Para pengecut bertebaran di sekitar kita. Pecundang juga sama. Tapi jangan-jangan? Jangan-jangan, salah satunya adalah kita. Saya, yang nulis ini, atau anda, yang baca itu eh ini. Hayo, hiya ato hiya. Ngaku ajalah. Atau barangkali kita nggak ngerasa kalo kita ini pengecut, nggak beranian. Nggak jantan. Nggak sportif. Nggak berani mengakui kemenangan lawan. Takut melihat kelebihan orang lain.
Bisa jadi kita ini juga seorang pecundang. Seorang loser. Selalu melihat risiko pada setiap peluang yang muncul. Jebakan aja yang dipikirkan, bukannya kesempatan. Sirik terhadap orang lain. Nah, jadi repot sendiri kan kalo begitu? Kapan majunya kalo terus-terusan begitu?
Sebuah istilah yang kedengarannya bagus tapi untuk kasus tertentu sebenarnya bungkusnya doang adalah safety player. Sedangkan isinya? Sampah! Siapa sampah-sampah tersebut? Ya para pengecut dan pecundang itulah. Jadi kadang-kadang untuk menghindari risiko yang bakal muncul, dia lebih memilih untuk menjadi safety player. Hanya yang enak-enak saja yang akan dicaploknya. Tapi kalo yang enak itu ada risikonya dan dia yang harus menghadapinya, ya entar dulu. Kalo bisa orang lain yang menanggung risikonya dan saya yang menikmati rewardnya, kenapa tidak? Itulah prinsip mereka. Selalu memilih untuk menjadi safety player. Aman dari kegagalan, aman dari bahaya. Biarlah orang lain yang berjuang. Si safety player ini cukup mengamati dari dekat, sukur-sukur bisa dari tempat jauh. Kalo perlu pake teropong. Jadi, nggak bakal kecipratan (emang maen aer?).
Tau burung (bukan titit!) kondor ato yang suka juga disebut burung bangke? Seperti itulah kadang seorang safety player. Dari ketinggian di angkasa dia mengamati kelompok harimau yang sedang menikmati hasil buruannya. Seekor bangke binatang yang gemuk. Si burung ini hanya melayang-layang di atasnya sambil lihat-lihat kesempatan. Sapa tau si raja hutan itu lengah, jadi ada peluang untuk ngupil eh ngutil. Kalopun tidak, pemangsa bangke ini akan menunggu dengan sabar sampe yang ditunggu selesai menikmati santap siangnya. Yang tertinggal, tulang-belulang dan sedikit daging yang menempel, sudah cukup buatnya. Lumayan kan. Daripada harus berburu sendiri. Bisa-bisa malah diuber-uber sama mangsa yang tadinya mau dia uber-uber. Apalagi kalo yang mau diuber itu seekor bison (kebo liar). Enggak deh, terima kasih. Nah, gitu tu kelakuannya si safety player kita.
Ato, pernah liat sepakbola? Saya nanya gitu nggak ada urusannya anda ini jantan ato betina (mas-mas, saya ini manusia bukan binatang, tolong yang sopan dikit ya, jangan dijantanbetinain ya *marah, tapi masih bisa ditahan*. Oh, iya iya *sambil membungkuk-bungkuk sampe bongkok udang* maap-maap). Mangsutnye aye nanya gitu hanya sekedar memberi perbandingan. Kalo anda hobinya nonton bola, ya seperti itu jugalah hobinya si safety player. Dia lebih suka jadi penonton dari pada pemain. Nanti kalo giliran mukulin wasit seperti nasib wasit kita Donald Luther Kolopita (kompetisi olah raga bela diri karate) di negeri jiran yang dikeroyok empat polisi diraja Malaysia (24/8), ato nendangin wasit bola seperti saat ada pertandingan bola di Palangka Raya tempo hari, baru si safety player jadi pemain. Pukul, tendang, pukul lagi, tendang lagi. Tarik maaaaaaaaang (halah, biasa ndangndut). Seorang safety player sejati alergi kalo harus jadi pemain.
Jadi, kalo ada sebuah kejadian, yah contohnya pertandingan bola tadilah, kan ada tiga pilihan yang bisa diambil. Masing-masing pilihan bisa mencerminkan siapa si pemilih itu. Seekor pengecut kah (eh, seorang ya?), seorang jagoan kah, ato seorang penderita ayan kah (yang terakhir ini ngeri banget ya)?
Pilihan pertama yang bisa diambil adalah menjadi seorang pemain. Kita jadi jagoannya. Kita terlibat langsung di dalamnya. Jadi kita bisa melakukan heading, hattrick, matrix, ato bahkan sebage jurix (udah deh mulai ngawur). Artinya kita yang menentukan. Sukses tidaknya kita yang berperan disitu, karena kita pelaku dari peristiwa yang sedang berlangsung itu. Apapun yang terjadi akan dihadapi. Berhasil, itu yang diharapkan. Gagal, emang itu risiko yang sudah siap ditanggung dan memang sudah selayaknya terjadi.
Pilihan kedua, jadi penonton. Ya inilah orang-orang dari golongan sesat. Jadi mayoritas orang Indonesia sesat dong, kan mereka banyak yang maniak bola? Bukan. Bukan itu. Itu kan perasaan anda saja. Para penonton inilah yang bisa ditamsilkan (kok kayaknya kuno banget ya pake kata ini) sebagai safety player. Mereka bersorak-ria ketika terjadi gol. Mereka bersenang-senang ketika usulan kenaikan gaji yang diajukan pasukan berani mati disetujui manajemen. Mereka akan bilang tidak dan geleng kepala kalo ditanya apakah ikut terlibat ketika usulan yang diajukan itu membuat marah sang pemilik yang kemudian melontarkan ancaman pemecatan kepada siapa saja yang terlibat. Semua telunjuknya, kalo perlu semua jari tangan dan kakinya, akan mengarah ke orang ato orang-orang yang memperjuangkan nasib yang termasuk nasib mereka para safety player. Mereka juga akan ngomel-ngomel, menyalahkan para pemberani ini kalo usulan yang diajukan gagal diperjuangkan. Intinya, mereka hanya mau menghisap madunya, bebas terkena sengatan lebahnya.
Pilihan ketiga adalah pilihannya orang-orang aneh. Dibilang ayan ya bisa jadi (kalo anda tega), dibilang gendeng mungkin ada benernya juga, dikatakan kelompok yang hidup dalam dunianya sendiri bak penderita schizophrenia ya mungkin nggak salah, terserahlah anda mau menyebut apa terhadap mereka. Gimana nggak aneh kalo sementara orang lain bermain dan yang lainya menonton, dianya sendiri malah cengok. Pikirannya ke mana-mana, yang pasti nggak kesitu. Dia nggak peduli dengan apa yang sedang terjadi. Terus ngapain dia njogrog di tempat itu. Main tidak, nonton bukan. Lieur teuing. Tapi herannya, ada orang yang seperti ini. Untungnya, orang ini bukan ato tidak bisa dimasukkan ke komunitas safety player. Dia itu bukan somebody, ato something. Dia itu NOTHING. Karena nothing, mending nggak usah berlama-lama ya kita ngomonginnya? (lagian sapa yang nyuruh, wek!)
Sekarang, sekali lagi, ambil cermin. Liat tuh jidatnya. Ada nggak tulisan ‘safety player’. Kalo jelas ada, pake spidol gede merah lagi, mending segera bertobat deh. Sebelum azab datang. DUARRRRRR......
Assalamu'alaikum pak.....he...he...he..
ReplyDeletepak saya jadi mau ketawa....ternyata manulis kejadian yang dialami bapak di internet. sabar ya pak............pasti bapak akan jadi pemenangnya kok.
semangat ya pak........