Saya sempat geli ketika membaca sms dari Usos, teman yang tinggal di Semarang yang istrinya jual tanaman hias. Dalam smsnya dia tanya tentang harga bunga Antorium Gelombang Cinta di Bogor. Antorium Gelombang Cinta? Lucu amat namanya. Baru dengar kalau ada bunga namanya seperti itu. Jangankan harga, bentuknya kaya apa saja saya nggak tahu. Makanya, saat nemenin istri beli rak dan bunga anggrek di Jl. Dadali, kesempatan buat saya untuk mengetahui wujudnya Antorium tersebut. Ternyata ada banyak jenisnya. Sama penjual saya diajak tour untuk melihat koleksi Antorium yang dia miliki.
Antorium Gelombang Cinta (nama aslinya Anthurium, Wave of Love variety) tampilannya biasa saja. Nggak ada istimewanya. Saat saya tanyakan harganya, dijawab Rp. 65.000. Hah? Semahal itukah? Penjualnya sendiri heran kenapa bisa mahal dan juga banyak orang yang tertarik. Padahal sebelumnya bunga tersebut hanya berharga lima belas ribuan. Dia memperkirakan penyebab itu semua karena bunga tersebut ditulis di majalah pertanian seperti Trubus, sehingga banyak orang yang mencari. Kalau lihat fotonya, biasa saja kan? Apa coba yang menarik?
Ternyata bukan hanya harga Antorium Gelombang Cinta saja yang mengejutkan saya. Ada Antorium jenis lain yang lebih mahal, Rp. 150.000, yaitu jenis Bukeri (kata yang saya dengar dari ucapan penjualnya). Biasa saja juga tampilannya.
Yang lebih heboh lagi, ada yang harganya 1,5 juta. Saya jadi terdiam setelah dengar ucapan penjualnya. Dia bilang, Antorium jenis Jati ini memang dari dulu sudah mahal. Tidak seperti Gelombang Cinta yang menjadi mahal karena banyak orang yang demam. Demam membeli Antorium. Selain jenis Jati, penjual tersebut sebelumnya juga pernah menjual Antorium lain (jenisnya saya lupa) seharga 2,5 juta. Sayang dia sudah nggak punya jenis Antorium tersebut yang bisa ditunjukkan kepada saya.
Antorium termasuk tanaman hias yang keindahannya karena daunnya. Tapi kadang saya nggak habis pikir dengan orang-orang yang mau mengeluarkan jutaan rupiah untuk sebuah tanaman yang oleh sebagian orang awam (termasuk saya) dianggap biasa saja. Barangkali kalau saya kaya raya akan melakukan kegilaan seperti yang mereka lakukan.
What money can buy?
Sunday, November 26, 2006
Thursday, November 09, 2006
Perjalanan Lebaran #3
27 Oktober 2006 (Jum’at): Ngariung Sebelah Saung di Cikawung
Malam Jum’at saya, istri, dan aak Jaja (anak tertua dari wak Endus) asik ngobrol sampai jam setengah satu malam di ruang tamu. Segala hal diperbincangkan. Ngalor ngidul. Salah satunya adalah tentang rencana besuk pagi untuk sarapan di sawahnya wak Endus yang ada di dukuh Cikawung.
Paginya, sekitar jam 7.48, saya sekeluarga, bapak mertua, aak Jaja beserta istri dan kedua dari tiga anaknya, wak Endus dan istri juga anak perempuan terkecilnya, teteh Arin, rame-rame berangkat ke Cikawung. Persawahan milik wak Endus di Cikawung letaknya ada di cekungan sebuah bukit. Meskipun sawah di sekelilingnya kering, karena ada mata air di bagian paling bawah, sawah wak Endus bisa ditanami padi dan ada balong di sebelahnya. Kontras sekali. Sawah menghijau dikelilingi oleh lahan kerontang.
Sesampai di lokasi, tikar pandan digelar di sebelah saung di atas tumpukan jerami kering yang empuk untuk tempat sarapan nanti. Wak Endus segera menjaring ikan. Izal dan Reyhan nggak mau kalah. Mereka masuk ke dalam balong membantu wak Endus mencari ikan dengan heboh yang sebenarnya lebih banyak ngrecoki daripada membantu. Mereka berteriak-teriak berbasah-basahan di tengah balong. Njebur di tengah balong sambil mencari ikan adalah barang mewah buat mereka. Hiburan alami yang jarang sekali bisa mereka nikmati. Saya dan istri hanya melihat dari pinggir balong, menikmati kegembiraan yang sedang dialami kedua anak saya tersebut.
Semua sibuk. Aak Jaja menyiapkan api untuk membakar ikan. Wak Endus perempuan membuat sambal untuk ikan bakar nanti. Saya menunggu di depannya menyaksikan beliau membuat sambal tersebut yang terdiri dari garam, kacang tanah goreng, cabe, jahe, dan kecap. Pedasnya jangan ditanya. Bapak mertua entah pergi kemana. Saat kembali di tanganya ada seikat mentimun muda. Selain mentimun ada petai cina, entah siapa yang ngambil, yang nantinya dijadikan lalapan. Pepaya yang sudah menguning di dekat saung dipetik kemudian dikupas sebagai dessert (pencuci mulut). Nasinya nasi merah yang sudah dibawa dari rumah.
Setelah semua siap, kami duduk berhadap-hadapan di atas tikar pandan yang di tengahnya ditaruh daun pisang. Di atas daun pisang kemudian disiapkan nasi merah, ikan bakar yang sudah berbalur sambal kecap pedas, mentimun, petai cina, dan ungkep ayam tidak pedas yang dibawa dari rumah untuk anak-anak. Semua menikmati piknik keluarga di tengah sawah. Ngariung (berkumpul) di sebelah saung wak Endus sambil mengobrol dan menikmati sarapan yang lezat. Lezat bukan karena makanannya, tapi karena suasana keakraban yang terjalin. Saya yakin piknik ini bukan hanya menjadi kenangan yang mendalam bagi keluarga saya, tetapi juga seluruh kerabat yang ada saat itu.
Makan pagi telah selesai, tapi kami tetap tinggal untuk sesaat. Menyambung obrolan yang telah berlangsung saat sarapan. Ketika jam menunjukkan pukul 10, kami kemudian pulang untuk siap-siap melaksanakan sholat Jum’at.
Tararengyu (thank you nya orang Sunda) wak Endus.
28 Oktober 2006 (Sabtu): Kembali ke Dunia Nyata
Terasa singkat kesenangan yang saya dan keluarga nikmati di Sadawangi. Tiba-tiba saja saya harus mengakhiri kegembiraan berkumpul dengan keluarga di Sadawangi. Kewajiban ngajar di Astri Triguna di hari Senin dan istri yang harus berangkat kuliah untuk S2 nya di hari yang juga sama mengharuskan kami untuk pulang ke Bogor.
Jam 6.55 wib kami diantar menggunakan mobil sedannya Dede anaknya mang Herman ke Wado. Kemudian kami sambung dengan angkutan umum menuju terminal Ciakar, Sumedang. Inginnya dari Ciakar nanti naik bis jurusan terminal Kampung Rambutan kemudian turun di Ciawi. Rupanya bis yang kami naiki tidak lewat Puncak melainkan Jonggol, sehingga tidak bisa turun sesuai keinginan. Apa boleh buat, terpaksa kami turun di Kampung Rambutan yang selanjutnya disambung dengan bis jurusan Bogor. Nggak masalah. Malahan, meskipun memutar lewat Jonggol, karena lancar dan sopirnya tidak lelet, saya sekeluarga bisa nyampai rumah sebelum magrib. Ongkosnya sendiri jatuhnya lebih murah. Kalau waktu berangkat saya harus membayar 40 ribu per tiket untuk Bogor Sumedang, sekarang hanya 26 ribu per tiket untuk Sumedang Jakarta. Sedangkan Jakarta Bogor hanya 7 ribu.
Dalam perjalanan pulang hanya ada sedikit gangguan yaitu Izal pengen eek, padahal saat itu bis baru masuk Cianjur. Untungnya nggak lama kemudian bisnya belok ke restoran untuk istirahat di Ciranjang. Segera saya ajak Izal turun dan pergi ke kamar kecil. Nggak lama kemudian ternyata Reyhan juga nyusul bersama ibunya untuk buang air besar juga. Mumpung ada kesempatan saya suruh mereka membuang segala hajat yang ada.
Meskipun menemui sopir yang lelet saat berangkat, harus membayar tiket Bogor Sumedang yang kelewat mahal meskipun kondektur mengatakan bahwa dia hanya menaikkan tarif lima ribu, bingung ketika Izal ingin eek saat dalam perjalanan pulang, saya sekeluarga rasa-rasanya seperti dalam oase kenikmatan dan kegembiraan selama tinggal di desa Sadawangi. Pesona alam Sadawangi membuat saya dan istri bertekad untuk datang lagi bahkan sebelum lebaran tahun depan. Mudah-mudahan rencana tersebut bisa terwujud, amin. Sekarang, saya harus kembali ke dunia nyata. Saya dan keluarga harus pulang ke rumah kami di Bogor. Sampai ketemu lagi Sadawangi.
Malam Jum’at saya, istri, dan aak Jaja (anak tertua dari wak Endus) asik ngobrol sampai jam setengah satu malam di ruang tamu. Segala hal diperbincangkan. Ngalor ngidul. Salah satunya adalah tentang rencana besuk pagi untuk sarapan di sawahnya wak Endus yang ada di dukuh Cikawung.
Paginya, sekitar jam 7.48, saya sekeluarga, bapak mertua, aak Jaja beserta istri dan kedua dari tiga anaknya, wak Endus dan istri juga anak perempuan terkecilnya, teteh Arin, rame-rame berangkat ke Cikawung. Persawahan milik wak Endus di Cikawung letaknya ada di cekungan sebuah bukit. Meskipun sawah di sekelilingnya kering, karena ada mata air di bagian paling bawah, sawah wak Endus bisa ditanami padi dan ada balong di sebelahnya. Kontras sekali. Sawah menghijau dikelilingi oleh lahan kerontang.
Sesampai di lokasi, tikar pandan digelar di sebelah saung di atas tumpukan jerami kering yang empuk untuk tempat sarapan nanti. Wak Endus segera menjaring ikan. Izal dan Reyhan nggak mau kalah. Mereka masuk ke dalam balong membantu wak Endus mencari ikan dengan heboh yang sebenarnya lebih banyak ngrecoki daripada membantu. Mereka berteriak-teriak berbasah-basahan di tengah balong. Njebur di tengah balong sambil mencari ikan adalah barang mewah buat mereka. Hiburan alami yang jarang sekali bisa mereka nikmati. Saya dan istri hanya melihat dari pinggir balong, menikmati kegembiraan yang sedang dialami kedua anak saya tersebut.
Semua sibuk. Aak Jaja menyiapkan api untuk membakar ikan. Wak Endus perempuan membuat sambal untuk ikan bakar nanti. Saya menunggu di depannya menyaksikan beliau membuat sambal tersebut yang terdiri dari garam, kacang tanah goreng, cabe, jahe, dan kecap. Pedasnya jangan ditanya. Bapak mertua entah pergi kemana. Saat kembali di tanganya ada seikat mentimun muda. Selain mentimun ada petai cina, entah siapa yang ngambil, yang nantinya dijadikan lalapan. Pepaya yang sudah menguning di dekat saung dipetik kemudian dikupas sebagai dessert (pencuci mulut). Nasinya nasi merah yang sudah dibawa dari rumah.
Setelah semua siap, kami duduk berhadap-hadapan di atas tikar pandan yang di tengahnya ditaruh daun pisang. Di atas daun pisang kemudian disiapkan nasi merah, ikan bakar yang sudah berbalur sambal kecap pedas, mentimun, petai cina, dan ungkep ayam tidak pedas yang dibawa dari rumah untuk anak-anak. Semua menikmati piknik keluarga di tengah sawah. Ngariung (berkumpul) di sebelah saung wak Endus sambil mengobrol dan menikmati sarapan yang lezat. Lezat bukan karena makanannya, tapi karena suasana keakraban yang terjalin. Saya yakin piknik ini bukan hanya menjadi kenangan yang mendalam bagi keluarga saya, tetapi juga seluruh kerabat yang ada saat itu.
Makan pagi telah selesai, tapi kami tetap tinggal untuk sesaat. Menyambung obrolan yang telah berlangsung saat sarapan. Ketika jam menunjukkan pukul 10, kami kemudian pulang untuk siap-siap melaksanakan sholat Jum’at.
Tararengyu (thank you nya orang Sunda) wak Endus.
28 Oktober 2006 (Sabtu): Kembali ke Dunia Nyata
Terasa singkat kesenangan yang saya dan keluarga nikmati di Sadawangi. Tiba-tiba saja saya harus mengakhiri kegembiraan berkumpul dengan keluarga di Sadawangi. Kewajiban ngajar di Astri Triguna di hari Senin dan istri yang harus berangkat kuliah untuk S2 nya di hari yang juga sama mengharuskan kami untuk pulang ke Bogor.
Jam 6.55 wib kami diantar menggunakan mobil sedannya Dede anaknya mang Herman ke Wado. Kemudian kami sambung dengan angkutan umum menuju terminal Ciakar, Sumedang. Inginnya dari Ciakar nanti naik bis jurusan terminal Kampung Rambutan kemudian turun di Ciawi. Rupanya bis yang kami naiki tidak lewat Puncak melainkan Jonggol, sehingga tidak bisa turun sesuai keinginan. Apa boleh buat, terpaksa kami turun di Kampung Rambutan yang selanjutnya disambung dengan bis jurusan Bogor. Nggak masalah. Malahan, meskipun memutar lewat Jonggol, karena lancar dan sopirnya tidak lelet, saya sekeluarga bisa nyampai rumah sebelum magrib. Ongkosnya sendiri jatuhnya lebih murah. Kalau waktu berangkat saya harus membayar 40 ribu per tiket untuk Bogor Sumedang, sekarang hanya 26 ribu per tiket untuk Sumedang Jakarta. Sedangkan Jakarta Bogor hanya 7 ribu.
Dalam perjalanan pulang hanya ada sedikit gangguan yaitu Izal pengen eek, padahal saat itu bis baru masuk Cianjur. Untungnya nggak lama kemudian bisnya belok ke restoran untuk istirahat di Ciranjang. Segera saya ajak Izal turun dan pergi ke kamar kecil. Nggak lama kemudian ternyata Reyhan juga nyusul bersama ibunya untuk buang air besar juga. Mumpung ada kesempatan saya suruh mereka membuang segala hajat yang ada.
Meskipun menemui sopir yang lelet saat berangkat, harus membayar tiket Bogor Sumedang yang kelewat mahal meskipun kondektur mengatakan bahwa dia hanya menaikkan tarif lima ribu, bingung ketika Izal ingin eek saat dalam perjalanan pulang, saya sekeluarga rasa-rasanya seperti dalam oase kenikmatan dan kegembiraan selama tinggal di desa Sadawangi. Pesona alam Sadawangi membuat saya dan istri bertekad untuk datang lagi bahkan sebelum lebaran tahun depan. Mudah-mudahan rencana tersebut bisa terwujud, amin. Sekarang, saya harus kembali ke dunia nyata. Saya dan keluarga harus pulang ke rumah kami di Bogor. Sampai ketemu lagi Sadawangi.
Wednesday, November 08, 2006
Perjalanan Lebaran #2
26 Oktober 2006 (Kamis): Rumah di Atas Bukit
Hari sudah terang ketika saya bangun. Lelap betul tidur semalam setelah seharian melakukan perjalanan Bogor Sadawangi. Setelah sholat subuh, saya keluar rumah menikmati sejuknya udara pagi desa Sadawangi. Jalan raya di depan rumah teteh Ela tempat saya dan keluarga menginap masih lengang. Teteh Ela adalah anak dari almarhum uwak Abu, kakaknya bapak mertua. Cuma ada satu dua sepeda motor yang lewat. Sementara kendaraan umum, baik bis ¾ maupun angkot belum ada yang lewat.
Hari ini kami akan mengunjungi saudara yang tinggal di dukuh Simpur. Dulu ketika pertama kali datang ke Sadawangi, kami pernah main ke dukuh yang letaknya di atas bukit tersebut. Ada beberapa rumah yang penghuninya masih memiliki hubungan saudara dengan istri saya. Masih segar dalam ingatan saat kami harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju ke perkampungan di atas bukit. Saat itu jalan masih berupa tanah coklat, beberapa ruas diantaranya disusun batu di atasnya untuk memperkeras. Sekarang, kami masih juga menaiki jalan yang sama dengan yang pernah kami lewati beberapa tahun yang lalu. Bedanya, sekarang bukan jalan tanah, melainkan sudah dihotmix, diaspal halus. Namun demikian, istri saya tetap nggak mau ketika ditawari naik ojek. Lebih memilih jalan. Ngeri membayangkan merayap menaiki tanjakan yang curam menggunakan motor, meskipun jalannya sudah diaspal.
Setelah beres-beres, jam 10.39 wib kami berangkat menuju dukuh Simpur dengan dipandu oleh bapak mertua. Saya nggak pede pergi ke Simpur tanpa ditemani bapak mertua. Selain saya nggak hapal wajah dari saudara yang ada di bukit tersebut, juga tidak lancar menggunakan bahasa Sunda. Sebagian di antara mereka, terutama yang tua-tua ada yang sama sekali tidak bisa bahasa Indonesia. Sementara saya, tidak paham bahasa Sunda.
Kami mendatangi satu persatu rumah milik para saudara. Namanya juga lebaran, setiap rumah yang dikunjungi selalu memberikan hidangan, minimal kue dan air teh pahit. Mau nggak mau, perut ini harus diatur. Kadang saya harus makan lebih dari sekali. Jadi bisa dipastikan, perut sering nggak enak karena tidak pernah diberi istirahat untuk berhenti memproses makanan. Perut memang terasa nggak nyaman, tapi ada hal lain yang menjadi imbalan. Suasana alam pedesaan dan bentuk-bentuk rumah yang berupa rumah panggung menjadi daya tarik tersendiri. Di mata saya, rumah panggung tersebut sungguh memikat. Rasanya adem tinggal di dalamnya. Kata istri, rumah panggung tersebut merupakan bentuk rumah asli dari penduduk Simpur. Ada memang yang bentuk rumahnya sudah mengikuti jaman sekarang, ditembok, bukan dari lembaran papan, dan tidak berbentuk rumah panggung. Tapi rumah-rumah seperti itu tidak menarik lagi. Nggak ada kekhasannya seperti rumah asli yang berbentuk panggung dan terbuat dari kayu.
Pulang dari Simpur kami istirahat sebentar di rumah uwak Endus. Jam 13.54 wib berangkat lagi ke rumah saudara di kampung Sidamukti. Lokasinya ada di bawah Sadawangi. Rumah saudara yang kami datangi tepat menghadap persawahan yang sayangnya lagi kering karena musim kemarau. Seandainya musim penghujan, pasti akan sangat indah dan segar. Apalagi di ujung pandangan terlihat pegunungan yang hijau dengan latar langit membiru. Oohhh.......
Karena memang tujuannya hanya ke rumah tersebut maka kami agak lama juga bertandangnya. Kebetulan tuan rumah memiliki balong (kolam ikan). Anak-anak menghabiskan waktu dengan memancing ikan. Sementara saya dan istri mengobrol dengan saudara yang hubungannya pernah sebagai teteh. Kami dijamu dengan ikan bakar dan petai bakar yang pohonnya ada di sebelah balong. Apa boleh buat, meskipun kami sudah makan siang di Simpur dan perut masih kenyang, karena hendak menghormati tuan rumah, saya dan istri memaksakan diri makan siang lagi. Saat itu jam dinding di atas kepala saya sudah menunjukkan pukul 15.50 wib. Apakah masih pantas disebut makan siang?
Saya jarang-jarang makan petai, malahan dulu pernah sama sekali menjauhi petai. Tapi ketika dihadapkan pada petai bakar yang fresh from the oven, yang baru dipetik dari pohon, yang baru keluar dari tungku pembakaran, tergoda juga akhirnya. Baunya yang harum menggelitik cuping hidung saya. Masih untung setelah itu buang air kecilnya langsung ke balong, jadi bau sedapnya langsung larut dinikmati oleh ikan emas yang nantinya juga akan dihidangkan sebagai santapan. Bahkan bisa jadi ikan emas bakar yang saya makan barusan, dulunya juga pernah menikmati air kencing petai dari seseorang yang membuangnya ke kolam tempat dia tinggal. Kalau begitu, itulah yang disebut dengan life cycle.
Hari sudah terang ketika saya bangun. Lelap betul tidur semalam setelah seharian melakukan perjalanan Bogor Sadawangi. Setelah sholat subuh, saya keluar rumah menikmati sejuknya udara pagi desa Sadawangi. Jalan raya di depan rumah teteh Ela tempat saya dan keluarga menginap masih lengang. Teteh Ela adalah anak dari almarhum uwak Abu, kakaknya bapak mertua. Cuma ada satu dua sepeda motor yang lewat. Sementara kendaraan umum, baik bis ¾ maupun angkot belum ada yang lewat.
Hari ini kami akan mengunjungi saudara yang tinggal di dukuh Simpur. Dulu ketika pertama kali datang ke Sadawangi, kami pernah main ke dukuh yang letaknya di atas bukit tersebut. Ada beberapa rumah yang penghuninya masih memiliki hubungan saudara dengan istri saya. Masih segar dalam ingatan saat kami harus berjalan kaki menyusuri jalan setapak menuju ke perkampungan di atas bukit. Saat itu jalan masih berupa tanah coklat, beberapa ruas diantaranya disusun batu di atasnya untuk memperkeras. Sekarang, kami masih juga menaiki jalan yang sama dengan yang pernah kami lewati beberapa tahun yang lalu. Bedanya, sekarang bukan jalan tanah, melainkan sudah dihotmix, diaspal halus. Namun demikian, istri saya tetap nggak mau ketika ditawari naik ojek. Lebih memilih jalan. Ngeri membayangkan merayap menaiki tanjakan yang curam menggunakan motor, meskipun jalannya sudah diaspal.
Setelah beres-beres, jam 10.39 wib kami berangkat menuju dukuh Simpur dengan dipandu oleh bapak mertua. Saya nggak pede pergi ke Simpur tanpa ditemani bapak mertua. Selain saya nggak hapal wajah dari saudara yang ada di bukit tersebut, juga tidak lancar menggunakan bahasa Sunda. Sebagian di antara mereka, terutama yang tua-tua ada yang sama sekali tidak bisa bahasa Indonesia. Sementara saya, tidak paham bahasa Sunda.
Kami mendatangi satu persatu rumah milik para saudara. Namanya juga lebaran, setiap rumah yang dikunjungi selalu memberikan hidangan, minimal kue dan air teh pahit. Mau nggak mau, perut ini harus diatur. Kadang saya harus makan lebih dari sekali. Jadi bisa dipastikan, perut sering nggak enak karena tidak pernah diberi istirahat untuk berhenti memproses makanan. Perut memang terasa nggak nyaman, tapi ada hal lain yang menjadi imbalan. Suasana alam pedesaan dan bentuk-bentuk rumah yang berupa rumah panggung menjadi daya tarik tersendiri. Di mata saya, rumah panggung tersebut sungguh memikat. Rasanya adem tinggal di dalamnya. Kata istri, rumah panggung tersebut merupakan bentuk rumah asli dari penduduk Simpur. Ada memang yang bentuk rumahnya sudah mengikuti jaman sekarang, ditembok, bukan dari lembaran papan, dan tidak berbentuk rumah panggung. Tapi rumah-rumah seperti itu tidak menarik lagi. Nggak ada kekhasannya seperti rumah asli yang berbentuk panggung dan terbuat dari kayu.
Pulang dari Simpur kami istirahat sebentar di rumah uwak Endus. Jam 13.54 wib berangkat lagi ke rumah saudara di kampung Sidamukti. Lokasinya ada di bawah Sadawangi. Rumah saudara yang kami datangi tepat menghadap persawahan yang sayangnya lagi kering karena musim kemarau. Seandainya musim penghujan, pasti akan sangat indah dan segar. Apalagi di ujung pandangan terlihat pegunungan yang hijau dengan latar langit membiru. Oohhh.......
Karena memang tujuannya hanya ke rumah tersebut maka kami agak lama juga bertandangnya. Kebetulan tuan rumah memiliki balong (kolam ikan). Anak-anak menghabiskan waktu dengan memancing ikan. Sementara saya dan istri mengobrol dengan saudara yang hubungannya pernah sebagai teteh. Kami dijamu dengan ikan bakar dan petai bakar yang pohonnya ada di sebelah balong. Apa boleh buat, meskipun kami sudah makan siang di Simpur dan perut masih kenyang, karena hendak menghormati tuan rumah, saya dan istri memaksakan diri makan siang lagi. Saat itu jam dinding di atas kepala saya sudah menunjukkan pukul 15.50 wib. Apakah masih pantas disebut makan siang?
Saya jarang-jarang makan petai, malahan dulu pernah sama sekali menjauhi petai. Tapi ketika dihadapkan pada petai bakar yang fresh from the oven, yang baru dipetik dari pohon, yang baru keluar dari tungku pembakaran, tergoda juga akhirnya. Baunya yang harum menggelitik cuping hidung saya. Masih untung setelah itu buang air kecilnya langsung ke balong, jadi bau sedapnya langsung larut dinikmati oleh ikan emas yang nantinya juga akan dihidangkan sebagai santapan. Bahkan bisa jadi ikan emas bakar yang saya makan barusan, dulunya juga pernah menikmati air kencing petai dari seseorang yang membuangnya ke kolam tempat dia tinggal. Kalau begitu, itulah yang disebut dengan life cycle.
Wednesday, November 01, 2006
Perjalanan Lebaran #1
25 Oktober 2006 (Rabu): Kejutan yang Gagal
Saya sekeluarga tidak mudik. Sebagai gantinya, saya, istri, dan anak-anak pergi ke desa asal bapaknya istri, Sadawangi. Sebuah desa yang masuk wilayah kabupaten Majalengka tetapi lokasinya lebih dekat ke Sumedang. Pernah ke tempat tersebut? Kalau belum, mainlah ke sana sekali tempo. Daerah yang asri dan sejuk dengan jalan yang berkelok naik turun untuk mencapainya merupakan sebuah pengalaman yang tak percuma.
Perjalanan dimulai dari rumah jam 8.50 wib ke terminal Baranangsiang. Di terminal kemudian naik bis jurusan Sumedang dengan ongkos 40 ribu per orang. Karena kursi yang kami duduki ada tiga meskipun orangnya empat, maka total ongkos yang harus dibayar adalah 120 ribu rupiah. Sampai di terminal Ciakar Sumedang sudah jam 19.45 wib. Dari situ nyambung angkot ke Wado dengan membayar 25 ribu untuk tiga orang. Anak saya yang kedua tidak dihitung. Angkot Wado yang berangkat dari Ciakar jam 20.19 tiba di Wado jam 21.46. Angkutan umum yang menuju desa Sadawangi paling akhir adalah jam 5 sore. Dengan demikian, terdamparlah kami di Wado. Tukang ojeg yang menawarkan jasa dengan tarif 30 ribu menuju Sadawangi saya tolak. Alasannya adalah pertama, kasihan anak-anak kalau harus berangin-angin di malam hari yang udaranya sudah pasti lebih dingin dari Bogor. Kedua, saya tidak bawa jaket sedangkan semua kaos dan baju ganti yang saya bawa berlengan pendek. Istri saya kemudian mengontak mamang Tajudin, atau suka dipanggil Babeh, yang ada di Sadawangi untuk menjemput. Saat mobil jemputan datang, selain sopir di dalamnya ada Babeh dan bapak mertua. Jam 22.30 kami baru sampai di desa Sadawangi, kecamatan Lemah Sugih. Meskipun Wado Sadawangi hanya berjarak 15 km, karena jalannya yang berkelok-kelok dan turun naik serta sebagian ada yang rusak maka perlu waktu sekitar 45 menit untuk mencapai Sadawangi.
Terakhir ke Sadawangi adalah ketika Reyhan, anak kedua saya, berusia satu tahun, sekitar lima tahun yang lalu. Makanya ketika secara tiba-tiba nongol, para kerabat antusias sekali menyambut kedatangan kami. Maklum sudah bertahun-tahun tidak ketemu. Dan kunjungan ini juga tanpa sepengetahuan bapak mertua. Awalnya saat saya memutuskan untuk ke Sadawangi adalah karena mendengar kabar kalau bapak mertua akan ke desa tersebut pada hari lebaran kedua. Untuk menjadikan sebuah kejutan bagi bapak mertua, saya sengaja tidak memberi tahu kalau akan datang ke Sadawangi pada hari yang sama. Harapannya adalah saya sampai duluan ketika bapak mertua datang, sehingga bisa menyambut beliau ketika tiba.
Saya sekeluarga berangkat dari Bogor, sedangkan bapak mertua dari Salatiga. Karena Bogor lebih dekat ke Sadawangi dibandingkan Salatiga, bisa dipastikan saya sampai duluan. Ternyata perkiraan tersebut meleset. Saya yang berangkat dari rumah jam 8.50 pagi, sampai di Sadawangi jam 10.30 malam. Bayangkan, Bogor – Sadawangi yang sama-sama di Jawa Barat ditempuh hampir empat belas jam. Sedangkan bapak mertua yang berangkat dari Salatiga jam 6.30 pagi, jam 4 sore sudah sampai di Sadawangi. Kenapa saya bisa begitu terlambat gara-garanya bukan karena jalan yang macet tetapi terutama karena supir bisnya yang begitu lelet kaya keong. Meskipun bis yang saya tumpangi tidak lewat Puncak tapi lewat Sukabumi, kalau supirnya tidak lelet gitu pasti sampainya bisa lebih cepet. Anehnya sopir tersebut tidak berani ngebut walaupun jalan di depannya kosong sama sekali, namun akan memacu kendaraannya bila banyak mobil atau masuk jalan tol. Masak Bogor – Bandung yang normal ditempuh dalam empat jam menjadi tujuh jam. Gile benerrrrrr… Sebagian penumpang pada emosi. Ada penumpang yang teriak “Injek pir, injek….” Saat tiba di Bandung, penumpang yang turun nyeletuk kalau Bogor Bandung tujuh jam adalah rekor. Yang tadinya ingin memberi kejutan jadi gagal. Tadinya saya berharap bisa menyambut bapak mertua ketika beliau sampai di Sadawangi, justru beliau yang menyambut saya.
Saya sekeluarga memang memutuskan tidak pulang kampung. Namun ternyata, lamanya perjalanan ke Sadawangi malahan lebih dari mudik ke tempat asal saya, Demak, maupun Salatiga tempat orang tua istri.
Saya sekeluarga tidak mudik. Sebagai gantinya, saya, istri, dan anak-anak pergi ke desa asal bapaknya istri, Sadawangi. Sebuah desa yang masuk wilayah kabupaten Majalengka tetapi lokasinya lebih dekat ke Sumedang. Pernah ke tempat tersebut? Kalau belum, mainlah ke sana sekali tempo. Daerah yang asri dan sejuk dengan jalan yang berkelok naik turun untuk mencapainya merupakan sebuah pengalaman yang tak percuma.
Perjalanan dimulai dari rumah jam 8.50 wib ke terminal Baranangsiang. Di terminal kemudian naik bis jurusan Sumedang dengan ongkos 40 ribu per orang. Karena kursi yang kami duduki ada tiga meskipun orangnya empat, maka total ongkos yang harus dibayar adalah 120 ribu rupiah. Sampai di terminal Ciakar Sumedang sudah jam 19.45 wib. Dari situ nyambung angkot ke Wado dengan membayar 25 ribu untuk tiga orang. Anak saya yang kedua tidak dihitung. Angkot Wado yang berangkat dari Ciakar jam 20.19 tiba di Wado jam 21.46. Angkutan umum yang menuju desa Sadawangi paling akhir adalah jam 5 sore. Dengan demikian, terdamparlah kami di Wado. Tukang ojeg yang menawarkan jasa dengan tarif 30 ribu menuju Sadawangi saya tolak. Alasannya adalah pertama, kasihan anak-anak kalau harus berangin-angin di malam hari yang udaranya sudah pasti lebih dingin dari Bogor. Kedua, saya tidak bawa jaket sedangkan semua kaos dan baju ganti yang saya bawa berlengan pendek. Istri saya kemudian mengontak mamang Tajudin, atau suka dipanggil Babeh, yang ada di Sadawangi untuk menjemput. Saat mobil jemputan datang, selain sopir di dalamnya ada Babeh dan bapak mertua. Jam 22.30 kami baru sampai di desa Sadawangi, kecamatan Lemah Sugih. Meskipun Wado Sadawangi hanya berjarak 15 km, karena jalannya yang berkelok-kelok dan turun naik serta sebagian ada yang rusak maka perlu waktu sekitar 45 menit untuk mencapai Sadawangi.
Terakhir ke Sadawangi adalah ketika Reyhan, anak kedua saya, berusia satu tahun, sekitar lima tahun yang lalu. Makanya ketika secara tiba-tiba nongol, para kerabat antusias sekali menyambut kedatangan kami. Maklum sudah bertahun-tahun tidak ketemu. Dan kunjungan ini juga tanpa sepengetahuan bapak mertua. Awalnya saat saya memutuskan untuk ke Sadawangi adalah karena mendengar kabar kalau bapak mertua akan ke desa tersebut pada hari lebaran kedua. Untuk menjadikan sebuah kejutan bagi bapak mertua, saya sengaja tidak memberi tahu kalau akan datang ke Sadawangi pada hari yang sama. Harapannya adalah saya sampai duluan ketika bapak mertua datang, sehingga bisa menyambut beliau ketika tiba.
Saya sekeluarga berangkat dari Bogor, sedangkan bapak mertua dari Salatiga. Karena Bogor lebih dekat ke Sadawangi dibandingkan Salatiga, bisa dipastikan saya sampai duluan. Ternyata perkiraan tersebut meleset. Saya yang berangkat dari rumah jam 8.50 pagi, sampai di Sadawangi jam 10.30 malam. Bayangkan, Bogor – Sadawangi yang sama-sama di Jawa Barat ditempuh hampir empat belas jam. Sedangkan bapak mertua yang berangkat dari Salatiga jam 6.30 pagi, jam 4 sore sudah sampai di Sadawangi. Kenapa saya bisa begitu terlambat gara-garanya bukan karena jalan yang macet tetapi terutama karena supir bisnya yang begitu lelet kaya keong. Meskipun bis yang saya tumpangi tidak lewat Puncak tapi lewat Sukabumi, kalau supirnya tidak lelet gitu pasti sampainya bisa lebih cepet. Anehnya sopir tersebut tidak berani ngebut walaupun jalan di depannya kosong sama sekali, namun akan memacu kendaraannya bila banyak mobil atau masuk jalan tol. Masak Bogor – Bandung yang normal ditempuh dalam empat jam menjadi tujuh jam. Gile benerrrrrr… Sebagian penumpang pada emosi. Ada penumpang yang teriak “Injek pir, injek….” Saat tiba di Bandung, penumpang yang turun nyeletuk kalau Bogor Bandung tujuh jam adalah rekor. Yang tadinya ingin memberi kejutan jadi gagal. Tadinya saya berharap bisa menyambut bapak mertua ketika beliau sampai di Sadawangi, justru beliau yang menyambut saya.
Saya sekeluarga memang memutuskan tidak pulang kampung. Namun ternyata, lamanya perjalanan ke Sadawangi malahan lebih dari mudik ke tempat asal saya, Demak, maupun Salatiga tempat orang tua istri.
Subscribe to:
Posts (Atom)