Friday, February 29, 2008

The Secret

Semua orang punya rahasia, entah yang menyenangkan terutama yang menjijikkan. Anda tidak perlu cerita sama saya tentang rahasia anda itu. Namun jika anda maksa, bolehlah disampaikan. Saya juga tidak akan menceritakan rahasia memalukan saya. Nehik! Namun saya lagi berbaik hati sekarang. Saya akan mengisahkan rahasia saya. Tapi anda harus janji, “Jangan bilang siapa-siapa ya?”

Lama saya dengar bukunya penulis ostrali Rhonda Byrne ini, namun baru sekarang sempat baca. Padahal saya punyanya sudah lama lho (nggak nanyak!). Saya akan bagi-bagi isinya buat anda meskipun saya belum habis membacanya. Itu kalo anda mau.

Banyak yang memuji buku ini. Yang memotivasi lah, yang menginspirasi lah. Macam-macam lah pokoknya. Ada juga yang menyuruh berhati-hati karena terkait dengan agama tertentu, atau justru karena menjauhkan dari agama yang kita anut. Jika anda sudah membaca sendiri, mungkin anda akan punya komentar sendiri.

Dari halaman-halaman yang sudah saya baca, saya bisa katakan, “Bagus.” Maksud saya begini. Yang disampaikan oleh Rhonda dalam bukunya ini menceritakan sebuah rahasia yang sebenarnya bukan rahasia lagi. Apa yang dianggap rahasia pada dasarnya sudah dan sedang dilakukan serta diperlihatkan oleh banyak orang di sekitar kita. Hanya saja, kadang kitanya tidak ngeh. Kita tidak ngeh (bahasa jawanya aware) bahwa apa yang dilakukan orang lain, atau bisa jadi diri sendiri, merupakan rahasia yang diungkap buku itu.

Anda mungkin pernah dengar ucapan industrialis otomotif Amerika Henry Ford, “Apa yang kamu pikirkan menjadi kenyataan.” Kapan wisdom itu disampaikan? Sudah lama bro, puluhan tahun yang lalu. Industrialis yang menjadi ikon sejarah otomotif Amerika dan juga dunia ini sendiri dilahirkan oleh emaknya 30 Juli 1863 di Dearborn, Michigan, Amerika sono. Dan orang barangkali tidak sadar bahwa apa yang diucapkan Ford itulah kunci misteri keberhasilan selama ini. Dalam The Secret, Rhonda menjelaskan adanya hubungan pikiran dengan kenyataan yang terjadi. Dia mengistilahkan dengan hukum ketertarikan.

Apa itu hukum ketertarikan atau law of attraction? Sangat mudah untuk dipahami sebenarnya. Sekali lagi, barangkali yang sederhana itu justru tidak kita sadari atau mengerti. Anda punya nggak apa yang dulu anda pikirkan sekarang menjadi kenyataan? Saya yakin anda memilikinya. Kalau nggak, coba diingat-ingat dulu. Itulah yang diceritakan The Secret, tarik menarik antara pikiran dengan kenyataan. Sesimpel itukah? Ya, itulah yang diajarkan teteh Rhonda. Jika anda punya keinginan, apapun, tinggal anda pikirkan. Kemudian anda tunggu. Keinginan itu akan datang di depan anda. How come?

Begitu prosesnya, eh begini. Pikiran kita tentang suatu keinginan itu akan dikirim ke semesta. Kemudian oleh semesta akan diproses dan diwujudkan menjadi kenyataan untuk anda. Apapun yang anda pikirkan, positif maupun negatif, itulah yang akan diberikan oleh semesta. Seperti Aladin dan jin lampu wasiatnya, anda Aladin semesta jinnya. Semua permintaan akan dituruti oleh jin anda itu. Sayangnya jin yang bernama semesta ini tidak bisa menerjemahkan kata yang bermakna negatif seperti bukan, jangan, dan tidak. Jika anda punya keinginan untuk tidak terlambat lagi, justru yang terjadi anda akan terlambat terus. Pikiran anda untuk tidak ingin terlambat oleh semesta akan diterjemahkan bahwa anda ingin terlambat. Dan itulah yang terjadi. Seharusnya keinginan anda dirubah menjadi ingin datang lebih awal. Bila anda sedang diet karena tidak ingin gemuk, yang terjadi anda malah tidak kurus-kurus. Kekhawatiran anda untuk tidak gemuk justru menjadikan anda bertubuh semlohei alias molegh. Pikiran anda yang tidak ingin gendut itu ditangkap oleh semesta sebagai keinginan memiliki tubuh xl alias extra large. Makanya sering terjadi orang yang diet justru malah tidak kurus-kurus. Seharusnya yang anda lakukan adalah keinginan memiliki tubuh ideal.

The Secret mungkin tidak cocok bila dilihat dari kacamata agama, entah karena agama penulisnya yang berbeda atau ada pertentangan antara isi buku itu dengan ajaran agama pembacanya. Kalaupun di buku itu ada kutipan dari agama tertentu, saya melihatnya semata-mata karena agama penulisnya. Jadi tidak ada sangkut pautnya dengan rahasia yang dia tuliskan dalam bukunya. Isi buku itu merupakan pengetahuan yang umum sifatnya. Jika di satu atau lebih agama ada kecocokan dengan yang diajarkan buku itu, wajar saja itu terjadi. Semua agama kan mengajarkan kebaikan. Bila anda sudah membaca buku itu dan merasa harus hati-hati, ya saya menghargai sikap anda. Memang sudah seharusnya seperti itu. Kita jangan menelan mentah-mentah apa yang kita baca, lihat, atau dengar. Kalau telur ayam kampung, bolehlah kita telan mentah-mentah. Anak tikus juga boleh. Kalau mau.

Saya sendiri punya pengalaman tentang keinginan yang sekarang menjadi kenyataan. Dulu sewaktu masih kuliah di Semarang, saya punya keinginan tinggal di Bogor. Spesifik malah. Saya ingin tinggal di jalan Diponegoro, Bogor. Itu yang saya pikirkan. Saya tidak tahu bagaimana caranya dan kapan keinginan itu bisa terwujud. Rupanya, menurut Rhonda (lewat buku dia tentu saja!), pikiran saya itu direspon oleh semesta dan diwujudkan beberapa tahun kemudian. Sekarang saya tinggal di Bogor. Saya sendiri tidak tahu bagaimana hal ini bisa terjadi. Yang saya ingat, keinginan itulah yang memang saya pikirkan. Banyak kejadian yang kemudian menjadi sarana mengantarkan saya bisa sampai hidup di kota hujan ini. Cuma sayangnya, ternyata di Bogor tidak ada jalan yang namanya Diponegoro.

Begitu membaca The Secret saya terus jadi mencocok-cocokkan apa yang ditulis di dalamnya dengan pengalaman dalam hidup saya. Banyak yang dulu saya inginkan kemudian dipikirkan sekarang benar-benar menjadi kenyataan. Dulu ingin menikah sebelum usia 30, saya mengakhiri masa lajang di usia 27. Waktu SMA berkeinginan setelah lulus, kuliah di jurusan, fakultas, dan universitas yang saya idam-idamkan. Keinginan itu benar-benar menjadi kenyataan. Juga hal-hal lain yang menjadi dambaan saya yang kemudian benar-benar menjadi nyata.

Rahasia kesuksesan ini mengajarkan kita untuk berpikir positif, sebab, apapun yang dipikirkan pasti akan kembali ke pemiliknya. Sepasti benda yang bila jatuh selalu ke bawah. Jadi yang disebut dengan law of attraction itu seperti hukum gravitasi. Apa yang anda pikirkan, itulah yang nanti akan datang kepada anda. Orang tua kita mengajarkan, “Siapa yang menanam dia yang memanen.” Pepatah mengatakan, “Guru kencing berdiri, dua tiga pulau terlampaui.” Eh, salah ya?

Tuesday, February 26, 2008

Curug Nangka

Bogor hujan terus sekarang. Saya rasa tempat lainpun tidak berbeda. Untuk yang memiliki aktifitas, hujan yang hampir tiap hari turun ini bisa menjadi penghambat. Rencana yang sudah tersusun, bisa batal atau berubah karena hujan. Saya yang sudah punya rencana pergi bisa saja batal jika menganggap hujan sebagai penghalang. Karena sudah direncanakan jauh-jauh hari, meskipun Minggu (17/2) pagi itu gerimis, saya sekeluarga tetap berangkat ke Curug Nangka. Ada acara Family Gathering di sana. Para karyawan tempat istri kerja plus keluarganya mengadakan acara ketemuan di salah satu penginapan depan pintu gerbang kawasan wisata Curug Nangka.

Anda yang tinggal di wilayah Bogor Barat (Darmaga, Ciampea dll.) bila akan menuju Curug Nangka dan naik kendaraan umum, saya sarankan naik angkot dari pertigaan Ciherang. Dari situ lebih enak, lebih dekat, dan ternyata ongkosnya lebih murah. Saya berangkat dari pertigaan itu naik angkot Ciherang yang jurusan Nambo. Saya sempat khawatir saja jangan-jangan ongkosnya mahal. Selain itu, bagaimana nyambungnya nanti untuk menuju ke curugnya. Info dari tukang ojeg saat mau naik angkot tadi, saya harus naik ojeg untuk menuju curug setelah sampai di Nambo dengan ongkos Rp.7.000. Tidak ada angkot yang ke arah Curug Nangka. Ketika sudah di atas angkot ngobrol dengan sopirnya. Rupanya saya tidak harus sampai ke Nambo. Untuk menuju Curug Nangka, saya bisa turun di pertigaan sebelum Nambo yang orang daerah situ menyebutnya Pangkalan. Pertigaan itu ada di Desa Sukajadi. Dari pertigaan Ciherang sampai Pangkalan Desa Sukajadi hanya membutuhkan waktu 35 menit dengan ongkos angkot Rp.4.000. Praktis, cepat, dan tidak terlalu mahal.

Yang lebih menenangkan lagi, di Pangkalan sudah banyak angkot jurusan Ciapus (Warung Loa) yang melewati Curug Nangka. Tidak perlu naik ojeg. Saya cukup naik angkot itu dengan ongkos Rp.2.000 dan membutuhkan waktu kurang dari sepuluh menit untuk sampai di pertigaan menuju Curug Nangka. Hari masih gerimis saat turun dari angkot.

Saya harus berteduh dulu di warung pinggir jalan. Yang tadinya gerimis berubah menjadi hujan lebat. Keputusan harus diambil untuk menuju penginapan di depan pintu gerbang menuju curug yang menjadi tempat berlangsungnya acara. Memilih jalan kaki, naik ojeg, atau menelpon teman yang sudah sampai duluan untuk menjemput menggunakan mobil. Dari pertigaan menuju pintu gerbang bisa ditempuh dengan jalan kaki sekitar 20 menit. Bila naik ojeg, mungkin hanya lima menit dengan ongkos Rp.3.000. Karena hujan tidak reda-reda, saya putuskan meminta teman menjemput dengan mobil. Dan ini solusi terbaik saya rasa, sebab ternyata lumayan juga bila harus jalan kaki dengan kondisi hujan. Juga bila naik ojeg, sudah pasti kami akan basah-basahan. Padahal saat itu matahari tidak pernah keluar dan kabut yang turun menjadikan udara terasa dingin. Untungnya jaket dan baju tebal sudah dipersiapkan sebelumnya.

Dengan menggunakan Kijang kantor, perjalanan menuju penginapan yang bernama Cunang Inn hanya memerlukan waktu lima menit. Setelah mengucapkan terima kasih ke pak sopir, saya sekeluarga turun dan langsung menuju sebuah bangunan yang menjadi tempat berkumpul. Bangunan itu berarsitek Jawa dan diberi nama Joglo. Menurut informasi, pemilik penginapan adalah orang Jawa. Tidak aneh jika bangunan dan namanya seperti itu.

Rupanya kami adalah keluarga terakhir yang datang. Semua sudah ada di dalam Joglo. Mereka sedang duduk berkeliling mendengarkan panitia memberikan sambutan dan beberapa pengumuman. Kemudian masing-masing karyawan beserta keluarganya diminta maju satu persatu memperkenalkan diri. Selama ini, memang hanya para karyawan saja yang saling kenal. Tidak demikian dengan keluarganya. Dengan adanya acara seperti ini, merupakan kesempatan untuk saling mengenal.

Acara Family Gathering seperti ini sama sekali belum pernah diadakan. Dan ini adalah baru pertama kalinya. Makanya mereka yang menginginkan kegiatan yang merekatkan kebersamaan ini benar-benar mendukung dan sangat antusias saat rencana itu diumumkan. Pro kontra sudah pasti ada. Namun semua tergantung panitianya. Bila tujuan diadakannya acara tersebut adalah untuk kebaikan, tidak ada ruginya kegiatan tersebut tetap dilaksanakan meskipun sebagian pihak menentang. Apalagi jika ketidaksetujuannya itu dengan alasan yang dicari-cari dan tidak masuk akal. Sebagai pihak yang menjadi keluarga karyawan, saya dukung seratus persen ide mengadakan kegiatan itu. Bila perlu, jadikan acara itu menjadi kegiatan tahunan.

Tadinya acara jalan menuju curug dilakukan sebelum makan siang. Dikarenakan hujan tidak berhenti-berhenti, kalaupun reda itupun cuma sebentar, kemudian diputuskan untuk makan siang dulu. Setelah makan siang, rupanya cuaca mau berkompromi. Gerimis yang tidak habis-habis tiba-tiba berhenti. Semua keluarga berduyun-duyun turun dari tempat pertemuan menuju pintu gerbang kawasan wisata Curug Nangka. Panitia yang mengurusi pembayaran tiket masuk sudah stand-by di sebelah loket. Karcis masuk ke Curug Nangka cukup murah, wajarlah, Rp.3.000. Saya bilang sangat murah, karena dibayarin panitia alias gratis.

Kita harus melalui hutan pinus dulu bila ingin sampai ke curug. Namun nggak usah khawatir, jalannya enak kok. Dari loket jalan sudah diaspal meskipun tidak mulus lagi. Agak ke dalam sedikit, jalan kira-kira lima menit, ketemu dengan kumpulan warung makan yang di seberangnya terdapat lahan parkir yang lumayan luas untuk motor maupun mobil sekelas kijang. Kalau anda bawa mobil atau motor sekaligus kelaparan, tempat itu cocok buat anda. Mengenai harganya, bila sedikit lebih mahal ya wajarlah, namanya juga tempat wisata.

Setelah warung dan tempat parkirnya, kita akan menyebrangi jembatan sebelum masuk ke hutan pinus yang menjadi camping ground. Tidak begitu luas tapi cukuplah untuk mendirikan beberapa tenda. Asal tidak musim liburan saja, saya rasa tempat ini nyaman untuk berkemah. Dari camping ground kemudian menanjak sebentar, sampailah di sungai. Ternyata sungai itu mengalur ke bawah membentuk air terjun yang tidak kelihatan bawahnya. Rupanya itulah air terjun yang disebut dengan Curug Nangka. Jadi sungai di mana saya berada merupakan bagian atas dari Curug Nangka. Menempel di pohon dekat tempat saya berdiri tertulis dengan cat putih di atas papan hijau: Curug Nangka. Dua kali saya berada di tempat itu. Dan baru ngeh sekarang kalau saya berdiri di atas Curug Nangka. Rupanya bila kita ingin ke bagian bawah Curug Nangka, harus turun ke jalan yang ke bawah saat tiba di camping ground. Itu kata orang yang saya temui di sana. Saya sendiri belum mencobanya. Mengenai jaraknya, dari loket karcis sampai bagian atas Curug Nangka sekitar 500m atau hanya membutuhkan waktu 15 menit jalan kaki. Medannya pun tidak sulit, anak-anak maupun nenek-nenek masih mungkin menjangkaunya.

Selain Curug Nangka yang pertama kali akan kita temui, masih ada dua curug lain yang namanya Curug Daun (600m dari pintu gerbang) dan Curug Kawung (700m). Saya tidak bisa cerita banyak tentang dua curug itu di sini karena saya belum pernah ke sana. Dari cerita yang saya dengar, anda cukup jalan kaki menyusuri sungai yang pertama kali anda temui yang merupakan bagian atas Curug Nangka menuju ke atas. Cuma hati-hati saja. Namanya juga daerah pegunungan yang lembab, binatang yang berwarna hitam, sebesar lidi, dan bila dipegang terasa enyoi-enyoi (lembut kenyal mirip agar-agar) mungkin saja akan anda temui. Binatang penghisap darah ini tidak berbahaya dan tidak menyakitkan. Hanya saja, rugi rasanya donor darah sama mereka. Mending darah kita, kita sumbangkan ke orang lain. Bukan kepada binatang enyoi-enyoi yang orang kita menyebutnya pacet.

Monday, February 18, 2008

Kecombrang

Tetangga saya yang profesor IPB memberi bunga yang, menurut dia, harum. Bunga ini bukan untuk pajangan atau dicium-cium. Bunga yang pohonnya, katanya, mirip pohon lengkuas atau laja atau laos ini biasa dibuat campuran masakan. Untuk wanita Sunda yang hamil tujuh bulan, bunga ini suka dijadikan campuran rujak atau pecel sebagai bagian dari ritual tujuh bulanan. Air perasannya bisa digunakan sebagai obat cacingan dengan cara meminumnya. Menurut cerita yang sudah pernah mencobanya, setelah minum air perasan, semua cacing yang ada di dalam perut keluar semua.

Saya senang saja menerima bunga yang diambil dari kebun itu namun dengan hati penasaran. Yang katanya harum, bagi saya bunga itu lebih kecium mirip daun sirih. Apakah itu yang dikatakan wangi menurut pak profesor, saya tidak tahu. Perihal tumbuhan ini enak dijadikan campuran masakan, itulah yang menarik saya untuk mencobanya. Seperti apa sih rasa dan baunya. Dan dari situlah petualangan saya dengan pemberian profesor yang bernama bunga kecombrang (Nicolaia speciosa horan), tanaman yang masuk keluarga Zingiberaceae atau empon-emponan, dimulai.

Maknya anak-anak sebenarnya sudah memperingatkan jika bunga itu baunya aneh, begitu juga dengan rasanya. Dia bisa mengatakan begitu karena dia memang pernah memakannya saat tetangga yang lagi nujuh bulanin perutnya memberi dia rujak kecombrang. Sebenarnya dia tidak tahan, namun untuk tidak makan atau menolak pemberian itu, tidak enak rasanya. Karena pedasnya rujak itulah yang akhirnya menyelamatkan dia dari kewajiban menghabiskan rujak istimewa tersebut. Dengan alasan tidak tahan pedasnya, dia berhenti memakannya. Penyebab sebenarnya sih karena rasanya yang aneh, terutama baunya.

Saya kan belum pernah mencobanya. Meskipun sudah ditakut-takutin, tekat saya sudah bulat, the show must go on. Saya narketing. Narketing itu penasaran (jika pemasaran marketing, berarti penasaran kan narketing?). Narketing yang meletup-letup itu mewujud menjadi semangat empatlima untuk mencicipi tanpa peduli lagi dengan kecurigaan yang sempat muncul setelah mencium sendiri bau bunga kecombrang. Hasrat untuk mencoba masakan bunga yang orang sunda bilang honje atau orang jawa (tengah) menyebutnya onje itu terasa seperti nonton film horor Indonesia campur kebelet pipis. Tegang-tegang aneh.

Tabloid masakan yang numpuk di kamar tv segera saya bongkar. Tabloid itu bukan milik saya, tapi kepunyaan maknya anak-anak. Namanya juga tabloid masakan, seluruhnya tentang masakan dan memasaknya, termasuk yang ada kecombrangnya. Beberapa resep yang menggunakan bunga kecombrang akhirnya saya temukan. Masakan berbahan baku cumi terlihat mewah dan menggiurkan dalam foto yang disertakan dalam salah satu resep-resep itu. Jika melihat tampilannya, dijamin menggiurkan dan pasti lezat rasanya. Sayangnya di rumah tidak ada ikan cumi, yang ada ayam. Karena maknya anak-anak ini tergolong manusia kreatif, diperlakukanlah ayam itu sebagai cumi. Tidak ada rotan, akarpun jadi. Tidak ada cumi, ayampun diembat untuk dijadikan korban eksperimen orang penasaran.

Pembagian tugas segera dilakukan. Maknya anak-anak menyiapkan segala bahan baku, peralatan masak dan kemudian memasaknya. Saya tugasnya berdoa, menjadi penggembira, dan sekaligus sebagai tukang makannya nanti. Meskipun tukang masaknya setengah hati, tetapi karena dia tergila-gila dengan kelinci percobaan yang sudah siap menyerahkan jiwa raganya demi semangkok sayur kecombrang, diraciklah segala bahan dan bumbu yang sudah tersedia. Whatever will be, will be, begitu kata mbah saya.

Sebagai informasi tambahan, tapi bukan menjadi perhatian utama saya, katanya, orang yang mengonsumsi kecombrang, dijamin aroma tubuhnya terjaga dari bau badan yang kurang enak. Ini karena zat aktif yang terkandung di dalamnya, yaitu saponin, flavonoida, dan polifenol. Tidak heran makanya jika kecombrang digunakan sebagai deodoran alami. Selain itu, kecombrang juga kaya vitamin dan mineral lho.

Kalau bunganya buat penambah citarasa urap dan pecel, maka batang kecombrang pemberi citarasa beberapa jenis masakan yang mengandung daging. Namun, yang digunakan memasak ayam dalam ujicoba saya bukan batang melainkan kelopak bunganya sesuai instruksi di resep. Saat masakan mulai mendidih, tercium bau khas kecombrang. Sangat eksotik (sebenarnya apa sing maksudnya?) dan aneh di hidung saya. Bererapa menit kemudian, masakan sudah matang siap disantap. Semangkuk sayur ayam bumbu kecombrang.

Saya ini suka jalan-jalan, baik yang sekedar wisata maupun petualangan. Kesukaan yang saya jalani itu bukan hanya sekedar mendatangi tempat rekreasi, tapi juga ke tempat yang menawarkan makanan atau suka disebut dengan wisata kuliner. Wisata kuliner ini kadang-kadang tidak saya lakukan di luar rumah, cukup di dapur saya sendiri. Semangkuk sayur ayam bumbu kecombrang yang saat itu terhidang di hadapan saya merupakan contohnya. Namun buat saya, sayur kecombrang itu bukan hanya sekedar wisata kuliner melainkan lebih cocok disebut dengan petualangan kuliner. Dan petualangan yang berurusan dengan makan ini juga hobi saya selain wisata kuliner tentu saja. Kenapa saya sebut petualangan kuliner? Karena saya akan mencoba yang oleh sebagian orang, termasuk mantan pacar saya sendiri, menghindarinya. Jadi, ada unsur tantangan di dalamnya. Menghadapi tantangan seperti itu sudah pasti memacu andrenalin dalam tubuh.

Ternyata sayur kecombrang benar-benar luar biasa. Luar biasa aneh maksud saya. Rupanya lidah saya tidak gampang diajak kompromi. Kecombrang atau oleh bule disebut torch ginger ini buat saya masih memiliki cita rasa daun sirih. Kecuali saya suka ngunyah daun sirih kaya nenek-nenek, barangkali bau dan rasa kecombrang bukan aneh lagi. Bagaimanapun juga, seaneh apapun rasa dan baunya, kecombrang yang orang Pekalongan cukup menyebutnya dengan combrang sudah pernah masuk daftar petualangan saya. Tapi harap jangan menawari saya untuk berpetualang dengan tanaman ini lagi. Saya pasti akan menolaknya. Sama seperti petualang cinta yang menolak mak combrang (comblang kale!). Orang Jepang bilang, ”Watashi nikumimasu mak combrang.” Sayonara ja mata.

Wednesday, February 13, 2008

Bye-bye My Enemy

Pak Harto meninggal hari Minggu (27/1), jam 13.10 wib. Berarti kepergiannya sudah 18 hari. Namun, masih saja ada yang mengucapkan bela sungkawa, sampai hari ini (13/2).
Anda sedih dengan kepergian pak Harto? Jika anda lawannya, mungkin anda akan mengadakan syukuran. Nyukurin meninggalnya lawan yang anda benci itu. Sebaliknya, barangkali airmata anda akan terkuras sampai kering bila anda termasuk anggota FBPH, fan berat pak harto.

Proses pemakaman yang menyedot perhatian bangsa Indonesia maupun, mungkin, dunia menjadikan babe kita ini berada dalam posisi VVIP, very very important person. Manusia kelas satu yang sangat diutamakan. Bila melihat beritanya, yang hiduppun yang notabene juga pengikut setianya sampai dikalahkan oleh yang sudah mati. Tentu saja bukan si mati yang mengalahkan secara langsung. Anda tahu maksud saya.

Bisa dibilang, saya termasuk rakyat jelata Indonesia yang pernah mengalami masa kepemimpinannya pak Harto. Sehingga saya bisa membandingkan, sebagai rakyat tentu saja, hasil kepemimpinan dia dengan presiden-presiden lainnya. Sudah pasti ada positif negatifnya. Sebagai contoh misalnya, dan saya rasa orang-orang segenerasi saya juga merasakan, dulu harga-harga sembako tidak fluktuatif. Yang namanya sembilan bahan pokok, harganya stabil, terjangkau, dan gampang ditemui. Itu hal positif yang pernah dirasakan dari jaman pemerintahan babe Harto. Tidak seperti sekarang. Mau makan tempe susah. Ingin beli minyak tanah bingung nyarinya. Minyak goreng tiba-tiba menghilang di pasaran. Apa-apa menjadi susah. Pokoknya susah deh!

Negatifnya? Tidak ada oposan dalam arti yang sebenarnya. Ada saja alasan untuk menindak mereka yang tidak senada dengannya. Yang paling gampang dan sering dituduhkan terhadap lawannya adalah, subversi. Makanya saat itu sering ada orang yang tugasnya mengawasi yang ditaruh di tempat-tempat pertemuan yang, dirasa, bakal membahayakan kedudukan penguasa. Saya nggak tahu apakah mereka itu dikirim atas instruksi langsung dari pak Harto atau suruhan orang-orang yang mencari muka, sedangkan pak Harto nya sendiri tidak tahu menahu.

Pernah saat itu saya ikut pengajian yang diadakan setiap Minggu pagi di masjidnya H. Masagung di Kwitang yang ada di dalam dan menjadi satu dengan toko buku Gunung Agung. Kegiatan pengajian mingguan itu kadang-kadang suka saya ikuti kalau saya tidak punya acara. Kebetulan tempat kost saya yang ada di Jl. Abdul Rahman Saleh dekat dengan masjid itu. Saya cukup berjalan kaki untuk mendatanginya. Nah, suatu saat yang jadi pembicara adalah Sri Bintang Pamungkas. Pembicara yang diundang untuk mengisi pengajian di masjid itu memang banyak yang bukan orang sembarangan. Saat Sri Bintang berbicara, tiba-tiba ada orang di barisan belakang yang berdiri dan meminta dia menghentikan ceramahnya. Sri Bintang sambil menunjuk-nunjukkan telunjuknya langsung menjawab bahwa dia akan menemui orang itu setelah ceramahnya selesai. Kami yang ada di dalam tempat itu hanya terbengong-bengong, tidak memahami apa yang sedang terjadi. Rupanya orang yang mencoba menghentikan omongan Sri Bintang itu seorang intel. Sara rasa alasan dia melakukan itu karena yang diomongkan Sri Bintang memang agak sensitif untuk para penguasa. Meskipun yang disampaikan itu fakta dengan disertai data dan bukti pendukung, tapi hal itu dianggap bisa merusak kepercayaan para peserta pengajian terhadap penguasa.

Saya nggak tahu apa yang terjadi selanjutnya dengan Sri Bintang. Apakah dia langsung dibawa ke Kodim atau kantor polisi untuk diinterogasi, atau dilepaskan begitu saja. Mungkin saja dia dituduh melakukan tindakan subversif. Pada saat itu kata ‘subversi’ merupakan jimat ampuh yang bisa menjadikan alasan penangkapan seseorang atau bahkan menghilangkan nyawa orang, yang tidak salah sekalipun. Makanya, orang takut bila mendapat cap sebagai pelaku subversi di jidatnya. Bila tuduhan itu sampai di dirinya, matilah dia. Jangan tanya perihal hukum. Meskipun negara ini digembar-gemborkan sebagai negara hukum, yang terjadi lebih sering memberi kesan bahwa Indonesia ini negara yang suka menghukum. Jika penguasa suka, loloslah kita. Namun jangan harap bisa hidup tenang bila penguasanya was-was atau khawatir apalagi benci dengan kita.

Kata orang, itulah politik. Orang juga bilang, politik itu kotor. Jika mau jadi politikus, ya harus mau jadi orang kotor. Apakah memang seperti itu? Apakah memang harus menjadi kotor untuk bisa nyemplung di dunia politik? Yang kita saksikan dan dicontohkan oleh para politisi kita memang mendukung fenomena itu. Sudah barang tentu susah untuk tidak disebut politisi kotor jika yang dikerjakan adalah mengkadali orang lain, meliciki orang lain, menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang diinginkan, dan perbuatan-perbuatan tercela lainnya.

Saya mendukung politisi yang tidak mengobral janji. Tapi yang sering terjadi, mereka kaya dengan janji-janji ketika ada yang diinginkan. Begitu jabatan sudah diperoleh, janji-janjinya yang dulu ternyata hanya pepesan kentut (maaf, emang kentut bisa dipepes?). Saya salut dengan politisi yang peduli dengan rakyat. Namun, berapa banyak politisi yang benar-benar ada di barisan rakyat? Apakah anda percaya dengan mereka yang mengkampanyekan dirinya ada untuk membela wong cilik (rakyat), atau mereka mengatasnamakan hati nurani rakyat? Tanya pada rumput yang bergoyang!

Sudah sering kita dikecewakan dengan kelakuan penguasa yang merupakan anaknya politik. Buat saya, kelakuan mereka akhirnya jadi tidak jelas. Mereka itu lebih condong di pihak rakyat atau kelompok sendiri? Susah untuk setuju jika mereka pro rakyat bila yang dilakukan justru menyakiti rakyat. Memang mereka punya penjelasan atas apa yang mereka kerjakan. Tanya saja kepada penguasa mengapa mereka menggusur rakyatnya sendiri. Penertiban, penduduk liar, tidak memiliki ijin, melanggar peruntukan lahan, apa lagi?, selalu ada saja yang dijadikan alasan untuk melegitimasi perbuatannya. Terdengar sinis ya tulisan saya ini? Tapi memang itu kan yang terjadi?

Kemudian, kenapa saya memberi judul seperti di atas? Apakah saya musuhan sama pak Harto? Nggak, saya nggak punya maksud apa-apa kok. Saya juga bukan musuh pak Harto atau dia musuh saya. Lagian saya ini siapa sih, kok belagu amat? Jika anda punya musuh kemudian musuh anda koit, seperti almarhum pak Harto, barangkali itulah yang akan anda ucapkan: bye-bye my enemy.

Monday, February 11, 2008

Permanent Head Damage

Rabu (30/1) sebelum Jakarta dilanda banjir (Jum’at, 1/2), saya meluncur menuju bandara Soekarno-Hatta menggunakan bis Damri yang poolnya ada di depan Boker alias Botani Square. Murah dan gampang. Selain memang saya tidak punya apa yang orang Malaysia sebut dengan ’kereta’. Hari itu ada tamu dari Malaysia yang harus saya jemput.

Tamu ini menghubungi saya beberapa hari sebelumnya via telepon. Dia melakukannya setelah dua email yang dikirimkan tidak sampai ke mailbox saya. Memang kadang-kadang hal itu terjadi, tidak tahu kenapa. Anda tahu dia siapa? Tentu saja anda nggak tahu. Pertanyaan tolol ya? Itulah acapkali yang suka dilakukan orang. Sudah tahu jika orang lain nggak tahu, tetap ditanyakan juga. Saya akan back to basic sebelum ngelantur kemana-mana. Kembali ke tamu saya itu.

Dia itu turis yang masuk ke Bogor yang tahu saya karena saya punya situs di internet. Jika pengertian turis itu semua orang asing yang masuk ke Bogor, ya berarti dia merupakan seorang turis. Tapi dia tidak datang ke Bogor untuk bersenang-senang. Dia mengunjungi kota hujan ini untuk sebuah penelitian. Anda tahu binatang cenggeret? Kadang-kadang ada yang bilang tongceret. Orang Jawa bilang garengpung atau gareng saja. Orang awak (Padang) memanggilnya uwie-uwie. Orang Malaysia yang tamu saya ini menyebutnya riang-riang. Serangga seperti belalang atau jangkrik yang mengeluarkan bunyi saat menjelang petang dan hidup di pohon-pohon besar. Binatang inilah yang jadi korban penelitian orang Malaysia ini. Tamu saya ini seorang calon doktor. Dia sedang mengambil S3 sekaligus dosen di UKM, Universiti Kebangsaan Malaysia.

Di Bogor, dia melakukan penelitian di museum zoologi yang ada di komplek LIPI Cibinong. Museum ini memiliki koleksi serangga yang lengkap, baik jenis maupun tahunnya, termasuk serangga yang bernama cenggeret. Specimen atau contoh cenggeret yang ditemukan tahun 1920-an pun ada. Museum zoologinya sendiri tadinya terpusat di komplek kebun raya, yang sekarang dekat dengan Bogor Trade Mall (BTM). Sejak 1995, katanya, sebagian isinya mulai dipindahkan ke Cibinong. Jadi sekarang, museum zoologi yang di dekat BTM untuk konsumsi turis. Sedangkan yang ada di Cibinong, koleksinya diperuntukkan penelitian seperti teman baru saya dari Malaysia ini.

Sekitar seminggu waktu yang dia butuhkan untuk meneliti. Jamnya pun mengikuti jam kerja LIPI. Saat saya menemuinya, dia bilang kayaknya satu minggu tidak cukup untuk menyelesaikan penelitiannya. Namun dia harus pulang ke negaranya. Rencana terbang pulangnya 6 Februari. Hanya meneliti seekor serangga ternyata membutuhkan waktu lama. Tidak tanggung-tanggung, penelitiannya itupun merupakan proses untuk mencapai gelar doktor. Tingkat pendidikan formal tertinggi yang bisa diraih.

Bagi orang-orang desa, cenggeret merupakan bagian dari kehidupan sehari-hari mereka. Buat calon doktor, binatang yang meriah itu menjadi obyek yang menantang. Saya tidak akan mengotak-atik cenggeret lagi, tapi akan ngomongin manusianya. Kita yang terlalu awam dengan cara kerja dan berpikir mereka yang sekolah amat sangat tinggi ini kadang-kadang tidak mengerti apa yang mereka omongkan dan kerjakan. Saking tidak mengertinya kita ini, kemudian muncul istilah linglung buat orang-orang cerdas ini. Bahkan doktor yang sudah mendapat gelar profesor tidak luput juga dari olok-olok tentang ketinggian ilmu mereka yang menjadikan bingung orang lain. Karena saking bingungnya, justru si profesor ini yang di mata orang biasa menjadi orang yang linglung. Bagi mereka, profesor sama dengan orang linglung. Saya pernah dengar joke tentang profesor yang linglung ini. Tentu saja hanya sekedar olok-olok. Mau dengar?

Suatu ketika ada seorang profesor yang berangkat kerja. Beliaunya ini seorang kepala departemen di sebuah perguruan tinggi. Sampai di kantornya, salah satu anak buahnya mengomentari sekaligus tanya tentang sepatu yang dipakai sang profesor. Anda tahu? Sepatu yang ada di kaki sang profesor dua warna, kaki kanan coklat sebelah kiri hitam. ”Prof, kok sepatunya sebelah-sebelah?” Dengan santainya, sang profesor menjawab. ”Hiya, saya juga heran. Di rumah ada juga yang seperti ini, satu hitam satu coklat.”

Joke yang enteng, tapi mengena. Gampang dimengerti dan saya yakin anda pasti tertawa, minimal tersenyum. Bila tidak, anda perlu dicurigai. Jangan-jangan anda termasuk jenis manusia yang dijadikan olok-olok dalam joke itu. Manusia linglung.

Kenapa bisa linglung ya? Analisanya orang bodoh mengatakan karena mereka terlalu lama sekolah sehingga otaknya menjadi panas. Sama seperti mesin, bila otak kelamaan panas akhirnya jadi soak juga. Rusak karena overheat. Gitu katanya. Benar atau tidak, silakan dipikirkan sendiri. Dan karena kerusakan otak ini, kemudian muncul olok-olok lain untuk gelar PhD yang merupakan tingkat tertinggi dari gelar pendidikan formal, atau orang kita bilang gelar dari S3. Tahu maksudnya S3? Ini nih, S...S...dan S (bercanda ding).

PhD yang merupakan singkatan dari bahasa Latin Philosophiae Doctor atau diinggriskan menjadi Doctor of Philosophy kemudian diplesetkan menjadi Permanent head Damage alias kerusakan otak permanen. Anda yang PhD, mohon maaf. Saya tidak mengolok-olok anda. Tapi anda perlu tahu di luar dunia akademis anda, kadang orang melihat anda terlalu akademis: omongan anda, kelakuan anda. Anda yang merasa sudah berpikir secara holistik, filosofis, orang awam malah tidak bisa mengerti dengan pikiran anda. Sekolah anda yang tinggi menjadikan lingkungan anda merasa anda ini tidak membumi, kaki anda tidak menginjak tanah. Apakah anda sebangsa hantu? Tentu saja tidak. Anda kan akademisi. Karena ketinggian ilmu yang anda miliki, anda merasa orang lain tidak bisa nyambung. Begitu juga sebaliknya, orang lain merasakan anda ini tidak bisa dimengerti. Karena itulah di mata mereka, anda ini dikatakan orang linglung.

Saya tidak mendukung siapa-siapa, anda yang dianggap linglung, maupun mereka yang menurut anda tidak bisa nyampe ke tataran di mana anda berada sekarang. Bukan karena saya tidak punya prinsip. Masalahnya saya sendiri juga linglung. Saya bingung sebenarnya saya ini sedang ngomong apa sih. Saya cuma berharap mudah-mudahan anda bisa mengerti apa yang sedang anda baca ini.

Bila anda PhD dan tersinggung, please, maafkan atas kekurangajaran saya. Mungkin anda akan mengumpat saya dengan mengatakan, ”Close your mouth and runway. Don’t follow mix if you no want ill all. Body ill all is not delicious know.” (Tutup mulutmu dan minggat. Jangan ikut campur jika tidak ingin sakit semua. Badan yang sakit semua itu tidak enak tauk.). Amat sangat ngawur ya bahasa Inggrisnya? Hla hiya lah! Namanya juga orang linglung.

Buat anda yang sekarang belum PhD, sekolahlah sampai mendapatkan gelar yang prestisius itu. Jika anda tidak terlalu pinter, ya jangan berkecil hati. Berusahalah terus. Bila anda gigih, anda pasti bisa. Bisa gila maksudnya.

Maaf bila tulisan saya ini norak. Saya membuat tulisan ini dalam rangka menyambut hari valentin yang tidak ada artinya dan tidak ada gunanya buat saya atau siapapun, termasuk anda. Apa hubungannya ya? Buat saya, hari yang paling istimewa adalah hari gajian. Titik.