Menjadi kaya itu pilihan, bukan kesempatan. Anda percaya itu? Bila iya, berarti anda sepikiran dengan Burke Hedges dan Steve Price. Kedua orang ini menyatakan ide tersebut dalam bukunya The Parable Of The Pipeline yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi Membangun Saluran Pipa Kekayaan.
Mungkin tidak semua orang sependapat. Namun, bisa jadi pemikiran tersebut benar. Artinya, siapapun punya peluang untuk menjadi kaya. Siapa saja bisa menjadi miliarder asal mau melakukan tiga langkah yang sederhana. Meskipun sederhana tetapi nyatanya banyak yang tidak mampu atau, lebih tepatnya, tidak mau mengambil langkah tersebut.
Langkah pertama adalah paham, yaitu memahami dengan jelas cara mendapatkan dan mengumpulkan kekayaan. Banyak orang kaya yang secara akademis tidak pintar. Namun mereka memiliki kecerdasan secara finansial. Artinya, mereka bisa membedakan mana aset dan mana bukan. Segala yang dimiliki akan disebut aset bila menghasilkan uang buat mereka. Kadang-kadang kita menganggap harta yang kita miliki disebut aset, tetapi sebenarnya bukan. Justru mereka menyedot uang kita. Rumah misalnya. Rumah yang kita tinggali setiap tahunnya memerlukan biaya untuk perbaikan. Seorang cerdas secara finansial tidak menyebut rumah yang seperti ini sebagai aset. Sebuah rumah akan dikatakan aset kalau dia menghasilkan uang bagi pemiliknya. Contohnya apa? Rumah yang dikontrakkan atau dijadikan kost-kostan. Jadi selama sebuah rumah tidak menghasilkan uang, maka dia belum bisa disebut aset tetapi masih sebuah liabilitas.
Kedua, meniru. Dengan meniru sistem-sistem penciptaan kekayaan yang sudah terbukti keampuhannya, andapun bisa menjadi kaya sebagaimana jutawan atau miliarder lainnya. Salah satu bentuk sistem penciptaan kekayaan adalah dengan melakukan investasi. Bukan hanya orang dengan uang banyak yang bisa berinvestasi, mereka yang memiliki uang sedikitpun dapat melakukannya. Orang yang uangnya tidak banyak asal mau serius dan berkomitmen juga akan bisa menyisihkan uangnya untuk digunakan berinvestasi. Orang kaya dan orang miskin itu sama-sama memiliki kebutuhan. Tetapi kebutuhan mereka tidak sama. Karena gaya hidupnya, kebutuhan orang kaya lebih mahal. Sama-sama punya mobil, orang kaya mobilnya lebih mahal dan tentu saja perawatannya juga mahal. Kalau orang miskin makan di warung maka orang kaya makannya di restoran. Semakin banyak orang memiliki kekayaan, semakin banyak pula jumlah pengeluarannya. Dengan demikian, perbandingan pemasukan dan pengeluaran antara orang kaya dan orang miskin pada dasarnya sama saja.
Langkah ketiga yang perlu diambil untuk bisa menjadi kaya adalah konsisten. Bersikap konsisten dalam menerapkan sistem-sistem penciptaan kekayaan seiring dengan berjalannya waktu. Jangan berhenti dalam menerapkan sistem yang sudah terbukti berjalan dengan baik dan terus mencari sistem-sistem baru yang berbeda. Janganlah menaruh telur dalam satu keranjang. Kalau keranjang tersebut jatuh, hancurlah seluruh telur yang kita miliki. Bila sebuah sistem yang kita jalankan mengalami kegagalan, masih ada yang lain yang bisa diandalkan.
Burke dan Steve mengibaratkan orang-orang yang memiliki sistem ini seperti mempunyai pipa yang mengalirkan kekayaan terus-menerus dan tidak ada habis-habisnya ke dalam ember-ember pendapatan mereka. Sementara mereka yang hanya mengandalkan penghasilan dari gaji atau bayaran orang lain ibarat orang yang menikmati ember penghasilan yang suatu saat pasti akan habis. Seberapa banyak dan besar pun ember yang mereka miliki. Jadi kalau anda orang yang terlahir kaya, tetapi tidak mau membangun sistem penciptaan kekayaan, maka anda tinggal menunggu waktu kebangkrutan itu tiba.
Cukup sederhana bukan. Hanya dengan menjalankan ketiga langkah tersebut, orang biasa, termasuk anda, termasuk saya, memiliki kemungkinan memperoleh aset yang bernilai miliaran rupiah. Tinggal kitanya, mau nggak menjalankan langkah-langkah tersebut. Apa cuma mau ngomong doangggg...
Thursday, May 31, 2007
Wednesday, May 16, 2007
Oasis
Di padang pasir, oasis atau dalam bahasa Indonesia disebut oase merupakan surga dunia. Tempat tersebut dipenuhi dengan tanaman yang hijau dan gemericik air. Karena kondisinya yang kontras dengan lingkungan sekitarnya yang merupakan padang tandus, oasis menjadi tujuan semua orang.
Tadi siang saya menemukan oasis. Di Bogor ternyata ada. Bukan oasis dalam arti yang sebenarnya. Melainkan kiasan yang menggambarkan tempat yang sesuai dengan keinginanan, yang dapat memberikan ketenangan jiwa, kesejukan hati. Oasis tersebut berujud sebuah rumah makan khas Jawa Tengah bernama Resto Solo yang buka setiap hari kecuali Senin dari jam 10 s/d jam 9 malam. Lokasinya di dekat perumahan Vila Duta sederetan dengan BMC (Bogor Medical Centre). Konsep yang ditawarkan bukan hanya menu tetapi juga arsitektur dan interior yang khas Jawa Tengah. Bila dilihat bentuk dan bahan yang digunakan, bangunan serta interior rumah makan tersebut jelas didatangkan langsung dari asalnya di Jawa Tengah sana, mungkin Solo, mengingat nama rumah makan tersebut. Semua bernuansa tradisional, termasuk becak dan sepeda tua yang dijadikan pajangan di sebelah kiri kanan pintu masuk. Yang merupakan perangkat modern hanya televisi dan sebuah player yang digunakan untuk memperdengarkan alunan langgam jawa pengiring makan.
Menu yang ditawarkan juga identik Jawa Tengah, baik makanan utama, kudapan, maupun minumannya. Makanan utama yang disajikan misalnya nasi plus garang asem ayam, bestik sapi, gudeg, mangut, tumpang desa, dan kadang-kadang ditawarkan juga brongkos (sayur dari kulit melinjo/tangkil) dan sayur lodeh untuk hari-hari tertentu. Timlo solo ditawarkan hari Sabtu dan Minggu. Kudapan yang ditawarkan ada carang gesing, sosis solo, botok mlanding, krupuk karak, dan kacang tanah yang masih ada kulit arinya yang digoreng dengan bawang. Minumannya juga serba kampung. Tidak ada yang berbentuk kemasan kecuali teh botol. Yang lain, semua serba tradisional. Minuman jamu-jamuan juga ditawarkan seperti beras kencur, kunyit asem, gulo asem, temulawak, kunyit sirih. Saya sempat mencoba segelas es gulo asem dan satu gelas es degan gulo jowo. Kalau anda pengen kopi tubruk, minuman itu juga terdapat dalam daftar menu. Untuk menjaga ketradisionalannya, mereka tidak menyediakan softdrink bersoda satupun seperti coca-cola dan konco-konconya. Hebat.
Harganyapun masih bisa dikatakan wajar. Tidak mahal-mahal amat juga tidak terlalu murah. Harga makanan berkisar antara Rp.8000 s/d Rp.10000, kudapan Rp.1000 s/d Rp.2500, dan Rp.2500 s/d 5000 untuk minuman. Seperti minuman jamu, semua serba lima ribuan.
Saat makan siang di tempat tersebut, rasanya seperti kembali ke kampung halaman. Tempat dan menunya yang Jawa banget bisa jadi menarik perhatian Bondan yang ahli kuliner bila dia tahu. Dan pasti komentarnya: mak nyus.
Tadi siang saya menemukan oasis. Di Bogor ternyata ada. Bukan oasis dalam arti yang sebenarnya. Melainkan kiasan yang menggambarkan tempat yang sesuai dengan keinginanan, yang dapat memberikan ketenangan jiwa, kesejukan hati. Oasis tersebut berujud sebuah rumah makan khas Jawa Tengah bernama Resto Solo yang buka setiap hari kecuali Senin dari jam 10 s/d jam 9 malam. Lokasinya di dekat perumahan Vila Duta sederetan dengan BMC (Bogor Medical Centre). Konsep yang ditawarkan bukan hanya menu tetapi juga arsitektur dan interior yang khas Jawa Tengah. Bila dilihat bentuk dan bahan yang digunakan, bangunan serta interior rumah makan tersebut jelas didatangkan langsung dari asalnya di Jawa Tengah sana, mungkin Solo, mengingat nama rumah makan tersebut. Semua bernuansa tradisional, termasuk becak dan sepeda tua yang dijadikan pajangan di sebelah kiri kanan pintu masuk. Yang merupakan perangkat modern hanya televisi dan sebuah player yang digunakan untuk memperdengarkan alunan langgam jawa pengiring makan.
Menu yang ditawarkan juga identik Jawa Tengah, baik makanan utama, kudapan, maupun minumannya. Makanan utama yang disajikan misalnya nasi plus garang asem ayam, bestik sapi, gudeg, mangut, tumpang desa, dan kadang-kadang ditawarkan juga brongkos (sayur dari kulit melinjo/tangkil) dan sayur lodeh untuk hari-hari tertentu. Timlo solo ditawarkan hari Sabtu dan Minggu. Kudapan yang ditawarkan ada carang gesing, sosis solo, botok mlanding, krupuk karak, dan kacang tanah yang masih ada kulit arinya yang digoreng dengan bawang. Minumannya juga serba kampung. Tidak ada yang berbentuk kemasan kecuali teh botol. Yang lain, semua serba tradisional. Minuman jamu-jamuan juga ditawarkan seperti beras kencur, kunyit asem, gulo asem, temulawak, kunyit sirih. Saya sempat mencoba segelas es gulo asem dan satu gelas es degan gulo jowo. Kalau anda pengen kopi tubruk, minuman itu juga terdapat dalam daftar menu. Untuk menjaga ketradisionalannya, mereka tidak menyediakan softdrink bersoda satupun seperti coca-cola dan konco-konconya. Hebat.
Harganyapun masih bisa dikatakan wajar. Tidak mahal-mahal amat juga tidak terlalu murah. Harga makanan berkisar antara Rp.8000 s/d Rp.10000, kudapan Rp.1000 s/d Rp.2500, dan Rp.2500 s/d 5000 untuk minuman. Seperti minuman jamu, semua serba lima ribuan.
Saat makan siang di tempat tersebut, rasanya seperti kembali ke kampung halaman. Tempat dan menunya yang Jawa banget bisa jadi menarik perhatian Bondan yang ahli kuliner bila dia tahu. Dan pasti komentarnya: mak nyus.
Komunitas BEC
Andaikan manusia disuruh hidup sendiri, pasti bisa. Jangankan manusia, binatang yang tidak dilengkapi dengan akal saja mampu. Tetapi, karena pada dasarnya manusia adalah mahluk sosial, kita tidak dapat hidup selama bila berkelompok. Berinteraksi dengan lainnya merupakan kebutuhan yang tidak dapat diabaikan. Bisa anda bayangkan bila kita harus hidup sendiri, bengong, tidak ada tempat untuk curhat, menumpahkan kemarahan, atau sekedar mengobral sumpah-serapah. Bahkan, kadang-kadang, kehadiran manusia lain itu diperlukan meskipun hanya sekedar hadir secara fisik.
Saat Ical dan Yana (anak BEC angkatan 10) cerita di ruang saya kalau sedang membuat sebuah komunitas di dunia maya, saya respon secara positif. Memang itulah salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan dasar sebagai seorang manusia: bersosialisasi. Bahwa keinginan untuk terus bisa berinteraksi meskipun sudah lulus, saya dukung sepenuhnya. Juga harapan agar angkatan berikutnya bisa dan mau meneruskan media tersebut, saya doakan mudah-mudahan bisa terwujud.
Dengan adanya teknologi internet sangat memungkinkan untuk bisa saling berkomunikasi di sudut jagat manapun manusia berada asalkan ada jalur telepon. Oleh karena itu, bila anda alumni, kenal, atau pengen tahu tentang BEC dan ingin berinteraksi maka bisa masuk ke weblog yang mereka bangun dengan alamat http://communitybec.blogspot.com.
Bisa jadi komunitas maya tersebut belum sesuai dengan harapan anda. Tetapi setidaknya, dapat menjadi awalan yang baik untuk membangun sebuah peradaban yang mengikuti jaman. Kesempatan untuk bertemu secara fisik barangkali bisa menjadi barang yang langka. Kendalanya bisa berwujud biaya/uang atau waktu. Dengan adanya jalur komunikasi yang tidak terlalu mahal ini, tali silaturahmi tetap masih bisa dipelihara. Sampai sekarang saya masih bisa berkomunikasi dengan para sahabat yang sekarang tersebar di seluruh jagad raya. Saya masih bisa berhubungan dengan mantan teman kuliah yang sekarang ada di Belgia, Denmark, Amerika, Madiun, Blitar, Semarang, Jakarta, juga Bogor yang meskipun sekota nyatanya tidak mudah untuk face to face.
Saat Ical dan Yana (anak BEC angkatan 10) cerita di ruang saya kalau sedang membuat sebuah komunitas di dunia maya, saya respon secara positif. Memang itulah salah satu bentuk pemenuhan kebutuhan dasar sebagai seorang manusia: bersosialisasi. Bahwa keinginan untuk terus bisa berinteraksi meskipun sudah lulus, saya dukung sepenuhnya. Juga harapan agar angkatan berikutnya bisa dan mau meneruskan media tersebut, saya doakan mudah-mudahan bisa terwujud.
Dengan adanya teknologi internet sangat memungkinkan untuk bisa saling berkomunikasi di sudut jagat manapun manusia berada asalkan ada jalur telepon. Oleh karena itu, bila anda alumni, kenal, atau pengen tahu tentang BEC dan ingin berinteraksi maka bisa masuk ke weblog yang mereka bangun dengan alamat http://communitybec.blogspot.com.
Bisa jadi komunitas maya tersebut belum sesuai dengan harapan anda. Tetapi setidaknya, dapat menjadi awalan yang baik untuk membangun sebuah peradaban yang mengikuti jaman. Kesempatan untuk bertemu secara fisik barangkali bisa menjadi barang yang langka. Kendalanya bisa berwujud biaya/uang atau waktu. Dengan adanya jalur komunikasi yang tidak terlalu mahal ini, tali silaturahmi tetap masih bisa dipelihara. Sampai sekarang saya masih bisa berkomunikasi dengan para sahabat yang sekarang tersebar di seluruh jagad raya. Saya masih bisa berhubungan dengan mantan teman kuliah yang sekarang ada di Belgia, Denmark, Amerika, Madiun, Blitar, Semarang, Jakarta, juga Bogor yang meskipun sekota nyatanya tidak mudah untuk face to face.
Silaturahmi yang terus dipelihara juga membawa banyak keuntungan. Saya pernah ke Ujung Pandang atau Makassar untuk urusan kantor. Di saat waktu luang, saya sempatkan mengunjungi mantan teman kuliah saat di Jakarta. Dia kerja di pabrik biskuit. Setelah pamitan pulang, saya dibekali biskuit hasil produk tempat dia kerja buanyak banget. Hampir-hampir saya tidak bisa membawanya ke hotel tempat saya nginap. Saat ke medan saya usahakan mampir ke rumah teman yang tinggal di kota tersebut. Di Surabaya, teman yang tinggal di kota buaya itu mau repot-repot main ke hotel saat saya melakukan perjalanan dinas kesana. Bila bertemu dengan mereka semua, rasanya seperti ketemu saudara sendiri.
Buhul
Buhul itu beda dengan bisul. Tapi buhul sama artinya dengan simpul. Ikatan pada tali, itu yang disebut dengan buhul. Buhul itulah yang sedang dibuat oleh para pengajar BEC saat makan siang bersama di rumah makan Gurih 7 hari Kamis (10/5) minggu kemarin. Sebuah ikatan yang kuat sedang diupayakan untuk membuat rasa persaudaraan dan tali silaturahmi semakin solid. Dengan demikian kinerjanya akan semakin produktif.
Gurih 7 yang ada di Jl. Pajajaran (dekat Warung Jambu) yang dipilih karena tempat tersebut yang bisa dihubungi via telepon. Tadinya mau santap siang di rumah makan Kabayan. Karena tidak punya nomornya dan ketika mencoba menggunakan fasilitas 108, pihak Telkom malah ngasih nomor yang di Jakarta, diputuskanlah pergi ke Gurih 7. Dua-duanya merupakan rumah makan Sunda. Akan tetapi, Gurih 7 punya keunggulan. Disamping tempatnya yang lebih luas, dia juga menyediakan kolam ikan yang diisi dengan ikan emas yang ukurannya segede-gede bayi. Saung-saung yang berada di pinggiran kolam tersebut disediakan bagi para pengunjung yang ingin menikmati hidangan sambil memberi makan ikan, atau hanya sekedar melihat-lihat. Kalau di Kabayan, pengunjung hanya bisa melihat ikan yang ada di aquarium. Nggak asoy.
Kami ngeriung di saung yang ada di pinggir kolam yang sudah mereka sediakan atas pesanan kami. Sambil menunggu hidangan datang, kami ngobrol sambil menikmati ikan emas yang berenang kesana-kemari menunggu orang melemparkan makanan buat mereka. Sesuai dengan janji, dalam waktu yang tidak terlalu lama, hidangan satu-persatu mulai dikeluarkan. Gurami bakar dan goreng, ayam goreng, pepes tahu, semur jengkol, karedok, dan beberapa menu lainnya. Setelah semua pesanan komplit, masing-masing mulai sibuk menikmati makan siang.
Makanan yang tersisa di meja tinggal sedikit. Rupanya kami semua kelaparan. Sayur asem yang belum disentuh saya minta dibungkus untuk dibawa pulang. Sayang kalau tidak dibawa, sudah dibayar kok. Sambil menunggu turunnya makanan dalam perut, obrolan yang sempat terputus dilanjutkan.
Makan siang di luar tersebut dilakukan saat jam istirahat. Jam 11.30 kami mulai jalan. Diperkirakan waktu makan siangnya pasti melibihi jam 12.45 yang merupakan waktu masuk kembali. Dan memang iya. Bukannya kami tidak tahu kalau kepergian tersebut akan menyita waktu belajar. Akan tetapi, demi memperkuat kerjasama tim, resiko tersebut harus diambil. Bagaimanapun juga, kalau tim pengajarnya kompak, mahasiswa juga yang nantinya akan menikmati. Kalau pengajarnya seneng, fresh, tidak tegang, maka mahasiswa juga akan terbawa suasana tersebut. Jadi acara tersebut yang kelihatannya hanya untuk kepentingan pengajarnya saja sebenarnya juga untuk keperluan mahasiswa. Win-win solution lah. Tapi bagaimanapun juga, kalau para mahasiswa merasa dirugikan karena jam kuliahnya jadi terpotong, saya mewakili para pengajar yang lain mohon maaf. Bukan itu maksud kami. Swear deh.
Gurih 7 yang ada di Jl. Pajajaran (dekat Warung Jambu) yang dipilih karena tempat tersebut yang bisa dihubungi via telepon. Tadinya mau santap siang di rumah makan Kabayan. Karena tidak punya nomornya dan ketika mencoba menggunakan fasilitas 108, pihak Telkom malah ngasih nomor yang di Jakarta, diputuskanlah pergi ke Gurih 7. Dua-duanya merupakan rumah makan Sunda. Akan tetapi, Gurih 7 punya keunggulan. Disamping tempatnya yang lebih luas, dia juga menyediakan kolam ikan yang diisi dengan ikan emas yang ukurannya segede-gede bayi. Saung-saung yang berada di pinggiran kolam tersebut disediakan bagi para pengunjung yang ingin menikmati hidangan sambil memberi makan ikan, atau hanya sekedar melihat-lihat. Kalau di Kabayan, pengunjung hanya bisa melihat ikan yang ada di aquarium. Nggak asoy.
Kami ngeriung di saung yang ada di pinggir kolam yang sudah mereka sediakan atas pesanan kami. Sambil menunggu hidangan datang, kami ngobrol sambil menikmati ikan emas yang berenang kesana-kemari menunggu orang melemparkan makanan buat mereka. Sesuai dengan janji, dalam waktu yang tidak terlalu lama, hidangan satu-persatu mulai dikeluarkan. Gurami bakar dan goreng, ayam goreng, pepes tahu, semur jengkol, karedok, dan beberapa menu lainnya. Setelah semua pesanan komplit, masing-masing mulai sibuk menikmati makan siang.
Makanan yang tersisa di meja tinggal sedikit. Rupanya kami semua kelaparan. Sayur asem yang belum disentuh saya minta dibungkus untuk dibawa pulang. Sayang kalau tidak dibawa, sudah dibayar kok. Sambil menunggu turunnya makanan dalam perut, obrolan yang sempat terputus dilanjutkan.
Makan siang di luar tersebut dilakukan saat jam istirahat. Jam 11.30 kami mulai jalan. Diperkirakan waktu makan siangnya pasti melibihi jam 12.45 yang merupakan waktu masuk kembali. Dan memang iya. Bukannya kami tidak tahu kalau kepergian tersebut akan menyita waktu belajar. Akan tetapi, demi memperkuat kerjasama tim, resiko tersebut harus diambil. Bagaimanapun juga, kalau tim pengajarnya kompak, mahasiswa juga yang nantinya akan menikmati. Kalau pengajarnya seneng, fresh, tidak tegang, maka mahasiswa juga akan terbawa suasana tersebut. Jadi acara tersebut yang kelihatannya hanya untuk kepentingan pengajarnya saja sebenarnya juga untuk keperluan mahasiswa. Win-win solution lah. Tapi bagaimanapun juga, kalau para mahasiswa merasa dirugikan karena jam kuliahnya jadi terpotong, saya mewakili para pengajar yang lain mohon maaf. Bukan itu maksud kami. Swear deh.
Sunday, May 06, 2007
Bezuk Ucup
Tadinya pada hari itu (Jum’at, 4/5) mau pulang cepet. Tapi, ketika denger anak-anak mau rame-rame nengok Ucup yang lagi sakit, saya putuskan untuk menunda pulang. Mumpung lagi ada temennya, rame lagi selain saya juga nggak tahu rumahnya, saya ikutan bezuk.
Emang nggak gampang dicari posisi rumahnya. Untungnya saya ikut mereka yang sudah tahu dan pernah ke sana. Kalau nggak, pasti deh saya musti nanya-nanya kalau nggak pakai kesasar dulu di perkampungan Panaragan yang padat di tepi sungai Cisadane.
Saat tiba di tujuan ternyata sudah ada rombongan lain yang nyampai duluan. Makin ramelah jadinya. Sementara yang sakit bukannya dikasihani malah jadi bahan ledekan. Dasar anaknya tidak terlalu banyak omong, apalagi dalam keadaan sakit seperti itu, ya udahlah, hanya senyum-senyum saja.
Tadinya kami duduk-duduk di ruang tamu. Oleh ibunya kemudian kami disuruh naik ke atas ke tempat yang lebih luas karena tidak ada meja kursi tamu. Ternyata benar. Di atas lebih lapang, meskipun ukuran ruangannya sama dengan yang di bawah. Si Ucup tetap jadi bahan ledekan. Mudah-mudahan saja jadi obat ya.
Setelah beberapa saat ikut mendengarkan mereka saling ngecengin satu dengan yang lainnya, saya sendiri tidak terlalu banyak omong, kalah suara dengan mereka yang mayoritas, saya pamitan pulang. Mengingat jam setengah tujuh nanti harus ngajar lagi anak-anak yang kursus di rumah, mau nggak mau harus pulang meskipun sebenarnya masih ingin ikut nongkrong. Ibu dan kakak-kakaknya Ucup juga mencoba menahan saya. Apa boleh buat, ada kewajiban lain yang harus dijalankan. Bagi bagi waktu lah.
Emang nggak gampang dicari posisi rumahnya. Untungnya saya ikut mereka yang sudah tahu dan pernah ke sana. Kalau nggak, pasti deh saya musti nanya-nanya kalau nggak pakai kesasar dulu di perkampungan Panaragan yang padat di tepi sungai Cisadane.
Saat tiba di tujuan ternyata sudah ada rombongan lain yang nyampai duluan. Makin ramelah jadinya. Sementara yang sakit bukannya dikasihani malah jadi bahan ledekan. Dasar anaknya tidak terlalu banyak omong, apalagi dalam keadaan sakit seperti itu, ya udahlah, hanya senyum-senyum saja.
Tadinya kami duduk-duduk di ruang tamu. Oleh ibunya kemudian kami disuruh naik ke atas ke tempat yang lebih luas karena tidak ada meja kursi tamu. Ternyata benar. Di atas lebih lapang, meskipun ukuran ruangannya sama dengan yang di bawah. Si Ucup tetap jadi bahan ledekan. Mudah-mudahan saja jadi obat ya.
Setelah beberapa saat ikut mendengarkan mereka saling ngecengin satu dengan yang lainnya, saya sendiri tidak terlalu banyak omong, kalah suara dengan mereka yang mayoritas, saya pamitan pulang. Mengingat jam setengah tujuh nanti harus ngajar lagi anak-anak yang kursus di rumah, mau nggak mau harus pulang meskipun sebenarnya masih ingin ikut nongkrong. Ibu dan kakak-kakaknya Ucup juga mencoba menahan saya. Apa boleh buat, ada kewajiban lain yang harus dijalankan. Bagi bagi waktu lah.
Subscribe to:
Posts (Atom)