Do you plan to be on vacation in USA? And analytic for fun abode for kids and ancestors things to do, again you are at appropriate abode that will best acclaim you some fun things to do with kids and some important things to do for kids to accomplish them blessed and memorable holidays.
Tuesday, March 14, 2006
Friday, March 10, 2006
Viva English 85
Siapa sangka setelah 20 tahun, gondez-gondez bisa kumpul kembali. Gondez adalah nama panggilan untuk kami semua saat masih kuliah di Undip sampai sekarang. Terus terang saya sendiri tidak tahu makna sebenarnya dan dari mana asalnya. Bisa jadi itu merupakan bahasa Semarangan yang digunakan untuk memanggil teman akrab. Kita anggap saja seperti itu.
Rasa kangen yang lama terpendam akhirnya bisa terobati. Meskipun tidak jumpa secara fisik. Minimal bisa berkomunikasi melalui email. Lumayan. Biarpun yang bergabung dalam milis tidak semua, paling tidak sudah ada sebagian. Harapannya nanti semakin banyak yang join. Juga akan lebih baik lagi, selain via email, ada website angkatan 85 yang bisa dijadikan meeting point. Anggap saja situs ini adalah pengganti dari rumah kakaknya Yulius, mas Ri, di Tawangsari yang dulu pernah dijadikan markas. Atau sebagai pengganti kampus sastra di Hayamwuruk yang dulu kami jadikan tempat kuliah dan kongkow-kongkow.
Dengan adanya email saya jadi tahu keberadaan mereka semua yang saya kangeni. Terutama dua sahabat wanita saya, Iwuk & Kenik, yang dulu dekat dengan saya. Sungguh, saya merasakan kedekatan itu. Bukan saja secara fisik, tapi hati saya juga merasa dekat. Saya nggak tahu apakah waktu itu Iwuk dan Kenik merasakan apa yang saya rasakan. Barangkali that’s not the point. Yang utama buat saya adalah mengutarakan apa yang dulu pernah saya rasakan. Kalau dikatakan sudah terlambat, memang iya. Tapi bagiku better late than never. Mungkin dua sahabatku ini mentertawakan (atau bahkan mencibir?) bila membaca tulisan ini. Kok si Adi sentimentil amat ya ternyata. Biarlah. Saya akui seperti itu. Namun yang baik dari saya (hah! promosi?), sentimentil tapi nggak sentimen. Silahkan dicatat!
Buat Iwuk maupun Kenik, kalian berdua mungkin waktu itu menganggap saya sebatas teman biasa. Sebagaimana teman-teman kita yang lain. Tapi bagiku kamu berdua lebih dari sekedar teman. Kalian adalah teman terbaik saya. Sahabat saya. Dulu maupun sekarang. Makanya saya sangat senang ketika tiba-tiba ada email tentang kalian di mailboxku. Dua sahabatku yang hilang telah kembali.
Sengaja saya tulis blog ini untuk Iwuk dan Kenik yang ada di Lombok dan Belgia. Harapanku kalian bahagia bersama keluargamu.
Tulisan lain yang terkait dengan gondez-gondez English 85 bisa dibaca di blog berjudul Indahnya Persahabatan. Saya akan tulis lagi cerita tentang gondez yang lain next time. Nggak janji tapi.
Rasa kangen yang lama terpendam akhirnya bisa terobati. Meskipun tidak jumpa secara fisik. Minimal bisa berkomunikasi melalui email. Lumayan. Biarpun yang bergabung dalam milis tidak semua, paling tidak sudah ada sebagian. Harapannya nanti semakin banyak yang join. Juga akan lebih baik lagi, selain via email, ada website angkatan 85 yang bisa dijadikan meeting point. Anggap saja situs ini adalah pengganti dari rumah kakaknya Yulius, mas Ri, di Tawangsari yang dulu pernah dijadikan markas. Atau sebagai pengganti kampus sastra di Hayamwuruk yang dulu kami jadikan tempat kuliah dan kongkow-kongkow.
Dengan adanya email saya jadi tahu keberadaan mereka semua yang saya kangeni. Terutama dua sahabat wanita saya, Iwuk & Kenik, yang dulu dekat dengan saya. Sungguh, saya merasakan kedekatan itu. Bukan saja secara fisik, tapi hati saya juga merasa dekat. Saya nggak tahu apakah waktu itu Iwuk dan Kenik merasakan apa yang saya rasakan. Barangkali that’s not the point. Yang utama buat saya adalah mengutarakan apa yang dulu pernah saya rasakan. Kalau dikatakan sudah terlambat, memang iya. Tapi bagiku better late than never. Mungkin dua sahabatku ini mentertawakan (atau bahkan mencibir?) bila membaca tulisan ini. Kok si Adi sentimentil amat ya ternyata. Biarlah. Saya akui seperti itu. Namun yang baik dari saya (hah! promosi?), sentimentil tapi nggak sentimen. Silahkan dicatat!
Buat Iwuk maupun Kenik, kalian berdua mungkin waktu itu menganggap saya sebatas teman biasa. Sebagaimana teman-teman kita yang lain. Tapi bagiku kamu berdua lebih dari sekedar teman. Kalian adalah teman terbaik saya. Sahabat saya. Dulu maupun sekarang. Makanya saya sangat senang ketika tiba-tiba ada email tentang kalian di mailboxku. Dua sahabatku yang hilang telah kembali.
Sengaja saya tulis blog ini untuk Iwuk dan Kenik yang ada di Lombok dan Belgia. Harapanku kalian bahagia bersama keluargamu.
Tulisan lain yang terkait dengan gondez-gondez English 85 bisa dibaca di blog berjudul Indahnya Persahabatan. Saya akan tulis lagi cerita tentang gondez yang lain next time. Nggak janji tapi.
Thursday, March 09, 2006
Indahnya Persahabatan
Dua hari yang lalu nggak disangka ada email dari teman lama di mailbox. Rupanya mantan teman-teman kuliah di Undip lagi rame beremail-emailan. Begitu lihat nama-nama yang ada teringat nama panggilan mereka ketika kuliah dulu: Mpik, Babah, Hok, Kuncoro, Iwuk, Kenik, Sisil, Sari. Rasanya seperti melewati time tunnel atau lorong waktunya Deddy Mizwar. Kenangan terlempar kisaran dua puluh tahun yang lalu.
Kampus berujud bangsal rumah sakit karena memanjang dan berkesan kuno, ada juga yang bilang mirip SD inpres, menjadi saksi terjalinnya persahabatan. Dimulai dari anak-anak desa yang berniat melanjutkan kuliah, datang berkumpul di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Saat itu tahun 1985. Dengan didasari kepentingan yang sama, merasa senasib sependeritaan di tempat orang, bersemilah benih pertemanan. Awalnya teman yang kemudian menjadi sahabat. Kebiasaan berkumpul, bertemu, dan main bareng, lebih-lebih yang sering ngumpul di Tawangsari menjadikan hati kami semakin dekat. Bak ati dan ampela gulung di warung mang Dudung yang lagi linglung (weleh…).
Setelah mulai ada yang diwisuda tahun 1991, kami menyebar mencari kehidupan masing-masing. Garis hidup yang sudah dibuat oleh Allah mengarahkan langkah kaki kami ke tempat periuk nasi masing-masing. Meski tersebar, tapi saya yakin, hati kami masih terjalin. Kenangan yang pernah dibuat tidak akan hilang ditelan masa. Someday, pasti ada perjumpaan yang sudah diatur Yang Kuasa. Dan itu terbukti dua hari yang lalu di mailbox saya, meski tidak secara fisik.
Sekarang saya mesti berterimakasih dengan teknologi. Internet dan email memungkinkan saya berkomunikasi dengan sahabat-sahabat yang sudah puluhan tahun hilang. Email menjadikan kami bisa saling bercanda, sharing suka dan suka (nggak ada dukanya), meski jarak memisahkan fisik kami. Kenik di Belgia - Iwuk di Lombok - Kuncoro di Copenhagen - Babah, Dodo, Mpik & istrinya Wiz di Semarang - Sisil di Iowa, US – Hok di Tulungagung – Yulius di Madiun – saya di Bogor – dan gondez-gondez yang lain yang entah dimana tempatnya, bisa saling ngobrol.
Teknologi memang top, tapi lebih top lagi yang bikin pembikin teknologi - Allah.
Kampus berujud bangsal rumah sakit karena memanjang dan berkesan kuno, ada juga yang bilang mirip SD inpres, menjadi saksi terjalinnya persahabatan. Dimulai dari anak-anak desa yang berniat melanjutkan kuliah, datang berkumpul di Fakultas Sastra Universitas Diponegoro Semarang. Saat itu tahun 1985. Dengan didasari kepentingan yang sama, merasa senasib sependeritaan di tempat orang, bersemilah benih pertemanan. Awalnya teman yang kemudian menjadi sahabat. Kebiasaan berkumpul, bertemu, dan main bareng, lebih-lebih yang sering ngumpul di Tawangsari menjadikan hati kami semakin dekat. Bak ati dan ampela gulung di warung mang Dudung yang lagi linglung (weleh…).
Setelah mulai ada yang diwisuda tahun 1991, kami menyebar mencari kehidupan masing-masing. Garis hidup yang sudah dibuat oleh Allah mengarahkan langkah kaki kami ke tempat periuk nasi masing-masing. Meski tersebar, tapi saya yakin, hati kami masih terjalin. Kenangan yang pernah dibuat tidak akan hilang ditelan masa. Someday, pasti ada perjumpaan yang sudah diatur Yang Kuasa. Dan itu terbukti dua hari yang lalu di mailbox saya, meski tidak secara fisik.
Sekarang saya mesti berterimakasih dengan teknologi. Internet dan email memungkinkan saya berkomunikasi dengan sahabat-sahabat yang sudah puluhan tahun hilang. Email menjadikan kami bisa saling bercanda, sharing suka dan suka (nggak ada dukanya), meski jarak memisahkan fisik kami. Kenik di Belgia - Iwuk di Lombok - Kuncoro di Copenhagen - Babah, Dodo, Mpik & istrinya Wiz di Semarang - Sisil di Iowa, US – Hok di Tulungagung – Yulius di Madiun – saya di Bogor – dan gondez-gondez yang lain yang entah dimana tempatnya, bisa saling ngobrol.
Teknologi memang top, tapi lebih top lagi yang bikin pembikin teknologi - Allah.
Friday, March 03, 2006
Tamu Tak Diundang
Awalnya dia datang bertamu ke rumah saya diantar oleh salah satu dari tiga marbot masjid dekat rumah. Sapaan dengan menyebut nama saya dan seulas senyum diberikan untuk memberi kesan akrab. Seolah-olah sudah kenal lama. Meskipun dimata saya tetap masih jelas terlihat kepura-puraan. Usianya berkisar tiga puluh lima. Berbadan sedang berkulit sawo matang dengan rambut lurus. Saat datang dia memakai kacamata. Melihat usianya saya pikir dia adalah orang tua atau kakak dari marbot yang mengantar. Dalam hati saya ketika melihat mereka datang adalah barangkali marbot tersebut mau memperkenalkan sekaligus memberitahu bahwa orang tua atau kakaknya itu akan menginap di masjid.
Kami bersalaman dan berkenalan. Marbot masjid hanya tersenyum saat bersalaman. Antara dia dan saya memang sudah kenal, jadi tidak ada acara perkenalan. Tamu yang dibawa marbot mengajak bersalaman sambil menyebut namanya Edwin. Sebagai tuan rumah, saya persilahkan mereka untuk masuk. Edwin memilih untuk duduk di teras saja dengan alasan lebih sejuk. Malam itu memang udara agak panas. Setelah sedikit basa-basi dia kemudian mulai mengutarakan maksud kedatangannya. Dugaan awal saya bahwa dia orang tua atau kakak marbot maupun dia akan menginap ternyata salah. Dia datang mau menawarkan pembuatan kaligrafi di dalam ruang sholat masjid. Kisahnya mulai membuat tulisan kaligrafi di beberapa masjid baik di Bogor maupun Jakarta, brosur untuk perumahan, sampai pengalaman membuat neon sign dan neon box di Semarang. Sudah tentu itu semua untuk meyakinkan bahwa dia cukup berkualitas dan pengalaman. Sekali dua saya timpali diantara obrolannya. Setelah beberapa saat Edwin dan marbot yang mengantarkan berpamitan. Dengan kesimpulan bahwa tawaran dia malam itu akan saya sampaikan dalam rapat DKM nanti.
Sebagai bendahara DKM, saya merupakan orang yang akan didatangi untuk urusan uang. Dengan datangnya Edwin tentu saja saya juga berpikiran seperti itu. Saya menduga dia datang menawarkan kaligrafi untuk masjid karena saya yang memegang kas masjid. Ketika dia menyebut nama pak Soleh, tetangga yang juga pengurus DKM, yang menyuruhnya menemui saya, perkiraan saya adalah karena saya bendaharanya. Ternyata bukan itu alasan sebenarnya.
Besuk sorenya Edwin menelpon. Dia menginformasikan bahwa tawarannya yang semalam ada sedikit perubahan. Besarnya biaya yang tadi malam memang belum disebutkan sekarang dia akan sampaikan. DKM cukup membayar dia untuk upah kerjanya saja. Mengenai cat dan bahan-bahan lainnya supaya disediakan sendiri. Sekali lagi saya katakan bahwa tawaran dia akan saya bawa ke rapat DKM dan hasilnya akan diberitahukan melalui telepon. Sampai tahap ini saya masih beranggapan bahwa dia memang serius menawarkan keahliannya sebagai pembuat kaligrafi. Namun kedatangannya ke rumah saat pagi hari setelah sholat subuh membuat saya berubah pikiran.
Pagi itu memang saya terlambat bangun untuk sholat subuh ke masjid karena malamnya begadang sampai larut menyelesaikan pekerjaan. Saya kaget ketika dibangunkan istri karena ada tamu. Dalam hati saya bertanya siapa orangnya yang bertamu habis subuh ini. Dengan enggan saya intip lewat jendela. Ternyata Edwin. Saya keluar menemuinya dengan mata merah karena masih mengantuk. Saya berpikiran tentunya urusan kaligrafi. Setelah minta maaf kemudian dia menanyakan apakah sudah bicara dengan pak Dhani. Beliau adalah ketua DKM. Saya jawab belum ketemu beliau. Rupanya ini hanya basa-basi saja. Apa yang dia omongkan setelah itu membuat saya heran sekaligus kaget. Saya kenal dia baru dua hari. Dia memang berlaku sopan dan banyak senyum, walaupun dibuat-buat. Pun bersikap SKSD (sok kenal sok dekat). Tetapi ketika dia mengatakan butuh uang untuk berobat anaknya, saya langsung waspada. Saya mempunyai feeling bahwa orang ini tidak benar. Kalau saya jadi dia, atau siapapun yang tahu etika, pasti tidak akan berani datang subuh-subuh untuk sekedar meminjam uang. Apalagi baru kenal dua hari. Karena hati rasanya sudah nggak enak dan mulai timbul curiga, saya tidak meluluskan permintaannya. Bahkan ketika beralasan uang tersebut untuk membawa anaknya yang sakit ke dokter. Saya sudah tidak mempercayainya.
Sorenya saya ketemu pak Soleh. Kadang-kadang tetangga saya ini memang suka bertandang ke rumah. Kebetulan kami memiliki hobi yang sama terhadap tanaman. Karena waktu Edwin datang pertama kalinya menyebut-nyebut namanya maka saya tanyakan apakah dia menyuruh Edwin menemui saya untuk menawarkan kaligrafi. Jawabannya makin memperkuat kecurigaan saya, sebab ternyata dia mengaku bernama Nandang, bukan Edwin, kepada pak Soleh. Dan rupanya Edwin tidak pernah disuruh pak Soleh untuk menawarkan kaligrafi ke saya. Pak Soleh juga meminta saya untuk berhati-hati karena Edwin juga mengajukan hutang dengan alasan yang sama persis seperti yang dia katakan kepada saya. Karena tidak punya prasangka apa-apa, pak Soleh menghutangi dia. Namun yang membuat pak Soleh jengkel dan timbul curiga adalah ketika uang sudah di tangan, Edwin bilang bahwa sebenarnya butuh lebih banyak dari yang sekarang diterima. Apakah Edwin akan membayar hutangnya seperti yang dia janjikan, pak Soleh juga ragu.
Bisa dipastikan bahwa pak Soleh bukan korbannya yang pertama. Entah yang ke berapa. Yang jelas orang seperti Edwin ini perlu diwaspadai. Dia menipu dengan cara meminjam uang kepada korbannya. Agar si korban jatuh kasihan, biaya untuk berobat anaknya yang dijadikan alasan. Orang seperti ini bisa saja berkeliaran disekitar lingkungan tempat tinggal anda. Bila ada orang asing yang berkunjung ke rumah anda, entah pria atau wanita, untuk menawarkan sesuatu, sebaiknya anda berhati-hati. Bukannya suudzon, tapi waspada rasanya lebih bijaksana daripada menjadi korban yang tidak perlu.
Kami bersalaman dan berkenalan. Marbot masjid hanya tersenyum saat bersalaman. Antara dia dan saya memang sudah kenal, jadi tidak ada acara perkenalan. Tamu yang dibawa marbot mengajak bersalaman sambil menyebut namanya Edwin. Sebagai tuan rumah, saya persilahkan mereka untuk masuk. Edwin memilih untuk duduk di teras saja dengan alasan lebih sejuk. Malam itu memang udara agak panas. Setelah sedikit basa-basi dia kemudian mulai mengutarakan maksud kedatangannya. Dugaan awal saya bahwa dia orang tua atau kakak marbot maupun dia akan menginap ternyata salah. Dia datang mau menawarkan pembuatan kaligrafi di dalam ruang sholat masjid. Kisahnya mulai membuat tulisan kaligrafi di beberapa masjid baik di Bogor maupun Jakarta, brosur untuk perumahan, sampai pengalaman membuat neon sign dan neon box di Semarang. Sudah tentu itu semua untuk meyakinkan bahwa dia cukup berkualitas dan pengalaman. Sekali dua saya timpali diantara obrolannya. Setelah beberapa saat Edwin dan marbot yang mengantarkan berpamitan. Dengan kesimpulan bahwa tawaran dia malam itu akan saya sampaikan dalam rapat DKM nanti.
Sebagai bendahara DKM, saya merupakan orang yang akan didatangi untuk urusan uang. Dengan datangnya Edwin tentu saja saya juga berpikiran seperti itu. Saya menduga dia datang menawarkan kaligrafi untuk masjid karena saya yang memegang kas masjid. Ketika dia menyebut nama pak Soleh, tetangga yang juga pengurus DKM, yang menyuruhnya menemui saya, perkiraan saya adalah karena saya bendaharanya. Ternyata bukan itu alasan sebenarnya.
Besuk sorenya Edwin menelpon. Dia menginformasikan bahwa tawarannya yang semalam ada sedikit perubahan. Besarnya biaya yang tadi malam memang belum disebutkan sekarang dia akan sampaikan. DKM cukup membayar dia untuk upah kerjanya saja. Mengenai cat dan bahan-bahan lainnya supaya disediakan sendiri. Sekali lagi saya katakan bahwa tawaran dia akan saya bawa ke rapat DKM dan hasilnya akan diberitahukan melalui telepon. Sampai tahap ini saya masih beranggapan bahwa dia memang serius menawarkan keahliannya sebagai pembuat kaligrafi. Namun kedatangannya ke rumah saat pagi hari setelah sholat subuh membuat saya berubah pikiran.
Pagi itu memang saya terlambat bangun untuk sholat subuh ke masjid karena malamnya begadang sampai larut menyelesaikan pekerjaan. Saya kaget ketika dibangunkan istri karena ada tamu. Dalam hati saya bertanya siapa orangnya yang bertamu habis subuh ini. Dengan enggan saya intip lewat jendela. Ternyata Edwin. Saya keluar menemuinya dengan mata merah karena masih mengantuk. Saya berpikiran tentunya urusan kaligrafi. Setelah minta maaf kemudian dia menanyakan apakah sudah bicara dengan pak Dhani. Beliau adalah ketua DKM. Saya jawab belum ketemu beliau. Rupanya ini hanya basa-basi saja. Apa yang dia omongkan setelah itu membuat saya heran sekaligus kaget. Saya kenal dia baru dua hari. Dia memang berlaku sopan dan banyak senyum, walaupun dibuat-buat. Pun bersikap SKSD (sok kenal sok dekat). Tetapi ketika dia mengatakan butuh uang untuk berobat anaknya, saya langsung waspada. Saya mempunyai feeling bahwa orang ini tidak benar. Kalau saya jadi dia, atau siapapun yang tahu etika, pasti tidak akan berani datang subuh-subuh untuk sekedar meminjam uang. Apalagi baru kenal dua hari. Karena hati rasanya sudah nggak enak dan mulai timbul curiga, saya tidak meluluskan permintaannya. Bahkan ketika beralasan uang tersebut untuk membawa anaknya yang sakit ke dokter. Saya sudah tidak mempercayainya.
Sorenya saya ketemu pak Soleh. Kadang-kadang tetangga saya ini memang suka bertandang ke rumah. Kebetulan kami memiliki hobi yang sama terhadap tanaman. Karena waktu Edwin datang pertama kalinya menyebut-nyebut namanya maka saya tanyakan apakah dia menyuruh Edwin menemui saya untuk menawarkan kaligrafi. Jawabannya makin memperkuat kecurigaan saya, sebab ternyata dia mengaku bernama Nandang, bukan Edwin, kepada pak Soleh. Dan rupanya Edwin tidak pernah disuruh pak Soleh untuk menawarkan kaligrafi ke saya. Pak Soleh juga meminta saya untuk berhati-hati karena Edwin juga mengajukan hutang dengan alasan yang sama persis seperti yang dia katakan kepada saya. Karena tidak punya prasangka apa-apa, pak Soleh menghutangi dia. Namun yang membuat pak Soleh jengkel dan timbul curiga adalah ketika uang sudah di tangan, Edwin bilang bahwa sebenarnya butuh lebih banyak dari yang sekarang diterima. Apakah Edwin akan membayar hutangnya seperti yang dia janjikan, pak Soleh juga ragu.
Bisa dipastikan bahwa pak Soleh bukan korbannya yang pertama. Entah yang ke berapa. Yang jelas orang seperti Edwin ini perlu diwaspadai. Dia menipu dengan cara meminjam uang kepada korbannya. Agar si korban jatuh kasihan, biaya untuk berobat anaknya yang dijadikan alasan. Orang seperti ini bisa saja berkeliaran disekitar lingkungan tempat tinggal anda. Bila ada orang asing yang berkunjung ke rumah anda, entah pria atau wanita, untuk menawarkan sesuatu, sebaiknya anda berhati-hati. Bukannya suudzon, tapi waspada rasanya lebih bijaksana daripada menjadi korban yang tidak perlu.
Subscribe to:
Posts (Atom)