Anda tentu pernah dengar pepatah seperti judul di atas. Dan saya yakin anda juga tahu artinya. Betul, kali ini saya akan cerita tentang tong kosong, tetapi bukan tong kosong yang memiliki arti kiasan itu. Tong kosong yang ini begitu berarti dan berkesan sekali buat saya. Pengen tahu kelanjutannya? Baca saja terus.
Kemarin (Rabu, 30/7/08) saya melakukan jajah deso milangkori. Sebagai orang Jawa, saya tahu artinya jajah deso, tetapi jangan tanya saya arti dari kata lanjutannya itu. Sumpah, saya tidak ngerti apa itu artinya milangkori. Saya hanya pernah membaca atau mendengar kata itu disebut-sebut. Untuk artinya sendiri, sampai sekarang saya tidak mengerti. Barangkali anda yang orang Jawa tulen, tidak gadungan seperti saya ini, tahu persis apa makna sebenarnya dari milangkori. Mohon anda bantu saya menjelaskan kepada pembaca saya akan arti kata itu. Terima kasih.
Tentu buang-buang waktu saja bila kita terus berkutat pada sebuah kata yang tidak begitu penting itu. So what gitu lho. Saya akan lanjutkan saja dan tidak usah dipedulikan si milangkori itu. Meskipun saya tidak mengerti arti dia itu, secara keseluruhan saya bisa menebak bahwa ungkapan itu adalah mengenai jalan-jalan keluar masuk desa, entah hanya sekedar mencuci mata dan menyegarkan paru-paru atau memang ada tujuan yang lebih penting. Dan itulah yang saya lakukan kemarin, jalan-jalan keluar masuk desa-desa yang ada di wilayah Bogor Barat.
Sebenarnya hari itu libur. Di kalender, tanggal itu berwarna merah, hari peringatan Isra’ Mi’raj. Kantor pun libur semua, termasuk kantor saya. Tapi karena pada hari itulah saya punya waktu banyak untuk melakukan jajah deso milangkori, akhirnya saya manfaatkan hari itu untuk keluar masuk desa yang merupakan tugas kantor.
Seperti tahun kemarin, saya mendapat tugas dari kantor untuk mensurvei calon-calon mahasiswa angkatan 12 yang akan kuliah di BEC. Karena tidak ada biaya kuliah yang harus dibayarkan alias gratis, maka salah satu tahap dalam proses penerimaannya adalah dengan dilakukan survei ke rumah-rumah mereka yang lolos dari tes tertulis untuk memastikan apakah mereka memang benar-benar berhak masuk ke BEC. Sama juga dengan tahun kemarin, saya mendapat jatah mensurvei calon mahasiswa yang berada di wilayah Bogor Barat.
Kali ini berbeda dengan tahun kemarin, saya survei menggunakan motor. Tidak lagi naik angkot dan ojeg. Lebih cepat dan hemat memang, namun gara-gara membawa motor sendiri itulah saya jadi ketemu dengan tong kosong berbunyi nyaring. Anda akan mengerti yang saya maksudkan itu nanti.
Tentu saja bukan para calon mahasiswa yang saya maksud dengan tong kosong. Sudah pasti mereka yang saya survei itu orang-orang pintar. Berlawanan dengan makna kiasan tong kosong yang berarti o-on. Mereka semua kan lulus dari tes tertulis yang tingkat kesulitannya oleh sebagian orang dikatakan tidak masuk akal. Itu berarti sudah bisa menjadi bukti bahwa mereka bukan tong kosong. Bila mereka ternyata orang yang banyak omong, maka pepatah itu akan berubah menjadi biar nyaring tapi tong itu tidak kosong. Maksain ya?
Perjalanan saya mulai dari tempat yang paling jauh. Dari data para calon, saya lihat Cigudeg yang berada sebelum Jasinga lah tempat yang paling ujung. Dari situ saya kemudian mendatangi desa-desa yang kembali mengarah ke Bogor. Setelah dari Desa Cigudeg (Kecamatan Cigudeg), saya menuju Cibunian (Pamijahan), Ciasihan (Pamijahan), Leuwiliang (Leuwiliang), Cemplang (Cibungbulang), Ciaruteun Udik (Cibungbulang), Cibatok (Cibungbulang), berakhir di Cibadak (Ciampea). Sebelum ke desa-desa ini, minggu sebelumnya saya mencicil mengunjungi tiga tempat yang ada di Desa Cinangneng dan Desa Cibitung Tengah yang kedua desa itu masuk Kecamatan Tenjolaya.
Nggak tahu sikap anda bila mendapat tugas seperti itu, namun bagi saya, kegiatan itu judulnya bukan pekerjaan, tetapi melancong alias jalan-jalan bin refreshing. Isinya seneng-seneng meskipun peristiwa yang terjadi di dalamnya sebagian ada yang nyebelin dan njengkelin, bila kita menganggapnya seperti itu tentu saja. Peristiwa yang nyebelin yang njengkelin, mungkin bila anda melihatnya seperti itu, buat saya merupakan pengalaman yang lucu dan tidak terlupakan.
Pernah ketika berada di Desa Cigudeg, saya dijadikan bola pingpong. Saya bolak-balik ke arah yang sama karena bertanya kepada orang-orang yang rupanya tidak begitu paham dengan alamat yang saya berikan. Jika mereka salah memberikan informasi, sebenarnya tidak sepenuhnya salah mereka. Sayalah yang salah karena begitu malasnya melihat peta arah yang sudah digambarkan dengan jelas oleh calon mahasiswa yang akan saya kunjungi. Akibatnya, yang seperti itulah, bolak-balik seperti ingus eh setrikaan.
Yang lebih mengesankan lagi peristiwa yang saya alami sebelumnya. Saat perjalanan menuju Desa Cigudeg. Di situlah saya benar-benar ketemu dengan tong kosong berbunyi nyaring. Bukan hanya sekedar ketemu malah, tapi saya cium. Bukan dicium dalam artian yang sebenarnya tentu saja. Jangan ngeres dulu ah.
Saat menuju ke Desa Cigudeg itu, kira-kira setelah melewati perkebunan kelapa sawit, di depan saya ada truk yang mengangkut kandang ayam potong. Tidak ada ayamnya memang, tapi baunya ampun deh, menguar masuk ke dalam helm saya. Padahal saat itu saya memakai helm penuh, masih saja bau seharum jamban itu masuk. Dan justru karena helm saya menutup seluruh kepala, akibatnya makin parah. Bau busuk kandang dari ayam yang tidak pernah mandi (eh, ayam pernah mandi ngggak sih?) tidak bisa keluar lagi begitu masuk ke helm saya. Bau busuk itu terperangkap. Akibatnya, saya terpaksa menghabiskan udara busuk itu dengan menghirupnya. Sendirian lagi. Coba dengan anda, ya, tentu saya tidak begitu tersiksa.
Tentu saja saya tidak mau lama-lama dikerjain truk sialan itu. Oleh sebab itu, setelah melewati orang-orang yang berada di tengah jalan meminta sumbangan entah untuk pembangunan masjid atau kantongnya sendiri dengan cara menahan laju kendaraan menggunakan tong yang ditaruh di tengah jalan juga, saya tarik gas motor saya bermaksud menyalip truk itu. ALAMAK!! Tepat di depan saya, ada tong bekas yang berdiri dengan gagahnya. Motor saya terlanjur berlari kencang.
Saya tidak berani banting ke kiri karena pantat truk masih ada di samping saya. Rem sempat saya injak dan motor saya banting ke kiri setelah truk sudah lewat. Dan... BRANGGG... bagian belakang motor saya menghantam tong. Motor sempat oleng, tetapi saya masih bisa menjaga keseimbangannya. Saya tidak menyangka ternyata masih ada satu tong lagi yang ada di tengah jalan. Padahal, jarak tong itu dengan orang yang minta sumbangan di tengah jalan lumayan jauh lho. Bunyi tong yang kesenggol pantat motor saya benar-benar nyaring bunyinya karena kosong. Bila ada isinya, bunyinya pasti ”NGEKKK.” Kalau yang itu bukan bunyi tong, tapi bunyi perut saya yang menghantam tong.
Memang benar kalau ada yang bilang, tong kosong berbunyi nyaring. Saya sudah membuktikannya sendiri. Jika perut kosong, berbunyi nyaring juga nggak?
Thursday, July 31, 2008
Friday, July 25, 2008
Jangan Sampai Deh
Ini ada cerita menyentuh dan inspiratif yang saya terima dari teman yang katanya berasal dari sebuah milis. Judul aslinya Mahalnya Sebuah Karir untuk Wanita dan penulisnya Sundari Nurhidajanti.
Silakan dibaca untuk bahan renungan…
Semoga bermanfaat…
Saya seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.
Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini. Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.
Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak Begitu hebat pada putri kami. Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini. Dan ketika saya sakit saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu. Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit, hanya itu saja.
Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka. Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor. Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayah pun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan. Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi?
Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan. Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya.
Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi dan di luar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar.
Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya!!! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga. Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.
Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit. Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya. Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia. Tragis!
Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati Kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.
Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.
Maya menulis:
"Ya Allah kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat sholat, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur.........Ya Allah, Maya kangen banget sama bik Inah."
Astagfirullah bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan bik Inah? Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.
Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya. Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy dan mencoba aktif ikut di pengajian-pengajian untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua. Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.
Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni. Dan semoga Allah mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya. Dan di setiap berdoa saya selalu memohon "Ya Allah seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Allah, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisiMu."
Semoga Allah mengabulkan doa saya...
Wallahualam...
GOD hears more than u say, GOD answers more than u ask & GOD gives more than u desire; realized it.
Silakan dibaca untuk bahan renungan…
Semoga bermanfaat…
Saya seorang ibu dengan 2 orang anak, mantan direktur sebuah Perusahaan multinasional. Mungkin anda termasuk orang yang menganggap saya orang yang berhasil dalam karir namun sungguh jika seandainya saya boleh memilih maka saya akan berkata kalau lebih baik saya tidak seperti sekarang dan menganggap apa yang saya raih sungguh sia-sia.
Semuanya berawal ketika putri saya satu-satunya yang berusia 19 tahun baru saja meninggal karena overdosis narkotika. Sungguh hidup saya hancur berantakan karenanya, suami saya saat ini masih terbaring di rumah sakit karena terkena stroke dan mengalami kelumpuhan karena memikirkan musibah ini. Putera saya satu-satunya juga sempat mengalami depresi berat dan sekarang masih dalam perawatan intensif sebuah klinik kejiwaan, dia juga merasa sangat terpukul dengan kepergian adiknya. Sungguh apa lagi yang bisa saya harapkan.
Kepergian Maya dikarenakan dia begitu guncang dengan kepergian Bik Inah pembantu kami. Hingga dia terjerumus dalam pemakaian Narkoba. Mungkin terdengar aneh kepergian seorang pembantu bisa membawa dampak Begitu hebat pada putri kami. Harus saya akui bahwa bik Inah sudah seperti keluarga bagi kami, dia telah ikut bersama kami sejak 20 tahun yang lalu dan ketika Doni berumur 2 tahun. Bahkan bagi Maya dan Doni, bik Inah sudah seperti ibu kandungnya sendiri.
Ini semua saya ketahui dari buku harian Maya yang saya baca setelah dia meninggal. Maya begitu cemas dengan sakitnya bik Inah, berlembar-lembar buku hariannya berisi hal ini. Dan ketika saya sakit saya pernah sakit karena kelelahan dan diopname di rumah sakit selama 3 minggu. Maya hanya menulis singkat sebuah kalimat di buku hariannya "Hari ini Mama sakit di Rumah sakit, hanya itu saja.
Sungguh hal ini menjadikan saya semakin terpukul. Tapi saya akui ini semua karena kesalahan saya. Begitu sedikitnya waktu saya untuk Doni, Maya dan Suami saya. Waktu saya habis di kantor, otak saya lebih banyak berpikir tentang keadaan perusahaan dari pada keadaan mereka. Berangkat jam 07:00 dan pulang di rumah 12 jam kemudian bahkan mungkin lebih. Ketika sudah sampai rumah rasanya sudah begitu capai untuk memikirkan urusan mereka. Memang setiap hari libur kami gunakan untuk acara keluarga, namun sepertinya itu hanya seremonial dan rutinitas saja, ketika hari Senin tiba saya dan suami sudah seperti "robot" yang terprogram untuk urusan kantor. Sebenarnya ibu saya sudah berkali-kali mengingatkan saya untuk berhenti bekerja sejak Doni masuk SMA namun selalu saya tolak, saya anggap ibu terlalu kuno cara berpikirnya. Memang Ibu saya memutuskan berhenti bekerja dan memilih membesarkan kami 6 orang anaknya. Padahal sebagai seorang sarjana ekonomi karir ibu waktu itu katanya sangat baik. Dan ayah pun ketika itu juga biasa-biasa saja dari segi karir dan penghasilan. Meski jujur saya pernah berpikir untuk memutuskan berhenti bekerja dan mau mengurus Doni dan Maya, namun selalu saja perasaan bagaimana kebutuhan hidup bisa terpenuhi kalau berhenti bekerja, dan lalu apa gunanya saya sekolah tinggi-tinggi?
Meski sebenarnya suami saya juga seorang yang cukup mapan dalam karirnya dan penghasilan. Dan biasanya setelah ada nasehat ibu saya menjadi lebih perhatian pada Doni dan Maya namun tidak lebih dari dua minggu semuanya kembali seperti asal urusan kantor dan karir fokus saya.
Dan kembali saya menganggap saya masih bisa membagi waktu untuk mereka, toh teman yang lain di kantor juga bisa dan ungkapan "kualitas pertemuan dengan anak lebih penting dari kuantitas" selalu menjadi patokan saya. Sampai akhirnya semua terjadi dan di luar kendali saya dan berjalan begitu cepat sebelum saya sempat tersadar.
Maya berubah dari anak yang begitu manis menjadi pemakai Narkoba. Dan saya tidak mengetahuinya!!! Sebuah sindiran dan protes Maya saat ini selalu terngiang di telinga. Waktu itu bik Inah pernah memohon untuk berhenti bekerja dan memutuskan kembali ke desa untuk membesarkan Bagas, putera satu-satunya, setelah dia ditinggal mati suaminya. Namun karena Maya dan Doni keberatan maka akhirnya kami putuskan agar Bagas dibawa tinggal bersama kami.
Pengorbanan bik Inah buat Bagas ini sangat dibanggakan Maya. Namun sindiran Maya tidak begitu saya perhatikan. Akhirnya semua terjadi setelah tiba-tiba jatuh sakit kurang lebih dua minggu, bik Inah meninggal dunia di Rumah Sakit. Dari buku harian Maya saya juga baru tahu kenapa Doni malah pergi dari rumah ketika bik Inah di Rumah Sakit. Memang Doni pernah memohon pada ayahnya agar bik Inah dibawa ke Singapore untuk berobat setelah dokter di sini mengatakan bahwa bik Inah sudah masuk stadium 4 kankernya. Dan usul Doni kami tolak hingga dia begitu marah pada kami. Dari sini saya kini tahu betapa berartinya bik Inah buat mereka, sudah seperti ibu kandungnya! menggantikan tempat saya yang seolah hanya bertugas melahirkan mereka saja ke dunia. Tragis!
Dan sebuah foto "keluarga" di dinding kamar Maya sering saya amati Kalau lagi kangen dengannya. Beberapa bulan yang lalu kami sekeluarga ke desa bik Inah. Atas desakan Maya kami sekeluarga menghadiri acara pengangkatan Bagas sebagai kepala sekolah madrasah setelah dia selesai kuliah dan belajar di pesantren. Dan Doni pun begitu bersemangat untuk hadir di acara itu padahal dia paling susah untuk diajak ke acara serupa di kantor saya atau ayahnya. Dan difoto "keluarga" itu tampak bik Inah, Bagas, Doni dan Maya tersenyum bersama. Tak pernah kami lihat Maya begitu senang seperti saat itu dan seingat saya itulah foto terakhirnya.
Setelah bik Inah meninggal Maya begitu terguncang dan shock, kami sempat merisaukannya dan membawanya ke psikolog ternama di Jakarta. Namun sebatas itu yang kami lakukan setelah itu saya kembali berkutat dengan urusan kantor Dan di halaman buku harian Maya penyesalan dan air mata tercurah.
Maya menulis:
"Ya Allah kenapa bik Inah meninggalkan Maya, terus siapa yang bangunin Maya, siapa yang nyiapin sarapan Maya, siapa yang nyambut Maya kalau pulang sekolah, Siapa yang ngingetin Maya buat sholat, siapa yang Maya cerita kalau lagi kesel di sekolah, siapa yang nemenin Maya kalo nggak bisa tidur.........Ya Allah, Maya kangen banget sama bik Inah."
Astagfirullah bukankah itu seharusnya tugas saya sebagai ibunya, bukan bik Inah? Sungguh hancur hati saya membaca itu semua, namun semuanya sudah terlambat tidak mungkin bisa kembali, seandainya semua bisa berputar kebelakang saya rela berkorban apa saja untuk itu. Kadang saya merenung sepertinya ini hanya cerita sinetron di TV dan saya pemeran utamanya. Namun saya tersadar ini real dan kenyataan yang terjadi.
Sungguh saya menulis ini bukan berniat untuk menggurui siapapun tapi sekedar pengurang sesal saya semoga ada yang bisa mengambil pelajaran darinya. Biarkan saya yang merasakan musibah ini karena sungguh tiada terbayang beratnya Semoga siapapun yang membaca tulisan ini bisa menentukan "prioritas hidup dan tidak salah dalam memilihnya". Biarkan saya seorang yang mengalaminya. Saat ini saya sedang mengikuti program konseling/therapy dan mencoba aktif ikut di pengajian-pengajian untuk menentramkan hati saya. Berkat dorongan seorang teman saya beranikan tulis ini semua. Saya tidak ingin tulisan ini sebagai tempat penebus kesalahan saya, karena itu tidak mungkin! Dan bukan pula untuk memaksa anda mempercayainya, tapi inilah faktanya. Hanya semoga ada yang memetik manfaatnya.
Dan saya berjanji untuk mengabdikan sisa umur saya untuk suami dan Doni. Dan semoga Allah mengampuni saya yang telah menyia-nyiakan amanahNya pada saya. Dan di setiap berdoa saya selalu memohon "Ya Allah seandainya Engkau akan menghukum Maya karena kesalahannya, sungguh tangguhkanlah Ya Allah, biar saya yang menggantikan tempatnya kelak, biarkan buah hatiku tentram di sisiMu."
Semoga Allah mengabulkan doa saya...
Wallahualam...
GOD hears more than u say, GOD answers more than u ask & GOD gives more than u desire; realized it.
Monday, July 07, 2008
Mas Keong
Enak benar jadi keong (siput), bila pindah rumah tidak repot. Ke manapun dia pergi, rumahnya selalu nempel. Tidak pusing memikirkan kontrakan dan tetek-bengek ketika pindahan. Tapi jika dipikir-pikir, kan keong tidak punya apa-apa selain rumah? Kalau begitu mendingan jadi orang saja deh meskipun jadi lieur alias pusing saat harus boyongan, dan nggak apa-apalah bila tidak punya rumah.
Siapa sangka saya harus begadang dan angkut sana angkut sini sampai hampir jam 3 malam saat saya pindahan hari Sabtu (5/7/08) kemarin. Saya memang rencana pindah rumah pada hari dan tanggal itu, dan... rencana saya berjalan on schedule. Meskipun ada hal di luar perhitungan dan perkiraan saya, tetapi bisa dikatakan segalanya berjalan dengan lancar.
Pindahan ini terpaksa baru bisa saya lakukan siang hari. Sebenarnya enak jika bisa pindah di pagi hari. Selain adem, juga banyak waktu, sehingga tidak perlu sampai lewat tengah malam masih harus angkut-angkut. Karena ada aktivitas lain yang tidak bisa saya tinggalkan, apa boleh buat, pindahan baru dilakukan jam 14.30 wib. Saya hanya berharap saja saat pindahan hari tidak hujan. You know lah, Bogor itu kan kota hujan. Untungnya saja Jum’at sore sampai malam hujan begitu lebat dan lama, dan saya berdoa mudah-mudahan inilah bantuan yang diberikan oleh Allah. Hujan sengaja dihabiskan pada malam hari sehingga saat paginya, hujan sudah tidak turun lagi. Ternyata doa saya terkabul, saat Sabtunya langit cerah dan rupanya hujan memang sudah dihabiskan di malam sebelumnya. Thank God!
Saya juga bersyukur memiliki tetangga dan teman yang baik dan helpful. Karena bantuan mereka, beban kerepotan yang saya hadapi bisa berkurang. Ketika packing, para tetangga bergotong royong mengangkat barang-barang ke atas mobil. Bisa anda bayangkan, mana mungkin mengangkat rak buku yang segede kebo, atau memanggul kulkas yang meskipun tidak besar tetapi karena saya bukan Hulk, ya nggak mungkinlah saya panggul sendiri.
Kloter pertama, maksudnya pada saat berangkat, ada dua mobil yang saya gunakan: truk engkel empat roda dan satu mobil bak terbuka kecil yang dipinjami sekaligus disopiri pemiliknya yang adalah tetangga saya yang profesor IPB. Yang truk diisi dengan barang-barang yang tidak bisa masuk ke dalam mobil kecil biasa, bukan bak terbuka. Itu memang prioritas saya. Bila nanti misalnya masih ada barang yang harus diangkut setidaknya saya cukup menggunakan mobil biasa dan tidak perlu menyewa truk engkel lagi. Hitung-hitungannya lebih murahlah.
Rupanya di kloter pertama, meskipun truk dan mobil pak profesor sudah penuh barang, masih banyak barang yang belum bisa diangkut. Namun demikian, setidaknya barang-barang yang besar yang tidak muat dalam mobil kecil sudah terangkut dalam truk. Untuk barang yang tersisa, nanti bisa saya bawa menggunakan mobil Carry pinjaman.
Kloter pertama berangkat jam 14.30 wib. Molor setengah jam dari yang direncanakan. Segalanya lancar. Meskipun jalan agak macet, biasa, weekend, tetapi masih bergerak mengalir. Tidak ada polisi yang menghadang di jalan. Memang itu yang saya harapkan walaupun saya sudah persiapkan uang sogokan sebagaimana yang disarankan oleh pemilik truk engkel beberapa hari sebelumnya. Mobil beriringan menyusuri jalanan kabupaten dan kota Bogor hingga sampai tujuan.
Pasukan yang sebelumnya saya mintai tolong sudah datang menyambut. Mereka teman-teman muda saya yang sedang kuliah di BEC. Sungguh, mereka benar-benar membantu. Tanpa mereka, tidak kebayang bagaimana saya bisa menurunkan dan mengangkat barang-barang saya yang dua mobil penuh itu. Terima kasih my friends.
Ketika kloter kedua, truk engkel dan mobil pak profesor sudah tidak digunakan lagi. Kali ini saya menggunakan Carry plus sopir. Mobil pinjaman lagi. Beginilah kalau jadi orang yang tukang pinjam. Untungnya orang pada baik sama saya.
Carry plus sopirnya bersama saya kemudian mengambil barang yang masih ada di rumah lama. Gara-gara kunci rumah lama lupa kebawa maka mobil pinjaman yang saya ambil dari Bogor kota balik dulu ke rumah baru yang ada di Bogor kabupaten untuk mengambil kunci. Akibatnya jam delapan malam baru sampai di rumah lama. Seperti inilah repotnya jadi orang pelupa. Suka jengkel sendiri.
Sopir Carry yang namanya pak Endang ini memang jago ngepak. Mobil yang seukuran angkot itu ternyata bisa dimuati banyak barang. Coba di kloter pertama tadi ada pak Endang, pasti truk engkel dan mobil pak profesor dapat memuat lebih banyak barang dan saya tidak perlu begadang sampai pagi.
Setelah mobil benar-benar tidak bisa diisi barang lagi, pak Endang saya suruh berangkat sendiri. Sementara saya menyiap-nyiapkan barang yang belum terangkut. Bila mobil itu datang lagi, barang-barang yang sudah saya siapkan itu tinggal dimasukkan ke mobil. Pak Endang berangkat jam sembilanan.
Jam 23.30-an pak Endang sudah datang lagi. Barang-barang yang saya persiapkan tadi segera diangkut ke dalam mobil. Pak Endang kembali menunjukkan keahliannya dalam mengepak. Rasanya jika pak Endang diberi tebakan bagaimana cara memasukkan seekor gajah dalam kulkas, pasti dia bisa menjawab dengan cepat dan tepat. Anda tahu jawaban dari tebakan itu?
Semua barang yang tersisa telah masuk ke mobil kira-kira jam satuan. Pak Endang dan mobilnya segera berangkat. Ini merupakan kloter ketiga dan terakhir. Pak Endang berangkat sendiri lagi. Saya tidak ikut mobil itu karena naik motor yang juga harus dibawa. Tetapi saya tidak langsung pulang. Saya ngobrol dahulu dengan orang-orang yang sedang menjalankan ronda di poskamling. Setiap malam Minggu memang warga sendiri yang melakukan ronda menggantikan petugas yang dibayar warga. Petugas keamanan yang dibayar ini sengaja diberi waktu untuk istirahat setiap malam Minggunya.
Malam itu merupakan malam terakhir buat saya di kampung yang sebentar lagi saya tinggalkan. Banyak kenangan manis tertinggal di kampung itu. Sudah 12 tahun saya hidup bermasyarakat di sana. Terus terang saja berat rasanya meninggalkan lingkungan yang sudah begitu saya kenal baik. Namun apa boleh buat, keengganan itu harus saya tepis. Dan alasan saya pindah pernah saya tuliskan di catatan online saya ini dengan judul Berani. Tulisan yang masuk kategori ”Wajib Baca.” Versi yang nulis tentu saja.
Jam dua pagi akhirnya saya putuskan pulang, dengan berat hati. Saya tinggalkan kampung lama menyongsong kampung baru saya. Saya jadi The Night Rider malam itu. Jalan sudah sepi. Hanya satu dua kendaraan yang saya temui. Udara malam yang menggigit menyusup di celah-celah baju yang saya kenakan. Malam itu saya hanya memakai jaket denim. Sekujur badan, dari ujung kaki sampai leher, terasa dingin. Hanya kepala saja yang terasa hangat karena terlindung helm yang menutupi seluruh kepala. Jam 02.30-an pagi saya sampai di rumah. Kampung baru saya sudah tidur pulas.
Selamat tinggal kampung dan warganya yang menjadi sahabat dan saudara-saudara saya selama ini. Saya tidak akan melupakan kalian semua dan saya janji akan datang berkunjung suatu saat. Uhuk... uhuk... uhuk....
Siapa sangka saya harus begadang dan angkut sana angkut sini sampai hampir jam 3 malam saat saya pindahan hari Sabtu (5/7/08) kemarin. Saya memang rencana pindah rumah pada hari dan tanggal itu, dan... rencana saya berjalan on schedule. Meskipun ada hal di luar perhitungan dan perkiraan saya, tetapi bisa dikatakan segalanya berjalan dengan lancar.
Pindahan ini terpaksa baru bisa saya lakukan siang hari. Sebenarnya enak jika bisa pindah di pagi hari. Selain adem, juga banyak waktu, sehingga tidak perlu sampai lewat tengah malam masih harus angkut-angkut. Karena ada aktivitas lain yang tidak bisa saya tinggalkan, apa boleh buat, pindahan baru dilakukan jam 14.30 wib. Saya hanya berharap saja saat pindahan hari tidak hujan. You know lah, Bogor itu kan kota hujan. Untungnya saja Jum’at sore sampai malam hujan begitu lebat dan lama, dan saya berdoa mudah-mudahan inilah bantuan yang diberikan oleh Allah. Hujan sengaja dihabiskan pada malam hari sehingga saat paginya, hujan sudah tidak turun lagi. Ternyata doa saya terkabul, saat Sabtunya langit cerah dan rupanya hujan memang sudah dihabiskan di malam sebelumnya. Thank God!
Saya juga bersyukur memiliki tetangga dan teman yang baik dan helpful. Karena bantuan mereka, beban kerepotan yang saya hadapi bisa berkurang. Ketika packing, para tetangga bergotong royong mengangkat barang-barang ke atas mobil. Bisa anda bayangkan, mana mungkin mengangkat rak buku yang segede kebo, atau memanggul kulkas yang meskipun tidak besar tetapi karena saya bukan Hulk, ya nggak mungkinlah saya panggul sendiri.
Kloter pertama, maksudnya pada saat berangkat, ada dua mobil yang saya gunakan: truk engkel empat roda dan satu mobil bak terbuka kecil yang dipinjami sekaligus disopiri pemiliknya yang adalah tetangga saya yang profesor IPB. Yang truk diisi dengan barang-barang yang tidak bisa masuk ke dalam mobil kecil biasa, bukan bak terbuka. Itu memang prioritas saya. Bila nanti misalnya masih ada barang yang harus diangkut setidaknya saya cukup menggunakan mobil biasa dan tidak perlu menyewa truk engkel lagi. Hitung-hitungannya lebih murahlah.
Rupanya di kloter pertama, meskipun truk dan mobil pak profesor sudah penuh barang, masih banyak barang yang belum bisa diangkut. Namun demikian, setidaknya barang-barang yang besar yang tidak muat dalam mobil kecil sudah terangkut dalam truk. Untuk barang yang tersisa, nanti bisa saya bawa menggunakan mobil Carry pinjaman.
Kloter pertama berangkat jam 14.30 wib. Molor setengah jam dari yang direncanakan. Segalanya lancar. Meskipun jalan agak macet, biasa, weekend, tetapi masih bergerak mengalir. Tidak ada polisi yang menghadang di jalan. Memang itu yang saya harapkan walaupun saya sudah persiapkan uang sogokan sebagaimana yang disarankan oleh pemilik truk engkel beberapa hari sebelumnya. Mobil beriringan menyusuri jalanan kabupaten dan kota Bogor hingga sampai tujuan.
Pasukan yang sebelumnya saya mintai tolong sudah datang menyambut. Mereka teman-teman muda saya yang sedang kuliah di BEC. Sungguh, mereka benar-benar membantu. Tanpa mereka, tidak kebayang bagaimana saya bisa menurunkan dan mengangkat barang-barang saya yang dua mobil penuh itu. Terima kasih my friends.
Ketika kloter kedua, truk engkel dan mobil pak profesor sudah tidak digunakan lagi. Kali ini saya menggunakan Carry plus sopir. Mobil pinjaman lagi. Beginilah kalau jadi orang yang tukang pinjam. Untungnya orang pada baik sama saya.
Carry plus sopirnya bersama saya kemudian mengambil barang yang masih ada di rumah lama. Gara-gara kunci rumah lama lupa kebawa maka mobil pinjaman yang saya ambil dari Bogor kota balik dulu ke rumah baru yang ada di Bogor kabupaten untuk mengambil kunci. Akibatnya jam delapan malam baru sampai di rumah lama. Seperti inilah repotnya jadi orang pelupa. Suka jengkel sendiri.
Sopir Carry yang namanya pak Endang ini memang jago ngepak. Mobil yang seukuran angkot itu ternyata bisa dimuati banyak barang. Coba di kloter pertama tadi ada pak Endang, pasti truk engkel dan mobil pak profesor dapat memuat lebih banyak barang dan saya tidak perlu begadang sampai pagi.
Setelah mobil benar-benar tidak bisa diisi barang lagi, pak Endang saya suruh berangkat sendiri. Sementara saya menyiap-nyiapkan barang yang belum terangkut. Bila mobil itu datang lagi, barang-barang yang sudah saya siapkan itu tinggal dimasukkan ke mobil. Pak Endang berangkat jam sembilanan.
Jam 23.30-an pak Endang sudah datang lagi. Barang-barang yang saya persiapkan tadi segera diangkut ke dalam mobil. Pak Endang kembali menunjukkan keahliannya dalam mengepak. Rasanya jika pak Endang diberi tebakan bagaimana cara memasukkan seekor gajah dalam kulkas, pasti dia bisa menjawab dengan cepat dan tepat. Anda tahu jawaban dari tebakan itu?
Semua barang yang tersisa telah masuk ke mobil kira-kira jam satuan. Pak Endang dan mobilnya segera berangkat. Ini merupakan kloter ketiga dan terakhir. Pak Endang berangkat sendiri lagi. Saya tidak ikut mobil itu karena naik motor yang juga harus dibawa. Tetapi saya tidak langsung pulang. Saya ngobrol dahulu dengan orang-orang yang sedang menjalankan ronda di poskamling. Setiap malam Minggu memang warga sendiri yang melakukan ronda menggantikan petugas yang dibayar warga. Petugas keamanan yang dibayar ini sengaja diberi waktu untuk istirahat setiap malam Minggunya.
Malam itu merupakan malam terakhir buat saya di kampung yang sebentar lagi saya tinggalkan. Banyak kenangan manis tertinggal di kampung itu. Sudah 12 tahun saya hidup bermasyarakat di sana. Terus terang saja berat rasanya meninggalkan lingkungan yang sudah begitu saya kenal baik. Namun apa boleh buat, keengganan itu harus saya tepis. Dan alasan saya pindah pernah saya tuliskan di catatan online saya ini dengan judul Berani. Tulisan yang masuk kategori ”Wajib Baca.” Versi yang nulis tentu saja.
Jam dua pagi akhirnya saya putuskan pulang, dengan berat hati. Saya tinggalkan kampung lama menyongsong kampung baru saya. Saya jadi The Night Rider malam itu. Jalan sudah sepi. Hanya satu dua kendaraan yang saya temui. Udara malam yang menggigit menyusup di celah-celah baju yang saya kenakan. Malam itu saya hanya memakai jaket denim. Sekujur badan, dari ujung kaki sampai leher, terasa dingin. Hanya kepala saja yang terasa hangat karena terlindung helm yang menutupi seluruh kepala. Jam 02.30-an pagi saya sampai di rumah. Kampung baru saya sudah tidur pulas.
Selamat tinggal kampung dan warganya yang menjadi sahabat dan saudara-saudara saya selama ini. Saya tidak akan melupakan kalian semua dan saya janji akan datang berkunjung suatu saat. Uhuk... uhuk... uhuk....
Tuesday, July 01, 2008
Harapan
Apa makna 1 Juli buat anda? Mungkin itu hari kelahiran anda. Atau ada kejadian istimewa lain yang begitu bermakna dalam hidup anda. Anda yang polisi, barangkali hari ini jadi spesial karena merupakan Hari Bhayangkara. Buat saya, hari ini tidak berarti apa-apa. Hanya saja, hingga hari ini saya merasa hidup di negeri yang ’katanya’ kaya raya ini menjadi semakin sulit. Bila kemudian perasaan itu saya tulis di awal Juli ini, itu hanya kebetulan saja. Namun yang pasti, peristiwa-peristiwa yang terjadi semakin membuat saya bertanya-tanya, masihkah orang-orang kecil lagi miskin bisa memiliki harapan untuk hidup normal di negeri ini? Sori bila kali ini saya menulis tentang pesimisme dan hal-hal yang berbau ketidak-antusiasan menghadapi hidup di negeri yang, sekali lagi, ’katanya,’ berlandaskan Pancasila.
Tadi pagi saya dengar berita di tv saat saya sedang sarapan, hari ini elpiji yang 12 kg harganya naik. Harga lama Rp 51.000 yang nyatanya saya harus bayar Rp 58.000 saat membeli, naik menjadi Rp 63.000 yang bisa jadi saya harus mengeluarkan Rp 70.000 untuk elpiji dengan harga baru itu. So what? Itulah respon yang saya berikan secara otomatis. Kedengaran sinis respon saya itu ya? Bukan karena saya orang kaya, bukan pula karena kenaikan itu tidak ada efeknya terhadap saya, tetapi karena saya sudah tidak berdaya dan semakin tidak mengerti dengan jalannya pemerintah di negeri gemah ripah ini.
Sungguh tidak terbayangkan lagi bila manusia yang sudah tidak memiliki harta benda, nantinya, harapan yang bisa diandalkan pun juga tidak punya. Barangkali kita ini akan mirip zombie atau mayat hidup yang berjalan-jalan di muka bumi.
Saya punya kisah inspiratif buat anda, tentang sebuah harapan. Kisah yang saya ceritakan buat anda ini saya ambil dari My Sister’s Keeper karya Jodi Picoult. Coba anda simak dan barangkali ada sesuatu yang bisa anda ambil hikmahnya.
Dalam mitologi Yunani, ada kisah tentang harapan. Diceritakan, suatu ketika Zeus memberikan tugas kepada Epimetheus dan Prometheus untuk menciptakan kehidupan di bumi. Epimetheus menciptakan binatang dengan dilengkapi kecepatan, kekuatan, bulu, dan sayap. Ketika giliran Prometheus menciptakan manusia, semua kualitas terbaik sudah diberikan dan tak ada lagi yang tersisa. Akhirnya dia bersedia menerima dengan memberikan manusia kemampuan bisa berjalan tegak, dan dia memberikan api kepada manusia.
Zeus marah besar, dan merenggutnya kembali. Prometheus melihat ciptaannya menggigil kedinginan dan tidak bisa memasak. Sebuah obor dia nyalakan menggunakan matahari dan diberikan kepada manusia. Hal ini membuat Zeus marah. Prometheus kemudian dihukum dengan dirantai di batu, dan elang memakan hatinya. Untuk menghukum manusia, Zeus menciptakan wanita pertama, Pandora, dan memberikan hadiah padanya, kotak yang terlarang untuk dibuka.
Rasa ingin tahu Pandora sudah tidak bisa tertahan lagi sehingga akhirnya dibukalah kotak itu. Dari dalam kotak keluar wabah penyakit, penderitaan, dan kejahatan. Dia berhasil menutup kotak itu sebelum harapan ikut menghilang. Itu satu-satunya senjata yang tersisa untuk melawan yang lain.
Itulah sepenggal cerita yang mengajarkan kepada kita betapa berharganya sebuah harapan. Begitu bernilainya harapan sehingga dalam kehidupan nyata, bahkan harapan bisa lebih mujarab dibandingkan obat dokter yang mahal. Harapan juga dapat membuat manusia yang sudah sekarat kembali bersemangat dalam hidupnya. Sekalipun dokter sudah memvonis hidupnya tidak lama lagi. Banyak contoh kejadian tentang hal itu.
Balik lagi ke negeri tercinta ini, bagaimana rakyatnya bisa memiliki harapan terhadap pemerintahnya bila yang disodorkan di depan mata adalah kengerian-kengerian yang menggiriskan. Memang kita diajarkan untuk tidak putus harapan. Katanya, putus cinta biasa putus asa jangan. Benarkah? Bagaimana kita tidak begitu putus asa dan dapat hidup tenang bila yang terjadi adalah harga bbm naik, elpiji naik, listrik byar-pet lagi mahal, minyak tanah langka, pendidikan mahal, kesehatan mahal, korupsi merajalela sampai-sampai DPR yang terhormat ternyata juga isinya orang-orang korup. Oh negeriku.
Tentang anggota dewan yang korupsi, sungguh benar-benar menyakitkan hati rakyat. Jika mereka mengaku sebagai wakil rakyat dan melakukan korupsi, itu artinya rakyat yang diwakilinya juga korupsi. Relakah anda dianggap sebagai koruptor? Terus terang saja saya pribadi kok tidak percaya dan tidak merasa bahwa mereka mewakili saya (rakyat). Saya tidak pernah mengangkat atau menunjuk mereka sebagai wakil saya. Bila memungkinkan, sudah pasti saya tidak akan menunjuk para koruptor untuk duduk di kursi milik rakyat.
Anda yang punya keahlian untuk mengubah sistem dan mekanisme memilih calon wakil rakyat sehingga mereka yang diangkat benar-benar orang pilihan, bersih dari korupsi, membagakan bangsa dan pantas dibanggakan rakyat yang diwakilinya, dan bisa dipercaya. Bagaimana coba caranya agar tokoh ideal itu bisa benar-benar ada?
Bila kita terus memikirkan situasi yang terjadi hingga saat ini di negeri ini, barangkali bisa benar terjadi yang namanya harapan betul-betul menghilang. Jika harapan saja sudah tidak ada lagi lalu apa lagi yang akan dituju atau dinanti-nanti. Karena harapan, kita rela menunggu berjam-jam, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Harapan pula yang membuat orang mau mengarungi samudera luas dan menjelajah hutan belantara.
Karena harapan pula, saya akhirnya memutuskan pindah rumah yang sebelumnya sudah saya tempati lebih dari 12 tahun. Saya dan keluarga mau meninggalkan kenyamanan hidup dengan tetangga dan lingkungan yang sudah begitu saya kenal baik. Rutinitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saya selama ini juga saya tinggalkan gara-gara harapan.
Bagi saya harapan itu seperti madu yang manis rasanya. Namun dari manisnya madu, ada resiko yang harus saya lewati agar bisa mendapatkan cairan kuning mengkilat itu. Sengatan lebah yang menyakitkan harus saya hadapi dan bisa jadi saya rasakan bila saya ingin menikmati madunya. Itulah dua sisi sebuah harapan, risk and reward. Bila kita ingin dapat reward maka harus berani menghadapi risk-nya. Katanya, risk and reward travel side by side. Anda boleh percaya boleh pula mengabaikannya.
Bila anda saat ini merasa tidak punya harapan, hati-hati, itu bisa merupakan lampu kuning buat anda. Kemungkinan yang bisa terjadi anda akan merasa sudah tidak ada gunanya untuk hidup di muka bumi ini. Jika itu yang anda rasakan, anda pasti tahu ujung-ujungnya nanti apa yang akan terjadi. Makanya ciptakan sebuah harapan. Kemudian, jadikan harapan anda itu sebagai mercusuar kehidupan. Dengan demikian, anda tahu kemana anda menuju.
Saya sering menonton film yang di situ ada kejadian saat terlihat bintang jatuh, kemudian ada yang mengatakan, ”Make your wish, make your wish.” Ada di dalam film memang, tapi, saya pikir hal itu benar adanya. Artinya bukan karena bintang jatuh itu kita kemudian menyebutkan harapan kita dan dijamin nanti pasti terwujud, tetapi dalam hidup ini kita harus membuat dan memiliki harapan. Kata iklan, biar hidup ini lebih hidup. Dan lagi, jika kita punya harapan, kan kita jadi seperti orang yang punya bisul. Kita jadi nungguin, kapan ya bisul itu akan pecah. Kok padanannya bisul gitu, jadi jijay ya? Tapi emang benar lho, jika anda punya bisul, sadar atau tidak, anda pasti menunggu kapan bisul itu pecah. Bila sudah terjadi, legaaa...deh rasanya.
Tadi pagi saya dengar berita di tv saat saya sedang sarapan, hari ini elpiji yang 12 kg harganya naik. Harga lama Rp 51.000 yang nyatanya saya harus bayar Rp 58.000 saat membeli, naik menjadi Rp 63.000 yang bisa jadi saya harus mengeluarkan Rp 70.000 untuk elpiji dengan harga baru itu. So what? Itulah respon yang saya berikan secara otomatis. Kedengaran sinis respon saya itu ya? Bukan karena saya orang kaya, bukan pula karena kenaikan itu tidak ada efeknya terhadap saya, tetapi karena saya sudah tidak berdaya dan semakin tidak mengerti dengan jalannya pemerintah di negeri gemah ripah ini.
Sungguh tidak terbayangkan lagi bila manusia yang sudah tidak memiliki harta benda, nantinya, harapan yang bisa diandalkan pun juga tidak punya. Barangkali kita ini akan mirip zombie atau mayat hidup yang berjalan-jalan di muka bumi.
Saya punya kisah inspiratif buat anda, tentang sebuah harapan. Kisah yang saya ceritakan buat anda ini saya ambil dari My Sister’s Keeper karya Jodi Picoult. Coba anda simak dan barangkali ada sesuatu yang bisa anda ambil hikmahnya.
Dalam mitologi Yunani, ada kisah tentang harapan. Diceritakan, suatu ketika Zeus memberikan tugas kepada Epimetheus dan Prometheus untuk menciptakan kehidupan di bumi. Epimetheus menciptakan binatang dengan dilengkapi kecepatan, kekuatan, bulu, dan sayap. Ketika giliran Prometheus menciptakan manusia, semua kualitas terbaik sudah diberikan dan tak ada lagi yang tersisa. Akhirnya dia bersedia menerima dengan memberikan manusia kemampuan bisa berjalan tegak, dan dia memberikan api kepada manusia.
Zeus marah besar, dan merenggutnya kembali. Prometheus melihat ciptaannya menggigil kedinginan dan tidak bisa memasak. Sebuah obor dia nyalakan menggunakan matahari dan diberikan kepada manusia. Hal ini membuat Zeus marah. Prometheus kemudian dihukum dengan dirantai di batu, dan elang memakan hatinya. Untuk menghukum manusia, Zeus menciptakan wanita pertama, Pandora, dan memberikan hadiah padanya, kotak yang terlarang untuk dibuka.
Rasa ingin tahu Pandora sudah tidak bisa tertahan lagi sehingga akhirnya dibukalah kotak itu. Dari dalam kotak keluar wabah penyakit, penderitaan, dan kejahatan. Dia berhasil menutup kotak itu sebelum harapan ikut menghilang. Itu satu-satunya senjata yang tersisa untuk melawan yang lain.
Itulah sepenggal cerita yang mengajarkan kepada kita betapa berharganya sebuah harapan. Begitu bernilainya harapan sehingga dalam kehidupan nyata, bahkan harapan bisa lebih mujarab dibandingkan obat dokter yang mahal. Harapan juga dapat membuat manusia yang sudah sekarat kembali bersemangat dalam hidupnya. Sekalipun dokter sudah memvonis hidupnya tidak lama lagi. Banyak contoh kejadian tentang hal itu.
Balik lagi ke negeri tercinta ini, bagaimana rakyatnya bisa memiliki harapan terhadap pemerintahnya bila yang disodorkan di depan mata adalah kengerian-kengerian yang menggiriskan. Memang kita diajarkan untuk tidak putus harapan. Katanya, putus cinta biasa putus asa jangan. Benarkah? Bagaimana kita tidak begitu putus asa dan dapat hidup tenang bila yang terjadi adalah harga bbm naik, elpiji naik, listrik byar-pet lagi mahal, minyak tanah langka, pendidikan mahal, kesehatan mahal, korupsi merajalela sampai-sampai DPR yang terhormat ternyata juga isinya orang-orang korup. Oh negeriku.
Tentang anggota dewan yang korupsi, sungguh benar-benar menyakitkan hati rakyat. Jika mereka mengaku sebagai wakil rakyat dan melakukan korupsi, itu artinya rakyat yang diwakilinya juga korupsi. Relakah anda dianggap sebagai koruptor? Terus terang saja saya pribadi kok tidak percaya dan tidak merasa bahwa mereka mewakili saya (rakyat). Saya tidak pernah mengangkat atau menunjuk mereka sebagai wakil saya. Bila memungkinkan, sudah pasti saya tidak akan menunjuk para koruptor untuk duduk di kursi milik rakyat.
Anda yang punya keahlian untuk mengubah sistem dan mekanisme memilih calon wakil rakyat sehingga mereka yang diangkat benar-benar orang pilihan, bersih dari korupsi, membagakan bangsa dan pantas dibanggakan rakyat yang diwakilinya, dan bisa dipercaya. Bagaimana coba caranya agar tokoh ideal itu bisa benar-benar ada?
Bila kita terus memikirkan situasi yang terjadi hingga saat ini di negeri ini, barangkali bisa benar terjadi yang namanya harapan betul-betul menghilang. Jika harapan saja sudah tidak ada lagi lalu apa lagi yang akan dituju atau dinanti-nanti. Karena harapan, kita rela menunggu berjam-jam, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Harapan pula yang membuat orang mau mengarungi samudera luas dan menjelajah hutan belantara.
Karena harapan pula, saya akhirnya memutuskan pindah rumah yang sebelumnya sudah saya tempati lebih dari 12 tahun. Saya dan keluarga mau meninggalkan kenyamanan hidup dengan tetangga dan lingkungan yang sudah begitu saya kenal baik. Rutinitas yang sudah menjadi bagian dari kehidupan saya selama ini juga saya tinggalkan gara-gara harapan.
Bagi saya harapan itu seperti madu yang manis rasanya. Namun dari manisnya madu, ada resiko yang harus saya lewati agar bisa mendapatkan cairan kuning mengkilat itu. Sengatan lebah yang menyakitkan harus saya hadapi dan bisa jadi saya rasakan bila saya ingin menikmati madunya. Itulah dua sisi sebuah harapan, risk and reward. Bila kita ingin dapat reward maka harus berani menghadapi risk-nya. Katanya, risk and reward travel side by side. Anda boleh percaya boleh pula mengabaikannya.
Bila anda saat ini merasa tidak punya harapan, hati-hati, itu bisa merupakan lampu kuning buat anda. Kemungkinan yang bisa terjadi anda akan merasa sudah tidak ada gunanya untuk hidup di muka bumi ini. Jika itu yang anda rasakan, anda pasti tahu ujung-ujungnya nanti apa yang akan terjadi. Makanya ciptakan sebuah harapan. Kemudian, jadikan harapan anda itu sebagai mercusuar kehidupan. Dengan demikian, anda tahu kemana anda menuju.
Saya sering menonton film yang di situ ada kejadian saat terlihat bintang jatuh, kemudian ada yang mengatakan, ”Make your wish, make your wish.” Ada di dalam film memang, tapi, saya pikir hal itu benar adanya. Artinya bukan karena bintang jatuh itu kita kemudian menyebutkan harapan kita dan dijamin nanti pasti terwujud, tetapi dalam hidup ini kita harus membuat dan memiliki harapan. Kata iklan, biar hidup ini lebih hidup. Dan lagi, jika kita punya harapan, kan kita jadi seperti orang yang punya bisul. Kita jadi nungguin, kapan ya bisul itu akan pecah. Kok padanannya bisul gitu, jadi jijay ya? Tapi emang benar lho, jika anda punya bisul, sadar atau tidak, anda pasti menunggu kapan bisul itu pecah. Bila sudah terjadi, legaaa...deh rasanya.
Subscribe to:
Posts (Atom)