Opini ini pernah aku kirim ke PR 31/1/05 tapi ra ono kabare ngasi saiki. PAYAAAAHHH!!
Pemerintah menyediakan fasilitas pendidikan gratis sampai tingkat perguruan tinggi baik di dalam maupun luar negeri bagi 1000 orang terpandai. Sebuah kabar yang sangat menggembirakan bagi mereka yang berotak encer. Terutama rakyat miskin. Cerita ini disampaikan oleh seorang teman yang mengajar di IPB. Dosennya ketika dia mengambil program S2 adalah salah satu dari 1000 orang tersebut.
Masyarakat yang lebih memiliki kecerdasan daripada biaya untuk belajar tentu akan gembira sekali mendengar berita seperti itu. Cuma sayangnya, hal tersebut terjadi di negeri jiran Malaysia. Bagi kita di Indonesia masih sekedar impian. Kita hanya bisa berharap mudah-mudahan pemerintah mau mencontoh kebijakan positif konstruktif tersebut.
Bila menengok pendidikan di Aceh yang dilansir berbagai media massa belakangan ini, sungguh cukup memprihatinkan. Sudah satu bulan lebih bencana lewat, namun masih banyak sekolah dari tingkat SD sampai perguruan tinggi belum bisa menyelenggarakan kegiatan belajar mengajar. Agar tidak terlalu lama vakum, akhirnya beberapa sekolah melangsungkan proses belajarnya dengan fasilitas seadanya. Dengan menggelar alas plastik dan berteduh di bawah pohon untuk menghindari panas, terpaksa dilakukan. Sudah pasti tidak optimal, tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.
Pendidikan yang merupakan hak setiap warga negara harus tetap diupayakan. Adanya sebagian anak-anak Aceh yang belum bisa sekolah lagi pascabencana mau tidak mau terpaksa dimaklumi. Apa boleh buat. Memang kondisi belum memungkinkan. Kita maupun pemerintah, hanya bisa berusaha semaksimal mungkin mengembalikan seperti semula. Tetapi di luar Aceh, anak-anak kita yang tidak bisa memperoleh haknya untuk belajar karena biaya yang selangit sungguh ironis. Kesempatan yang diberikan kepada swasta oleh pemerintah untuk turut mengelola pendidikan di negeri ini menjadi pedang bermata dua. Semakin banyak kesempatan pendidikan ditawarkan. Ini nilai positif yang perlu disambut. Hal lain, terjadi kapitalisasi pendidikan. Orang-orang bisnis atau yang berjiwa wirausaha berlomba-lomba menyelenggarakan pendidikan. Meskipun kualitasnya kadang perlu dipertanyakan, biarpun ada di balik biaya yang tidak murah. Ada anggapan di masyarakat bahwa sekolah mahal pasti berkualitas. Paradigma inilah yang sering dimanipulasi oleh para pengusaha. Mereka tidak salah bila yang dilihat semata-mata keuntungan. Namanya juga pengusaha.
Ujung-ujungnya, stigma pendidikan mahal jadi melekat di benak masyarakat. Jangankan sekolah menengah, apalagi perguruan tinggi, untuk masuk SD saja dibutuhkan biaya jutaan. Munculnya sekolah-sekolah terpadu akhirnya menghasilkan akronim kreatif baru. Karena pentingnya pendidikan, biaya yang mahal terpaksa dibayar juga. Kalau perlu mencari usaha sampingan, atau utangan. Terpadu bagi masyarakat berarti terpaksa pakai duit.
Bagaimana dengan anggota masyarakat yang tidak mampu, apakah mereka tidak berhak mengenyam pendidikan seperti yang lain? Pemerintah dalam hal ini memiliki wewenang penuh untuk mengatur. Jangan sampai muncul pameo rakyat miskin dilarang sekolah. Alokasi APBN untuk bidang pendidikan yang baru mencapai 6% dari total bukan berarti menghilangkan kesempatan rakyat miskin untuk menjadi pandai. Anggaran pendidikan memang belum mencapai 20%. Sebagaimana idealnya dan yang saat ini telah diterapkan di negara lain seperti Malaysia. Dengan dana yang minim perlu dicarikan pemecahan untuk masalah yang ada dalam pendidikan rakyat kita.
Namun demikian, masih ada realita yang cukup menggembirakan. Ternyata masih ada pihak non-pemerintah yang peduli dengan pendidikan tanpa hitung-hitungan biaya. Lembaga-lembaga pendidikan seperti ini perlu mendapat dukungan dari semua pihak. Pemerintah melalui dinas pendidikan dapat mendukung gerak pihak swasta ini dengan menyediakan perangkat regulasi yang diperlukan. Untuk membantu rakyat miskin saat ini, yang dapat dilakukan pemerintah memang masih sebatas membuat aturan yang memihak rakyat. Mengenai biaya, biar swasta yang memikirkan. Salah satu lembaga non-pemerintah yang bisa dijadikan contoh adalah Yayasan Peduli Pendidikan. Yayasan yang berlokasi di Bogor ini membentuk lembaga pendidikan dengan nama BEC atau Bogor EduCARE untuk menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam mencerdaskan bangsa. Kesempatan lulusan SMA atau yang sederajat dari keluarga miskin yang ingin melanjutkan ke pendidikan tinggi diakomodir oleh lembaga ini. Mahasiswa yang belajar di tempat ini dibebaskan 100% dari biaya pendidikan yang senilai tujuh setengah juta rupiah. Biaya yang perlu dikeluarkan oleh mereka hanya uang transport, jajan, dan alat tulis. Efeknya hanya bersifat lokal. Akan tetapi bila banyak pihak di kota lain melakukan hal yang sama, sudah pasti banyak anak-anak kita dari keluarga miskin yang dapat menikmati pendidikan. Sebagaimana teman-teman mereka yang berasal dari keluarga the have. Pendidikan memang bukan monopoli orang kaya. Siapapun berhak untuk mengenyam pendidikan dan menjadi pandai. Termasuk orang miskin.
Meskipun ada sekolah gratis seperti Bogor EduCARE, yang terjadi di lapangan belumlah menggembirakan. Animo masyarakat tergolong rendah. Banyak pihak yang menaruh curiga dengan penyelenggaraan pendidikan semacam ini. Hal ini dapat dimaklumi. Di jaman yang serba mahal ini, mana ada sih orang yang mau memberi secara gratis.
No comments:
Post a Comment