemudian menebak barang yang ada di dalamnya. “Pasti isinya boneka?”
“Betul bu,” kata Kimpul.
Kemudian Tari, yang bapaknya juragan tas, menyerahkan kado.
“Terima kasih Tari. Bu guru tebak isinya ya?”
“Boleh bu,” jawab Tari.
Setelah mengocok-ngocok sebentar, bu guru kemudian menebak kalo isinya sebuah tas. Tari mengiyakan jawaban bu guru. Memang hebat bu guru kita ini.
Selanjutnya, Klepon, bocah gendut anak pedagang es krim membawa bungkusan yang lumayan besar. Dengan agak susah jalannya, dia datangi guru kesayangannya. Disodorkannya kotak kardus yang dia bawa. Bu guru menerima dengan sukacita dan mengucapkan terima kasih. Dirasakan oleh tangannya bagian bawah kardus basah. Seperti dilakukan sebelumnya, dia kemudian menebak apa isi kardus itu. Karena tau orang tua Klepon punya toko es krim maka dia berpikiran pasti isinya es krim. Bagian bawah kardus yang basah menguatkan perkiraannya. Jari tangannya yang basah kena bagian bawah kardus dia jilat. Tidak ada rasanya. Dia bingung. Tapi agar Klepon senang, dia sampaikan tebakannya.
“Pasti isinya es krim rasa stroberi?,” kata bu guru.
Klepon geleng kepala.
“Rasa nanas?” Bu guru belum nyerah.
Klepon geleng lagi. Bu guru ngangguk-angguk.
“Rasa melon ya?”
Klepon hanya senyum sambil menggelengkan kepala.
“Pisang? Kalo ini masih salah, bu guru nyerah deh.”
Kepala Klepon godek. “Isinya bukan es krim bu,” katanya.
“Lalu?”
“Anak anjing.”
Nah tuh. Makanya jangan celamitan ya.
Wednesday, September 05, 2007
Safety Player
Para pengecut bertebaran di sekitar kita. Pecundang juga sama. Tapi jangan-jangan? Jangan-jangan, salah satunya adalah kita. Saya, yang nulis ini, atau anda, yang baca itu eh ini. Hayo, hiya ato hiya. Ngaku ajalah. Atau barangkali kita nggak ngerasa kalo kita ini pengecut, nggak beranian. Nggak jantan. Nggak sportif. Nggak berani mengakui kemenangan lawan. Takut melihat kelebihan orang lain.
Bisa jadi kita ini juga seorang pecundang. Seorang loser. Selalu melihat risiko pada setiap peluang yang muncul. Jebakan aja yang dipikirkan, bukannya kesempatan. Sirik terhadap orang lain. Nah, jadi repot sendiri kan kalo begitu? Kapan majunya kalo terus-terusan begitu?
Sebuah istilah yang kedengarannya bagus tapi untuk kasus tertentu sebenarnya bungkusnya doang adalah safety player. Sedangkan isinya? Sampah! Siapa sampah-sampah tersebut? Ya para pengecut dan pecundang itulah. Jadi kadang-kadang untuk menghindari risiko yang bakal muncul, dia lebih memilih untuk menjadi safety player. Hanya yang enak-enak saja yang akan dicaploknya. Tapi kalo yang enak itu ada risikonya dan dia yang harus menghadapinya, ya entar dulu. Kalo bisa orang lain yang menanggung risikonya dan saya yang menikmati rewardnya, kenapa tidak? Itulah prinsip mereka. Selalu memilih untuk menjadi safety player. Aman dari kegagalan, aman dari bahaya. Biarlah orang lain yang berjuang. Si safety player ini cukup mengamati dari dekat, sukur-sukur bisa dari tempat jauh. Kalo perlu pake teropong. Jadi, nggak bakal kecipratan (emang maen aer?).
Tau burung (bukan titit!) kondor ato yang suka juga disebut burung bangke? Seperti itulah kadang seorang safety player. Dari ketinggian di angkasa dia mengamati kelompok harimau yang sedang menikmati hasil buruannya. Seekor bangke binatang yang gemuk. Si burung ini hanya melayang-layang di atasnya sambil lihat-lihat kesempatan. Sapa tau si raja hutan itu lengah, jadi ada peluang untuk ngupil eh ngutil. Kalopun tidak, pemangsa bangke ini akan menunggu dengan sabar sampe yang ditunggu selesai menikmati santap siangnya. Yang tertinggal, tulang-belulang dan sedikit daging yang menempel, sudah cukup buatnya. Lumayan kan. Daripada harus berburu sendiri. Bisa-bisa malah diuber-uber sama mangsa yang tadinya mau dia uber-uber. Apalagi kalo yang mau diuber itu seekor bison (kebo liar). Enggak deh, terima kasih. Nah, gitu tu kelakuannya si safety player kita.
Ato, pernah liat sepakbola? Saya nanya gitu nggak ada urusannya anda ini jantan ato betina (mas-mas, saya ini manusia bukan binatang, tolong yang sopan dikit ya, jangan dijantanbetinain ya *marah, tapi masih bisa ditahan*. Oh, iya iya *sambil membungkuk-bungkuk sampe bongkok udang* maap-maap). Mangsutnye aye nanya gitu hanya sekedar memberi perbandingan. Kalo anda hobinya nonton bola, ya seperti itu jugalah hobinya si safety player. Dia lebih suka jadi penonton dari pada pemain. Nanti kalo giliran mukulin wasit seperti nasib wasit kita Donald Luther Kolopita (kompetisi olah raga bela diri karate) di negeri jiran yang dikeroyok empat polisi diraja Malaysia (24/8), ato nendangin wasit bola seperti saat ada pertandingan bola di Palangka Raya tempo hari, baru si safety player jadi pemain. Pukul, tendang, pukul lagi, tendang lagi. Tarik maaaaaaaaang (halah, biasa ndangndut). Seorang safety player sejati alergi kalo harus jadi pemain.
Jadi, kalo ada sebuah kejadian, yah contohnya pertandingan bola tadilah, kan ada tiga pilihan yang bisa diambil. Masing-masing pilihan bisa mencerminkan siapa si pemilih itu. Seekor pengecut kah (eh, seorang ya?), seorang jagoan kah, ato seorang penderita ayan kah (yang terakhir ini ngeri banget ya)?
Pilihan pertama yang bisa diambil adalah menjadi seorang pemain. Kita jadi jagoannya. Kita terlibat langsung di dalamnya. Jadi kita bisa melakukan heading, hattrick, matrix, ato bahkan sebage jurix (udah deh mulai ngawur). Artinya kita yang menentukan. Sukses tidaknya kita yang berperan disitu, karena kita pelaku dari peristiwa yang sedang berlangsung itu. Apapun yang terjadi akan dihadapi. Berhasil, itu yang diharapkan. Gagal, emang itu risiko yang sudah siap ditanggung dan memang sudah selayaknya terjadi.
Pilihan kedua, jadi penonton. Ya inilah orang-orang dari golongan sesat. Jadi mayoritas orang Indonesia sesat dong, kan mereka banyak yang maniak bola? Bukan. Bukan itu. Itu kan perasaan anda saja. Para penonton inilah yang bisa ditamsilkan (kok kayaknya kuno banget ya pake kata ini) sebagai safety player. Mereka bersorak-ria ketika terjadi gol. Mereka bersenang-senang ketika usulan kenaikan gaji yang diajukan pasukan berani mati disetujui manajemen. Mereka akan bilang tidak dan geleng kepala kalo ditanya apakah ikut terlibat ketika usulan yang diajukan itu membuat marah sang pemilik yang kemudian melontarkan ancaman pemecatan kepada siapa saja yang terlibat. Semua telunjuknya, kalo perlu semua jari tangan dan kakinya, akan mengarah ke orang ato orang-orang yang memperjuangkan nasib yang termasuk nasib mereka para safety player. Mereka juga akan ngomel-ngomel, menyalahkan para pemberani ini kalo usulan yang diajukan gagal diperjuangkan. Intinya, mereka hanya mau menghisap madunya, bebas terkena sengatan lebahnya.
Pilihan ketiga adalah pilihannya orang-orang aneh. Dibilang ayan ya bisa jadi (kalo anda tega), dibilang gendeng mungkin ada benernya juga, dikatakan kelompok yang hidup dalam dunianya sendiri bak penderita schizophrenia ya mungkin nggak salah, terserahlah anda mau menyebut apa terhadap mereka. Gimana nggak aneh kalo sementara orang lain bermain dan yang lainya menonton, dianya sendiri malah cengok. Pikirannya ke mana-mana, yang pasti nggak kesitu. Dia nggak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Terus ngapain dia njogrog di tempat itu. Main tidak, nonton bukan. Lieur teuing. Tapi herannya, ada orang yang seperti ini. Untungnya, orang ini bukan ato tidak bisa dimasukkan ke komunitas safety player. Dia itu bukan somebody, ato something. Dia itu NOTHING. Karena nothing, mending nggak usah berlama-lama ya kita ngomonginnya? (lagian sapa yang nyuruh, wek!)
Sekarang, sekali lagi, ambil cermin. Liat tuh jidatnya. Ada nggak tulisan ‘safety player’. Kalo jelas ada, pake spidol gede merah lagi, mending segera bertobat deh. Sebelum azab datang. DUARRRRRR......
Bisa jadi kita ini juga seorang pecundang. Seorang loser. Selalu melihat risiko pada setiap peluang yang muncul. Jebakan aja yang dipikirkan, bukannya kesempatan. Sirik terhadap orang lain. Nah, jadi repot sendiri kan kalo begitu? Kapan majunya kalo terus-terusan begitu?
Sebuah istilah yang kedengarannya bagus tapi untuk kasus tertentu sebenarnya bungkusnya doang adalah safety player. Sedangkan isinya? Sampah! Siapa sampah-sampah tersebut? Ya para pengecut dan pecundang itulah. Jadi kadang-kadang untuk menghindari risiko yang bakal muncul, dia lebih memilih untuk menjadi safety player. Hanya yang enak-enak saja yang akan dicaploknya. Tapi kalo yang enak itu ada risikonya dan dia yang harus menghadapinya, ya entar dulu. Kalo bisa orang lain yang menanggung risikonya dan saya yang menikmati rewardnya, kenapa tidak? Itulah prinsip mereka. Selalu memilih untuk menjadi safety player. Aman dari kegagalan, aman dari bahaya. Biarlah orang lain yang berjuang. Si safety player ini cukup mengamati dari dekat, sukur-sukur bisa dari tempat jauh. Kalo perlu pake teropong. Jadi, nggak bakal kecipratan (emang maen aer?).
Tau burung (bukan titit!) kondor ato yang suka juga disebut burung bangke? Seperti itulah kadang seorang safety player. Dari ketinggian di angkasa dia mengamati kelompok harimau yang sedang menikmati hasil buruannya. Seekor bangke binatang yang gemuk. Si burung ini hanya melayang-layang di atasnya sambil lihat-lihat kesempatan. Sapa tau si raja hutan itu lengah, jadi ada peluang untuk ngupil eh ngutil. Kalopun tidak, pemangsa bangke ini akan menunggu dengan sabar sampe yang ditunggu selesai menikmati santap siangnya. Yang tertinggal, tulang-belulang dan sedikit daging yang menempel, sudah cukup buatnya. Lumayan kan. Daripada harus berburu sendiri. Bisa-bisa malah diuber-uber sama mangsa yang tadinya mau dia uber-uber. Apalagi kalo yang mau diuber itu seekor bison (kebo liar). Enggak deh, terima kasih. Nah, gitu tu kelakuannya si safety player kita.
Ato, pernah liat sepakbola? Saya nanya gitu nggak ada urusannya anda ini jantan ato betina (mas-mas, saya ini manusia bukan binatang, tolong yang sopan dikit ya, jangan dijantanbetinain ya *marah, tapi masih bisa ditahan*. Oh, iya iya *sambil membungkuk-bungkuk sampe bongkok udang* maap-maap). Mangsutnye aye nanya gitu hanya sekedar memberi perbandingan. Kalo anda hobinya nonton bola, ya seperti itu jugalah hobinya si safety player. Dia lebih suka jadi penonton dari pada pemain. Nanti kalo giliran mukulin wasit seperti nasib wasit kita Donald Luther Kolopita (kompetisi olah raga bela diri karate) di negeri jiran yang dikeroyok empat polisi diraja Malaysia (24/8), ato nendangin wasit bola seperti saat ada pertandingan bola di Palangka Raya tempo hari, baru si safety player jadi pemain. Pukul, tendang, pukul lagi, tendang lagi. Tarik maaaaaaaaang (halah, biasa ndangndut). Seorang safety player sejati alergi kalo harus jadi pemain.
Jadi, kalo ada sebuah kejadian, yah contohnya pertandingan bola tadilah, kan ada tiga pilihan yang bisa diambil. Masing-masing pilihan bisa mencerminkan siapa si pemilih itu. Seekor pengecut kah (eh, seorang ya?), seorang jagoan kah, ato seorang penderita ayan kah (yang terakhir ini ngeri banget ya)?
Pilihan pertama yang bisa diambil adalah menjadi seorang pemain. Kita jadi jagoannya. Kita terlibat langsung di dalamnya. Jadi kita bisa melakukan heading, hattrick, matrix, ato bahkan sebage jurix (udah deh mulai ngawur). Artinya kita yang menentukan. Sukses tidaknya kita yang berperan disitu, karena kita pelaku dari peristiwa yang sedang berlangsung itu. Apapun yang terjadi akan dihadapi. Berhasil, itu yang diharapkan. Gagal, emang itu risiko yang sudah siap ditanggung dan memang sudah selayaknya terjadi.
Pilihan kedua, jadi penonton. Ya inilah orang-orang dari golongan sesat. Jadi mayoritas orang Indonesia sesat dong, kan mereka banyak yang maniak bola? Bukan. Bukan itu. Itu kan perasaan anda saja. Para penonton inilah yang bisa ditamsilkan (kok kayaknya kuno banget ya pake kata ini) sebagai safety player. Mereka bersorak-ria ketika terjadi gol. Mereka bersenang-senang ketika usulan kenaikan gaji yang diajukan pasukan berani mati disetujui manajemen. Mereka akan bilang tidak dan geleng kepala kalo ditanya apakah ikut terlibat ketika usulan yang diajukan itu membuat marah sang pemilik yang kemudian melontarkan ancaman pemecatan kepada siapa saja yang terlibat. Semua telunjuknya, kalo perlu semua jari tangan dan kakinya, akan mengarah ke orang ato orang-orang yang memperjuangkan nasib yang termasuk nasib mereka para safety player. Mereka juga akan ngomel-ngomel, menyalahkan para pemberani ini kalo usulan yang diajukan gagal diperjuangkan. Intinya, mereka hanya mau menghisap madunya, bebas terkena sengatan lebahnya.
Pilihan ketiga adalah pilihannya orang-orang aneh. Dibilang ayan ya bisa jadi (kalo anda tega), dibilang gendeng mungkin ada benernya juga, dikatakan kelompok yang hidup dalam dunianya sendiri bak penderita schizophrenia ya mungkin nggak salah, terserahlah anda mau menyebut apa terhadap mereka. Gimana nggak aneh kalo sementara orang lain bermain dan yang lainya menonton, dianya sendiri malah cengok. Pikirannya ke mana-mana, yang pasti nggak kesitu. Dia nggak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Terus ngapain dia njogrog di tempat itu. Main tidak, nonton bukan. Lieur teuing. Tapi herannya, ada orang yang seperti ini. Untungnya, orang ini bukan ato tidak bisa dimasukkan ke komunitas safety player. Dia itu bukan somebody, ato something. Dia itu NOTHING. Karena nothing, mending nggak usah berlama-lama ya kita ngomonginnya? (lagian sapa yang nyuruh, wek!)
Sekarang, sekali lagi, ambil cermin. Liat tuh jidatnya. Ada nggak tulisan ‘safety player’. Kalo jelas ada, pake spidol gede merah lagi, mending segera bertobat deh. Sebelum azab datang. DUARRRRRR......
Tuesday, September 04, 2007
Over Qualified
Boleh saja koar-koar memamerkan kemampuan. Nggak ada yang nglarang kok. Juga kalo memang pengen show off. Cuman mungkin, buat yang waras dan penganut aliran ilmu padi, kelakuan itu terlihat norak. Atau malah dicap sebagai orang yang nggak tau diri. Kalo yang ekstrim apalagi dicampur sedikit unsur benci sama anda, malah ada yang menyebutnya orang gila. Emang enak?
Permulaan tulisan yang agak membingungkan? Atau bukan agak lagi malah? Terserahlah. Tapi emang di sekitar kita banyak, atau bisa juga sedikit, orang yang berkelakuan seperti itu. Maksud saya, ada orang-orang yang suka pamer. Apapun. Kemampuan, kekayaan, kecantikan, kejantanan (kok kayak ayam?), atau hal-hal yang negatif tapi membanggakan buat yang punya (kalo saya sih nggak bangga, tapi malu, eh kadang-kadang bangga juga ding kalo lagi kumat anunya). Yah, seperti kemalasan, kejorokan, kebauan (apa ini?), kemaluan (kalo ini bingung aku mesti gimana njelasinnya), dan remeh-temeh negatif lainnya. Anda punya yang jelek-jelek itu? Syukurlah kalo gitu. Berarti anda manusia normal (ngerti nggak?).
Intinya gini. Pada dasarnya semua orang bangga dengan kelebihan yang dia miliki. Bisa positif bisa negatif, terutama yang positif. Yang kurus bangga dengan kekurusannya. Biar terdengar menyenangkan dan membanggakan, maka disebut memiliki tubuh yang langsing (meskipun bisa jadi sebenarnya penyakitan). Yang molegh, MAKSUDNYA GENDUT (*kedua telapak tangan membentuk corong didepan mulut*), gembira dan sombong (boleh kan menyombongkan barang sendiri?) dengan suburnya badan yang dipunyai. Apapun yang dimiliki, emang sudah seharusnya dibanggakan. Nggak sehatlah yang namanya gampang mengeluh. Dikit dikit, ngeluh. Dikit dikit, ngeluh. Itu nggak ikhlas namanya. Tidak nrimo ing pandum. Nggak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Belek segede gajah di pelupuk mata tak tampak, kutil di seberang lautan tampak jelas (kayaknya ada yang nggak beres deh dengan peribahasa ini). Kadang-kadang orang itu suka bikin susah sendiri ya? Sudah punya badan seger sehat, dikurus-kurusin. Katanya pengen slim. Eee… giliran sudah kerempeng, penyakitan lagi, bingung sendiri. Yang gendut, takut dibilang nggak seksi, trus diet. Padahal, kalo pengen tau, sebagian cowok justru menganggap seksi kalo cewek itu badannya bongsor. Bahkan ada yang suka selain gendut juga agak bau-bau gimana gitu. Eksotik katanya.
Trus gimana kalo orang itu diem aja, nggak suka show off (pamer), badan meringkuk kayak udang, ngences (ada anak sungai di pipinya), mulutnya mangap, dan matanya merem? Itu mah orang molor! Ngaco ya? Maksud saya gini, ini serius. Bener, swear. Kadang ada orang yang memiliki sesuatu, biasanya kemampuan, ketrampilan, keahlian, pengalaman, atau gabungan dari beberapa maupun semuanya, tetapi sesuatunya itu melebihi dari yang dibutuhkan. Nah kalo ini yang terjadi, itu namanya over qualified. Orangnya sendiri mungkin suka pamer, arogan, tengil, atau ramah, diem setenang kuburan, disiplin, rajin, suka menolong, dan tidak sombong.
Dalam posisi over qualified, jelas tidak menguntungkan. Si over qualified ini bisa-bisa stres di lingkungan yang ada di bawah standarnya. Apa yang dia miliki tidak terserap oleh sekitarnya. Bisa jadi karena memang kemampuan yang dipunyai lingkungannya tidak nyampe ke level yang dia miliki. Kasiaaaaaannnn deh lu. Cara yang bisa dilakukan adalah mengup-grade lingkungan yang ada ke standar dia. Atau kalau ingin tidak stres, ya jangan lama-lama di situ. Segera cabut dari kubangan itu (kebo kale). Beres.
Saya punya satu contoh tentang over qualified ini. Seorang teman setelah tidak kerja lagi segera membuat surat lamaran. 50 berkas surat lamaran dia sebar ke perusahaan-perusahaan. Tentu saja bukan perusahaan moyangnya. Tunggu punya tunggu, tidak ada satupun surat yang dia kirim mendapat jawaban. Rupanya, cv yang dia lampirkan memposisikan dirinya sebagai orang yang over qualified untuk posisi yang dilamarnya. Orang perusahaan bingung mau ditaruh dimana temen saya ini melihat pengalaman kerjanya yang pernah menjabat tiga kali sebagai direktur. Akhirnya, ya udah, dia bikin perusahaan sendiri.
Tapi ente jangan merasa over qualified dulu, meskipun memiliki posisi yang lebih tinggi dari yang lain. Kalo ngomong aja nggak berani, sekalinya ngomong belepotan, ngalor ngidul, dan nggak jelas mana kepala mana ekor (ini pasti penjual belut, setidaknya pemburu uler lah). Atau berani ngomong, tapi nggak mutu, nggak ada isinya, tong kosong berbunyi nyaring (berarti minyaknya habis, soalnya ini tong bekas tempat minyak). Kalo anda juragan tapi sikap mentalnya kaya jongos, ya namanya ‘miwon’, sami mawon, atau ‘sasa’ sama saja, atau orang jadul bilang setali tiga uang, ada tali ada uang ada ubi ada talas(yang ini jelas ngaco).
Ngaca dulu lah (termasuk yang bikin ini). Jangan buru-buru memproklamirkan dirinya over qualified. Tapi percayalah, over qualified itu tidak mengenakkan, kadang menyakitkan. Apalagi di tengah-tengah orang yang nggatheli dan njelehi (menjengkelkan, norak, dan menjijikkan).
Permulaan tulisan yang agak membingungkan? Atau bukan agak lagi malah? Terserahlah. Tapi emang di sekitar kita banyak, atau bisa juga sedikit, orang yang berkelakuan seperti itu. Maksud saya, ada orang-orang yang suka pamer. Apapun. Kemampuan, kekayaan, kecantikan, kejantanan (kok kayak ayam?), atau hal-hal yang negatif tapi membanggakan buat yang punya (kalo saya sih nggak bangga, tapi malu, eh kadang-kadang bangga juga ding kalo lagi kumat anunya). Yah, seperti kemalasan, kejorokan, kebauan (apa ini?), kemaluan (kalo ini bingung aku mesti gimana njelasinnya), dan remeh-temeh negatif lainnya. Anda punya yang jelek-jelek itu? Syukurlah kalo gitu. Berarti anda manusia normal (ngerti nggak?).
Intinya gini. Pada dasarnya semua orang bangga dengan kelebihan yang dia miliki. Bisa positif bisa negatif, terutama yang positif. Yang kurus bangga dengan kekurusannya. Biar terdengar menyenangkan dan membanggakan, maka disebut memiliki tubuh yang langsing (meskipun bisa jadi sebenarnya penyakitan). Yang molegh, MAKSUDNYA GENDUT (*kedua telapak tangan membentuk corong didepan mulut*), gembira dan sombong (boleh kan menyombongkan barang sendiri?) dengan suburnya badan yang dipunyai. Apapun yang dimiliki, emang sudah seharusnya dibanggakan. Nggak sehatlah yang namanya gampang mengeluh. Dikit dikit, ngeluh. Dikit dikit, ngeluh. Itu nggak ikhlas namanya. Tidak nrimo ing pandum. Nggak puas dengan apa yang sudah dimiliki. Belek segede gajah di pelupuk mata tak tampak, kutil di seberang lautan tampak jelas (kayaknya ada yang nggak beres deh dengan peribahasa ini). Kadang-kadang orang itu suka bikin susah sendiri ya? Sudah punya badan seger sehat, dikurus-kurusin. Katanya pengen slim. Eee… giliran sudah kerempeng, penyakitan lagi, bingung sendiri. Yang gendut, takut dibilang nggak seksi, trus diet. Padahal, kalo pengen tau, sebagian cowok justru menganggap seksi kalo cewek itu badannya bongsor. Bahkan ada yang suka selain gendut juga agak bau-bau gimana gitu. Eksotik katanya.
Trus gimana kalo orang itu diem aja, nggak suka show off (pamer), badan meringkuk kayak udang, ngences (ada anak sungai di pipinya), mulutnya mangap, dan matanya merem? Itu mah orang molor! Ngaco ya? Maksud saya gini, ini serius. Bener, swear. Kadang ada orang yang memiliki sesuatu, biasanya kemampuan, ketrampilan, keahlian, pengalaman, atau gabungan dari beberapa maupun semuanya, tetapi sesuatunya itu melebihi dari yang dibutuhkan. Nah kalo ini yang terjadi, itu namanya over qualified. Orangnya sendiri mungkin suka pamer, arogan, tengil, atau ramah, diem setenang kuburan, disiplin, rajin, suka menolong, dan tidak sombong.
Dalam posisi over qualified, jelas tidak menguntungkan. Si over qualified ini bisa-bisa stres di lingkungan yang ada di bawah standarnya. Apa yang dia miliki tidak terserap oleh sekitarnya. Bisa jadi karena memang kemampuan yang dipunyai lingkungannya tidak nyampe ke level yang dia miliki. Kasiaaaaaannnn deh lu. Cara yang bisa dilakukan adalah mengup-grade lingkungan yang ada ke standar dia. Atau kalau ingin tidak stres, ya jangan lama-lama di situ. Segera cabut dari kubangan itu (kebo kale). Beres.
Saya punya satu contoh tentang over qualified ini. Seorang teman setelah tidak kerja lagi segera membuat surat lamaran. 50 berkas surat lamaran dia sebar ke perusahaan-perusahaan. Tentu saja bukan perusahaan moyangnya. Tunggu punya tunggu, tidak ada satupun surat yang dia kirim mendapat jawaban. Rupanya, cv yang dia lampirkan memposisikan dirinya sebagai orang yang over qualified untuk posisi yang dilamarnya. Orang perusahaan bingung mau ditaruh dimana temen saya ini melihat pengalaman kerjanya yang pernah menjabat tiga kali sebagai direktur. Akhirnya, ya udah, dia bikin perusahaan sendiri.
Tapi ente jangan merasa over qualified dulu, meskipun memiliki posisi yang lebih tinggi dari yang lain. Kalo ngomong aja nggak berani, sekalinya ngomong belepotan, ngalor ngidul, dan nggak jelas mana kepala mana ekor (ini pasti penjual belut, setidaknya pemburu uler lah). Atau berani ngomong, tapi nggak mutu, nggak ada isinya, tong kosong berbunyi nyaring (berarti minyaknya habis, soalnya ini tong bekas tempat minyak). Kalo anda juragan tapi sikap mentalnya kaya jongos, ya namanya ‘miwon’, sami mawon, atau ‘sasa’ sama saja, atau orang jadul bilang setali tiga uang, ada tali ada uang ada ubi ada talas(yang ini jelas ngaco).
Ngaca dulu lah (termasuk yang bikin ini). Jangan buru-buru memproklamirkan dirinya over qualified. Tapi percayalah, over qualified itu tidak mengenakkan, kadang menyakitkan. Apalagi di tengah-tengah orang yang nggatheli dan njelehi (menjengkelkan, norak, dan menjijikkan).
Subscribe to:
Posts (Atom)