Tuesday, August 22, 2006

Jablai

Setiap saya berangkat ngantor selalu lihat tulisan itu. Di kiri jalan sebelah toko foto sebelum pasar Gunung Batu kalau dari arah terminal Laladon atau Bubulak. Ditulis seseorang di dinding triplek di sebelah gedung yang lagi dibangun. Kata tersebut kalau nggak salah pernah saya baca di Kompas. Entah judul lagu, entah film, atau jargon anyar yang baru muncul. Dilontarkan oleh salah seorang artis Indonesia saat diwawancara. Pernah tahu kepanjangannya tapi selalu kesulitan bila mengingat-ingatnya lagi. Ee..hla kok kemarin waktu ke Jakarta, di sandaran kursi bis menuju Blok M ketemu lagi dengan kata tersebut. Meskipun belakangnya tidak pakai huruf ’i’tapi ’y’. Karena penasaran nggak ketemu-ketemu juga singkatannya, saya tanyakan ke istri yang duduk sebelah saya. Dijawabnya dengan tangkas, “jarang dibelai!” Waduh, saya kok jadi kena saat melihat matanya yang indah melengos. Dengan menjawab pertanyaan saya, sekaligus memberi sinyal bahwa dia termasuk orang yang jablai. Masak sih saya jarang membelai istri? Perasaan bukan cuma mbelai deh, ngremus malah (krupuk kalee...).

Siapa sih yang nggak ingin dibelai? Kucing saja seneng banget kalau dibelai. Malahan gara-gara membelai kucing, saya jadi tahu rasa dan baunya pipis kucing (hiiiiiiiii....jijai).
Bener. Serius. Barangkali karena keenakan, dianya sampai terkencing-kencing. Dan mengenai muka saya. Kenapa bisa kena muka? Ya karena salah saya sendiri yang iseng meratiin dari dekat sambil bengong pas dibelakang pantatnya. Langsung saya kenain pinalti dia. Tendangan dua belas pas. Gondok rasanya. Air susu dibalas dengan air tuba. Mending kalau mbalesnya pakai air tebu, manis. Meski sial, saya berterima kasih juga sama kucing yang saya jadikan bola itu. Maaf cing, saya menyesal bila ingat telah menjadi Ronaldinho terhadapmu. Sekarang jadi tahu, kalau ada kucing nungging-nunggingin pantatnya berarti dia mau buang hajat.

Saya ke Jakarta kemarin karena ada undangan pernikahan. Adik sepupu saya menikah. Gedung resepsi yang dipakai adalah aula masjid di kantor walikota Jakarta Barat. Saya tidak begitu hapal dengan Jakarta Barat. Makanya ketika dikasih tahu supaya dari Bogor naik bis turun di UKI terus nyambung ke Blok M kemudian pindah taksi ke tempat tujuan, jadi keki saya. Masak harus bayar taksi 47 ribu. Padahal kalau tau, saya bisa naik bis dari Bogor turun ke Grogol. Dari situ baru naik taksi ke kantor walikota di Jl. Puri Kembangan. Paling ongkosnya nggak sampai 30 ribu. Meskipun demikian masih termasuk murah buat saya untuk membayar ketidaktahuan sebesar 47 ribu.

Ada yang menarik perhatian didalam acara pernikahan sepupu saya itu. Saat kedua mempelai mau memasuki gedung menuju kursi pelaminan, mereka disambut oleh empat orang penari cantik dan satu orang yang nggak tau apa namanya. Orangnya memberi kesan tua, kumis dan jenggotnya ubanan, gigi kecoklat-coklatan (tau asli tau bikinan), berpakaian hitam-hitam pakai ikat kepala. Sesosok orang kampung dari tanah pasundan. Sepupu saya ini memang turunan sunda. Almarhum ayahnya (om saya) berasal dari Sadawangi (dekat Sumedang) Jawa Barat. Penyambut itu menghantarkan pengantin ke pelaminan. Salah satu dari kekayaan budaya Indonesia yang patuh dibanggakan.

Yach.... pengalaman itu memang kadang mahal harganya. Bisa mahal bila dihitung dengan uang atau yang lain. Perasaan misalnya. Sama seperti ketika ketemu kucing jablai.

Orang Stingy

Saat ini saya benar-benar sibuk. Super sibuk. Banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Termasuk proyek terjemahan yang sedang saya rampungkan karena minggu depan merupakan deadlinenya. Saking menumpuknya pekerjaan seolah-olah kaki dan tangan ini terikat. Tidak bisa ngapa-ngapain. Tidak bisa kemana-mana. Sampai-sampai nonton televisipun jadi terlantar meskipun justru saya senang bisa terbebas dari belenggu tv. Bahkan bacapun lebih banyak saya lakukan saat berada di atas angkot. Apalagi menulis. Buku harian yang sengaja saya sediakan bisa lebih dari seminggu tidak kepegang.

Namun kejadian di angkot hari ini (19/8) benar-benar menggelitik saya untuk berbagi cerita dengan anda. Kejadian yang mungkin memalukan buat orang lain, tapi dianggap biasa dan barangkali sudah seharusnya dilakukan oleh yang bersangkutan. Menemui kejadian tersebut mengingatkan saya pada teman sekantor dan seruangan dengan saya dulu saat masih bekerja di Jakarta. Kebetulan juga, datang dari suku yang sama. Saya sama sekali tidak ada niatan untuk mendiskreditkan orang-orang dari suku tertentu. Swear! Apalagi teman sekantor saya sekarang ini ada yang berasal dari suku yang sama. Orangnya sangat baik, ramah, dan saya menghormati beliau.

Saya hanya menganggap orang yang saya temui di angkot sebagai individu. Apa yang dia lakukan tidak ada sangkut pautnya dengan sukunya. Sebab suku apapun bisa saja seperti dia. Hanya kebetulan saja sifat yang ditunjukkan persis sama dengan teman sekantor saya dulu di Jakarta. Dan kok ya kebetulan sukunya sama.

Di Indonesia ini memang ada penggeneralisiran untuk suku-suku tertentu. Ada yang positif, juga negatif. Contohnya, orang Batak juga Ambon itu pinter nyanyi. Malahan temen dari Medan pernah bilang sama saya, “Adi, di Batak, orang nyanyi itu kaya orang makan. Semua bisa.” Temen saya yang ngomong ini jago main gitar dan nyanyi. Dan memang suara orang Batak bagus-bagus. Buktinya banyak. Joy yang juara Indonesian Idol juga keturunan Batak. Daniel Sahuleka yang sudah jadi orang Belanda, adalah Ambon. Glen Fredly, Franky Sahilatua, Melly Guslow..... orang mana mereka?

Katanya orang Padang itu kikir. Apakah memang benar demikian? Bahwa semua orang Padang pelit? Kebetulan saja saya menemukan dua orang Padang yang pelit. Pertama teman sekantor waktu di Jakarta dulu, sampai-sampai saya naik mobilnya saja harus bayar. Yang kedua, orang Padang yang hari ini seangkot sama saya. Dia sempat ribut sama supir angkot karena merasa tidak turun di terminal maka minta kembalian dua ribu dari lima ribu yang dibayarkan untuk dua orang. Meskipun temannya yang satu (perempuan Sunda) tidak turun bareng dia tapi masih jauhan. Untungnya si sopir ngalah setelah dengan susah payah menjelaskan bahwa ongkos dari Sukasari sampai depan BTM tetap dua ribu meskipun tidak sampai terminal Bubulak. Kalau sampai terminal malah dua ribu lima ratus. Bukan dua ribu. Yang kasihan teman perempuannya. Karena malu, dia akan membayar seribu lagi untuk kekurangannya. Tentu saja tanpa sepengetahuan teman Padangnya tadi. Kami yang di angkot hanya bisa memaklumi.

Cukupkah dua sample itu mendukung asumsi tentang orang Padang. Of course NOT! Tentu saja itu hanya kasus per kasus. Yang saya tahu, memang orang Padang pandai dalam mengelola duit. Mereka merupakan suku entrepreneur alami. Karena kepandaiannya inilah kata Padang diplesetkan menjadi pandai dagang.

Ada anekdot yang mengacu pada semangat orang-orang Padang untuk berdagang. Mengapa orang Padang tidak pernah juara dalam lomba lari, karena mereka selalu akan berhenti di setiap tikungan, pertigaan maupun perempatan untuk mendirikan warung makan Padang. Kata bu Linda, teman sekantor yang juga orang Padang, bahwa orang Padang itu baik hati. Mereka memberi makan siapapun dimana-mana.

Penggeneralisiran bisa terjadi di setiap bagian di muka bumi ini. Anda tahu generalisir yang diberikan kepada Belanda dan Amerika oleh penduduk dunia? Orang (turis) Belanda terkenal pelit sedangkan yang dari Amerika orangnya royal. Kebetulan sekali saya sendiri pernah mengalami kejadian tersebut yang seolah-olah memang stereotip terhadap Belanda-Amerika benar. Saya sempat beradu mulut dengan turis Belanda karena komplain biaya yang harus dia bayar terlalu mahal meskipun sebelumnya dia sudah baca di website saya dan dia tahu harus membayar sebesar itu. Juga, saya pernah dibayar 800 ribu rupiah oleh orang Amerika hanya karena saya mau jadi guide dia, teman perempuannya, dan seorang sopir yang dia bawa untuk keliling Bogor selama tiga jam. Naik mobil sedan mewah berAC, disopiri, dibayar ratusan ribu untuk beberapa jam. Dengan demikian, apakah berarti orang Belanda pelit orang Amerika tipikal royal? Belum tentu juga.

Memang kadang-kadang kita dengan terpaksa harus menerima stereotip yang menyakitkan itu. Ketika saya masih kuliah di Semarang, seluruh teman saya menganggap bahwa daerah asal saya, Demak, selalu kekeringan ketika kemarau dan kebanjiran saat musim hujan tiba. Sampai-sampai ada ungkapan “mek rendeng ra iso ndhodhok, mek ketigo ra iso cewok” (kalau penghujan nggak bisa jongkok karena banjir, bila kemarau tidak bisa cebok karena nggak ada air). Stereotip itu muncul akibat ada sungai dipinggir jalan raya yang mau masuk ke Demak, baik dari arah Barat (Jakarta) maupun Timur (Surabaya). Sehingga orang-orang yang lewat ketika musim penghujan akan melihat sungai yang penuh air serta kadang melimpah sampai ke jalan raya. Kemudian airnya menyusut tinggal kubangan kecil berwarna kehijauan bila kemarau tiba. Padahal, kami yang tinggal di tengah kota tidak ada masalah dengan air. Kemarau maupun penghujan.

Kembali pada kejadian di angkot tadi. Rasanya kok jadi ikut malu dengan tingkah orang lain. Apa karena saya phlegmatis yang melankolis?

Wednesday, August 16, 2006

Ketawa Bikin Sehat

Hari ini saya banyak ketawa. Drama yang dibawakan oleh para mahasiswa BEC angkatan 9 cukup lucu. Menarik. Bahasa yang digunakan bahasa Inggris. Tapi gampang dimengerti. Meskipun ada kesalahan pronunciation atau grammar, masih dianggap wajar. Mereka pentas dalam acara MOM – masa orientasi mahasiswa – untuk angkatan 10. Jangan bandingkan dengan drama yang dimainkan para profesional. Ceritanya sederhana. Kreatif. Mereka mengembangkan sebuah kisah yang sering diceritakan. Dengan dikembangkan sesuai ide kreatif masing-masing, yang simple jadi menarik. Sebuah sayembara atau kompetisi yang diadakan sebuah kerajaan untuk mencari jodoh buat putri kerajaan sudah sering kita dengar. Tetapi bila pesertanya adalah drakula, james bond, david coopperfield, si buta dari gua hantu, superman, si pitung, dan bruce lee, itu yang menarik. Para tokoh superhero, baik lokal maupun impor, saling ketemu. Mereka saling bersaing memperebutkan posisi sebagai mantu raja. Bisa anda bayangkan kekonyolan yang terjadi. Sebuah hiburan yang ringan tapi mengesankan.

Selingan-selingan ringan seperti itulah yang kita perlukan dalam hidup ini. Beban hidup yang berat bisa jadi enteng. Menghadapi persoalan juga sebaiknya dilakukan dengan santai. Buatlah hal rumit menjadi sederhana tanpa memberi kesan mengentengkan permasalahan. Ada akronim menarik tentang penyederhaan ini. KIS – keep it simple. Bila perlu, tambahin satu S lagi kalau anda lagi mpet, yang kepanjangannya adalah stupid. Boleh. Boleh saja ditambahin satu S lagi asal anda hanya bermaksud bercanda. Agar apa yang ingin anda sampaikan tentang kesederhanaan dapat lebih tertancap lama.

Memang kita ini kadang bersikap, berfikir, dan bertindak aneh. Apa yang sebenarnya sederhana dibuat rumit. Contoh gampang saja yang bisa kita lihat di birokrasi. Kenapa harus melewati beberapa meja bila sebenarnya cukup satu. Memang alasan yang diberikan dibuat masuk akal. Karena peruntukannnya lain-lain, katanya. Apa memang benar seperti itu? Atau sebenarnya hanya sekedar agar pembagian uang upeti bisa merata? Saya kok lebih bisa menerima kalau alasan yang kedua itu yang terjadi. Bukannya menyamaratakan semua birokrasi pemerintahan seperti itu, tapi melihat banyaknya kejadian yang ada di berbagai kantor pemerintah, kok akhirnya jadi kena semua. Ibarat akibat nila setitik rusak susu sebelanga. Memang ada orang-orang baik di dalam pemerintahan. Namun apabila kebobrokan masih sering ditemukan, sulit sekali untuk menghilangkan citra negatif itu. Saya tidak mengada-ada. Saya pernah mengalaminya. Dengan kepolisian. Saat mengurus SIM maupun saat saya ditilang karena lalai membawa SIM. Tidak perlu saya ceritakan banyak-banyak disini. Cukup hanya saya sampaikan bahwa saya pernah mengalaminya sehingga bisa ngomong tentang kebobrokan di atas. Sakit hati dan prihatin bila harus menceritakan kembali kebusukan bangsa sendiri.

Kenapa jadi ngomongin yang berat-berat ya. Padahal saya hanya ingin mengatakan hari ini saya banyak ketawa dan gembira. Kesedihan saya karena tidak lama lagi harus berpisah dengan mahasiswa angkatan 9 sedikit terobati saat mulai terlibat dengan kegiatan MOM angkatan 10. Jadi lupa saat melihat drama dagelan. Benar kalau dikatakan bahwa gembira bikin awet muda. Ketawa itu lebih sehat dari pada murung. Dengan ketawa, lebih banyak syaraf yang digerakkan dibandingkan bila bersedih. Oleh karena itu, tertawalah. Bergembiralah. Sekalipun harus mentertawakan kesialan yang menimpa diri sendiri.

Monday, August 14, 2006

Lunatic, Maniac, & Narcissism

Lunatic itu wildly foolish. Yah, bisa dibilang nggak waras gitu lah. Lalu maniac juga dapat berarti sama. Gila. Tapi yang satu ini bisa lebih mengarah pada antusiasme yang ekstrim, berlebih-lebihan, terhadap sesuatu. Bisa benda, bisa orang, atau monyet, eh maksud saya binatang. Yang terakhir atau ketiga, anak gaul sekarang suka menyebutnya dengan istilah narsis. Meskipun arti sebenarnya dari narsis sangat jauh dari arti kata yang dimaksudkan. Karena, narsis sendiri - yang kata Inggrisnya adalah narcissus atau narcissi - merupakan tumbuhan berbunga putih, krem, atau kuning, yang terdapat di daerah subtropis. Contohnya bunga daffodil, atau orang kita bilang bunga narsis. Sedangkan narsis yang dimaksudkan dari narcissism adalah hal atau keadaan mencintai diri sendiri secara berlebihan. Jauh teuing kan, antara narsis yang bunga dan narsis yang termasuk sikap kegilaan ini, gila terhadap dirinya sendiri? But, so what gitu loh. Nggap perlu diperdebatkan perbedaan yang sebenarnya memang mendasar tersebut. Bagi mereka itu nggak penting. Yang utama adalah apa yang ingin dia sampaikan dapat ditangkep dan dimengerti lawan ngobrolnya.

Lalu apa perlunya dengan saya? Ada. Saya perlu menulis karena sehari-hari saya berinteraksi dengan mereka. Para mahasiswa saya. Bukannya tidak suka atau gerah, tapi justru saya senang melakoninya. Mereka yang saya anggap sebagai sahabat-sahabat muda banyak memberikan inspirasi, kegairahan hidup, dan bahkan bisa membuat saya kangen. Atau mereka pasti akan bilang ‘iklan banget’ kalau saya katakan mereka itu bisa membuat saya hidup lebih hidup.

Mereka ini golongan manusia campuran antara ketiga unsur di atas. Sedikit lunatik, sedikit maniak, dan sedikit narsis. Mereka ini maniak foto. Antusias banget kalau ada acara foto-fotoan. Yang mbayarpun mereka tetap semangat. Malah pernah suatu ketika mereka foto bareng-bareng di BTM dan tukang fotonya sampai nawar supaya jangan banyak-banyak. Bayangin, yang dibayar saja sampai bertekuk lutut. Mpet n neg kali ya lihat kelakukan mereka. Tapi, ya tadi, dasar agak kurang waras, mereka nggak peduli. The show must go on. Dan hasilnya bisa anda lihat disini. Terlihat bersemangat, gembira, dan kesannya...... innocent.

Namanya juga masih belum dewasa. Tergolong remaja. Malahan ada yang lebih pantes disebut abg, anak baru gedhe. Kelakuannya juga kadang aneh-aneh, nggak masuk akal, dan unpredictable. Kalau orang yang melihat tidak bisa mensejajarkan dengan cara berpikir mereka, ya bisa stres sendiri. Padahal kalau mau dilihat positifnya, merekalah salah satu media yang bisa digunakan untuk rejuvenile.

Dari cara menggunakan dan menciptakan kosa kata juga menarik untuk diamati dan dipelajari. Kagak heran kalau bahasa slang sebagian berasal dari mereka. Karena dunia mereka berbeda dengan yang lebih dewasa, maka kalau tidak mempelajari cara mereka berinteraksi ya susah juga untuk dapat memahami komunikasi mereka. Untungnya ada orang yang mau bersusah-susah mengumpulkan kosakata yang mereka pakai untuk dibukukan menjadi sebuah kamus. Walaupun ada istilah-istilah khusus yang hanya digunakan kelompok tertentu dan tidak masuk dalam kamus, tapi lumayan membantu juga. Selain itu, ada kosa kata yang sifatnya universal, dipakai dimana-mana di lingkungan anak seusia mereka.

Saya beri contoh penggunaan kosa kata yang mereka lakukan dalam SMS. Mungkin buat anda yang sealam (kaya demit ya) dan satu species dengan mereka, bisa memahami dengan mudah. Buat saya, perlu mengerutkan kening dan mengira-ngira untuk dapat menangkap maksudnya saat saya membaca pesan tersebut.

ne ne mr nony,btw alat da yg krg ga mr ...wah da pa negh,mo mlm kmsan ya...gmn tgsny dah rebes lum,jg lp klo dah brs traktr qt ya thnx c..u..

Satu lagi:
Halu jg P’Dosen.iya ne,kki tie mshPd skit,moBAB&Ppis ja btuh pjuangn.tp ttp,porsi mkn jdMkin btmbh.he2x..,bpk sndri gmn kbrny,msh pdSkt g?udh brp vocb yg apal?
Satu lagi:
O..msh dBEC?aws pa jgn mlm2 dsna,ntr daYg nmenin.metNgrjain proykny,klo dhBhsl jgnLpa aplany ygRjin y pak,jgn uprat apret! c u..

Yang terakhir:
Wah..!!kcau tuh,mnybrkn fto tnpa s’izn tie,bsa dTntut tu,min.trktrn HocBnd.duh pa,Tie abs dPjt ne,lmyan agaEntng.

Gimana? Terang teu? Pusing pusing dah sono.

Repotnya kalau ada orang jahat masuk dalam kehidupannya. Mereka sedang dalam kondisi mencari jatidiri, mencari sesosok idola yang bisa menjadi panutan. Kalau kebetulan yang membawa pengaruh adalah orang-orang yang tidak benar, bahwa untuk dibilang macho adalah harus merokok misalnya, atau mengkonsumsi narkoba, rusaklah hasilnya nanti. Ada contoh nyata yang diberitakan Kompas Minggu kemarin (13/8). Seorang remaja tega menyeret ibunya tanpa ada rasa hormat atau malu karena semata-mata menginginkan uang untuk beli narkoba. Meskipun akhirnya anak itu juga diseret para tetangga untuk dibawa kekantor polisi, sang ibu tetap tidak tega dan kasihan. Bagaimanapun juga, dia adalah darah dagingnya sendiri.

Saya sendiri hanya bisa berdoa buat sahabat-sahabat muda saya yang meskipun sedikit lunatik, maniak, dan narsis, mudah-mudahan mereka bisa berhasil dalam menjalani kehidupannya. Lancar dalam menggapai apa yang diidamkan. Menjadi orang yang bukan hanya berguna bagi keluarga, bangsa, negara, dan agama, tapi juga buat dirinya sendiri.

Farewell my amigos.

Thursday, August 10, 2006

Puncak Salak I

Awalnya target dari ekspedisi adalah puncak gunung Gede & Pangrango. Dua minggu sebelum keberangkatan, dua anggota tim, Teguh & Danang, berangkat ke Cibodas untuk mendaftar rencana pendakian 5 s/d 8 Agustus 2006. Saat sampai disana, jawaban yang diterima adalah bahwa pendakian untuk tanggal tersebut sudah ditutup. Wah, terus terang saya menyesal. Kenapa tidak jauh-jauh hari mendaftarnya. Target utama saya sebenarnya puncak gunung Pangrango, sebab gunung Gede sendiri sudah pernah saya daki. Karena bersebelahan maka sekalian dua-duanya Tapi apa boleh buat, saya sudah terlambat. Selanjutnya saya tawarkan kepada anggota tim, mau batal atau ganti sasaran. Kalau mau terus saya usulkan Puncak Salak I, sedangkan waktunya sama. Dan mereka oke. Mulailah segala persiapan dilakukan. Ijin pendakiannya sendiri tidak perlu dilakukan. Mendaki gunung Salak tidak sama dengan Gede-Pangrango. Hanya perlu membayar tiket di loket pintu masuk.

Masing-masing anggota tim mulai mempersiapkan perbekalan untuk individu maupun kelompok. Dalam waktu dua minggu, dua kali seluruh anggota tim bertemu untuk memastikan segala persiapan. Dan hari sebelum pemberangkatan, anggota tim ngumpul untuk yang terakhir kalinya. Segalanya okay. Kami siap berangkat.

Sabtu, 5 Agustus 2006, ekspedisi dimulai. Kami berkumpul di kampus BEC di Panaragan Kidul (Pankid). Jadwal yang sudah disepakati, berangkat jam 7 pagi. Saya sendiri berangkat dari rumah jam 06.20 dan sampai di Pankid jam 07.05. Karena masih ada yang ditunggu, terpaksa waktu pemberangkatan molor jadi jam 07.30. Tim yang akhirnya jadi berangkat terdiri dari 10 orang. Mis, Fitri, Ardhi, Teguh, Titi, Adi (saya), Imeh, Rahmat, Deri, dan Danang.

Rame-rame kami jalan menuju depan Naga Swalayan. Dari depan toko tersebut kami ngeteng naik angkot 02 jurusan Bubulak-Sukasari. Tarif masih normal. Dua ribu rupiah. Sampai di Sukasari jam 8. Kemudian nyambung angkot jurusan Cicurug. Tadinya dari Sukasari mau ngeteng juga sampai Cicurug terus nyambung lagi naik angkot ke Cidahu. Tapi rupanya angkot Cicurugnya mau dicharter sampai di Cidahu dengan harga Rp. 70.000 setelah saya tawar dari Rp. 100.000. Dengan demikian masing-masing anggota saweran 7 ribuan.

Perjalanan dengan angkot charteran cukup menyenangkan. Kami bercanda, saling ngecengin. Banyak yang jadi korban. Termasuk saya. Tak terasa kami sudah hampir sampai di Wana Wisata Cangkuang di Cidahu. Tapi sebelum sampai di tempat tersebut angkot kami sudah dicegat petugas retribusi dan disuruh bayar 10 ribu untuk sepuluh orang. Baru kami boleh jalan lagi. Perjalanan selama dua jam rasanya cuma sebentar. Jam 10 kami sudah sampai di Wana Wisata Cangkuang, pintu masuk menuju gunung Salak. Wilayah yang masuk kabupaten Sukabumi. Dua orang turun dari angkot menanyakan tiket masuk. Ternyata sudah jadi 4 ribu per hari per orang. Padahal perkiraan kami masih Rp. 2.500. Cepet amat naiknya. Dengan demikian, karena kami bersepuluh, berarti harus membayar Rp. 120.000. Saya suruh mereka untuk negosiasi. Menawar harga yang menurut kami terlalu mahal tersebut. Bisa dimaklumi kalau untuk pemeliharaan diperlukan biaya. Tapi kadang timbul pertanyaan, kenapa harus bayar dan kalaupun bayar kok mahal amat, untuk bisa menikmati keindahan alam negerinya sendiri. Ternyata tim negosiasi berhasil. Kami cukup membayar 100 ribu. Berhasil, tapi jadi muncul pertanyaan lagi. Terus, uang itu benar-benar masuk ke kas pemerintah (daerah) atau masuk kantong pribadi? Nggak taulah. Tim pendaki tidak punya kepentingan dengan urusan itu. Yang penting masing-masing dari kami hanya mengeluarkan 10 ribu untuk mendaki dan ngecamp dua malam. Setelah beres urusan pembayaran, angkot kami suruh melanjutkan perjalanan. Rupanya terjadi salah pengertian. Sopir angkot mengira, dia cukup mengantar sampai di pintu masuk tersebut. Sedangkan yang kami inginkan, dia ngantar sampai di camping ground blok III. Lokasi ini berada sebelum Javana Spa. Sopir angkotnya kemudian mau menuruti kami. Dan, memang rupanya kami harus jalan. Angkotnya tidak kuat nanjak lagi setelah berjalan beberapa saat. Okelah. Daripada celaka, kami semua turun dan membayar biaya charteran sesuai kesepakatan. Terima kasih pak sopir.

Kami rame-rame jalan menuju Area Camping Blok III dan sampai di tempat tersebut jam 10.18. Masih belum terlalu siang untuk mulai pendakian. Dari tempat itulah pendakian yang sebenarnya dimulai. Kami berjalan memasuki hutan. Sudah berkali-kali saya melewati jalan tersebut, setelah dari Kawah Ratu. Tapi baru pertama kalinya saya mulai perjalanan dari jalan hutan itu. Biasanya, perjalanan saya mulai dari Bogor, yaitu dari Pasir Reungit atau Curug Seribu. Berkali-kali, tapi tidak membosankan. Selalu baru setiap kali melewatinya. Tidak pernah ada kata bosan. Tim kami terus mendaki sambil diselingi istirahat di sepanjang jalan untuk sekedar minum atau mengumpulkan tenaga. Istirahat agak lama saat mau sholat dzuhur dan makan siang di hutan yang pohonnya tinggi-tinggi. Ada sungai dan area untuk mendirikan tenda di dekat tempat tersebut. Kami sampai di tempat itu jam 12.23.

Saya manfaatkan waktu istirahat untuk menikmati keindahan hutan yang ada disekeliling. Sayangnya beberapa lebah hutan, kadang-kadang satu, dua, bahkan tiga, mengganggu konsentrasi saya. Mereka berkeliling dan mendengung-dengung di dekat telinga maupun muka. Dan herannya, lebah-lebah itu hanya mengerubuti saya, tidak yang lain. Apa karena saya manis ya?! (Walah, ji-ar habis!) Dikiranya saya madu kali. Atau malahan disangka lebah jantan. Kalau yang satu ini sih ada benarnya. Kan saya punya sengat juga. Bahkan bukan hanya di tempat tersebut saya diikuti lebah, di beberapa tempat sesudahnya juga saya mengalami hal yang sama. Heran. Ternyata penggemar saya bukan hanya manusia, sampai lebahpun doyan. Ih!! Pede bangget (huruf g nya ada dua karena saking pedenya).

Setelah memberi salam, tandatangan dan goodbye kisses (kalau pengen jontor bibirnya) kepada para fan berat, juga sholat dan makan siang tentunya, saya dan tim meneruskan perjalanan. Perjalanan dimulai lagi jam 13.20. Istirahat selama 57 menit sudah cukup buat kami. Dua puluh tujuh menit kemudian, kami sampai di pertigaan. Jalan ke kiri menuju Kawah Ratu, sebelah kanan ke arah Puncak Salak I. Kami istirahat sebentar di situ. Sekarang, di pertigaan tersebut ada warung. Mungkin keberadaan warung tersebut dapat membantu para pendaki. Tapi buat saya, ibarat duri dalam daging. Keindahan alam hutan dan gunung jadi berkurang keindahannya dengan adanya warung tersebut. Saya tahu warung itu pada perjalanan sebelumnya saat memandu 8 turis dari Cina. Jadi saat ini, untuk kedua kalinya saya melihat warung yang menyebalkan itu. Dekat warung di pinggir jalan menuju puncak ada papan merah bertuliskan putih “Taman Nasional Gunung Halimun-Salak, Koala – Insekta”. Saya sempatkan ngobrol-ngobrol sebentar dengan pemilik warung dan juga membeli sebotol aqua yang harganya dua kali lipat. Informasi dari pemilik warung yang juga katanya dari para pendaki yang pernah ngobrol dengan dia, perjalanan ke arah Puncak Salak I bisa ditempuh dalam waktu normal 3 jam, dan agak leluasa bila menyediakan waktu 5 jam. Apa memang benar begitu, kita lihat saja nanti. Yang pasti, tidak ada sungai atau mata air di sepanjang jalan sampai di puncak. Sumber air yang bisa diperoleh hanyalah dari sungai kecil yang ada di dekat warung tersebut. Ambillah sebanyak-banyaknya sebelum melanjutkan perjalanan.

Kami menolak dengan halus saat pemilik warung menyarankan untuk mendirikan tenda di dekat warungnya. Bukan apa-apa, saya hanya nggak sreg aja. Saya lebih suka ngecamp di perjalanan daripada menuruti saran orang yang punya vested interest. Seolah-olah memberi saran baik dengan sedikit menakut-nakuti sehingga apabila kami menginap ada kemungkinan akan jajan di warung tersebut. Itu yang diinginkannya tentu saja. Sorry ye!

Perjalanan dilanjutkan lagi dari pertigaan berwarung. Alamak! Benar-benar hutan yang menggairahkan. Gelap, lebat, tidak sering dilalui orang. Jalannya benar-benar lumayan menantang. Licin, berkelok-kelok, penuh tanjakan, dan kami harus waspada dengan pohon pandan atau pohon rotan yang durinya tajam bukan main. Kami harus menghemat air, karena tidak ada air setetespun di jalan. Setelah jalan sekian lama, dan melihat kondisi sebagian anggota tim yang kelelahan, maka diputuskan untuk mencari tempat yang datar untuk mendirikan tenda. Jam menunjukkan pukul 15.14 saat kami menemukan tempat yang agak datar. Mis dan Danang dikirim untuk sweeping. Mencari lokasi camping alternatif yang ada di depan dengan radius 30 meter. Barangkali ada tempat yang lebih baik. Sementara yang lain menunggu. Lima menit kemudian, dapat berita bahwa tidak ada tempat lagi di depan untuk berkemah. Jadilah kami mendirikan tenda di tempat kami menunggu.

Hari masih cukup terang untuk membongkar dan memasang tenda. Yang laki-laki bekerja sama mendirikan tenda, perempuannya menyiapkan makan malam. Beras yang dibawa diambil sebagian untuk dimasak. Buncis dan wortel dibuat oseng-oseng. Dua kaleng sardine dibuka dan dipanaskan dengan parafin di pantatnya. Air yang ada dimanfaatkan sehemat mungkin. Hanya untuk keperluan makan dan sedikit minum. Untuk sementara, tidak ada acara mandi atau gosok gigi. Wudhupun terpaksa tayamum. Perjalanan masih panjang. Puncak masih jauh di depan mata. Harapan kami adalah penampungan air hujan yang ada di puncak terisi air.

Malam menjelang. Kayu kering yang dikumpulkan saat terang mulai dibakar. Kami mengelilingi api unggun untuk menghangatkan badan sambil menikmati menu malam istimewa. Nasi + oseng-oseng buncis & wortel + sardine. Seperti biasa, ceng-cengan dimulai. Satu persatu dijadikan bahan ledekan. Tidak ada yang marah, paling jadi merah (mukanya). Untungnya ada api yang menyamarkannya. Keakraban terjalin diantara anggota tim. Gembira dengan suasana yang ada. Lupa akan perjalanan yang harus kami lalui besuk dan menipisnya persediaan air. Saya sarankan kepada anggota lain jangan begadang agar esok hari tetap fit dan bertenaga. Udara malam tidak begitu dingin. Itu menurut saya. Meskipun beberapa anggota tim kedinginan. Saya sendiri sempat keluar dari tenda karena sumpek dan gerah.

Jam lima saya sudah bangun dan keluar tenda. Hari ini hari kedua, Minggu, 6 Agustus 2006. Saya teriak-teriak agar mereka yang masih tidur supaya bangun. Setelah sholat subuh, kami mempersiapkan sarapan sebelum membongkar tenda. Menu hari ini untuk sarapan adalah roti tawar plus baluben (mentega) plus mesis digontor dengan secangkir teh manis anget. Hmm... nikmat. Setelah semua beres, seluruh barang telah dikemas, kami mulai melanjutkan perjalanan menuju puncak. Jam menunjukkan pukul 07.25.

Hari baru semangat baru. Kami antusias menapak jalan menuju ketinggian. Hutan yang lebat hanya menyisakan celah-celah untuk bisa ditembus sinar matahari. Sebuah pemandangan yang luar biasa saat ada sinar matahari pagi terlihat menembus lurus seperti lampu senter. Udara pagi masih dingin. Tapi segar. Saya buka lebar-lebar paru-paru saya. Saya sedot dengan rakus udara gunung yang amat sangat mahal ini bila ada di kota. Terasa paru-paru saya penuh oksigen. Saya tahan beberapa saat agar tubuh ini menikmati keberadaannya. Saya melakukannya berulang-ulang. Mumpung gratis (atau jangan-jangan kalau ketahuan petugas di loket karcis disuruh bayar juga?). Pemandangan semakin indah saja di mata saya. Apalagi saat sampai di lokasi dimana Kawah Ratu bisa terlihat dengan jelas. Saya sempatkan untuk memotret. Sementara itu bau belerang mulai tercium. Sayangnya, penggemar saya datang lagi. Seekor lebah terbang mengelilingi saya. Berdengung-dengung. Menjengkelkan! Sayang, saya tidak mengambil fotonya.

Dari tempat yang sama, Puncak Salak II juga bisa terlihat dengan jelas. Meskipun dengan ketinggian 2.180 Mdpl, lebih rendah dari Puncak Salak I (2.211 Mdpl), terlihat anggun berwibawa, baik hati dan tidak sombong. Siapapun boleh berkenalan. Tapi sayangnya puncak ini tidak mudah didaki. Hal ini dikarenakan hutannya yang rapat dan sama sekali tidak ada air disepanjang jalur pendakian. Jarang sekali pendaki yang mendatangi puncak yang terlihat dari jalan menuju Puncak Salak I ini.

Kami terus melangkah menuju puncak. Tetapi ternyata bukan pekerjaan yang gampang. Banyak halangan di depan kami. Mulai dari jalur yang licin, hampir terputus, tanjakan yang naudzubillah. Dan ternyata ada juga tanjakan setan versi Salak. Kalau selama ini tanjakan setan lebih dikenal ada di gunung Gede, ternyata gunung Salak juga punya. Dengan susah payah kami melewatinya. Untungnya ada tali yang terpasang disitu untuk membantu mendaki. Siapapun yang memasang, terima kasih atas kebaikannya. Setelah melewati tanjakan itu, eh, ternyata di depannya masih ada satu lagi anakannya. Tidak setinggi yang sebelumnya sih. Tapi merepotkan juga. Untungnya lagi, ada tali juga yang terpasang disitu.

Jam 12.50 kami sampai di persimpangan jalan. Ke arah kiri menuju puncak, ke kanan menuju desa Girijaya. Puncak sudah tidak jauh dari situ. Semangat kami menggebu-gebu. Langkah kaki dipercepat. Sudah tidak sabar rasanya menjejakkan kaki di ketinggian yang selama ini hanya bisa saya nikmati setiap kali jalan di Pankid atau saat berada di terminal angkot Bubulak. Perkiraan yang katanya hanya membutuhkan waktu 10 menit, kami tempuh lebih lama lima menit.

Jam 13.05 kami semua ada di puncak tertinggi dari tujuh puncak yang dimiliki gunung Salak. Puncak Salak I. Kami saling menepukkan tangan kanan sebagai rasa suka cita. Saking gembiranya, saya lupa mengeluarkan jus apel yang sudah saya janjikan untuk diminum bersama-sama saat sampai di puncak. Kami ingin merayakan keberhasilan tersebut. Bahkan saya tidak peduli ketika melihat lubang penampung air hujan kering kerontang. Bukan terisi air tapi sampah para pendaki. Hanya 15 menit kami berada di puncak. Jam 13.20 kami mulai turun. Kami harus segera turun sebelum kabut datang menyergap. Sebagian kabut sudah berdatangan saat kami berada di puncak tadi. Selain itu juga, kami harus segera mendapatkan air. Cadangan air yang kami bawa tinggal sedikit. Untuk mengurangi rasa haus, kami mengkonsumsi arbei hutan yang rasanya asem manis. Beberapa pohon ada disekitar tempat kami sholat dzuhur. Sementara menunggu sholat, sebagian dari kami mencari buah arbei. Ada juga yang duduk terkapar mengurangi kelelahan. Malahan, Titi, satu dari tiga anggota tim cewek, tertidur kecapaian. Mau-maunya sih Ti tidur di atas gunung. Kan enakan di rumah, di atas kasur yang empuk dan hangat.

Kami memilih jalur menuju desa Girijaya untuk turun. Perkiraan kami jaraknya lebih pendek dibandingkan jalur yang kami lewati saat mendaki. Dan ternyata memang benar. Namun ada tetapinya. Saya sangat tidak merekomendasikan untuk mengambil jalur ini saat naik, terutama pendaki pemula. Kecuali anda mencari tantangan atau menggemari medan yang ekstrim. Jalur yang kami lalui menurun terus (berarti tanjakan terus bagi yang mendaki). Tidak ada air. Tidak ada tempat datar dan terbuka untuk mendirikan tenda. Mau nggak mau kami harus jalan terus. Dengkul yang sudah leklok dan tangan yang kences terpaksa diabaikan. Akhirnya, jam 16.28, kami sampai di komplek makam Pangeran Santri. Untungnya di tempat tersebut ada bak penampungan air. Saya suruh seluruh tempat air dipenuhi. Karena kuncennya tidak ada maka kami mengambil tanpa ijin. Kami ketemu 2 orang kuncen tersebut di perjalanan saat kami turun. Mereka hendak kembali ke makam setelah turun gunung. Sebagai pengganti air yang diambil dan juga untuk mengurangi rasa bersalah karena mengambil tanpa ijin, saya suruh salah satu anggota tim memasukkan uang ke kotak infaq yang ada di depan rumah tinggal juru kunci makam.

Saya sempatkan gosok gigi. Sholat asar dan repacking. Anggota yang lain juga melakukan yang sama. Sebenarnya ada area datar yang bisa dipakai buat ngecamp. Tapi rasanya kurang asik berkemah bersebelahan dengan kuburan. Tidak mungkin kami berteriak, bercanda rame-rame, yang sudah pasti akan kami lakukan. Apalagi sebelum masuk komplek makam ada tulisan peringatan. Oleh karena itu, diputuskan, kami jalan terus. Setelah semua beres, kami melanjutkan perjalanan. Terus terang saja, saya kagum dengan orang-orang yang loyal untuk datang berziarah di tempat yang begitu tingginya. Jauh di punggung gunung dan di tengah hutan.

Dari makam ternyata masih berjam-jam untuk menuju desa Girijaya. Sudah saya perkirakan, pasti akan harus berjalan di gelap gulita malam di tengah hutan. Persiapan untuk menghadapi peristiwa itu sudah kami lakukan. Kami membawa tiga senter dan tiga lampu badai. Sayangnya saat menyalakan lampu badai, satu lampu kacanya pecah berantakan. Satunya lagi tidak sampai berantakan tapi bolong separoh. Hanya satu yang sempurna. Lampu yang bagus dibawa oleh Imeh, yang kacanya bolong saya yang bawa. Karena bolong, apinya jadi sering mati tertiup angin sehingga akhirnya tidak saya nyalakan sekalian. Apalagi tabung minyak tanahnya tidak ada tutupnya. Akibatnya, minyaknya uprat-apret mengenai celana.

Perjalanan terus dilanjutkan di kegelapan malam di tengah hutan. Kadang-kadang bulan yang tidak bulat sempurna keluar dari awan membantu menerangi perjalanan kami. Kami tidak banyak omong, juga harus jalan pelan-pelan. Rasanya tidak ada habis-habisnya jalan yang dilalui. Gelapnya malam menghalangi kami menikmati pemandangan yang ada di sekeliling. Kadang terdengar suara motor, musik dangdut, orang adzan, atau puji-pujian yang datang dari desa di bawah gunung. Danang dengan serius mengatakan bahwa suara-suara itu datangnya dari pasar setan. Saya percaya, selain manusia ada mahluk Allah jenis lain. Dalam kasus ini, saya lebih percaya bahwa suara itu datangnya dari perkampungan yang ada di lereng gunung. Mungkin desa Girijaya, atau desa yang lain yang ada di bawah. Asumsi semacam itu sebenarnya tidak sehat untuk sebuah teamwork. Kalaupun misalnya punya keyakinan bahwa hal itu benar, akan lebih baik kalau disimpan untuk diri sendiri. Sehingga, tidak akan berpengaruh buat anggota tim yang lain. Akibat yang dapat ditimbulkan dengan keyakinan itu adalah akan membuat takut dan khawatir sehingga mengurangi kewaspadaan. Kondisi jalan yang berdampingan dengan jurang dan gelapnya malam bisa menjadi ancaman bagi kami yang kurang waspada.

Setelah jalan lebih dari lima jam, kami akhirnya keluar dari rerimbunan pohon hutan. Kami disambut oleh padang belukar terbuka yang ketinggiannya di atas kepala kami. Langit malam terhampar di atas dihiasi bintang-bintang. Lampu-lampu rumah tersebar di bawah kaki ibarat kunang-kunang berkelipan. Lekloknya kaki dan perut yang miskol menuntut untuk diisi memaksa kami menghentikan perjalanan begitu ketemu dengan lahan yang terbuka. Kami menyerah malam itu. Sehingga kami harus berhenti dan mendirikan tenda. Bahkan kami tidak bisa berpikir untuk mengirim tim sweeping mencari lokasi yang lebih baik beberapa meter yang ada di depan, sebagaimana yang kami lakukan pada hari pertama. Akibatnya, kami jadi menyesal. Ternyata, paginya kami baru tahu, 10 menit perjalanan di depan kami ada lahan luas yang terbuka lebar dan ada pancuran di dekatnya. Dan ada juga saung yang difungsikan sebagai musholla di tempat tersebut. Oh, seandainya....... Akhirnya kami pasang tenda jam 22.20. Sebagai penggajal perut sebelum makan malam, indomie. Menu makan malamnya, nasi + ........ indomie dan telur.

Malam di tengah padang belukar kami lewati tanpa terasa. Kelelahan yang luar biasa membius kami semua. Permukaan tanah yang tidak rata dan miring tidak menghalangi kami untuk tidur pulas. Pagi harinya, kami baru bisa menikmati pemandangan indah di sekitar tenda. Cidahu, tempat mengawali perjalanan bisa terlihat dari lokasi kami berdiri.

Hari ini hari ketiga. Senin, 7 Agustus 2006. Kami bersantai-santai untuk beberapa saat sambil menikmati sarapan, minum teh dan kopi. Sisa buncis dan wortel dioseng-oseng lagi, ditambah dengan telur dadar dan kering tempe yang masih ada untuk menu sarapan.

Setelah semua peralatan dan perlengkapan diberesi, kami meninggalkan lokasi kemah jam 10.53. Kami sempatkan mampir ke tempat air untuk makan siang (indomie lagi) dan sholat dzuhur sebelum melanjutkan perjalanan pulang. Teguh dan Rahmat membuat minuman jahe, susu plus gula merah. Gila cing! Enak bangget (huruf g nya juga dua – saking enaknya). Saya gosok gigi lagi dan keramas. Meskipun tidak mandi.

Jam 13.45 kami tinggalkan saung alias musholla dan airnya, menyusuri jalan di tengah padang ilalang yang monoton dan piijideun. Kemudian kami memasuki perkampungan penduduk yang asri dan menyatu dengan alam. Ada kebun bunga Panah Asmara warna merah yang ditanam penduduk. Rumah di tengah sawah yang habis dibajak. Terlihat dua ekor kerbau sedang berpacaran. Mirip dua pasang dari anggota tim yang juga sedang dilanda asmara. Mereka terkena sindrom ATM BCA. Asmara terus membara bersemi cinta dan angan-angan. Sekalian istirahat kami berfoto-foto. Akhirnya gapura di ujung jalan dapat kami jangkau pada jam 14.25. Ternyata jalan tanah yang kami susuri bertemu dengan jalan berbatu yang tersusun rapi. Mis kemudian tanya ke penduduk setempat arah mana yang menuju ke Cicurug, ke kiri atau kanan. Ternyata dua-duanya bisa. Hanya saja yang ke kiri lebih dekat, sekitar 2,5 jam. Kami sempat jalan kaki menyusuri jalan berbatu sekitar satu kiloan saat ketemu dengan mobil bak terbuka. Dan alhamdulillah kami boleh menumpang sampai di Cigombong. Perjalanan di atas mobil pengangkut material cukup lama sampai kami bosan. Menurut perkiraan bukan cuma 2,5 jam bila jalan kaki. Bisa-bisa malah seharian karena begitu jauhnya. Saya sempat baca, jalan yang dilewati adalah Jl. Cipari, Kecamatan Cisaat, Kabupaten Sukabumi.

Akhirnya kami diturunkan di Cigombong di pinggir jalan raya menuju Bogor jam 15.50. Sebagai tanda terima kasih, kami kasih uang rokok buat pak sopir 20 ribu walaupun tidak minta. Mudah-mudahan saja tidak buat beli rokok meskipun istilahnya uang rokok. Dari tempat itu kemudian nyarter angkot Cicurug ke Pankid. Kami sepakat membayar 50 ribu untuk diantar sampai depan kampus BEC di Pankid. Sampai di BEC jam 17.00 pas. Dengan demikian berakhirlah ekspedisi Puncak Salak I yang amat sangat sangat sangat ruaaaaaaaaarrrrrrrrrrrrrrr biasa. Sebuah perjalanan yang bukan hanya membuat kami makin akrab tapi juga menjadi pengalaman yang mendebarkan dan membanggakan. Buat saya pribadi, ada kesan yang mendalam yang akan selalu menjadi kenangan sepanjang kehidupan saya.

Titi, Imeh, Fitri, Ardhi, Danang, Teguh, Rahmat, Mis, dan Deri, terima kasih telah mau menjadi teman seperjuangan saya dalam menaklukkan puncak tertinggi dari gunung Salak.