Tuesday, March 31, 2009

S3

Setinggi mana pendidikan anda, S1, S2, S3? Kalau teman saya yang ditanya, dia menjawab, “Oh, ya pasti S3 dong.” Jangan terkagum-kagum dulu. Teman saya ini hanya bercanda. Yang dia maksudkan dengan S3 bukan yang gelarnya nanti PhD atau Doktor tetapi SD, SMP, dan SMA. Jadi, dia sudah melewati jenjang pendidikan yang depannya S semua.

Sekarang masalah pekerjaan. Bila saya ditanya apa pekerjaan saya saat ini, saya akan katakan ternak teri. Jangan heran begitu ah. Saya serius. Memang itu yang saya lakukan sekarang. Entrepreneur dong saya ini? Bukan. Saya bukan pengusaha. Dan jika anda puyeng memikirkan bagaimana cara teri diternakkan, itu masalah anda sendiri. Meskipun ternak teri, yang saya lakukan sekarang tidak ada urusannya dengan ikan mungil itu. Ternak teri yang menjadi rutinitas saya adalah nganter anak nganter istri. Begitulah pekerjaan saya selain menjadi buruh di kantor orang lain alias karyawan.

Jika diperhatikan, ada kaitan antara jenjang pendidikan dengan pekerjaan seseorang. Tentu saja tidak seratus persen seperti itu, sudah pasti ada perkecualian. Namun bila ada banyak bukti yang bisa ditunjukkan, maka bolehlah dikatakan bahwa memang hal itu benar atau ada korelasinya. Itulah yang dinamakan hipotesis. Kan begitu, tak iye?

Sekarang kita lihat deh, yang sering terjadi semakin tinggi pendidikan seseorang semakin dekat dia ke arah pekerjaan yang namanya karyawan atau pegawai. Sebaliknya, semakin rendah jenjang pendidikan, jalan yang terbentuk menuju pekerjaan adalah menjadi wirausahawan/wati atau pengusaha atau entrepreneur. Seperti yang saya bilang di muka, tentu saja tidak semuanya seperti itu. Mungkin saja lulusan PhD ada yang jadi pengusaha, S2 yang dagang, dan sarjana lain yang berbisnis. Namun tidak mungkin ada, rektor misalnya, yang lulusan SMA, manajer yang lulusan SD, atau kepala biro yang tidak sekolah.

Ya, sudah pasti mereka yang sekolah tinggi orangnya pintar. Secara akademis tentunya. Apalagi bila dibandingkan dengan mereka yang tidak sekolah. Namun ternyata pintar secara akademis tidak menjadi jaminan memiliki kepintaran yang lain. Seorang bergelar Doktor tidak otomatis cerdas dalam mengelola uang. Sangat mungkin dia memiliki gaji tinggi, tetapi sangat mungkinkah dia mendapatkan penghasilan lebih tinggi selain dari gajinya itu? Belum tentu. Anda yang pernah membaca bukunya Robert T. Kiyosaki Rich Dad Poor Dad tentu masih ingat tentang ayah si penulis yang profesor perguruan tinggi tetapi miskin dan ayah satunya yang bukan sarjana tetapi kaya raya. Lalu, perlukah kita sekolah untuk menjadi kaya?

1 comment: