Thursday, June 21, 2007

19

Saya ini bukan penderita disleksia, kelainan saraf pada otak yang menyebabkan kesulitan dalam membaca. Jelas saya bisa membedakan 16 dengan 19, Juni dengan Juli. Nggak mungkin saya jadi pengajar kalau punya kelainan itu. Buktinya juga saya bisa sekolah sampai perguruan tinggi. Dan lulus. Tapi saya suka lupa. Kalau ini manusiawi, bukan penyakit. Sejak dulu, saya sering lupa akan tanggal kelahiran sendiri. Malahan dulu bukan hanya tanggal tapi juga bulan. Kadang saya suka bingung kapan saya lahir. 16 apa 19, Juni apa Juli. Saat lihat ktp, baru yakin kalau saya lahir 19 Juni.

Setelah berkeluarga dan punya anak, kok ya muncul sebuah kebetulan. Anak saya yang pertama lahir tanggal 16 Juli. Nah lo! Otomatis makin lieur perihal ingatan saya tentang tanggal kelahiran. Untungnya anak kedua saya meskipun bulannya juga Juli tapi tanggalnya tidak 16 atau 19. Kelahiran sendiri saja rancu, apalagi ditambah kelahiran anak. Komplit deh.

Masalah 16 atau 19 ternyata bukan pemiliknya (saya) saja yang bingung. Ternyata teman-teman muda saya ada juga yang keliru. Mereka ngucapin met ultah pada tanggal 16 untuk ulang tahun tanggal 19. Saya nggak tahu apakah karena salah informasi atau lagi lalai. Yang pasti saya yakin mereka bukan penderita disleksia.

Senang rasanya banyak yang memberikan ucapan selamat. Dengan demikian saya jadi sadar ternyata banyak yang peduli. Tanpa bermaksud mengesampingkan perhatian yang diberikan, tanggal kelahiran bukanlah hari istimewa bagi saya. Tanggal tersebut hanya mengingatkan bahwa saat itu saya telah dilahirkan. Tidak pernah ada pesta khusus untuk merayakannya. Apalagi pakai ngadain orkes segala.

Ketika ada yang mengucapkan panjang umur, sebenarnya yang terjadi justru sebaliknya. Seharusnya yang diucapkan adalah selamat pendek umur. Bila ini yang dilakukan, lucu kali ya. Pasti dianggap aneh. Tidak biasa-biasanya. Bisa-bisa kita dituduh sebangsa alien. Tapi emang bener kok. Bukan bener kita ini alien. Tapi bener kalau ucapan yang disampaikan lebih cocok pendek umur. Mengapa?

Kita kan tinggal di muka bumi ini ibarat kontrak rumah. Setiap kali sampai pada tanggal kelahiran, pada saat itu genap setahun usia kita telah berkurang. Jatah umur yang diberikan untuk hidup di dunia susut satu tahun. Namun okelah. Nggak perlu mikir yang rumit-rumit. Apalagi kalau kita saja masih tinggal di rumah kontrakan.

Bagaimanapun juga, saya amat sangat banget berterima kasih atas ucapan, doa, dan perhatian yang diberikan. Termasuk buat istri saya yang mentraktir makan siang di hokben dan nonton Fantastic Four: Rise of the Silver Surfer. Kalau anda mau membuat saya lebih senang lagi, gampang. Saya kasih tahu caranya. Untuk tahun depan, tolong dirayakan dengan mengadakan konser Il Divo atau Josh Groban. Gun & Roses juga boleh. Di lapangan bola dekat rumah saya. ;-)

Saturday, June 16, 2007

Ujian

Hari ini adalah ujian bagi kebapakan saya. Sebagai seorang ayah, saya harus mendampingi anak terkecil saya, Reyhan, di ruang dokter gigi. Saya harus berperan sebagai seorang ayah yang baik. Ayah yang bisa menenangkan anak saat ketakutan. Meyakinkan anak bahwa apa yang dialaminya merupakan hal yang biasa. Terjadi pada semua orang. Bahwa ke dokter untuk cabut gigi itu dijalani siapa saja. Intinya, tidak ada yang perlu ditakutkan dan dikhawatirkan.

Kenyataannya? Jantung saya empot-empotan. Campuran antara deg-degan, kasihan, dan takut. Saya tidak tega melihat Reyhan meringis kesakitan saat giginya digoyang-goyang pakai tang besi. Rasanya mau pulang saja. Kalau pulang, trus, siapa yang nemenin dia?

Dua gigi depan bawahnya sudah mulai tumbuh. Yang satu malah sudah besar. Mau nggak mau, gigi lamanya (gigi susu) harus dicabut. Biasanya sih ketika gigi baru mau tumbuh, gigi susu akan goyang dan copot. Bekas tempat gigi susu akan diisi dengan gigi baru. Tetapi, Reyhan ini kaya kakaknya, gigi susunya tetap kokoh meskipun gigi baru sudah tumbuh. Akibatnya, saya harus mengalami ujian kebapakan. Sama seperti saat kakaknya dicabut giginya dulu. Saya harus tegar menunggu dan menyaksikan giginya dibongkar dokter.

Saya hanya berdoa saja mudah-mudahan pengalaman ke dokter gigi tidak membuatnya trauma. Saat keluar dari ruang dokter, dia sempat bilang nggak mau ke dokter gigi lagi. Sakit. Padahal ini pertama kali dia berurusan dengan dokter gigi. Kalau giginya yang lain sama seperti sekarang, mau nggak mau harus ke dokter gigi. Semoga saja ketika harus ke dokter gigi lagi dia sudah lupa dengan kejadian yang dialaminya hari ini.

Tour de Kampong










Minggu, 27 Mei
Dua kali dalam sepekan saya jalan-jalan keliling kampung. Tidak jauh-jauh. Cukup kampung-kampung yang ada di dekat rumah. Selain untuk olah raga melemaskan kaki, juga untuk mengenal lingkungan sekitar. Dengan berjalan satu sampai dua jam, badan terasa sehat. Paru-paru jadi penuh dengan udara pagi yang bersih dan segar. Sengaja saya melewati jalan-jalan yang tidak banyak kendaraan. Sesuai namanya, kampung dan persawahan serta kebun yang lebih banyak saya lewati.

Waktu tempuh dari jalan-jalan yang pertama adalah sekitar satu jam. Keluar dari rumah sekitar jam tujuh-an. Rute pertama yang dilewati melalui perumahan menuju persawahan yang ada di belakang perumahan tempat saya dan keluarga tinggal. Berdua dengan istri, saya jalan melalui blok L1, M1, P1, dan Q1. Komplek perumahan habis, disambung dengan persawahan. Alam yang hijau menyambut kami. Perjalanan menyeberangi persawahan sekitar sepuluh menit sampai ketemu dengan pertigaan. Persimpangan ini menuju desa Cicadas bila belok kiri dan kampung Setu kalau ke arah kanan. Kami ambil belokan ke kiri menuju desa Cicadas.

Cicadas merupakan desa di pinggiran jalan menuju lokasi wisata Gunung Salak Endah. Bila menuju tempat wisata ini melalui pertigaan Cikampak maka akan melewati desa ini. Dari Cicadas kami menyusuri jalan aspal. Muncul rasa khawatir juga dengan berjalan di pinggir jalan yang merupakan jalur kendaraan roda empat. Meskipun masih pagi tetapi nyatanya mobil sudah berseliweran. Selain itu udara pagi yang dihirup bercampur dengan asap dari knalpot.

Sampai di desa Bojongrangkas, kami mengambil jalan yang berbelok ke kiri. Jalan ini meskipun aspal tetapi bukan jalur utama mobil lewat. Meskipun mobil kadang-kadang melewati jalur tersebut, untungnya pagi itu tidak ada yang lewat. Aman. Kami sempatkan mampir ke rumah nenek untuk bertegur sapa dan saya lihat istri saya memberikan uang jajan kepadanya. Nenek ini hanya sebutan saja. Bukan nenek dari hubungan darah. Dia dulu mengasuh Reyhan, anak terkecil saya. Untuk membiasakan anak-anak, kami memanggilnya nenek.

Dari rumah nenek, kami jalan lagi. Kami ikuti jalan beraspal yang sebagian sudah mengelupas. Sampai jalan beraspal habis disambung dengan jalan yang menjadi dua, ke kiri dan lurus. Jalan ke arah kiri terbuat dari semen sedang yang ke kanan jalan tanah dan agak menanjak. Saya sempat bingung, yang mana yang mesti diambil. Melihat jalan yang lurus lebih lebar dan mobil bisa lewat, saya pilih jalan ini.

Jalan yang kami pilih ternyata berkelok-kelok. Keluar masuk kampung. Hingga pada satu tikungan saya tanya seseorang, apakah jalan yang saya lewati ini bisa tembus ke jalan raya. Ternyata jalan itu tembusnya sampai kampung Sindangsari. Dari kampung itu keluar ke jalan raya yang dilewati angkot jurusan Bubulak - Jasinga atau Ciampea. Saat saya lihat jam, saya dan istri sudah berjalan selama satu jam dihitung dari keluar rumah.

Jalan-jalan menyusuri kampung berakhir sampai di ujung kampung Sindangsari. Kami menyeberang jalan kemudian naik angkot ke arah kampus IPB untuk sarapan pagi. Selesai sarapan, kami jalan sebentar menuju toko tanaman Agroteko untuk beli pupuk kandang (tahi kambing). Sesampainya di rumah nanti saya akan membongkar tanaman alamanda dan menggantikannya dengan pohon melati.

Jum’at, 1 Juni
Kebetulan hari ini libur tanggal merah. Sesuai rencana yang dibuat beberapa hari sebelumnya, saya jalan lagi berdua dengan istri. Pukul 06.45 kami keluar rumah. Masih sama seperti hari Minggu kemarin, kami lewat blok belakang L1, M1, P1, dan Q1 sebelum masuk ke persawahan.

Ada yang lain ketika masuk persawahan. Udara pagi yang saya hirup bercampur dengan bau walang sangit. Bikin pusing memang, tapi buat saya lebih alami. Tidak seperti bau bensin yang artifisial. Saya nikmati bau binatang sawah yang menyengat itu sambil melihat hijaunya pemandangan. Tak terasa pertigaan yang juga merupakan ujung jalan persawahan telah sampai. Berarti lima belas menit sudah saya melewati persawahan. Kali ini saya mengambil jalur yang ke kanan. Jalan ini menuju kampung Setu. Dari kampung itu, saya jalan terus. Lurus mengikuti jalan saat ketemu pertigaan lagi.

Setelah lima belas menit jalan, saya sampai di kampung Pabuaran Tonggoh, desa Girimulya. Jam menunjukkan pukul 07.15. Perjalanan terus dilanjutkan sampai sekitar tiga belas menit. Saat itu jam 07.28 ketika kami mampir ke masjid di kampung Leuweung Kolot untuk buang air kecil. Kampung ini masih masuk wilayah desa Girimulya, kecamatan Cibungbulang, sama dengan kampung Pabuaran Tonggoh.

Dari kampung Leuweung Kolot, kami masuk kampung Tank. Agak aneh namanya. Ngggak tahu kenapa dikasih nama seperti itu. Apakah karena disitu dulu ditemukan tank atau merupakan garasinya? Taulah. Tapi saya yakin nama kampung tersebut dinamakan kampung Tank bukan karena ditemukan banyak sepiteng (septic tank). Kalau anda berpikiran seperti itu, berarti anda cari gara-gara.

Kampung Tank ternyata tembus ke jalan raya menuju Leuwiliang. Saya lihat jam tangan yang ada di dalam tas pinggang menunjukkan pukul 07.40. Dihitung dari saat keluar rumah, berarti kami sudah berjalan hampir satu jam. Kami menyusuri jalan raya. Lima menit kemudian ketemu gang menuju kampung Pabuaran Lebak. Kami ikuti gang tersebut. Dua puluh menit kemudian kami keluar lagi menuju jalan raya yang ada di depan SMU Pandu.

Sekali lagi kami menyusuri jalan raya tersebut sebelum masuk ke desa Cibadak. Kami melewati jalan desa depan kantor kelurahan desa Cibadak. Kami memotong jalan desa yang tembus ke kampung Cibadak Kaum. Dari Cibadak Kaum, perjalanan melewati jalan dekat yayasan yatim piatu untuk tembus ke perumahan DP blok M yang merupakan DP tahap pertama. Hampir saja saya salah jalan. Untungnya ada bapak-bapak yang menunjukkan arah yang benar.

Kami harus melewati jembatan beton dan naik tangga untuk sampai di DP. Begitu masuk DP, itu artinya perjalanan telah berakhir. Jam saat itu menunjukkan pukul 08.35. Berarti kami telah jalan kaki selama dua jam. Lumayan. Dua kali lebih lama dari jalan pagi yang kami lakukan sebelumnya. Setidaknya lebih dari standar minimum (satu jam) dalam mencapai nilai aerobik untuk olah raga jalan kaki. Sebagai penutup, sepiring ketupat sayur jadi menu sarapan hari itu.

Saturday, June 02, 2007

Semiotika

Ini bukan mistik. Ini bukan klenik. Ini bukan magic. Juga bukan takhayul. Tapi ini terkait dengan sugesti. Dorongan dari dalam yang muncul karena tanda atau simbol. Terkait dengan kejiwaan. Bentar, bentar… bentar dulu toh. Maksudnya apa sih ini?

Istilah semiotika sebenarnya sudah agak lama saya dengar. Tapi saya tidak begitu care. Biasa, karena tidak terkait langsung, jadi cuek bebek. Namun saya jadi peduli setelah saya main (1/6) ke rumah teman yang dosen UI sekaligus penulis sastra kondang. Saya biasa panggil dia pak Maman (nama lengkapnya Maman S. Mahayana).

Seperti biasa kalau main ke rumahnya, saya selalu berusaha menyedot isi kepalanya. Dia guru saya dalam menulis. Kebetulan saya punya tulisan yang bisa saya bawa dan dikonsultasikan. Dari penjelasannya yang panjang lebar, banyak ilmu yang saya peroleh. Saya jadi tahu penyebab kenapa tulisan yang saya buat itu tidak dimuat di koran. Kenapa selama ini tulisan-tulisan saya selalu ditolak media.

Masalah teknis dalam tulisan saya dia ungkapkan. Lead yang tidak menarik. Judul yang kurang provokatif. Pilihan kata yang mubazir. Kalimat yang bertele-tele. Paragraf yang segede gajah. Kemudian, selain masalah teknis, dia ungkapkan kecurigaannya terhadap keberuntungan tulisan saya. Ya yang ada kaitannya dengan semiotika. Jangan-jangan tanda tangan saya memperlihatkan sugesti negatif terhadap keberhasilan tulisan-tulisan yang saya kirim ke media. Selanjutnya saya disuruh memperlihatkan bentuk dan cara saya membuat tanda tangan. Begitu selesai, sontak dia teriak, “Nah, benar kan!” Dari tanda tangan saya itu, dia kasih komentar berdasarkan ilmu semiotika.

Bentuk dan cara saya membuat tanda tangan menunjukkan bahwa saya ini orang yang ingin cepat selesai, tidak peduli dengan kualitas hasil akhir. Hal itu terlihat dari cara cepat saya membuat tanda tangan. Dengan bentuk yang bolong-bolong, saya orang yang boros. Royal dalam menggunakan uang. Tarikan ke belakang ketika membuat huruf awal menandakan kecenderungan selalu melihat ke masa lalu. Menyalahkan masa lalu atas kegagalan yang terjadi sekarang. Bagian belakang yang menurun atau bentuk tulisan bagian belakang lebih rendah dari huruf depan menjadi cermin rasa pesimis dan lingkungan pergaulan yang tidak luas.

Saya disarankan untuk mempertimbangkan kembali bentuk dan cara membuat tanda tangan. Saya boleh setuju boleh tidak. Ini masalah sugesti berdasarkan keilmuan yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Sugesti merupakan pemicu dalam meraih impian. Orang yang punya cita-cita adalah mereka yang punya impian. Orang yang tidak punya impian tidak akan punya cita-cita, karena impian bagian dari cita-cita.

Sugesti bisa menjadi roket pendorong dalam mencapai keberhasilan. Dalam hal ini, keberhasilan tulisan saya menembus meja redaksi. Dan saya setuju tentang sugesti itu. Seratus persen setuju. Saya akan tidak setuju kalau kegagalan tulisan saya disebabkan karena tanda tangan yang memang jelek itu (halah!). Bentuk dan cara membuat tanda tangan bisa menjadi sugesti positif, ini yang menarik buat saya. Kalau toh dengan mengubah tanda tangan tidak ada kerugian yang harus ditanggung dan justru akan mendorong ke arah yang lebih baik, kenapa nggak dicoba. Nggak ada ruginya kok. Siapa takut.

Kalau anda belum tahu semiotika (bahasa Inggrisnya semiotics), dia itu ilmu yang mempelajari lambang-lambang dan tanda-tanda serta arti dan penggunaannya, terutama dalam penulisan. Bapaknya semiotika, Charles Peirce.

Pak Maman, selamat. Kau telah sukses membuat saya mau peduli dengan semiotika.

Nonton Bioskop

Mungkin sudah sebelas tahun saya tidak menonton bioskop. Semenjak anak pertama saya bisa ngoceh (kayak burung saja!), saya tidak berani nonton. Takut ocehannya yang lebih kenceng dari suara film yang lagi diputar mengganggu penonton lain. Sejak saat itu saya putuskan beli player sebagai pengganti nonton di gedung bioskop. Saat itu dvd player belum ada. Pemutar film yang kualitasnya bagus yang ada baru pemutar laser disc. Piringan laser gedenya sama dengan piringan hitam. Gambar yang dihasilkan bagus dan jernih. Tetapi karena ukurannya yang jumbo, tentu saja sekarang kalah dengan dvd. Siapa yang mau bawa-bawa cd segede gajah.

Seingat saya, film bioskop terakhir yang saya tonton, kalau nggak salah, True Lies di Dewi Sartika Theater. Filmnya Arnold yang sempat diprotes oleh orang Islam karena mendiskreditkan golongan ini. Saya termasuk beruntung bisa menonton sebab besoknya film itu ditarik dari peredaran karena dilarang diputar.

Dengan tidak menonton di gedung bioskop lagi, saya merasakan ada yang hilang ketika menonton film di tv atau dari player. Meskipun saya sudah menggunakan speaker besar, suara yang keluar tidak semenggelegar di gedung bioskop. Layar yang segede lima puluh sarung aki-aki dijahit jadi satu juga merupakan hal yang dahsyat dalam menonton bioskop. Nggak bisa deh, digantiin dengan home theater sekalipun.

Nah ketika di lantai paling atas BTM ada gedung bioskopnya, kesempatan buat saya untuk bisa nonton lagi. Tempatnya lumayan dekat dan mudah dijangkau. Tinggal turun dari angkot - nyebrang - nyampe deh. Selain itu anak-anak saya juga sudah tidak ngoceh lagi. Mereka sudah pinter ngomong semua dan ngerti kalau di dalam gedung bioskop tidak boleh ngoceh.

Kamis (17/5) Spiderman 3 diputar. Seluruh isi rumah rame-rame berangkat nonton film itu. Saat yang saya tunggu-tunggu untuk menikmati sofa empuk, suara menggelegar, dan layar segede sarung 50 aki-aki akhirnya tiba. Dengan antusias, sebelum ke atas, kami menuju ke pasar swalayan di lantai dasar untuk beli minuman dan kudapan untuk dinikmati saat nonton nanti. Rencananya. Waktu kami hendak masuk ke lobby theater, di pintu dua orang sudah mencegat dan mengatakan bahwa makanan dan minuman dari luar tidak boleh dibawa masuk, harus dititipkan. Betapa kecewanya. Tahu gitu tadi saya masukkan ke dalam tasnya Izal yang memang sebelumnya dijemput di sekolah. Jadi dari sekolah langsung ke gedung bioskop. Rupanya ini hanya masalah dagang. Dalam lobby memang ada penjual makanan dan minuman, tapi harganya gila. Sebotol air mineral yang di luar cuma Rp.1000 disitu dijual Rp.3000, popcorn Rp.7000. Yang lain harganya pasti edan. Saya suruh beli? Nehik!

Apa boleh buat, bioskop dinikmati tanpa kudapan dan minuman. Nggak masalah. Kedahsyatan suasana nonton di gedung bioskop membuat lupa urusan di pintu masuk tadi. Nanti kalau nonton lagi dan bawa tas, makanan dan minuman yang di pasar swalayan harganya cuma sepertiganya akan saya masukkan ke dalam tas. Buat saya, nggak masuk akal melarang orang membawa makanan dan minuman dari luar sementara di mal tersebut ada pasar swalayan menjual barang yang sama dengan harga jauh lebih murah. Lagipula bangunan itu kan bukan gedung bioskop tapi mal yang isinya macam-macam toko. Aneh!

Friday, June 01, 2007

Nggatheli

Pernah ketemu orang yang menjengkelkan? Kalau pernah, pasti anda bisa bercerita bagaimana rasanya. Marah, gondok, sebel, macam-macam. Tapi mungkin kita selayaknya berterima kasih terhadap orang-orang seperti ini. Berkat dia, kita bisa mempunyai contoh yang baik bahwa orang dengan sifat dan sikap yang menjengkelkan seperti itu dapat membuat orang lain empet. Artinya, kita diberi pelajaran untuk tidak berbuat seperti apa yang dia lakukan karena kita tahu akibatnya. Kita ngerti apa yang dirasakan orang lain karena kita pernah merasakannya.

Orang menjengkelkan ini bisa datang dari mana saja. Tidak terkait dengan jenjang pendidikan, status sosial, agama, jenis kelamin, maupun suku. Bukan jaminan orang yang berpendidikan baik tidak akan berperilaku menjengkelkan. Pun, mereka yang berasal dari suku yang terkenal ramah bisa saja menjadi orang yang menyebalkan berbeda dengan orang lain sesuku pada umumnya. Setali tiga uang, agama yang mengajarkan kebaikan budi pekerti kadang-kadang belum bisa menjadikan pemeluknya seperti yang tertuang dalam ajarannya.

Berkumpul dan bermasyarakat memang memerlukan ketrampilan. Selain itu, juga merupakan sebuah seni. Kita tidak bisa berperilaku dalam masyarakat sebagaimana yang kita maui apabila ingin diterima oleh lingkungan. Masing-masing manusia diciptakan unik. Setiap orang tidak bisa diperlakukan sama seperti sekumpulan ayam dalam sebuah peternakan ayam potong. Harus ada perilaku berbeda untuk orang yang berbeda. Diperlukan suatu ketrampilan khusus untuk bisa hidup dan berkumpul dalam masyarakat agar bisa diterima dengan baik. Orang-orang Padang yang merupakan salah satu suku perantau memiliki pepatah yang selalu ditekankan kepada anak-anak mereka yang pergi keluar daerahnya, baik ke dalam maupun ke luar negeri. Mereka memiliki pepatah ’tahimpik nak di ateh, takuruang nak di lua’. Pepatah tersebut memiliki makna yang sangat dalam yang mengajarkan orang-orang Padang menyiasati kehidupan bermasyarakat agar bisa diterima lingkungannya. Ada satu lagi pepatah yang diberikan sebagai bekal, ’lai jan dimakan, indak baru dimakan’. Sebuah ajaran yang mengajak berhemat, karena pepatah tersebut mengajarkan supaya menyimpan apa yang sudah dimiliki dan akan menggunakannya ketika sudah tidak ada yang lain. Kalau anda orang Padang, pasti tahu betul kedua pepatah tersebut.

Saya rasa, semua suku di manapun berada pasti memiliki nilai-nilai kehidupan bermasyarakat yang bernilai tinggi, sebagaimana panduan yang dimiliki oleh suku Padang di atas. Meskipun demikian, tetap saja muncul orang-orang yang menjadi duri dalam daging bermasyarakat. Orang-orang yang sulit. Bukan karena masyarakatnya yang tidak mau menerima, melainkan karena memang perilaku mereka sendiri yang menjadikan lingkungan menolaknya. Mereka memang kelompok orang-orang yang menjengkelkan.

Saya pernah ketemu dengan manusia dari jenis yang mampu membuat orang lain jadi jengkel, tidak penting dia itu pria atau wanita, agamanya apa, kaya atau miskin, sarjana atau bukan, yang jelas banyak orang yang tidak menyukainya. Kalau menuruti keinginan, barangkali bisa terjadi keributan atas perbuatan yang dia lakukan. Mungkin bukan cuma saya, orang lain pun akan merasakan hal yang sama sebagaimana yang saya rasakan. Karena masih menghargai dia sebagai manusia saja yang menjadikan saya tidak mengambil tindakan lebih jauh, mempermalukannya di muka umum misalnya. Saya hanya berharap mudah-mudahan dia tahu bahwa perbuatannya itu membuat orang lain jengkel. Kalau di Jawa (Tengah), orang-orang yang menjengkelkan seperti ini disebut dengan orang-orang yang nggatheli.