Friday, February 27, 2009

Kentut V.2

Ini bukan software komputer yang versi beta-nya sedang diluncurkan. Namun jika kentut dianggap sebagai software, kira-kira anda setuju tidak? Mungkin bukan software kali ya, tapi gasware. Tapi terserah anda sajalah, kalau anda mengelompokkan kentut sebagai software karena gas termasuk barang soft alias lembut. Anda bisa tebak kira-kira saya akan ngomongin apa kali ini?

Sebelumnya saya minta maaf bila kali ini saya akan membicarakan hal yang jorok menurut kebanyakan orang. Menurut saya, jika kentut dianggap sebagai barang jorok, sebenarnya tergantung dari sudut mana kita melihat. Kadang-kadang sesuatu itu semata-mata hanya dinilai dari tampilannya atau, untuk kentut, baunya. Barang yang kelihatan buruk atau berbau tidak sedap kemudian dianggap sebagai barang menjijikkan. Padahal kalau melihat fungsinya, baru kita sadar bila ternyata barang menjijikkan itu sangat penting.

Semalam kembali saya dibukakan mata saya betapa pentingnya kentut itu. Saya juga pernah menulis betapa pentingnya kentut itu sampai-sampai tulisan yang pernah saya buat itu saya beri judul Kentut, Kurindu Hadirmu. Ya, sama seperti yang saya kisahkan dalam tulisan itu, semalam saya juga sangat merindukan kehadiran barang yang karena baunya kemudian dianggap barang jorok. Semalam saya kembali dibuat tidak bisa tidur oleh kentut.

Penyebab kenapa gas dalam perut saya berulah, saya sendiri tidak tahu. Saya merasa tidak makan yang aneh-aneh sehingga bisa memicu produksi gas yang berlebihan di dalam perut. Saya hanya bisa menduga penyebab gas dalam lambung saya menjadi berlebihan adalah karena malam itu saya sempat membaca di teras. Mungkin udara malam yang sejuk, bukan dingin sebenarnya, saat itu yang mengakumulasi gas dalam perut. Sayangnya mekanisme pengeluaran gas menjadi kentut tidak berjalan dengan baik. Entah mengapa kok jadi ngabek begitu. Akibatnya semalaman saya disiksa oleh gas yang berputar-putar dalam perut tanpa bisa dikeluarkan. Saya sudah tengkurap, telentang, nungging, segala cara saya lakukan namun semua itu tidak berhasil. Karena tidak tidur semalamam, badan ini jadi tidak karuan rasanya. Paginya intensitas gas memang berkurang, tetapi karena semalaman kedinginan, kesakitan, dan tidak tidur, sekarang gantian kepala saya yang empot-empotan. Gila bener, ternyata kentut kalau tidak dikeluarkan menjadi begitu kejam.

Serangan kentut semalam seperti pengalaman yang pernah saya tuliskan dalam Kentut, Kurindu Hadirmu. Makanya tulisan yang ini saya beri judul Kentut V.2. Semalam merupakan serangan kedua yang meluluhlantakkan pertahanan saya, meskipun sebetulnya serangannya tidak sedahsyat yang dulu. Bisa dibayangkan dengan serangan yang bisa dikatakan biasa saja dampaknya seperti itu, apalagi lebih hebat lagi.

Sekali lagi maaf bila anda kurang sreg dengan tulisan ini dan anda kemudian ngomel urusan gini kok dibahas. Namun jika anda pernah jadi korban kentut anda sendiri, saya yakin anda akan berpikir lain. Sebagai oleh-oleh buat anda, video ini barangkali akan menunjukkan kepada anda bahwa ternyata urusan kentut juga bisa menjadi hiburan. Coba deh



Thursday, February 26, 2009

Hutang Sakit 1/2 Jiwa

Memang nggak enak memiliki hutang. Namun bagi sebagian orang, justru nggak enak kalau tidak punya hutang. Para wirausahawan juga menyarankan supaya berhutang. Tetangga saya malah memberi saran yang kedengaran ngawur tapi jika dipikir-pikir ada benarnya juga, “ Berhutanglah, sebab orang hidup bila tidak memiliki hutang akan mati.”

Aneh juga saran tersebut. Ternyata yang dia maksudkan adalah dengan memiliki hutang maka kita ini akan berusaha, akan bergerak, untuk dapat melunasi hutang. Dengan demikian hidup kita ini seperti yang disebutkan di sebuah iklan, “Hidup ini terasa lebih hidup.” Boleh juga saran tetangga saya itu dipertimbangkan.

Tulisan ini juga berkisar tentang hutang. Ya hutang saya terhadap seseorang. Bukan hutang uang atau barang yang sengaja saya kemplang, tapi hutang janji yang bila tidak saya lunasi saya merasa dikejar-kejar oleh ucapan saya sendiri yang pernah saya sampaikan ke orang tersebut. Seingat saya, beberapa bulan yang lalu saya pernah menjanjikan seorang penulis buku untuk membuat ulasan tentang bukunya. Saat itu saya diberi novel remaja karya dia dengan tidak lupa diberi kata-kata dan tanda tangan. Saya minta supaya tulisan dan tanda tangannya ditujukan kepada anak saya.

Saya nggak tahu apakah pernah mengulas bukunya di blog ini. Rasa-rasanya sih belum. Yang pasti saya masih ingat dengan janji saya. Biar tidak kebayang-bayang dengan janji yang saya buat sendiri, saya tulis saja sekarang.

Entah sudah cetakan ke berapa novel remaja yang berjudul Sakit ½ Jiwa saat ini. Ketika novel itu diberikan ke saya oleh penulisnya sudah cetakan yang ke tujuh. Tentang penulisnya, Endang Rukmana, saya ketemu dia ketika sedang main ke rumah teman yang penulis di Bojong Gede. Endang adalah anak didik teman saya itu. Kebetulan saja kami ketemu di sana.

Novel Sakit ½ Jiwa memang bukan untuk saya lagi. Namun demikian, tetap saya baca juga. Karena saya sudah janji ke penulisnya, biar tidak ngawur bila saya mengulas novel itu, mau nggak mau saya harus membacanya. Seperti novel lain yang diperuntukkan untuk remaja, bahasa yang digunakan sudah pasti bahasa mereka juga. Dengan demikian cerita terasa ringan dan mengalir. Bila anda ingin mendapat hiburan khasnya remaja, buku ini cocok untuk dibaca. Hal-hal ngocol menjadi bumbu dalam menikmati cerita yang disajikan. Namanya juga novel remaja, anda yang biasa menikmati karya sastra yang agak serius barangkali akan merasakan Sakit ½ Jiwa ini seperti kudapan, terasa tetapi tidak mengenyangkan.

Saya tidak menyarankan, juga tidak ngompori untuk tidak membeli buku ini. Jika anda suka yang enteng-enteng, nggak perlu banyak mikir, ceritanya klise, guyonan khas anak sekolahan atau kuliahan, ya anda tidak salah bila membeli novel ini. Bila anda lebih berminat pada cerita yang bernas, agak serius, tidak sekedar terasa tetapi puas dan mengenyangkan, ya baca saja bukunya JK Rowling misalnya.

Buat mas Endang Rukmana, lunas ya hutang saya. Mungkin anda tidak ‘ngeh’ kalau saya pernah berjanji kepada anda. Kalaupun anda tidak merasa, tidak apa-apa, tulisan ini tetap saya buat karena anda telah berbaik hati memberi saya buku plus tanda tangan anda.

Salam dari Bogor.

Wednesday, February 25, 2009

Klinong-klinong Lagi

Semenjak pindah rumah, lama saya tidak klinong-klinong jajah deso milangkori, alias jalan-jalan, lagi. Baru 25 Januari dan 22 Februari kemarin, dua-duanya hari Minggu, saya sempatkan gentayangan jalan kaki mengitari Bogor mencari yang tidak pasti.

Yah, seperti inilah pekerjaan yang kadang-kadang saya lakukan, pengen sehat dengan cara murah. Meskipun kenyataannya tetap ada fulus yang dikeluarkan. Bukan untuk membiayai acara jalan-jalannya, tetapi mengisi perut yang minta diisi karena kelaparan setelah jalan berjam-jam.

Saya biasanya berangkat pagi sebelum matahari terbit, kira-kira persis setelah sholat subuh. Sejak lama setiap akan jalan saya selalu merencanakan waktu pemberangkatan seperti itu. Anda tahulah, dengan berangkat setelah sholat subuh, kan waktu ademnya lebih lama dan jalanan belum begitu rame. Tapi ya itu masalahnya, ada saja untuk jadi terlambat, sehingga berangkat habis sholat subuh itu ya rencana tinggal rencana. Belum pernah kesampaian. Seperti dua waktu jalan-jalan kemarin yang meskipun tidak habis sholat subuh, tetap saja molor dari yang direncanakan.

Jalan-jalan 25 Januari saya lakukan sekalian untuk survei. Targetnya adalah danau yang ada di perumahan mewah, orang di sekitar tempat saya tinggal menyembutnya, Bogor Leksit. Apabila oke, rencananya nanti saya mau mengadakan jalan pagi massal. Sayangnya rute menuju ke tempat itu saya anggap terlalu riskan. Jadi terpaksa saya putuskan kalaupun tetap akan ke danau itu harus mencari jalur alternatif.

Rute yang dipilih pada waktu itu memang berbahaya. Memang bisa lewat pinggir jalan yang berumput, tetapi dengan jumlah peserta yang banyak dengan menyusuri tepian jalan tol, siapa yang bisa menjamin mereka akan patuh untuk tidak lewat di jalan aspal meskipun di pinggir? Bisa-bisa disamber mobil yang sopirnya semalem habis mabok-mabokan. Daripada cari penyakit mendingan saya batalkan saja melalui rute yang penuh penyakit itu.

Di danaunya sendiri sebenarnya lumayan juga untuk bersantai. Setidaknya bisa memandangi air danau yang coklat, tidak biru seperti yang ada di foto iklan perumahan itu. Setelah mengelilingi danau itu sekali, saya kemudian ke taman bermainnya. Di situ saya menemukan tanaman yang baru pertama kali saya lihat meskipun buahnya sudah berkali-kali saya makan, buah naga. Wow…

Siapa sangka ternyata buah naga pohonnya seperti kaktus. Atau memang termasuk keluarga kaktus? Saat teman saya mengatakan itu pohon buah naga, saya tidak percaya. Saya bilang, “Ini sih pohon kaktus.” Sudah nggak tahu, ngeyel lagi. Pohon itu memang banyak keluar bunga yang menjadi bakal buah, tapi bentuknya belum mirip buah naga. Ketika ada satu yang dibungkus plastik hitam dan pembungkusnya kemudian dibuka, baru saya percaya kalau itu buah naga. Satu lagi tanaman baru saya kenal. Selain buah naga, di taman itu juga ada segerombolan angsa cantik yang salah satunya dengan takut-takut mendekati saya.

22 Februari saya jalan pagi lagi. Kali ini rutenya ke arah kota Bogor. Saya sendiri tinggal di desa, masuk wilayah Kabupaten Bogor. Kesempatan ini saya gunakan untuk mencoba sebuah jalur yang menuju ke Bogor Leksit juga tetapi tidak menyusuri jalan tol. Saya pernah melalui jalur ini menggunakan motor beberapa waktu yang lalu. Karena sudah tidak ingat lagi jalurnya, ya terpaksa asal jalan saja. Nggak heran ketika ada pertigaan saya salah belok. Setelah berjalan lumayan jauh baru tahu kalau kesasar karena jalan itu tidak bisa dilewati motor. Padahal sebelumnya saya naik motor, berarti bukan jalan itu yang waktu itu saya lewati. Saya kembali lagi ke pertigaan dan mengambil belokan satunya. Dan memang benar jalur itu yang menuju ke Bogor Leksit melalui bawah jalan tol.

Begitu sampai di perumahan yang memiliki logo angsa itu, saya tidak menuju danau. Kunjungan ke danau yang pernah dilakukan sekali pada 25 Januari sudah cukup. Saya kemudian ke arah perumahan mewah pertama di Bogor, Villa Duta. Keluar dari perumahan itu lalu belok ke kanan melewati BMC, sebuah rumah sakit yang termasuk baru di Bogor.

Kaki mulai terasa kemut-kemut. Ada yang tidak beres pada jari-jari kaki. Bekas lecet saat jalan 25 Januari nampaknya akan jadi lagi. Tidak apa-apa. Seperti itulah resiko jalan kaki, apalagi bila lama tidak melakukan olah raga itu. Meski jari kaki terasa akan lecet, perjalanan diteruskan menuju Universitas Pakuan. Ada target yang akan saya datangi di depan perguruan tinggi tertua di Bogor itu, yaitu sebuah warung pinggir jalan penjual ketupat sayur Pariaman. Rasanya nikmat sekali setelah jalan hampir dua jam kemudian menyantap sepiring ketupat sayur ala Padang. Ada telornya lagi.

Warung ketupat itu merupakan akhir dari jalan-jalan. Dari tempat itu selanjutnya menuju perempatan Jalan Azhimar III. Tiba di perempatan kemudian belok kanan mengikuti arah angkot 05 trayek Ramayana-Cimahpar.

Sampai di rumah, bukan hanya kaki yang cape, badanpun ikut-ikutan. Hari itu saya sudah berjalan sekitar tiga jam. Cukuplah untuk memperoleh nilai aerobiknya. Yang perlu dilakukan selanjutnya tinggal menikmati jari kaki yang empot-empotan karena di beberapa tempat terbentuk gelembung berisi cairan. Bagaimanapun kondisinya, saya puas hari itu.

Tuesday, February 24, 2009

Gadis Tangsi

Awalnya saya membeli buku ini karena harganya yang diobral. Diskon sampai hampir 80% menjadikan tangan saya enteng untuk merogoh kantong. Buku pertama berjudul Gadis Tangsi dan yang kedua dengan judul Kerajaan Raminem merupakan dua buku dari trilogi yang ditulis Suparto Brata. Saya terlenakan oleh trilogi ini. Kok bisa?

Gambar sampul yang memberi kesan kuno menarik minat saya, ketika saya jalan-jalan di tempat obral buku yang sering digelar di depan toko buku Gramedia di Mal Ekalokasari Bogor. Sampul itu mengingatkan saya pada tetralogi Bumi Manusia milik Pram. Saya ingin tahu lebih lanjut tentang isinya, apakah juga sejenis dengan tetraloginya Pram. Oleh karena itu, saya beli dua buku tersebut. Sayangnya buku ketiganya tidak saya temukan di tempat obral itu.

Saya sempat buka-buka buku pertama yang berjudul Gadis Tangsi sebelum benar-benar membacanya. Di buku itu alur ceritanya merambat pelan. Teyi yang menjadi tokoh utama digambarkan sebagai gadis kecil anak seorang prajurit di sebuah tangsi. Karena dendam ibunya terhadap istri dari kakak suami menyebabkan Teyi harus keliling tangsi berdagang pisang goreng setiap hari. Teyi menyiapkan dagangannya sejak adzan subuh bersama ibunya. Setelah hari menjadi terang, pisang goreng itu baru dijual dengan menyusuri gang-gang di dalam tangsi. Semua itu dilakukan demi ambisi ibunya dalam mengumpulkan kekayaan.

Kisah yang awalnya biasa-biasa saja dalam Gadis Tangsi lama-kelamaan menjadi menarik. Rupanya memang harus sabar dalam membaca novel ini. Konflik yang dibangun berjalan dengan pelan. Suparto Brata tidak buru-buru dalam membangun konflik. Dia dengan teliti menggambarkan tokoh-tokoh yang ada dan memunculkan satu per satu. Pelan tapi pasti. Namun percayalah, buku ini menarik. Suparto Brata sebagai penulisnya menjadi jaminan. Dia bukan penulis kacangan. Dia merupakan penulis yang pernah mendapat penghargaan dari Yayasan Rancage. Sebuah yayasan pemberi penghargaan setiap tahun kepada sastrawan yang digagas oleh Ajip Rosyidi.

Novel Gadis Tangsi ini sempat saya abaikan. Bahkan buku ini pernah saya taruh di kamar mandi sebagai teman ‘nongkrong’. Itu artinya, memang saya baca setiap pagi karena saat itulah saya biasa nongkrong, namun hanya pada saat itu saja. Begitu selesai nongkrong, buku itu akan masuk keranjang buku yang sengaja saya sediakan di kamar mandi. Baru besoknya buku itu saya baca lagi.

Ternyata setelah dapat hampir setengahnya, ceritanya mulai menarik. Buku itu saya tarik dari keranjang kamar mandi. Saya kebut membacanya agar segera mengetahui akhirnya.

Gadis Tangsi berakhir dengan happy ending. Itu merupakan akhir yang saya senangi bila membaca buku cerita apapun, dan saya kira banyak pembaca yang juga senang dengan akhir seperti itu. Bukankah begitu? Kerja keras Teyi dan ibunya membuahkan hasil. Kekayaan yang didambakan akhirnya terkumpul. Namun anda jangan berharap bisa menjumpai ibunya Teyi melampiaskan dendamnya di buku pertama ini. Keingintahuan anda tentang dendam kesumat itu baru akan dituangkan oleh Suparto Brata di buku kedua.

Judul buku kedua, Kerajaan Raminem, didasarkan pada dendam seorang perempuan bernama Raminem, ibu Teyi. Di buku pertama Raminem akan membalas dendam dengan menguasai sawah-sawah nomor satu yang ada di desa asalnya. Dia ingin membangun kerajaan Raminem dari kekayaan yang dia kumpulkan selama tinggal di tangsi. Dengan menjadi kaya, dia tidak akan dilecehkan lagi oleh iparnya.

Novel Kerajaan Raminem berlatar belakang penjajahan Jepang yang menggantikan kekuasaan Belanda. Tangsi di mana Teyi dan keluarganya tinggal awalnya di bawah kekuasaan Belanda. Ketika Jepang datang, seluruh penghuni tangsi yang masih tinggal hanya kaum perempuan dan anak-anak. Sedangkan suami dan bapak mereka telah dikirim ke medan perang. Mereka harus keluar dari tangsi untuk mengungsi. Perjalanan para pengungsi ini diceritakan dengan menarik. Begitu juga dengan perlakuan tentara Jepang terhadap para perempuan pengungsi ini.

Mahligai di Ufuk Timur merupakan buku terakhir dari trilogi Gadis Tangsi. Saya menemukan buku ini secara tidak sengaja. Saat jalan ke toko buku, saya lihat buku ini terpajang di rak yang saya hadapi. Langsung saja saya ambil dan saya lihat harganya. Alamak… harganya lima kali lipat dari dua buku sebelumnya. Entah oleh pihak penerbitnya buku itu sengaja dikeluarkan terakhir sehingga orang seperti saya yang sudah memiliki buku pertama dan keduanya mau nggak mau terpaksa harus beli, atau memang mereka tidak memiliki maksud apa-apa. Saya dalam keadaan dipaksa membeli meskipun harganya yang lima kali lipat demi melengkapi trilogi Gadis Tangsi yang kurang satu itu. Kali ini dengan berat hati tetapi tidak bisa menolak, tangan saya merogoh begitu dalam kantong celana saya.

Di buku ketiga ini, Teyi sudah menjadi perempuan dewasa sepenuhnya. Dialah yang menjalankan kehidupan keluarganya semenjak ayanya meninggal. Kisah meninggalnya suami Raminem ini dikisahkan di buku pertama. Dalam Mahligai di Ufuk Timur, Teyi berjuang untuk dapat membangun rumah tangga dengan pria yang menjadi idamannya. Siapa dia, anda akan mengutuk saya bila saya katakan di sini.

Yang menarik sekaligus membuat geregetan adalah adanya sepasang tokoh antagonis yang merupakan bapak anak. Tokoh Manguntaruh dan Dasiyun yang menjadi anaknya seperti duri dalam daging. Dua tokoh ini sudah muncul sejak di buku pertama. Dengan adanya bapak anak ini, cerita jadi menarik. Ibarat makan sayur anda akan ketemu dengan cabe yang ada kalanya mengganggu namun bila dihilangkan akan mengurangi kenikmatan.

Membaca buku-buku dari trilogi Gadis Tangsi membuat saya seperti mendaki gunung. Ada klimaks yang menjadi puncaknya. Namun dalam perjalanan menuju puncak itu, ada kejutan-kejutan yang menjadikan saya terus bersemangat. Anda boleh mencobanya jika tidak percaya dengan saya. Mencoba membaca trilogi Gadis Tangsi boleh, mencoba mendaki gunung juga silakan.


Monday, February 02, 2009

Orang-orang Tercinta

Hari ini merupakan saat membahagiakan untuk orang yang sangat istimewa bagi saya. Saat ini adalah hari ulang tahunnya. Hari ini pula merupakan hari berduka cita karena orang istimewa saya yang lain sedang dimakamkan. Hidup, mati, jodoh, dan rejeki hanya Sang Penguasa Alam Raya yang mengatur. Kita hanya bisa berencana tanpa bisa menentukan hasil akhirnya.

Kemarin sore salah satu dari tiga orang tercinta yang ada di rumah datang sambil menangis dan memeluk saya erat-erat. Hari ini dia ulang tahun tetapi yang membuat dia menangis saat itu bukan karena ulang tahunnya. Ada berita duka yang dia terima sore itu. Kakak ibunya, saya memanggilnya Pakdhe Saropi, telah meninggal dunia. Inlalillahi wa inna illaihi ro ji’un. Beliau baru sebulan (lebih beberapa hari) kemarin pulang dari melaksanakan ibadah haji. Siapa sangka, kemarin beliau menyusul ibunya yang juga telah wafat sebulan sebelumnya.