Sebenarnya dunia ajar mengajar bukan barang baru buat saya. Tahun 1992 s/d 2001, ketika saya kerja di perusahaan yang memasarkan produk telekomunikasi dari Perancis, Alcatel, kegiatan menularkan ilmu sudah saya jalani. Karena menduduki posisi yang tugasnya mengelola dealer di seluruh Indonesia yang menjadi distributor produk Perancis tersebut, memperkenalkan produk baru dan fasilitasnya juga menjadi bagian dari pekerjaan saya saat itu. Meskipun tidak berstatus sebagai guru atau dosen, pekerjaan seperti yang mereka lakukan juga saya kerjakan.
1 September 2001, saya
resign dari Alcatel. Uang pesangon yang saya terima, saya belikan satu set komputer untuk mendukung kegiatan baru yang mulai saya rintis, mengajar bahasa Inggris untuk anak-anak sekolah dasar. Sejak saat itu, mulailah saya menggeluti kegiatan sebagai pengajar.
Menjadi pengajar bukan profesi yang gampang, tapi juga bukan pekerjaan yang sulit untuk dilakukan. Setelah praktek langsung dan membaca berbagai referensi pengajaran, ada benang merah yang bisa saya tarik. (Kenapa selalu benang merah ya? Padahal seluruh warna itu indah. Yang nggak indah itu kalau buta warna.) Banyak pengetahuan, trik, teknik, tip, atau apapun istilahnya, tentang cara mengajar yang bisa dicoba. Tetapi bagi saya, yang terpenting adalah bukan segala sistem dan tetek-bengeknya, melainkan pelakunya sendiri. Pengajarnya. Sebagus apapun kurikulum yang disusun, pengajar sampah tetap sampah. Secanggih apapun komputer yang dijadikan sarana penunjang, guru yang tidak
qualified akan tetap kelihatan.
Antara mahasiswa dan dosen, antara murid dan guru, adalah sama. Mereka semua manusia, yang memiliki akal, emosi, dan hati nurani. Bila ada pengajar yang menyakiti hati anak didiknya, jangan berharap akal siswanya mau menerima apa yang dia berikan. Kalau emosi negatif siswanya yang dimunculkan, seorang pengajar hanya akan menerima penolakan. Bila dunia pendidikan dianalogikan dengan dunia pertanian (kebetulan saya suka tanam-menanam dan pecinta tumbuhan): siswa merupakan benih atau bibitnya; pengajar adalah petaninya; sarana prasarana seperti laboratorium, kurikulum dll. sebagai cangkul, sabit, dan traktornya; sekolah dan ruang kelas menjadi lahan pertumbuhan. Lalu siapa pupuknya? Kasih sayang, semangat, dan motivasi. Itulah yang harus terus diberikan.
Segala hal tersebut memang saling terkait. Bibit yang baik akan tumbuh prima bila ditangani dengan benar oleh petani yang ahli. Tetapi manusia berbeda dengan tanaman. Tumbuhan akan mati merana bila tidak diapa-apain, sedang manusia akan berupaya mencari jalan untuk tetap hidup. Murid yang bodoh bukan berarti wajib dijadikan bahan ledekan di dalam kelas. Sebaliknya, siswa yang pintar tidak harus selalu mendapat pujian di depan kelas. Dua-duanya bisa menjadi bumerang bila terus dilakukan. Si bodoh akan
’down’ dan tidak percaya diri, sementara si pintar menjadi besar kepala dan arogan. Semua memang harus dikerjakan sesuai porsinya. Kalau porsi makan anda setengah piring, akan sakit perut bila makan sepiring. Bila biasa dua piring, makan sepiring hanya akan membuat sakit perut juga, alias lapar. Sengaja saya berikan kesamaan dengan makanan, karena kalau urusan makan, anda pasti lebih gampang mengerti. Ya nggak? Ngaku sajalah.
Pendidikan itu bukan hanya penting, tapi sungguh amat sangat penting. Sampai-sampai, karena begitu pentingnya, Nabi Muhammad memerintahkan supaya belajar semenjak lahir sampai sebelum masuk liang kubur. Kalau organisasi milik PBB, UNESCO -
United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization- menerapkan program ‘
long life education’ yang bisa jadi diilhami oleh sunah rosul tersebut, hal itu menunjukkan betapa berharganya pendidikan. Jepang adalah contoh negara yang mengetahui betapa pentingnya pendidikan. Ketika Hiroshima dan Nagasaki diluluhlantakkan oleh bom tahun 1945, yang bisa dilakukan Jepang adalah menyerah kepada tentara sekutu. Setelah itu, hal pertama yang dilakukan bukanlah mengembalikan Hiroshima dan Nagasaki seperti semula. Ini yang menarik, Jepang mengumpulkan seluruh pengajar yang masih selamat. Mereka dipersiapkan untuk mendidik generasi muda Jepang menjadi manusia kelas dunia. Pendidikan mendapat prioritas yang pertama. Hasilnya, Jepang yang kecil dan miskin sumber daya alam, sekarang ini menjadi negara kaya di tingkat dunia. Kualitas manusianya diakui di seluruh dunia. Bila abg-abg kita dengan bangganya menenteng hp versi terbaru, maka abg-abg Jepang sudah mampu membuat dan mendesain hp. Padahal, tahun 1945 negara mereka bukan apa-apa. Hanya dalam jangka waktu 61 tahun, bila dihitung sampai tahun ini, Jepang telah mengalami fase metamorfosis layaknya kupu-kupu yang dari seekor ulat menjijikkan berubah menjadi kupu-kupu indah yang memikat siapa saja. Keajaiban sebuah negara kecil yang sebenua dengan negara besar Indonesia.
Kalau banyak mahasiswa yang memilih saya sebagai pengajar terfavorit, bukannya saya tidak senang. Bukan itu tujuan saya. Obsesi yang saya miliki begitu masuk ke dunia pendidikan adalah sederhana. Menjadi orang yang selalu dinanti-nantikan kehadirannya di ruang kuliah.
Simple, tapi memerlukan upaya yang tidak main-main.
Saya selalu berusaha setiap kali ada di ruang kuliah bukan sebagai sosok yang mesti dihindari, apalagi ditakuti, tapi sebagai teman yang siap membantu. Di luar pun saya berbuat sama. Memberikan saran bila dibutuhkan, menjadi pendengar yang baik bila diperlukan. Sudah seharusnya, seorang guru atau dosen bukan hanya sebagai seorang pengajar, yang hanya mentransfer ilmu yang dimiliki ke anak didiknya, tetapi juga sebagai seorang pendidik, yang selain memberi ilmu juga mengajarkan akhlak atau budi pekerti. Pendidik bukan hanya dekat dengan anak didiknya secara fisik, tetapi juga hatinya. Tidak mudah memang, tetapi memang itulah yang harus diperankan.
Di Jawa (Tengah), karena guru dianggap selalu benar dengan segala yang diucapkan dan dilakukannya, kata guru mempunyai akronim
’digugu lan ditiru’ (dipercaya dan diikuti/ditirukan). Luar biasa. Kalau anda seorang guru (apapun) atau dosen (apapun), sudah seharusnya berperilaku layaknya seorang yang bisa dipercaya dan dijadikan teladan. Bila ada guru atau dosen yang memberi contoh tidak baik dalam berperilaku atau, pilih kasih, misalnya, dia masuk ke golongan apa yang disebut dengan
’under achievement’, orang yang tidak bisa berperan sebagaimana seharusnya dia berperan.
Terlalu panjang ya tulisan saya? Berarti anda biasa makan setengah piring!