Friday, October 10, 2008

Kentut, Kurindu Hadirmu

Kentut itu barang menjijikkan. Bentuknya gas. Tidak bisa dilihat juga dipegang. Namun demikian, dia memiliki suara dan aroma. Jadi ketika barang itu muncul, anda hanya bisa mendengarnya bila bersuara dan mencium baunya. Tetapi anehnya, meskipun menjijikkan, pemiliknya suka dicari-cari saat dia kehilangan. Buktinya, ketika ada yang kentut terutama yang tidak bersuara tetapi baunya luar biasa, orang jadi heboh. Kemudian mereka tereak-tereak tidak terima, “Kurang ajar! Bangsat! Siapa nih yang ngebom?” atau berbentuk tuduhan, “Diancuk! Lu ya?”

Urap lain lagi. Kalo ini bentuknya padat. Dia bisa dilihat dan dipegang. Urap juga memiliki bau, bukan busuk seperti kentut, tetapi harum. Barang ini juga berasa lezat dan membangkitkan selera, apalagi bila disantap dengan nasi liwet pulen kebul-kebul. Bahan untuk membuat urap bisa macam-macam daun-daunan tergantung selera. Ada yang menggunakan kenikir, daun singkong, toge, daun pepaya muda, atau campuran dari beberapa lalapan. Semua bahan itu kemudian dicampur dengan parutan kelapa yang dibumbui rempah-rempah.

Urap ini makanan kampung. Kayaknya golongan jetset nggak mungkin nyantap makanan ini, kecuali sebelumnya dia adalah orang kampung. Atau dia jetset yang low profile dan merakyat. Adakah jetset yang seperti itu? Ada tapi langka kali ya?

Nah, urap itu beda dengan kentut. Bila urap makanan orang kampung, kentut bukan makanan siapa-siapa tetapi dia punya siapa saja. Tidak pandang bulu apakah dia orang kampung atau mereka yang tinggal di gedung, semua memiliki kentut. Lalu apa hubungannya urap dengan kentut? Begini ceritanya.

Eh, entar dulu. Sebelum saya cerita panjang lebar, saya ingin kasih tahu anda bahwa saat membuat tulisan ini saya sedang merindukan kentut. Walah! Serius. Saya tidak sedang bercanda. Hanya kentutlah yang saya dambakan kehadirannya saat itu, bukan yang lain, apalagi urap. Oh, iya, tentu saja kentut saya sendiri. Ok kalo begitu, saya rasa saya mulai saja kisahnya sekarang.

Tadi pagi sebelum ngantor, ada urap dihidangkan di meja makan. Anda tahu sendiri, saya orang kampung. Mata saya jadi ijo, mulut langsung ngences, begitu melihat makanan favorit. Tanpa ba-bi-bu, saya embat makanan itu untuk teman nasi dengan rakusnya. Puas banget. Perut ini rasanya jadi gembul. Kalo sudah begini, dunia ini jadi indah banget. Ibaratnya pemabok yang lagi melayang dengan dunia khayalnya. Warna apapun jadi cemerlang, suara apapun jadi begitu merdu, bentuk apapun jadi indah bak diukir oleh tangan ajaib seorang seniman. Berangkat kerja jadi bergairah dan penuh antusiasme.

Tetapi kenikmatan itu tidak berlangsung lama. Tiba-tiba saja, prepet!, perut mulai terasa tidak enak. Bukan mules atau pengen e-ok, namun pelan tapi pasti, sakit rasanya. Perut ini penuh gas tetapi tidak bisa keluar. Akibatnya, perut saya seperti ditonjokin Mike Tyson, duk-duk-duk... sakit sekali. Dalam kondisi seperti ini, hanya satu yang saya dambakan, kentut! Apapun jenisnya. Mau yang bunyi peezzzz... atau yang brooottt…, yang baunya memabokkan maupun yang mematikan, saya tidak peduli. Pokoknya kentut, kentut, kentut… Pikiran bahwa kentut itu menjijikkan sudah lenyap, yang ada ialah kentut itu akan menjadi dewa penolong. Sampai segitunya ya? Ya iya lah! Anda bisa bayangkan sendiri bagaimana rasanya bila perut anda penuh gas tetapi kumpulan gas itu ngubeeekkk… aja di dalam. Apa nggak klimpungan?

Saya kemudian mengingat apa penyebab saya kok tiba-tiba jadi juragan gas. Masih mending kalo gas elpiji, bisa dijual. Hla ini, siapa yang mau beli kentut? Berdasarkan hasil analisa yang mendalam, hati-hati, serta penuh ketelitian, ketemulah penyebab semua bencana itu, meskipun masih tahap hipotesis alias kira-kira. Uraplah biang keladinya. Di dalam urap yang saya embat tadi pagi terdapat sayur kubis atau kol. Kol inilah yang menjadi aktor utamanya karena memang dialah sayur yang paling produktif menghasilkan gas ketika dikonsumsi.

Namun demikian, kol bukan pelaku tunggal yang bisa disalahkan. Barangkali dialah yang paling sial karena paling belakang melakukan. Saya pikir penyiksaan ini terjadi karena kejahatan kolektif dan komulatif dari beberapa makanan. Yang masih saya ingat, sehari sebelumnya saya makan semangka, yang juga penghasil gas, pemberian tetangga. Segar memang, tetapi sesudahnya, perut agak terasa lain. Saya tidak pedulikan waktu itu. Ah, paling bentar juga ilang. Gitu pikir saya. Ternyata tidak. Setelah itu saya makan macam-macam yang barangkali juga memiliki kontribusi. Dari ketidakenakan-ketidakenakan yang muncul sejak kemarin, sekarang lah klimaknya. Perut seperti diaduk-aduk.

Saya jadi serba salah. Mau ngapa-ngapain jadi nggak enak. Berbagai treatment saya coba lakukan, setidaknya untuk mengurangi sakit perut yang melilit-lilit, syukur-syukur gas yang ada di dalam pada keluar. Di atas kasur, saya melingkar seperti udang, nungging mirip orang sujud, tengkurap bagaikan tentara yang tertembak di medan perang, telentang dengan kedua tangan terbentang ke atas persis vitruvian man-nya Leonardo Da Vinci, semua tidak mempan. Minum coca-cola, katanya minuman bersoda bisa mengeluarkan gas. Bisa memang, saya mengeluarkan gas tetapi lewat sendawa. Itupun hanya sebentar dan tetap tidak mengurangi sakit. Bagaimanapun juga saya akan berbahagia bila gas yang keluar itu kentut, bukan sendawa.

Saya jadi ingat obat tradisional yang saya pakai saat menderita penyakit yang sama Ramadhan kemarin. Kerokan! Waktu itu saya minta dikerokin punggung saya. Saya yang tadinya anti dengan kerokan, terpaksa merelakan punggung saya dibikin seperti kulit zebra. Demi kesembuhan, saya coba resep tradisional turunan nenek moyang itu. Resep kampung, murah, tapi lumayan membantu. Sekarang resep itu saya coba lagi. Sekali lagi, punggung saya jadi kulit zebra. Sayangnya cuma satu warna. Proses pembuatannya begitu menyiksa, sakiiiiiiittttt… Kulit diadu dengan uang logam, meskipun sudah dikasih pelumas, ya sudah pastilah sakit. Namun terpaksa saya tahan-tahan. Setelah kulit zebra tergambar sempurna, saya terkapar menunggu hasilnya. Efek kerokan mulai terasa. Sakit di perut mulai berkurang, meskipun pelan. Lumayan, daripada lu manyun.

Gara-gara kentut yang tidak mau keluar, akibatnya sungguh dahsyat. Saya yang begini gagah perkasa jadi terkapar tak berdaya hanya karena barang yang tidak nampak itu berulah. Kentut yang dibenci semua orang, saat itu justru saya segani. Saya rindu kehadirannya.

Ada pelajaran yang diberikan oleh kentut. Meskipun menjijikkan, bikin orang sebel, dan yang buang sembarangan bisa digolongkan manusia tidak sopan, kentut bisa menjadi pihak yang sangat penting perannya. Barang menjijikkan memang, tapi akan didambakan kehadirannya bila dia ngambek keluar. Hal itu mengingatkan saya pada sebuah cerita tentang anggota tubuh yang juga dianggap menjijikkan karena salah satu fungsinya menyalurkan kentut. Ketika dia mogok bekerja, justru bagian lain yang kelabakan. Coba sekarang anda simak cerita di bawah ini.

Pada suatu kesempatan anggota-anggota tubuh berkumpul mengadakan pertemuan untuk membicarakan peranan masing-masing. Peserta yang terlihat hadir di antaranya ada mata, hidung, telinga, jantung, kaki, tangan, dan (maaf) anus. Masing-masing anggota tubuh tersebut saling menonjolkan betapa penting peranan mereka. Dengan bangganya mata mengatakan kalau tidak ada dia, nggak mungkin manusia bisa melihat. Kaki berteriak, “Tanpa saya bagaimana bisa jalan?” Jantung tidak mau kalah. “Kalau saya berhenti berdenyut maka seluruh peredaran darah akan berhenti dan… matilah manusia,” begitu katanya. Semua bergantian mengutarakan betapa pentingnya peran mereka. Akan tetapi, ketika anus hendak bicara, semua melecehkan. Dia dilarang mengeluarkan suara, karena dianggap anggota tubuh yang paling kotor dan menjijikkan. Setelah itu, pertemuan bubar. Sang anus akan memberi pelajaran dan menunjukkan kepada seluruh anggota tubuh yang lain, meskipun dia tempatnya tersembunyi serta dianggap kotor menjijikkan tetapi peranannya tidak bisa diabaikan begitu saja.

Anus mogok berfungsi. Di hari pertama pemogokkannya, anggota tubuh yang lain merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Seharian mereka sibuk mencari penyebabnya. Di hari kedua, kaki mulai gemetaran, mata berkunang-kunang, jantung makin kencang berdetaknya. Semua merasakan akibat dari mogoknya si kotor menjijikkan ini. Di hari ketiga, akhirnya penyebab itu semua mereka ketemukan. Mereka sadar, ternyata, anus memiliki fungsi yang sangat vital. Semua racun yang harusnya dibuang melalui dia tetap berada di dalam tubuh. Akibatnya, seluruh anggota tubuh keracunan. Selanjutnya mereka ramai-ramai minta maaf dan berjanji tidak akan meremehkan anus lagi. Anus kemudian bekerja lagi dan semua kembali berjalan dengan normal.


1 comment:

  1. Anonymous2:54 AM

    hehe...sumpah senyum2 sendiri saya kang ngebaca nya..hoho^^

    ReplyDelete