Sunday, January 28, 2007

Burung Siapa yang Flu?

Dengan kembali mewabahnya flu burung dan penyakit demam berdarah menjadikan rakyat yang sudah sengsara ini menjadi makin ketakutan. Yang bisa dilakukan hanyalah berharap mudah-mudahan dirinya maupun orang-orang yang dia sayangi tidak terjangkiti. Itu baru yang dirasakan oleh mereka yang rakyat biasa, yang tidak punya piaraan unggas atau jadi peternak dan pengusaha. Lebih-lebih mereka yang kehidupannya tergantung pada binatang yang sekarang lagi ngetop karena dengan sukses membuat manusia ‘keder’ tersebut. Bisa kita bayangkan kebingungan mereka. Ibarat buah simalakama, diterusin bisa menjadi mesin pembunuh, tidak diterusin orang itu mata pencaharian mereka. Terus gimana jalan terbaiknya? Barangkali yang bisa dikerjakan rakyat jelata negara ini, termasuk saya, hanyalah berdoa.

Entah ini peringatan atau azab dunia yang ditimpakan kepada manusia Indonesia yang sudah lupa. Lupa, ada yang lebih berkuasa dari mereka yang memiliki kekuasaan; ada yang maha kaya dari yang super kaya; ada yang lebih dari sekedar jenius juara olimpiade fisika. Mereka lupa bahwa kehidupan ini ada pemiliknya. Hidup di dunia adalah menjadi tukang parkir. Apa yang dimiliki semua adalah titipan. Apabila pemiliknya datang meminta maka harus diserahkan. Nggak ada gunanya menyombongkan barang titipan. Konyol malahan. Bisa jadi tertawaan. Mau? Makanya jangan sok dengan apa yang dipunyai. Apapun. Kedudukan, kekayaan, kecantikan wal ketampanan, atau lebih-lebih jumlah pasangan yang lebih dari satu. Jangan deh! Percumtakbergun (percuma dan nggak ada gunanya).

Obrolan tentang burung yang punya flu pun tak luput dari bahasan saat saya dan para tetangga melakukan gotong royong membuat pos ronda baru. Meskipun, untuk menghibur diri, kami plesetkan musibah tersebut menjadi sebuah joke. Bahwa, pemusnahan unggas piaraan rumah tangga merupakan langkah pemerintah dalam memberantas kemiskinan. Artinya, orang-orang miskin yang hidupnya sudah susah terus diberantas. Juga, sekaligus meningkatkan kesejahteraan, yaitu, mereka yang sejahtera makin ditingkatkan. Kalau haji Rhoma Irama bilang dalam sebuah lagunya: ‘yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin’. Wo.. uwoooo.... (kalau ini mah lagu sendunya Betharia Sonata)

Tulisan yang singkat ini sudah pasti tidak akan mengatasi kemalangan yang sedang dialami rakyat Indonesia. Apalagi menyembuhkan penyakit akibat flu burung maupun nyamuk aides. Nggak mungkin la yau... Tapi setidaknya, saya berharap, siapapun yang membaca, supaya berhati-hati dan waspada dengan penyakit tersebut. Selain itu, janganlah mengikuti apa yang dilakukan oleh mereka yang diberi amanah tapi malah mengkhianati, wakil rakyat yang menyakiti hati rakyat, penguasa yang korup, pemilik jabatan yang memanfaatkan jabatannya, dan para penghamba hedonisme. Jadi orang penting itu baik, tapi lebih penting jadi orang baik. Ya nggak?

Wednesday, January 10, 2007

Kebun Melati

Pengennya sih punya kebun yang tidak cemolong. Kalau anda orang Jawa, pasti tahu arti cemolong. Bila ada sesuatu yang menarik untuk dicuri atau bisa menimbulkan keinginan seseorang untuk mengambilnya, itu yang dinamakan dengan cemolong.

Hidup bertetangga itu memerlukan kesabaran. Baik dengan tetangga yang tinggal sekampung maupun desa sebelah. Saya yang tinggal di perumahan yang diapit oleh desa Cibadak dan Bojongrangkas mau nggak mau juga harus berhadapan dengan segala jenis perilaku orang-orang yang tinggal di kedua desa tersebut. Termasuk juga mereka yang suka maling, baik anak-anak maupun orang dewasa. Kalau menuruti nafsu sih inginnya marah. Siapa yang nggak emosi, misalnya, ketika buah Sunkist yang bergelantungan menyenangkan untuk dipandang dan tentunya untuk dimakan nanti setelah masak tiba-tiba hilang satu persatu. Atau, saat pohon jeruk kip yang segar untuk dibuat minuman (limun) berbuah lebat saya dapati habis semua bekas dirontoki maling saat pulang dari kantor. Kemungkinan besar pencurinya adalah anak-anak, karena jeruk kip asam banget rasanya kalau dimakan langsung meskipun matang di pohon. Makanya ketika developer memberikan ijin saya untuk memanfaatkan lahan di lereng dekat rumah, saya jadi berpikir. Sebaiknya tumbuhan apa yang mesti saya tanam.

Saya jadi ingat Tya, anak BEC angkatan 8 yang pernah cerita kakaknya punya kebun melati. Kayaknya bagus juga lereng tersebut ditanami melati. Tanaman yang tidak memiliki buah untuk dicuri, tetapi memiliki nilai ekonomis yang lumayan. Jadi bisa dikatakan, pohon melati itu tidak cemolong. Tapi tergantung juga ding. Kalau mereka tahu bunga melati memiliki nilai jual tinggi, akhirnya jadi cemolong juga. Gimana nanti sajalah. Pusing!!

Tya saya telepon untuk janjian ketemu. Hari Sabtu saya ke rumah dia. Tanpa duduk dulu, saya langsung diantar ke kebun melati milik kakaknya yang ada di belakang puskesmas Cibatok dekat pertigaan. Sebelum ke kebun, mampir terlebih dahulu ke rumah kakaknya. Setelah ngobrol beberapa saat, saya putuskan untuk membeli stek melati sebanyak duaratus batang dengan harga Rp.300 per batang. Saya ikut ke kebun untuk melihat bagaimana dia mengambil stek melati sekaligus pengen tahu seperti apa bentuk kebun melati itu.

Begitu sampai di rumah lagi, kantong-kantong polybag berisi tanah langsung saya siapkan untuk menyemai stek melati yang barusan saya beli untuk mengurangi kemungkinan gagal (mati). Rencananya nanti setelah agak besar baru dipindahkan ke lahan yang sudah saya persiapkan. Untuk saat ini, sambil menunggu bibit melati menjadi besar, saya tanami dulu kacang tanah. Tapi sayang, kayaknya sebagian benih kacang tidak tumbuh. Tauk kenapa!

Monday, January 08, 2007

Salah Tanggal

Hari Minggu (7/1/07) ada undangan kawinan di Kampung Setu. Saya, istri, dan anak saya yang bontot berangkat untuk memenuhi undangan tersebut. Sengaja tidak naik ojek agar bisa jalan kaki melewati persawahan yang asri di belakang komplek perumahan. Karena berangkat setelah sholat dzuhur dan panas matahari yang menyengat, saya bawa payung yang besar buat dipakai bertiga.

Sudah lama saya tidak melewati persawahan yang menuju Kampung Setu. Dulu, mungkin lebih dari setahun, terakhir melalui tempat tersebut adalah kebun semangka. Sekarang yang saya lihat adalah kebun jagung yang sudah tinggi-tinggi. Barangkali hampir waktunya panen melihat buahnya yang sudah besar-besar. Spekulasi saja saya jalan di sebelah kebun jagung tersebut. Alhamdulillah ternyata benar. Jalan tersebut menuju Kampung Setu. Jadi saya tidak kesasar. Begitu sampai di perkampungan, saya langsung menuju rumah yang memiliki hajat. Tapi aneh, kok rumahnya sepi-sepi saja. Tidak ada kegiatan layaknya rumah orang hajatan. Istri saya kemudian nelpon ke rumah. Untungnya anak saya yang gede nggak mau ikut. Katanya mau main komputer saja. Dia kemudian disuruh membaca lagi undangan kawinan yang ada di atas meja. Ternyata ..... bukan hari ini acaranya, melainkan minggu depan. Nasiiiibbbb nasib! Padahal perut saya sudah minta diisi. Tadinya sengaja datang setelah sholat dzuhur ngepasin waktunya makan siang. Apa boleh buat, meskipun perut lapar terpaksa saya tahan.

Setelah basa-basi sebentar, kemudian pamitan. Beruntung pemandangan yang indah di sekeliling jalan yang dilewati bisa membuat lupa sementara perut yang lapar. Saat melewati pabrik tahu, saya sempatkan untuk mampir sebentar membeli tahu segar yang baru diangkat. Kalau tidak salah ingat, pabrik tersebut merupakan pabrik baru. Karena seingat saya ketika terakhir melewati jalan tersebut, pabrik tahu itu belum ada. Dari beli tahu tidak langsung pulang tapi naik odong-odong ke Cikampak. Saya ngamuk di rumah makan Padang Harapan Bundo. Jatah nasi buat nambah milik saya sendiri dan istri saya embat habis. Termasuk sepiring sambal yang baru disusulkan karena baru matang. Perut yang lapar menjadi penyebabnya.

Saturday, January 06, 2007

Terrace

Terrace: long row of houses joined together. (Oxford Learner’s Pocket Dictionary)
Terrace: a) a relatively level paved or planted area adjoining a building; b) a colonnaded porch or promenade. (Merriam-Webster’s Collegiate Dictionary, 11th edition)
Beranda: ruang beratap yang terbuka (tidak berdinding) di bagian samping atau depan rumah (biasa dipakai untuk tempat duduk santai sambil makan angin dsb); teras; langkan. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, edisi ketiga)

Akhirnya. Kelar sudah teras di depan rumah yang pengerjaannya jauh melebihi waktu yang ditargetkan. Tadinya saat BEC libur akhir cawu selama sepuluh hari mulai 16 s/d 25 Desember 2006 saya anggap cukup untuk bisa merampungkan pembuatan teras. Sehingga, saat waktunya ngantor lagi, teras sudah tuntas. Rencana tinggal rencana. Tukang dan kenek yang janjinya mau mulai kerja tanggal 17 jadi mundur ke tanggal 18. Waktu tersisa tinggal delapan hari.

Saat bikin kesepakatan dengan Mang Dayat (tukang), sengaja saya minta tenaga tiga orang termasuk tukangnya sendiri dengan harapan bisa menyelesaikan pekerjaan selama liburan tersebut. Yang saya amati, mereka memang terus bekerja. Tapi rupanya kecepatan kerja dengan hasil maksimal memerlukan waktu lebih lama dari delapan hari. Apa boleh buat. Daripada berantakan dan hasilnya kurang bagus, waktu terpaksa diperpanjang. Dengan tambahan delapan hari lagi, teras rumah yang memang sudah lama saya rencanakan jadi juga. Mang Dayat dan keneknya kerja terakhir 3 Januari 2007. Dengan demikian, ternyata, membuat teras bisa memakan waktu satu tahun. Bener kan? Dimulai tahun 2006, berakhir tahun 2007.

Tahun baru dimulai dengan rumah berpenampilan baru. Sekarang, tidak ada lagi rasa khawatir kehujanan atau kena tempias saat membaca di teras, pun saat menerima tamu. Saya sendiri jadi bisa membuat tamu nyaman bertandang ke rumah dengan duduk di teras yang walaupun sederhana, tanpa harus masuk ke dalam rumah yang kadang berantakan dan tidak memiliki tempat duduk buat tamu.
Tahun baru dimulai dengan rumah berteras baru. Sekarang, teras rumah sudah bisa jadi tempat bercengkerama bersama keluarga. Ngobrol dengan tamu, main catur, juga scrabble, sudah tersedia tempat yang nyaman. Siang maupun malam.

Kapan mau main ke rumah?

Mamah Jatuh

Terjadinya jam 5-an sore tiga hari yang lalu (Rabu, 3/1/07). Mamah jatuh dan paha kiri luar sebelah atas sobek terkena selot pintu pagar sehingga membutuhkan duabelas jahitan, tiga dalam sembilan luar. Namanya juga musibah. Datangnya tidak bisa ditebak atau diperkirakan waktunya. Untungnya saat jatuh ada Mang Dayat, Mang Sadi, dan Asep ( tukang dan dua kenek) yang masih kerja di rumah. Merekalah yang mengangkat mamah ke dalam rumah sebelum dibawa ke klinik.

Saat saya pulang kantor, mamah sudah tergolek di atas matras mengaduh kesakitan. Sebelumnya saya sempat bertanya-tanya juga ketika melihat istri saya berjalan tergopoh-gopoh dengan muka panik. Rupanya dia sedang mencari mobil untuk mamah. Begitu melihat saya datang, segera dia informasikan tentang mamah.

Mobil pak Syabar yang akhirnya dipakai. Mang Dayat dan keneknya sekali lagi mengangkat mamah masuk ke dalam mobil. Saya dan Lili (bu Kris) menemani mamah sementara pak Syabar duduk di depan memegang kemudi. Kendaraan segera membawa mamah ke Klinik Amanah di Cibanteng yang merupakan klinik terdekat yang terpikirkan oleh kami. Begitu sampai segera saya dan pak Syabar membimbing mamah langsung masuk ke ruang periksa. Lega rasanya mamah sudah ditangani oleh ahlinya. Lili yang masuk menemani mamah, sementara saya dan pak Syabar duduk di ruang tunggu.

Ada kejadian yang menggetarkan hati waktu menunggu di klinik ketika itu. Saat saya dan pak Syabar ngobrol sambil nunggu mamah dijahit, masuklah seorang ibu-ibu yang dibopong dua orang laki-laki. Sementara di belakangnya mengikuti seorang wanita yang lebih muda. Rupanya ibu-ibu yang kemudian didudukkan di atas sofa ruang tunggu di depan saya itu dalam keadaan pingsan. Perkiraan saya dia korban kecelakaan meskipun tidak ada luka, hanya lecet sedikit di jempol kaki kanan. Saya kasihan melihat kondisinya. Namun bukan dia yang menggetarkan hati saya, tapi anak muda yang dibawa masuk sesudahnya.

Dua orang laki-laki masuk membopong remaja laki-laki yang merupakan korban kecelakaan yang sama dengan ibu-ibu yang dibawa masuk sebelumnya. Kemudian dia didudukkan di sofa sebelah kanan saya. Segera pak Syabar dan saya berdiri untuk melihat kondisi anak muda tersebut. Dia tidak pingsan. Duduk diam bersandar di sofa. Matanya melek tapi tidak pernah berkedip. Pandangannya kosong lurus ke depan. Kaki, tangan, dan wajahnya lecet-lecet tapi tidak berdarah-darah. Yang menggetarkan saya adalah, setiap beberapa saat dia seperti orang cegukan atau seperti orang yang habis nangis lama. Melihatnya seperti itu, saya tidak bisa atau malahan tidak berani menebak apakah dia bisa diselamatkan atau tidak. Pak Syabar kemudian bilang kepada yang membawa korban bahwa korban tersebut sebaiknya dibawa ke rumah sakit. Rasanya klinik kecil ini tidak bisa memberikan pertolongan yang dibutuhkan karena diperkirakan yang luka adalah bagian dalam.

Para penolongnya mengikuti anjuran pak Syabar. Anak muda tersebut dibawa kembali ke mobil bak terbuka yang membawanya tadi. Dia ditidurkan di bak belakang dengan hanya dikasih bantal untuk kepalanya tanpa tikar atau alas sama sekali. Si ibu-ibu juga dibopong kembali dan didudukkan di sebelah sopir. Mereka akan dibawa ke rumah sakit di Leuwiliang. Mudah-mudahan saja keduanya yang merupakan korban kecelakaan di Cicadas belum terlambat untuk ditolong.

Jam 6 lebih luka mamah akhirnya selesai dijahit. Namun ada satu lagi obat yang harus diberikan ke mamah tetapi klinik tersebut sedang kehabisan. Mamah harus disuntik dengan ATS (anti tetanus). Atas informasi dari petugas di Klinik Amanah, mamah kemudian dibawa ke Klinik Avira di Cibungbulang untuk disuntik ATS. Selesai itu kami langsung pulang.

Mamah ini memang bukan ibu saya ataupun istri saya. Dia itu uwaknya Lili istrinya pak Kris, tetangga saya, yang sudah dianggap ibu sendiri oleh dia karena yang merawatnya sejak kecil. Saya sendiri dengan ikut-ikutan memanggil mamah merasa dia bukan hanya sekedar tetangga, tetapi seperti keluarga.

Thursday, January 04, 2007

Bakso 2007

BEC mengadakan lagi acara tahunan yang diselenggarakan setiap hari raya Idul Adha. Bakti Sosial. Kali ini kegiatan diadakan di Desa Sukaharja, Kecamatan Cijeruk, Bogor, hari Senin (1/1/07). Acaranya sama seperti tahun kemarin. Memotong sapi. Yang agak beda, sekarang ini sapinya benar-benar gede. Harganya saja 15 juta. Dua kali lipat dari harga sapi yang dipotong di tahun kemarin. Selain itu, ada tambahan dua ekor kambing.

Saya diserahi tugas untuk menyerahkan hewan kurban tersebut kepada wakil dari masyarakat desa setempat. Agak kagok juga. Masalahnya, tokoh masyarakat yang mewakili bahasa Indonesianya kurang lancar, hanya bisa bahasa Sunda. Saya, bahasa Sunda nggak bisa. Untungnya Mita berbaik hati menawarkan diri untuk jadi penterjemah. Meskipun deg-degan karena masalah bahasa, akhirnya beres juga acara seremonial tersebut. Kemudian acara dilanjutkan dengan memotong hewan kurban.

Karena badannya yang besar, sapi yang jadi kurban sempat merepotkan. Walaupun sudah dikeroyok, orang-orang masih kewalahan untuk bisa menjatuhkan sapi tersebut. Tidak gampang ternyata main ‘smack down’ dengan sapi. Bagaimanapun juga manusia punya akal. Kalah main sendirian, kompakan main keroyokan. Apalagi temennya sapi tersebut hanya dua ekor kambing. Saya sih hanya menonton saja. Nggak mau ikut ngeroyok. Cukup nyerahin saja.

Sehari sebelumnya, saya juga terlibat dalam kepanitian kurban di kampung. Yang tadinya panitia ragu dengan jumlah hewan kurban yang akan diamanatkan ke panitia, ternyata tahun ini jumlah hewan kurban yang dipotong sebanyak 18 ekor, meskipun domba semua, tidak ada sapinya. Seperti biasa, saya hanya ikut membantu memotongi daging dan mencatat nomor pengambilan daging kurban yang sudah masuk. Saya belum pernah memotong sendiri hewan kurban. Pengennya suatu saat nanti bisa ikut membantu memotong hewan kurban, baik kambing, domba, maupun sapi. Ada campuran antara rasa nggak tega, takut, dan kasihan ketika melihat leher yang terbelah dan memancarkan darah segar karena golok tukang jagal. Namun demikian, selalu muncul perasaan suka cita saat mengikuti acara pemotongan kurban. Para tetangga yang setiap hari tidak bisa ketemu, saat itu datang bersilaturahim sambil rame-rame memotong dan mencacah daging kurban. Itulah berkah lain yang diperoleh dari hari raya Idul Adha.