Monday, June 12, 2006

Empati untuk Yogyakarta

Saat tulisan ini dibuat, orang Yogya, Bantul, Klaten, dan sekitarnya sedang melakukan pemulihan. Baik jasmani dan rohani, maupun tempat tinggalnya yang telah diporakporandakan oleh gempa bumi yang terjadi Sabtu pagi (28/8) jam 5.54 wib. Gempa dengan kekuatan 5,9 skala Richter (majalah Time edisi 5 Juni malahan menyebut 6,2) menjadi bencana terburuk bagi bangsa Indonesia setelah tsunami yang melanda Banda Aceh Desember 2004 lalu dengan korbanya 170.000. Bila dibandingkan dengan jumlah korban di Aceh memang masih jauh. Tapi bukan itu esensinya. Satupun jiwa meninggal sudah merupakan tragedi. Apalagi bagi keluarga korban. Apalagi lebih dari 6.000 jiwa. Bukan main-main lagi.

Bicara main-main, justru ada pihak yang seolah-olah main-main dengan jiwa manusia. Korban yang seharusnya segera mendapat pertolongan malah dihambat dengan kewajiban menyerahkan fotokopi KTP untuk memperoleh bantuan. Kalau kawin lagi boleh lah musti nyerahin fotokopi KTP. Hla ini? Birokrasi yang ada bukannya memperlancar arus tapi justru menjadi titik yang menghambat laju bantuan dari saudara-saudara sebangsa yang ingin meringankan beban para korban. Rupanya, bencana yang terjadi berkali-kali; tsunami, gempa, banjir, tanah longsor dan rupa bentuk petaka lainnya, belum bisa menjadi pelajaran bagi para birokrat untuk lebih tanggap dan cekatan. Oleh karena itu, perlu diacungi jempol buat mereka yang langsung mengendrop bantuannya ke wilayah-wilayah bencana tanpa perlu melalui jalur birokrasi yang bertele-tele.

Barangkali tulisan ini terlambat menurut anda. Tapi saya tetap beranggapan, baik begitu selesai kejadian atau selang beberapa waktu, ucapan empati tetap akan bermakna ketika disampaikan secara tulus. Dan perhatian tersebut akan lebih bernilai dari sekedar uang yang diberikan hanya karena ingin memperoleh popularitas. Saya tidak membicarakan anda. Namun kalau anda termasuk orang seperti itu, sebaiknya anda segera bertobat.
What can money buy?

No comments:

Post a Comment