Friday, January 06, 2006

Aceh Tidak Butuh Siput

Sekaligus untuk mengenang tragedi tsunami 26 Desember 2004 yang lalu, opini ini pernah aku kirim ke PR pada 11/1/05 tapi gak ada beritanya sampai sekarang. Nggak laku kali ye hehehehe..........

New York dihantam tsunami. Miss Liberty tenggelam sampai pundak. Ratusan ribu manusia tenggelam di salah satu kota teramai di dunia ini. Amerika tidak berdaya menghadapi bencana ini. Negara superpower menjadi hilang kekuatannya ketika menghadapi power Tuhan. Ketika bencana terjadi, pemimpin negara segera memerintahkan anak buahnya untuk mengevakuasi para korban. Dengan demikian, jumlah korban juga dampak pascabencana dapat diminimalkan. Bahkan presiden menjadi orang terakhir yang mengungsi sehingga pada akhirnya malah ikut menjadi korban. Itulah gambaran yang diberikan oleh film Hollywood The Day After Tomorrow yang dibintangi Dennis Quaid dengan arahan sutradara Roland Emmerich.

Bencana Aceh yang terjadi hari Minggu 26 Desember 2004 meninggalkan banyak pekerjaan yang harus diselesaikan sampai saat ini. Minggu yang merupakan hari yang ditunggu-tunggu oleh para pekerja. Hari dimana segala kejenuhan di kantor dapat terlupakan sejenak. Hari saat keluarga bisa berkumpul dan bepergian bersama, telah berubah bila Tuhan berkehendak lain. Kosa kata Jepang Tsunami yang berarti ombak pertama yang besar telah menjadi bagian kelam kehidupan rakyat Aceh.

Data resmi yang dikeluarkan Departemen Kesehatan menyatakan jumlah korban tsunami 104.055 jiwa. Jumlah ini merupakan angka terbesar dibandingkan negara lain seperti Sri Lanka, India, Thailand, dan beberapa negara di Afrika. Melihat jumlah korban yang begitu besar, sudah bisa dipastikan kerusakan yang terjadi di Aceh sungguh luar biasa. Yang diperlukan sekarang adalah segera memulihkan kembali kehidupan rakyat Aceh yang hancur oleh tsunami.

Sudah tidak mungkin lagi Aceh bangkit sendiri. Seluruh rakyat Indonesia harus menyisingkan lengan baju bersatu dan bergotong royong, membantu rakyat Aceh. Bukan cuma berwujud uang tetapi juga berupa sandang, pangan, obat-obatan, tenaga dan pikiran, juga mengembalikan tempat tinggal mereka.

Trenyuh sekali melihat penderitaan yang dialami mereka. Lebih-lebih melihat kerja pemerintah yang begitu lambat. Sudah dua pekan kejadian lewat. Namun demikian, masih banyak mayat-mayat yang belum dikuburkan. Sebagaimana yang terjadi di Pantai Lamting yang berada di Pulau Nasi yang hanya berjarak 18 mil laut dari Banda Aceh. Ada ratusan mayat yang terdampar di pantai pulau ini yang belum dikuburkan. Sudah bisa dipastikan kondisi mereka rusak dan membusuk. Begitupun di tempat-tempat lain. Mayat yang bercampur dengan puing masih ada dimana-mana. Penyakit kolera, infeksi saluran pernapasan akut, disentri dan herpes akan menjadi musibah susulan bila jenazah-jenazah tersebut masih membujur di situ.

Sangat disayangkan para pejabat lebih sibuk mengatur jadwal kunjungan ke Aceh. Bukannya jadwal terjun langsung bersama anak buahnya ke medan bencana. Banyaknya negara lain yang mengirimkan sukarelawan beserta peralatannya cukup sangat membantu sekaligus membuat malu. Indonesia yang berpenduduk 210 juta lebih nyatanya masih harus dibantu tenaga asing untuk menyelesaikan bencana Aceh. Sementara aparat daerah serta militer setempat tidak bisa diharapkan kinerjanya secara maksimal. Apalagi sebagian dari mereka juga kehilangan keluarga dan harta bendanya, bahkan nyawa.

Mengikuti berita yang terus-menerus disiarkan di televisi, radio, maupun media cetak, Aceh belum dibantu secara maksimal. Banyak sekali bantuan yang masih menumpuk di tempat-tempat penampungan yang ada di kota-kota lain seperti Yogyakarta dan Jakarta. Ada kendala yang harus segera diatasi. Tidak adanya sarana pengangkutan ke Aceh yang bisa digunakan menjadikan bantuan tersebut tidak ada artinya. Kondisi lain yang memprihatinkan adalah adanya pungutan liar. Hal ini dilakukan oleh warga setempat maupun aparat terhadap mobil-mobil yang mengangkut bantuan dan sukarelawan yang masuk ke lokasi bencana.

Dengan banyaknya mayat dan puing yang masih bertebaran di mana-mana, diperlukan adanya sukarelawan-sukarelawan yang mau terjun ke Aceh. Tenaga untuk membersihkan itu semua, terutama mengevakuasi dan menguburkan jenasah, sangat dibutuhkan. Sayangnya sampai saat ini banyak sukarelawan yang menumpuk di daerah kota. Belum banyak kelompok sukarelawan yang beroperasi di daerah terpencil. Upaya kelompok sukarelawan bentukan kementerian BUMN yang terdiri dari RS Hasan Sadikin, Serikat Pekerja BUMN, Wanadri, Orari dan lain-lain berusaha menembus lokasi terisolir patut diikuti. Namun perlu diingat juga adanya seleksi sukarelawan sebelum mereka diberangkatkan. Bagaimanapun juga mereka harus merupakan orang-orang yang mandiri, tangguh, dan tegar. Alangkah justru akan merepotkan yang lain, seandainya mereka menjadi sukarelawan tetapi memegang mayat saja tidak mau atau malah tidak berani. Di Aceh nanti, mereka juga tetap harus memenuhi kebutuhan mereka sendiri seperti makan, minum dan tempat tinggal. Dukungan dari pemerintah terhadap kesehatan sukarelawan juga diperlukan. Langkah Kantor Pusat PMI di Jakarta menyuntik 116 sukarelawan dengan vaksin antikolera dan antitetanus sebelum mereka diberangkatkan cukup bagus.

Dengan adanya bencana di wilayah Indonesia bagian paling Barat ini, tindakan SBY dan pemerintahannya dalam mengatasi bencana sekarang menjadi sorotan rakyat. Bencana Aceh merupakan tugas yang perlu segera diselesaikan. Program kerja 100 hari pemerintahan SBY belum selesai. Penyelesaian Aceh yang cepat bisa dipastikan akan memberikan poin yang tinggi untuk pemerintah sekarang. Kesan lambat dapat ditepis dengan menunjukkan kesigapan kerja dalam memulihkan Aceh. Yang diinginkan rakyat terutama Aceh adalah penanganan yang cepat, tidak lelet seperti siput.

No comments:

Post a Comment